• Home
  • About
  • Contact
    • Category
    • Category
    • Category
  • Shop
  • Advertise
facebook twitter instagram pinterest bloglovin Email

MADGIRL!


Suatu hari waktu aku masih kelas satu SMP, aku mendapati teman sebangkuku duduk murung. Waktu aku tanya kenapa, dia nangis sambil menunjukkan bekas biru di lengan atas dan pahanya. Bekas dicubit ibunya. Setelah itu, aku kerap mendengar ceritanya mengenai macam-macam kekerasan fisik yang dia alami. Mulai dicubit, dilempar barang, sampai dipukul menggunakan parutan kelapa. Waktu itu aku hanya bisa ikut sedih dan merasa kasihan. Tapi memangnya apa yang bisa kulakukan? 


Waktu aku main ke rumahnya, aku melihat sendiri bagaimana ibunya berlaku padanya. Omongan-omongan kasar yang dia tujukan ke anak kandungnya sendiri itu sungguh bikin bulu kudukku merinding (dan ikutan takut). Waktu itu usianya masih sama denganku: 12 tahun. 


Kemarin seorang teman di Facebook membagikan cerita pribadinya mengenai masalah dengan orang tua. Betapa orang tuanya tidak menghargai gaji pertamanya yang masih di bawah UMR. Dan menuntut dibelikan mobil di bulan pertamanya bekerja. Aku memahami sepenuhnya ketika dia bilang stress sampai pengen bunuh diri. Karena aku bisa membayangkan tekanan macam apa yang dia alami. Tuntutan dan ekspektasi tidak masuk akal dari orang tua yang bukan hanya bikin anak merasa terbebani tapi juga mungkin merasa gagal, merasa unworthy, dll. 


Seorang teman lain membela para orang tua. Dia bilang, meski anak memang tidak minta dilahirkan, hal itu tidak serta merta bisa dijadikan pembenaran anak berlaku kurang ajar dan enggan membalas budi. Bagaimanapun orang tua dan berjuang banyak berkorban untuk memberikan kehidupan yang baik bagi anaknya. 


Keduanya benar. Karena faktanya, anak yang kurang ajar juga memang ada. Banyak. Aku juga punya teman yang bergaya hidup layaknya bos besar ketika kuliah di kota. Gaya hidup hedon. Nongkrong di kafe dan gaul ke sana ke mari. Selalu belanja baju merek branded, kos di kos eksklusif, dan yang paling menjengkelkan dari semuanya, dia selalu bayar-bayarin temen-temennya saat nongkrong. Sambil sesumbar kalau dia bisnis sendiri. Semua anak pun terpukau dan memanggilnya bos. Bangga bisa menjadi bagian dari inner circle dia. 


Sementara, ayahnya yang bersahabat dengan ayahku menderita di kampung. Kerja keras bagai kuda sampai numpuk utang. Dan mengeluh bilang “Berat banget ya biayain anak kuliah.” Yang dijawab oleh ayahku dengan “Anakku sih udah enggak pernah minta uang lagi. Dia kerja sendiri.” Iya, aku ini. Yang di kalangan teman-teman sesama mahasiswa tidak dikenal sebagai bos melainkan si anak yang nggak asyik karena enggak bisa sering-sering diajak nongkrong. Entah alasannya sibuk kerja atau lagi enggak punya duit. :D


Kita mungkin juga sering mendengar cerita orang tua terlantar karena anak-anaknya enggak ada yang mau ngurus. Meski mampu. Mungkin banyak yang disebabkan karena dendam diperlakukan buruk oleh orang tuanya, tapi tidak menutup kemungkinan memang si anak kurang ajar aja. 


Jadi orang tua toxic memang ada, tapi anak kurang ajar juga tidak kalah banyaknya. Menurutku hal ini tidak kemudian layak dijadikan perdebatan karena kita enggak bisa memandangnya sebagai kesalahan satu pihak saja. Bahkan keduanya bisa jadi bercampur baur. Orang tua toxic melahirkan anak kurang ajar ya bisa juga kan? 


Jadi mungkin satu-satunya hal yang bisa kita lakukan sebagai spesies yang konon bijaksana adalah melihat kasus per kasus. Dan karena kita sebagai orang luar yang enggak melihat dengan mata kepala sendiri dinamika setiap keluarga, alangkah lebih baik kalau kita enggak langsung ngejudge. 


“Iya, parah banget tuh orang tua toxic emang. Ih jijik. Udah biarin aja mereka terlantar di hari tuanya.”
atau
“Kurang ajar banget anak mengeluh padahal cuma diminta bantuin bayarin SPP adiknya.” 


Kita enggak di sana. Kita enggak tahu. Kita tidak bisa melakukan apa-apa maka sebaiknya kita tidak buru-buru menghakimi.

Mau tahu cerita pribadiku?

Semua orang yang mendengar cerita pembangkanganku dari keluarga pasti akan serta merta mencap aku sebagai anak durhaka. Durhaka lari dari keluarga hanya biar bisa hidup bebas dan hedon, biar bisa berbuat maksiat sebanyak-banyaknya, mempermalukan keluarga hanya demi cinta terlarang, dan aku yakin banyak banget penghakiman-penghakiman serupa yang bertebaran. Yang salah cuma aku: si anak yang minggat dari rumah dan tidak pernah menoleh kembali ke belakang. 


Iya, aku termasuk dalam kelompok yang memakai alasan “Kan aku enggak pernah minta dilahirkan.”
Tapi tahu nggak, dulu, bahkan dengan kesadaran penuh bahwa aku enggak pernah minta dilahirkan, aku tetap berusaha jadi anak yang berbakti. Yang baik. Yang membanggakan keluarga dan bermanfaat bagi nusa, bangsa, dan agama (harapan yang apa banget untuk disematkan kepada orok yang baru lahir -__-). 


Bahkan dengan orang tua yang tidak pernah hadir dan sibuk dengan drama percintaan mereka sendiri pun aku masih berusaha ngasih yang terbaik. Aku berusaha keras biar bisa dapetin duit yang lebih banyak biar ibuku seneng. Nyari duit lebih banyak lagi biar ibuku lebih seneng lagi. Dan tetap terus berusaha meski tiap balik ke rumah ibuku selalu bilang kecewa karena aku belum kaya raya. -_-‘


Waktu itu, di dalam daftar prioritas orang-orang yang ingin aku bahagiakan, terdapat nama-nama kakek-nenekku, ibu-bapakku, adikku, dan anggota keluarga lain. Seenggaknya biar om dan tanteku bisa tutup mulut dan berhenti bikin gosip tidak masuk akal a la sinetron azab di kampung. 


Di dalam daftar itu, bahkan namaku sendiri tidak ada. Aku mengubur dalam-dalam semua hal yang aku inginkan. Aku melupakan persona dewasaku yang aku bayangkan waktu aku kecil. Aku menganggap semua passion dan impianku sendiri tidak penting. Dan aku membohongi diri sendiri. Berpura-pura jadi anak baik, santun, dan solehah. Yang tentu saja harus cantik, cerdas, dan punya banyak duit dalam waktu bersamaan. Sungguh ajaib aku tidak menjadi pecandu narkoba dengan banyaknya tuntutan, fitnah, hinaan, dan kebencian, dan rasa tidak diterima di keluarga sendiri. Eh, ya nggak ajaib banget ding. Orang duitnya enggak ada. Mabok aja cuma beli ciu plastikan, gimana mau beli narkoba. Wkwk. 


Aku sabar aja dan masih berusaha keras membahagiakan mereka meski diri sendiri enggak yakin apa itu bahagia. Sampai kemudian ibuku memutuskan untuk melangkah terlalu jauh, melanggar satu-satunya garis batas yang tersisa. Garis yang teramat tipis dan terlalu rapuh setelah selama ini kujadikan pegangan kuat-kuat.
Secara semena-mena, sisa kewarasan yang aku punya diobok-obok. Tidak hanya menghancurkan hatiku, tapi juga masa depanku. Aku sedetik ketawa sedetik menangis saking gilanya. Waktu itu. 


Ketika mengetahui kabar pelarian diriku dari rumah yang kulakukan semata demi menyelamatkan kewarasanku sendiri (entah semestinya aku bangga akan tindakan ini atau haruskah aku menyesalinya mengingat sekarang aku mulai berpikir mungkin sebaiknya aku tinggal dan mati saja) seseorang bilang padaku “Ora apa-apa, Nduk! Wong tua kaya ngono kui wis ra maladi.” Yang artinya kurang lebih “Enggak apa-apa. Orang tuamu udah enggak punya daya buat bikin kamu kualat.” Iya maaf, ini terjemahannya kurang cocok, tapi aku susah nemuin terjemahan tepatnya. 


Biasanya anak minggat dari rumah selalu dianggap durhaka dan pasti bakal kualat (terima kasih dongeng-dongeng nusantara). Tapi ada kasus-kasus tertentu ketika kutukan orang tua yang marah atau tersakiti perasaannya, tidak akan berpengaruh apa-apa pada si anak. Karena Tuhan (anggap saja memang ada) maha melihat. Dia pastilah tidak menutup mata trus ngasih privilege ke golongan tertentu hanya karena mereka orang tua. Ketika kutuk tertentu diucapkan, mungkin Dia malah dengan santai berkata:


“Ee, lha wong kamu yang kurang ajar kok seenaknya minta anakmu yang dihukum. Udah dikasih anak lucu, cerdas, pekerja keras, mandiri, nggak rewel, berbakti, gajian pertama waktu kuliah semester satu yang enggak seberapa aja dipakai buat beliin sepatu ibu, dan menggemaskan itu mbok ya tahu terima kasih, bukannya malah masih nuntut yang tidak-tidak. Sungguh cerminan makhluk yang tidak mengenal rasa syukur.” -,-


Aku anaknya emang enggak repot. Waktu kecil (mungkin baru umur tiga tahun) sendalku putus aja aku enggak minta dibeliin sandal baru. Sandalnya cuma dikasih peniti biar masih bisa dipakai ya aku nurut. Sans banget menjalani kehidupan. Ada uang saku terima kasih, enggak ya ga apa-apa. Gampang tinggal malakin anak-anak di sekolah. Eh. Udah biasa di sekolah enggak jajan. Naik angkot bayar satu buat berdua trus lari sekenceng-kencengnya sebelum sopirnya sempet ngomel. Pengen renang tapi ga bisa bayar tiket masuk, tinggal duduk pasang muka melas aja sampai yang jaga enggak tega trus bilang “Yaudah masuk sana.” Wkwkwk. Sesantai itu. Enggak pernah marah. Enggak nuntut sedikitpun. Paling mentok maksimal minta surat keterangan belum mampu bayar SPP dari Bapak kalau besok tes/ujian dan aku belum dapet kartu karena nunggak SPP beberapa bulan. Udah, itu tok. 


Setelah kejadian yang bikin aku minggat itu, Bapakku sempet menemuiku sekali. Waktu itu di teras kos, sambil nangis nggak kebendung aku sampai hati nanya “Emangnya aku pernah minta apa? Dari kecil aku pernah minta apa?” 


Bapakku dengan kepasrahan seorang ayah yang mencintai anak perempuannya tapi sekaligus takut dan tidak berdaya di hadapan istrinya hanya bisa menunduk sambil bilang “Emang nggak pernah minta apa-apa.” 


Hatiku remuk. Mungkin hati Bapakku sama saja berantakannya. Kami memiliki hubungan Bapak-anak yang baik dan menyenangkan. Bisa dibilang, dia adalah salah satu kawan terbaikku. Kami memiliki banyak in-jokes yang hanya kami yang paham. Dan biasanya tiap aku pulang, kami bisa menghabiskan waktu berjam-jam ngobrol berdua. Tanpa kehadiran ibuku yang tidak memiliki selera humor yang sama. 


Ibuku toxic, tapi Bapakku baik. Ya terlepas dari berbagai macam kekurangannya yang lain sih. Masalahnya, dinamika keluargaku enggak cuma sebatas keluarga inti. Ada kakek-nenek yang merawatku dari kecil sehingga ibuku menganggap aku wajib balas budi pada mereka (kan aneh ya, orang dia yang nitipan anak, kok trus anaknya yang tanggungjawab?). Ada om dan tante yang problematik. Yang membeda-bedakan aku sama keponakan lain, yang memandang rendah, yang menghina, yang sempet-sempetnya mengarang cerita palsu biar citra diriku jadi buruk, yang memaksakan pandangannya, dan banyak lagi. 


Lahir dan besar di keluarga itu sungguh melelahkan. Karena aku harus secara konstan berpura-pura bahagia setiap saat meski sebenarnya sangat kebingungan. Diharapkan bisa membanggakan keluarga tapi saat aku butuh dukungan tentu saja tidak ada siapa-siapa. :’)


Makanya aku kemudian lari dan tidak pernah menoleh lagi. Tidak peduli seberapa keras orang-orang yang sok merasa berkepentingan berusaha menjawil-jawilku kembali. Demi Tuhan! Aku hanya ingin hidup tenang. 


Mungkin kalian bingung karena banyak sekali detail yang tidak kuceritakan. Tapi pengalaman sepanjang 25 tahun memang mustahil diringkas menjadi satu blog post kurang dari dua ribu kata. Tidak apa-apa. Kalian tidak harus paham setiap detailnya. 


Intinya, aku bisa mengerti sepenuhnya ketika ada orang yang cerita kalau dia merasa tertekan karena keluarganya memberinya terlalu banyak tuntutan. Aku mengerti ketika ada orang yang sampai ingin bunuh diri hanya karena orang tuanya meminta sesuatu yang tidak bisa dia beri. 


Anak-anak durhaka memang ada, tapi orang tua durhaka juga ada. Anak durhaka yang lahir dari orang tua durhaka ada, anak durhaka padahal keluarganya baik juga ada (mungkin karena salah gaul). Orang tua durhaka tapi melahirkan anak luar biasa penuh cinta kasih juga ada. 


Aku juga punya teman yang memiliki dinamika keluarga yang amat menyenangkan. Semua anggota keluarga saling sayang, saling support, saling menghargai satu sama lain. Tidak satupun dari mereka durhaka sampai kalau aku main ke rumahnya aku merasa ikut disayangi. Jadi ya memang rupa-rupa kehidupan berkeluarga kan? 


Jadi mungkin sebaiknya memang jangan meminimalisasi pengalaman seseorang. Hanya karena kamu “Keluargaku juga toxic tapi aku tetep balas budi,” bukan berarti semua orang harus menempuh jalan yang sama lho. Menurutku sih ini. 


Kalau masih mau menganggap aku (dan banyak anak lain) cuma cari alasan bilang keluarga toxic cuma biar bisa kurang ajar seenaknya ya silakan aja. Bukan kamu ini yang mengalami kegilaan jedug-jedugin kepala ke tembok selama setahun lebih. Bukan kamu yang punya banyak bekas luka tusukan di lutut akibat merasa sakit fisik bisa mengalihkan perhatian dari sakit batin. Bukan kamu yang paranoid sampai mual, keringat dingin, dan lemes sampai enggak berani keluar kamar. Bukan kamu yang tiap ketiduran langsung mimpi buruk dikejar-kejar dipaksa kawin sama orang yang kamu nggak kenal. :)
Udah gitu aja sih. Aku ikut seneng kalau tidurmu nyenyak.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar



Sungguh nggak pernah terpikirkan sebelumnya aku bakal pernah mengucapkan atau menuliskan kalimat kayak judul di atas. Wkwk. Soalnya selama ini aku memang apa ya, mengasosiasikan Tiktok dengan kealayan. Mau dalam maupun luar negeri banyak banget orang-orang goblok di Tiktok bikin konten goblok, diikuti oleh orang-orang goblok yang memuja kegoblokan idolanya. Sorry, just spitting the truth here. 


Sampai kemudian aku mulai lihat kompilasi-kompilasi Tiktok yang bermanfaat. Mulai yang sederhana dari tutorial makeup, fashion, sampai konten sains. Trus aku mikir ya iya juga sih. Di platform mana aja juga pasti ada orang goblok sama orang pinternya. Banyak orang-orang yang bikin konten sampah nggak bermanfaat, tapi ada juga orang-orang yang beneran kreatif dan berilmu bikin konten di platform yang sama. 


Tapi ya, hey, monmaap. Stereotype Tiktok alay dan sampah yang terbentuk di sanubariku bukan karena judgement buta semata. Itu diakibatkan tak lain dan tak bukan oleh iklan-iklan Tiktok (dan Snack video) yang muncul terus di Youtube nggak peduli aku udah kasih laporan kalau aku enggak tertarik dan nggak peduli sama iklan itu. Model iklannya selalu yang lima detik nggak bisa diskip. Jadi tiap saat aku harus menahan perasaan dan memendam amarah karena liat konten Tiktok yang ... ya udah alay aja. 


Padahal konten Tiktok yang bagus banyak, kenapa yang dimunculin di aku selalu yang itu-itu aja sih? Bapak-bapak cringe ikutan challenge, mbak-mbak joget yang (mengutip kata sobatku) pantatnya dibegitu-begitukan, pantun beli itik dua ekor kamu cantik tapi pelakor. T_____T


Ya gimana aku enggak menarik kesimpulan kalau Tiktok alay. -__-


Tapi di luar iklan (yang katanya ngikutin algoritma tapi gobloknya nggak tahu sama sekali apa-apa yang menarik dan yang nggak menarik buat aku), aku jadi sering nonton repost Tiktok di Youtube shorts yang yaa isinya bagus dan sesuai sama minat aku kayak fashion, beauty, musik, dll. 


Mungkin titik balik yang bikin aku berhenti menghakimi Tiktok sebagai platform adalah waktu Kyle Hill (hai, cintakuuuu) repost konten Tiktok salah santu temennya sesama nerd yang bikin konten sains di Tiktok. Aku lihat di Twitter waktu itu, dan sayangnya aku enggak inget nama si temen ini siapa, padahal aku akan dengan senang hati follow dia di Tiktok karena kontennya bagus, menghibur, dan edukatif.
Iya, gais. Aku sekarang punya Tiktok. Wkwkwkwk. Tadinya aku masih hesitant mau install aplikasinya, tapi trus akhirnya aku nyobain karena apa sih ya, lupa alesannya. Wkwk. Kayaknya sih sebagian besar karena Ocin mulai rajin bikin Tiktok dan aku mikir seru uga. 


Trus yaudah, aku install Tiktok lite biar nggak menuh-menuhin hape. Yang muncul di FYP aku sialnya tetep yang alay-alay. Jadi aku sekarang meski punya Tiktok tetep nggak pernah nontoon video Tiktok di Tiktok. Nontonnya di Youtube shorts sama kompilasi-kompilasi. Wkwk. 


Kemudian tibalah saatnya aku bikin video. Waktu itu aku lagi menggambar trus mikir “Tiktokin ah.” Dan sungguh betapa repotnya ketika harus menggambar sambil tangan satunya megang hape. Video pertamaku tentu saja buruk bangat. 


Sebenernya itu bukan pengalaman pertama kali banget bikin video Tiktok ding. Sebelumnya aku udah sempet numpang sekali di Tiktoknya Ocin. Bikin video alay sok cantik doang buat dipost di story. Wkwk. Waktu itu aku udah bilang “Anying, bikin video Tiktok alay gini doang aja ternyata ribet ya.”
Iya, emang. Apalagi bikin konten serius yang terencana. 


Untung sih Tiktok terlihat lebih santai dan enggak se’curated’ instagram dari sisi konten dan tampilan. Jadi lebih bebas nggak ada beban merencanakan postingan biar estetika feed tiada tercela. Dan beneran aku juga bikin video ga penting-penting macam ngevideoin cangkir kopi doang. Wkwk. Pakai musik trus dikasih hashtag #vibe B-) 


Selain itu aku juga mulai bikin konten yang aku sendiri peduli. Dari dulu aku prinsipnya, aku bikin apa-apa tuh yang penting akunya suka. Urusan selera orang mah bodo amat. Seenggaknya kalau aku liat-liat sendiri aku nggak jijik sama postinganku. Trus seenggakpenting-enggakpentingnya juga seenggaknya nggak sampah amat lah. 


Akhirnya, di Tiktokku isinya ada review skin care, konten makeup, menggambar, sama (favoritku) fashion x astrology. Karena aku suka fashion dan aku suka astrologi, aku mikir kenapa enggak aku bikin video yang menggabungkan keduanya. So far baru dua video sih. Orang aku juga main Tiktok baru dua hari kok. Wkwk. Tapi aku pengen ini jadi series. Along with other fashion content. Mungkin nanti ya. Kalau enggak ada yang nonton ya gpp sih. Aku bakal repost ke Youtube shorts. Tetep nggak ada yang nonton juga? Gapapa. Kan aku udah bilang tadi yang penting akunya sendiri suka. So far seru and I enjoy making it.

Ada beberapa hal yang aku pelajari sejak aku main Tiktok

Pertama, bikin video Tiktok ternyata enggak segampang yang aku bayangkan. Ya kalau yang cuma diem kedip-kedip doang sih ga diitung ya. Maksudku yang serius berusaha bikin konten gitu. Madetin informasi ke dalam satu video berdurasi maksimal 60 detik itu susah, gengs. Kan nggak bisa asal ngomongnya dicepetin. Poin-poinnya tetep harus tercover semua dan jelas meski emang jadi nggak mungkin in depth ya. 


Belum lagi urusan editing yang kalau di aplikasi bawaannya sederhana banget. Pantesan orang-orang sampai rela niat banget pakai aplikasi pihak ketiga demi bikin video Tiktok yang bagus. Kadang buat bikin konten fashion try on aja bisa berjam-jam soalnya harus ganti-ganti baju, pose, ngedit, dll. Semua cuma demi video yang durasinya paling panjang 60 detik. Angkat topi saya sama para kreator niat ini. 


Kedua, dengan bikin video Tiktok aku jadi banyak belajar dong. Salah satu yang berguna dan berhubungan langsung sama profesiku mungkin karena video Tiktok kan pendek ya. Jadi aku belajar merangkum informasi jadi video pendek. Lah sebagai blogger, aku biasa ngecapruk kebanyakan bacot. Review produk bisa sampai 2000 kata. Ini harus madetin jadi beberapa kalimat doang itu sungguh pembelajaran yang sangat bermanfaat. 


Dulu aku suka bingung kalau temenku ada yang minta narasi buat video yang panjangnya paling cuma 2-3 menit. Dengan pace pelan, otomatis aku harus bikin tulisan pendek beberapa kalimat doang. Dulu aku pusing banget pas pertama kali disuruh ngerjain narasi kayak gini. Karena ya kebiasaan ngecapruk panjang lebar itu tadi. 


Sekarang kalau temenku butuh narasi pendek lagi aku bisa dengan santai berkata “Tenang, aku udah banyak pengalaman sekarang.”
“Bikin narasi buat apa emang, lu?”
“Video Tiktok. Hahahahaha.”


Itu aja sih kayaknya. Aku masih agak nggak percaya juga kalau aku bakal bisa enjoy main Tiktok yang dulu sering aku hina-hina itu. Tapi sekali lagi, bukan murni salahku ya. Salah sendiri dari Tiktoknya naruh iklan malah nggak majang yang bagus. Padahal kan terkait dengan brand image juga. Trus menurutku harusnya user bisa pilih topik yang kita peduliin. Bukan segala sesuatu yang lagi viral masuk fyp. Fyp aku kan harusnya ngikutin selera aku dong. Harusnya kasih topik-topik yang aku emang suka lah. Bukan segala orang duduk-duduk lipsync “Lo ngehina gueeee, gue bodo amaaaat,” juga dikasih. Heuuuft. 


Anyway, kalian kalau mau follow aku di Tiktok nyarinya jangan Isthar Pelle. Nggak akan ketemu. Usernameku @citanciver. Itu akun instagram menggambarku sebenernya. Jadi kalau mau follow sekalian di Instagraam ya sini sini. Eh, di instagram @civercitan sih. Itu pas bikin Tiktok kebalik dan aku nggak tahu cara benerinnya gimana. Tapi setelah mikir sejenak kayaknya ga bakal aku benerin juga ding. Males.


Thank you so much for reading and I’ll see you on my next procrastination period. Hahaha.
Byee!

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar


Kita semua mungkin familiar dengan pernyataan-pernyataan semacam:
“Paling suka sama cewek yang natural enggak kebanyakan dandan.”
“Cewek natural biasanya lebih pinter daripada yang dandan karena alih-alih pakai duitnya buat beli makeup dan skin care, mereka biasanya lebih milih beli buku.”
“Cewek yang ngabisin waktu berjam-jam di depan cermin buat bikin alis sama eye liner yang sempurna pasti enggak punya waktu buat belajar.”
Dan semacamnya. 


Di era ketika semua orang udah mulai berevolusi cara pikirnya terutama dalam hal kesetaraan gender dan mengeliminasi stereotype-stereotype kuno mengenai peran gender, masih banyak aja mas-mas sok edgy yang ngomongin hal-hal kayak gitu. 


Tentu saja sebagian besar mas-mas kayak gini merasa diri mereka pinter dan berwawasan. Nah, kalau Anda segitunya pinter, berpikiran luas, dan berwawasan, kok bisa-bisanya sih enggak tahu kalau banyak banget cewek cantik seksi sekaligus cerdas berprestasi di luaran sana?


Kalau Anda segitunya open minded, kok bisa-bisanya masih terkotak-kotak banget membagi cewek ke dua golongan: cantik dan pinter. Seolah dua hal itu enggak bisa jadi satu. Seolah yang cantik enggak mungkin pinter dan cewek pinter itu ya udah semestinya enggak menarik secara fisik.
Gimana ya? Sebenernya ini bahasan lama banget tapi masih ada aja yang kayak gitu meski udah sampai bosen ngebahasnya. 


Trus sekarang yang ngeselin, banyak perilaku yang menurutku makin norak. Misalnya aja mbak-mbak pecinta alam yang kemudian trashing mbak-mbak yang suka travelling bawa koper pakai dress pink, dan pakai eye shadow glitter. Seolah cewek keren itu ya semestiya pakai ransel naik gunung, bukannya travelling manjhaaaa penuh kemewahan dengan nuansa pink bak seorang tuan putri. 


Atau ada juga yang dipuji cantik kemudian marah. Alasannya sih karena seolah enggak ada hal lain yang bisa dipuji dari dia. Lha masalahnya gini, orang kalau baru ketemu kamu, baru kenal, belum tahu kamu siapa, belum tahu hasil karya kamu, kalau mau sopan ngasih compliment yang paling gampang ya emang dari yang kelihatan dulu. 


“Kamu cantk.”
“Dress kamu bagus yaa.”
“Rambut kamu keren deh.”
Dan semacamnya. Mana mungkin orang baru ketemu sekali belum tahu kamu siapa trus mendadak komen bilang “Wah, disertasi kamu mengenai perasaan tumbuh-tumbuhan di lingkungan rumah tangga yang toxic itu benar-benar keren sekali. Sangat bermanfaat bagi masa depan house plants.”

 
Yhaa tentu saja beda kasus kamu emang terkenal banget dan hampir semua orang tahu hasil karya kamu. Wajar aja kalau ada orang baru ketemu trus komen soal karya dan bukan cuma look. Tapi bahkan pop star paling terkenal pun tetep bakal dapet komen mengenai looknya kok. Itu bagian dari pergaulan yang wajar aja. Orang-orang ini cuma berusaha sopan.
Dan menurutku, bagian dari sopan santun dasar pergaulan itu, kalau dipuji ya bilang “Terima kasih.” Bukannya marah-marah. Wkwk. 


Trus yang marah-marah gini malah dibilang keren dong. T__T
Karena apa? Ya karena edgy lah. Cool. So different. Not like the other girls. Therefore, pick me, pick me, pick me!!!


Di saat cewek-cewek lain berlomba-lomba pengen terlihat menarik biar dibilang cantik, mereka yang aslinya cantik malah ga terima dibilang cantik karena “Hey, I’m more than just the look!” Keren banget kan? Idaman!


Baiklah, aku juga pernah marah soal ini. Bukan karena marah dibilang cantik. Kalau dibilang cantik aku ya seneng banget lah. Baik itu jujur maupun cuma demi sopan santun. Wkwk. Aku akan langsung bilang terima kasih. 


Aku seringnya marah karena biasanya orang kalau nanya profesiku apa, trus pas aku jawab penulis, mereka suka enggak percaya. 


“Kamu enggak terlihat seperti penulis.”
Atau yang dengan polosnya nanya “Lho, kamu sempat kuliah?” 


Hah, aku keliatan goblok gitu? Jadi aku bukan marah karena dipuji cantik atau dikira model. Aku marahnya karena ketika aku udah bilang kerjaanku apa, trus mereka meragukan kebenarannya karena menurut mereka itu enggak cocok sama penampilanku. Ya bagaimana.
Mungkin mereka maksudnya muji gitu? Dengan mengatakan “Enggak ah, kamu enggak kayak penulis. Kamu cocoknya jadi model aja.” 


Salah saatu contoh berusaha terlalu keras yang sebenernya enggak perlu. Kalau mau muji ya cukup bilang cantik. Trus kalau tanya profesi dan dijawab yang sebenarnya ya udah enggak usah kebanyakan bicit bilang “Masa sih? Kamu? Nulis? Emang kamu bisa baca?” Wkwkwk. Hargai aja. Kalau masih pengen muji ya bilang aja keren. Udah titik. 


Jadi mungkin ini emang masalah di masyarakat aja yang masih gemar mengotak-ngotakkan dan menganggap cewek cantik biasanya enggak bisa baca. Cewek yang punya waktu buat put together satu outfit sebelum pergi keluar dianggap sudah pasti enggak peduli sama perkembangan ilmu pengetahuan. Dan sebaliknya. Cewek yang rajin baca mana punya waktu buat mix match baju, rok, sepatu, tas, topi, dan aksesoris lainnya. 


I can’t say this enough, but astaga, pemikiran kayak gini menurutku sungguh kuno. Karena banyak banget golongan cewek who can do both. Yang selalu tampil menarik, bisa makeup, keren, sekaligus well educated dan tahu banyak hal. Banyak cewek yang hampir tiap hari ngereview skin care tapi juga bisa coding ngedesain blognya sendiri. Yang outif sama rambutnya selalu lucu tapi bisa wood working. Cewek yang secantik peri dan sangat peduli sama fashion tapi dia juga sangat paham soal sejarah fashion dan enggak support brand yang non ethical. 


Cewek-cewek kayak gini banyak banget di mana-mana. Jadi kalau mas-mas sok edgy ini mengaku berpikiran terbuka dan berwawasan semestinya tahu: kalau kecantikan dan kecerdasan itu enggak harus berlawanan. Kalau mereka belum bisa liat ya berarti sebenernya mereka belum cukup teredukasi. Cuma sok aja.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Aku udah sampai enggak inget berapa kali aku bilang "Aku udah enggak mau main Tinder lagi ah." 

Kalimat itu mungkin aku ucapin setiap kali pulang kencan dan enggak berakhir baik. Hahaha. 

Tadinya emang niat awal aku main Tinder itu buat seneng-seneng aja. Tapi ternyata, bukannya seneng, hidupku malah makin miserable. Trus kenapa dong aku kok masih betah terus main Tinder? Padahal berangkat masuk aplikasi dengan peraasaan was-was, match sama orang langsung dipenuhi kecurigaan, trus ya seperti yang kalian bisa tebak. Main aplikasi kencan emang enggak ada gunanya selain buat isi waktu luang (yang sebenernya bisa dimanfaatkan buat melakukan berbagai macam kegiatan bermanfaat) dan memperparah krisis eksistensi. 

Tapi sebelum itu, mungkin ada baiknya aku jawab satu pertanyaan dulu. 

Jadi sebenernya ada sisi menyenangkan enggak sih dari main Tinder? 

Jawabannya adalah iya, ada. Kadang aku ketemu sama orang-orang yang menyenangkan dan bisa berteman sama mereka. Berteman beneran yaa, bukan berteman pura-pura padahal sebenernya cuma napsu-napsu doang. Bahkan ada yang ngasih-ngasih kerjaan segala. Sungguh menguntungkan bukan? 

Sayangnya, ketemu sama yang kayak gini tuh kejadiannya sangat langka. Paling cuma 1%. Wkwk. Sisanya ya gitu deh. Miserable, miserable, miserable. 

Trus kalau sisi enggak menyenangkannya apa? 

Wooo lha ya jelas banyaaaak. Di antaranya, 99% populasi di Tinder kebanyakan cuma main-main. Seenggaknya aku ngelihatnya dari akunku yang adalah perempuan straight yaa. Jadi kebanyakan aku ketemu cowok-cowok yang pengen ketemu sama sebanyak mungkin cewek untuk direkrut masuk asrama putri. Iykwim. 

Jadi kalau aku main Tinder buat dapetin pacar, ya bakal susah banget. Masih mending kalau cowok-cowok ini bilang jelas dari awal enggak mau pacaran. Kehidupan akan bisa kita lalui dengan lebih mudah. 

Masalahnya 98% dari mereka kan pembohong. Jadi alih-alih langsung menolak mentah-mentah, mereka bakal bikin aku merasa diterima dan disayang dulu. Kayak mereka serius aja ngajak pacaran. Kalau udah dapet yang mereka mau (yang merupakan salah satu kebutuhan dasar paling primitif), yaudah mereka akan pergi gitu aja tanpa epilog, trus langsung nyari cewek lain deh. 

Ya emang sesederhana itu kalau mau jadi bajingan di era teknologi. Kan gampang. Tinggalin yang kemarin, masuk Tinder lagi, udah langsung tersedia berbaris-baris cewek single available. Tinggal pilih. Enggak harus sesuai selera (karena beberapa orang bahkan enggak punya selera), yang penting ganti-ganti aja. Sebanyak-banyaknya. 

Oke oke. Aku juga bukan orang baik. Bisa dibilang aku anaknya adventurous juga. Tapi masa main-mainku kayak gitu rasanya udah habis di usia 20an dulu. Karena dulu emang udah aku niatkan. Aku pengen punya pengalaman sebanyak mungkin, biar ntar pas udah waktunya settle, enggak norak lagi. 

Nah sekarang memasuki usia 30an (astaga, tidak pernah terbayang olehku suatu hari bakal nulis kalimat ini), aku pengen sesuatu yang lebih stabil dan bisa diandalkan. Kan capek lah ya gerilya kenal-kenalan sama orang baru terus. Aku enggak pengen nikah, tapi aku pengen hubungan jangka panjang yang solid. Aku pengen punya pasangan yang bisa ada untuk satu sama lain dan saling support. 

Sederhana kan? Harusnya. Sayang enggak segampang itu praktiknya. Kalau cuma nyari yang mau ewe sih gampang. Aku bisa dapetin kapanpun aku butuh. Tapi kalau nyari sama yang bersedia komitmen, itu rasanya lebih susah dibanding aku harus kerja keras dan nabung biar bisa beli rumah. 

Mungkin ini yang sering bikin aku sedih. Soalnya gara-gara sering ditinggalin semena-mena kayak gitu, aku jadi mempertanyakan self worthku sendiri. Jangan-jangan aku enggak cukup berkualitas? Akhirnya aku jadi merasa undesirable, unwanted, unlovable, dll. 

Ini jelek banget buat kesehatan jiwa, aku tahu. Padahal kalau aku baca-baca artikel atau nontonin video essay tentang dating apps, ya sebenernya bukan cuma aku yang mengalami hal-hal ini. Hampir semua orang mengalaminya. Kecuali beberapa orang yang beruntung beneran dapetin pasangan yang cocok banget sampai akhirnya berkeluarga yaa karena cerita-cerita kayak gini emang sungguhan terjadi. 

Akibatnya, tercipta trust issue sama jadi ada image buruk tentang dating apps seperti:

1. Cuma orang yang desperate aja yang main dating apps;

2. Dating apps cuma buat cari pasangan sex;

3. Semua cowok di dating apps brengsek;

4. Semua cewek di dating apps fake;

and so on, and so forth. 

Semua orang mengalami pengalaman buruk menggunakan dating apps. Semua orang pernah ngerasain perihnya dighosting. Semua orang pernah mengalami sedihnya dibohongi bilang "Iya, aku juga nyari yang serius kok, siap komitmen jangka panjang," tapi ternyata jangka panjang yang dimaksud hanya sebatas dua kali ngopi dan satu sesi bobo bareng. 

Sebenernya aku berharap di dating apps ada pilihan buat misahin orang-orang yang cuma lagi nyari kesenangan sesaat sama orang yang nyari hubungan jangka panjang. Jadi yang lagi cari pacar yang bakal match sama yang sama-sama nyari pacar juga. Yaaa meski bakal banyak yang bohong, tapi seenggaknya sedikit membatu memudahkan. 

Soalnya udah susah payah nulis di bio secara jelas dan tegas juga kadang bahkan merekanya enggak baca. Udah gitu, pas chat dan bilang terus terang "Aku nyari pacar nih," juga enggak bikin mereka yang cuma nyari kesenangan sesaat ini mundur. Malah maju dengan berbagai omong kosong. Padahal kalau cuma mau sex kan ya tinggal cari yang sama-sama cuma mau sex. Biasanya banyak tuh yang nulis "FWB only." Ngapa sempet-sempetnya gangguin yang lagi mau serius coba? 

Sialnya, setelah aku merasakan sendiri kalau main Tinder sebenernya lebih banyak mudharat daripada manfaatnya, aku juga susah banget berhenti. Alasan-aalasannya antara lain sebagai berikut:

1. Instant Gratification

Jadi kalau aku lihat profil orang yang aku suka, trus aku geser kanan, dan ternyata match, itu langsung  seneng. "Yess, he likes me too." Ini yang sering aku rasain terutama dulu pas awal-awal main Tinder. Apalagi aku sendiri anaknya sangat picky dan selectif. Jarang banget swipe right kecuali aku beneran sangat suka banget sama orangnya. Baru kemudian aku tahu kalau ternyata kebanyakan cowok ya swipe right aja semuanya. Dengan alasan "Dari sekian banyak digeser kanan semua, ntar juga pasti ada yang nyantol." Heuheuheu.

2. False Sense of Power

Dating apps kayak Tinder emang dangkal banget sih sebenernya. Pilihannya cuma suka atau enggak suka dan 99% keputusan diambil berdasarkan tampang. Soalnya meski disediakan kolom bio juga banyak banget yang enggak nulis apa-apa. Aku udah nulis panjang-panjang juga bahkan enggak dibaca. 

Dengan sistem kayak gini, user jadi merasa punya power atas pilihan-pilihan yang disodorkan. Kita bisa milih yang kita suka dan enggak (tentu saja melalui penghakiman yang dangkal itu tadi) trus kayak yang sok berkuasa gitu bisa menentukan seseorang layak untuk match atau enggak hanya dalam hitungan detik. 

Aku termasuk merasa bersalah dalam hal ini karena aku melakukan yang persis sama kok. Aku ngejudge orang-orang seenaknya, aku kadang ngetawain gaya mereka, dan terutama menghina footwear mereka. Wkwk. Dan iya, aku merasa sombong juga. Sering kepikiran "Cih, apaan? You're not good enough for me." Padahal kenal aja belum. :(

This is a sad reality about dating apps and why we keep starring at our damn phone swiping. 

Hari ini aku baru bilang lagi "Mulai sekarang tiap aku merasa pengen buka Tinder aku akan ngelakuin hal lain yang bermanfaat." 

Tapi kan ngomong emang gampang. Praktiknya, siapa yang tahu? Ada saat-saat ketika aku merasa kesepian. Terlalu kesepian sampai berharap pengen curhat sambil dipeluk seseorang. Siapa saja.



Share
Tweet
Pin
Share
No komentar


Pernahkah kalian terjaga pada pukul tiga pagi sibuk memikirkan hal-hal yang tidak ada gunanya? Tentu saja kalian pernah. Kalian semua kan pathetic. Hahaha. 

Tapi pernahkan kalian terjaga pada pukul tiga pagi, dan dengan narsisnya menggoogle nama kalian sendiri kemudian menemukan rekaman lama kalian menyanyi dan seketika ingin menggali lubang untuk mengubur diri sendiri hidup-hidup? 

Kalau belum pernah, good for you. Kalau udah pernah, sebenernya apa sih yang kalian pikirkan? 

Jadi kadang aku suka menggoogle diri sendiri. Selain untuk memenuhi hasrat narsis yang tak terkendali, kadang aku juga menemukan hal-hal ajaib semacam nemu postingan blogku dijadiin reference di blog orang (yang ini cukup membanggakan), nama blogku disebut dan dilink dari website orang, atau kadang namaku dipakai dan dibilang mereview produk tertentu padahal aku denger nama produknya aja enggak pernah. Hehe. 

Yang paling penting sebenernya karena aku mau ngecek apa aja yang tampil di Google ketika (misal) ada orang yang kepo nyari-nyari tentang aku. Karena ternyata ada hasil pencarian yang merujuk ke suatu hmm apa ya, anggap saja suatu kelompok I don't want to be associated with. 

Selain itu aku juga mau mengontrol jejak digital. Kayak yang anyeng banget yha sis, apa-apa yang kita upload ke internet beneran ga bakal ilang selamanya. Bahkan IG story yang konon ilang setelah 24 jam pun. Tadi aku bisa nemu IG storyku dari kapan tahun dong. Kan harusnya cuma aku aja yang bisa liat di arsip. 

Trus yha begitulah. Tiap Google diri sendiri hasilnya pasti beda-beda. Makanya aku suka dengan tidak tahu diri menggoogle diri sendiri for the sake of (((menjaga citra diri di depan publik))). 

Di hari-hari menyenangkan, hasil pencariannya aman-aman saja. Di hari-hari sial kayak tadi, aku menemukan rekaman lama. Ya enggak lama banget sih. Lima tahun yang lalu lah. Pernah aku menyanyi dengan penuh kepercayaan diri kemudian (dengan tingkat kepercayaan diri yang jauh lebih dahsyat) mengunggahnya ke internet. 

Waktu itu kayaknya aku pede banget dan ngerasa merdu apa gimana. Bahkan pas liat tadi awalnya aku masih senyum-senyum penuh pikiran positif. Karena seingatku ya rekaman amatir waktu itu cukup bagus. Wkwkwk. Buktinya diupload kan? 

Namun, begitu lantunan suaraku terdengar, aku langsung meringkuk dalam posisi janin, nutup muka, sambil berkata "SUARA GW NGAPA CEMPRENG GINI??" T__T

Gara-gara kejadian ini aku menghabiskan waktu yang cukup lama memandangi langit-langit kamar secara kontemplatif dan berencana untuk melakukan purging besar-besaran terhadap jejak digitalku. Seenggaknya di tempat-tempat yang bisa aku kontrol kayak blog, sosmed, dan platform lain yang aku upload sendiri.

Kenapa? Karena aku enggak mau nanti pas aku udah jadi diva internesyenel terkenal top nomor satu, jadi perbincangan semua orang, laguku ada di playlist Spotify semua orang, trus pas akunya lagi sibuk fotosyut buat cover Vogue tiba-tiba seseorang ngirimin link video YouTube Before They Were Famous dan judulnya "Isthar's real voice?" 

Kemudian semua orang akan mendengarkan rekaman suara yang bisa bikin iritasi gendang telinga itu sambil berspekulasi "Gadis ini tidak becus menyanyi. Pasti terkenal karena ikut iluminati." :(

Padahal akunya pengen ikut iluminati tapi merekanya yang enggak sudi. "Elu tuh bukan bagian dari sirkel!"

Oleh karena itu, sodaraku, marilah kita bersungguh-sungguh mematuhi pedoman "Hati-hati di internet" dan segeralah bersihkan jejak digitalmu demi masa depan yang lebih gemilang. 

Aku juga jadi inget kan, banyak pamer foto sama mantan yang juga harus dibersihin. Yha orang putusnya udah sejak beberrapa abad yang lampau. Akunya udah lupa, eh, Google menyimpan segalanya. Mengerikan memang dunia kaca hitam ini. 

Tapi yhaa, gara-gara dengerin rekamanku sendiri itu aku juga jadi ada bangga-bangganya dikit. Kayak yang aku dulu sejelek itu nyanyinya (dan anehnya waktu itu pede banget hahaha). Trus sekarang aku kalau nyanyi udah beda lah. Jauuuuuuuh lebih bagus dibanding waktu itu. Yang ini bikin aku bangga karena berarti kerja kerasku latihan sendiri emang ada hasilnya. Ada kemajuan dan aku tumbuh jadi lebih baik. 

Jadi walaupun memalukan, aku tetap menepuk diriku sendiri di bahu karena udah meningkatkan kualitas diri. Tapi ya tetep bakal aku hapus sih. Demi (((menjaga citra diri di depan publik))) itu tadi. 

Udah sih gitu doang. Sekalian say hi udah lama banget enggak masuk blog ini. Sampai banyak koloni laba-laba gini. Iyaaa, blog ini juga perlu dirapihin. Ntar nunggu blog sebelah beres dulu. Anjir aku banyak kerjaan gini ngapain sempet-sempetnya overthinking sih? Heran.

Sapa-sapa aku di Instagram yaa, biar aku ceria dan semangat ngeblog dan kerja yang lainnya. Modus ding. Maksudnya biar Instagramku bagusan gitu engagementnya. -,-


Xo,

Pelle

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

 

Y'all know I'm a whiny person. I complain a lot and being cynical most of the time. This ain't wrong. It's my coping mechanism ya know. For me, it's not me being negative. I'm just telling the truth. By acting this way, I can survive life a little bit easier. 

But I'm not always whiny, you see? Every once in a while, during weird times, I can talk in a less negative way. I can be cheerful and positive. Today is one of those rare days. 

Today I supposed to have a date. I made a promise to come over someone's house. We both agreed. But of course, as expected, I ended up go home feeling sad due to the last minute cancellation. "Sorry I have a recording session tonight," he said. 

But I know he's working on his new album right now. And I know how passionate he is when it comes to music and work. I think he's really on the mood to work he can't afford any kind of distraction (even when the distraction is hella cute, lol). I understand this because sometimes I get struck by some kind of revelation and all I want is just work on it. And I think about the other reasons of why he had to cancel. Like he's not in a very good situation right now, or all of the problems that comes along with the pandemic, etc. 

So I understand. Really. I am disappointed, but I'm not angry. 

Of course I feel a little bit pissed. That's why on my way home, I visited a local supermarket to window shopping. I try to have more financial responsibility but hey, window shopping ain't hurt anyone. 

So I did. Wandering around the supermarket picking up some cheap goodies that won't make me regret buying. After that, I spent the rest of the night hanging out with my friends in a coffee shop, casually chatting around things. And that's when I realize that my day went actually very well.

The Wine Making

Earlier today, me and Mia attempted to brew our own homemade wine using rice, sugar and ... sorry, the rest of the recipe is confidential. :D 

Why, tho? Because we love to drink, we miss getting drunk, but miras has becoming more and more expensive these days so we decided to make our own. 

This is our first attempt. I don't know what to expect, but I'm excited. This give me some kind of life purpose. Lol. If I felt like 'nothing on the outside, nothing on the inside' before, now I feel a little something. Just a little, but still something. 

The Photo-shoot

After that, I go to downtown Bandung cause I had a photo-shoot. It was for my friend's new clothing line. I'm not a professional model by any means, but helping a friend feels so good to me. On top of that, I had a chance to meet my other friend who also model for the line and we spent a good amount of time chatting. Mostly about kegabutan selama pandemi and how we realize that we watched too much movies during quarantine, and that how excited we are about the upcoming offline gigs that we miss badly and about the future even when none of us know what to expect. It was a good time and a pretty nice convo we had.

I haven't receive the photos yet, but here a selfie with me wearing one of the t-shirt.  Looking cool as always. No matter how pandemic, fuckbois, and life in general try to mess me up, I'm still look cool as fuck. Nope, I'm incapable to be any less cool than this, sorry. Ye, you can push me off the cliff anytime now. Lol. 

Great Friends

 

So, these are my friends. Not in full formation since one of us went camping with her friends, but these are the people that I live with and since we're still on quarantine right now, we spend basically 24 hours a day together. Hehehe. 

I used to be a loner with no real friends at all. Who I considered as friends were usually people I know in social media and that was all. But now I have people that I can talk to and be there to support me anytime I need them. To every boys I met, I always tell about how grateful I am to have them not just as friends, but also family. 

A New Pair of Shoes

All of my friends know my obsession towards shoes. I love shoes. I even judge people by their shoes. And that's why, when my friend give me a new pair of shoes, I feel like it's the purest form of love. Hahahahaha. 

 

Anyway, don't give me flowers on Valentine's day. Give me shoes. But if you don't have time to buy shoes for me, fresh money will do. Thank's!

Shopping Therapy

As I mentioned earlier, I went window shopping to cheer myself up. But I picked up some things too. I keep telling myself not to waste my money so I didn't. Clearly I don't have that much time of money to waste so I just picked what I really need. 

Like this new bra. 

 

I desperately need a new bra and after a very very very looooong session of looking and guessing, and measuring, I finally found one that fits me. Do you even have any idea on how hard it is for me to find a perfect bra? I am pretty thin I can say but I have big boobies. Finding a well fitted bra always been a challenge to me. Even when I go to a fancier underwear store, there's no guarantee that I will find a perfect bra for me. The struggle is real, yo! Even the shop assistants usually get stressed helping me find the perfect one. Lol. 

So, when I finally find a bra that actually fits and in a good price (read: cheap), I have nothing to complain about. 

Umm, not really. I have to complain to the lack of size range and why all of those bras have too much padding on them? Like I don't need padding, I have more than enough so can anyone fix this? Wider cup size range, please!

Nail Polishes

I love nail polishes. I have my nails covered with nail polish for years. Well, sometimes I have one or two days off not wearing them but that's extremely rare. I ran out of nail polishes since I use them a lot and the other ones were drying. And looking at my nails being naked is just the weirdest feelings to me. So of course, buy new polishes is a necessity. Nail polish is basic needs. 

 

I pick a black one cause I love black nail polish (obviously) and the blue one cause it's just soooo pretty. Buying this stuff and try it for the first time made me think about writing again on my other blog about beauty to review product like this. Kinda miss being a beauty blogger, tho. 

Hair Ties

 

I live with my girl friends and we share a lot of things including hair ties. Us being us, we lost stuff all the time. No one ever knows where all the ties gone. Lol. So this is another basic needs that I need to buy. And these are really cheap. IDR 2,5k for two. Like what? 

Puff Puff

 

Being a smoker, cigarettes also become basic needs that I need to buy daily. We joke around about lacking of money, but still prioritize buying cigarettes. Cause you know, being able to smoke make life a lot more bearable. No matter what come to me, as long as I can still smoke, then I'll be fine. 

I've been spending too much time working on this entry. Mostly because of the internet connection that suddenly decided to act like a dumb bitch every time I try to work on something. But I'm having so much fun creating all of these. And I'm happy now. Yay! I am happy for real. I know, right? Hehehe. 

Anyway, I have a lot of things to do tomorrow but I still have so much energy. So maybe after this, I will make some drawings and read a bit then go to sleep. 

It is a good day, everyone. And I'm really grateful for everything that I have today. And hopefully this feeling last longer. So I can feel that I matter and worth living. I don't know. What I know is that happiness lays on simple everyday things. Glad that I get it now.

Until next time!

 

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
  

Barusan di Instagram aku kenalan sama fitness brand yang nyari brand ambassador buat produk mereka. Karena aku anaknya celamitan, aku nanya-nanya caranya. Seperti yang sudah bisa ditebak, itu hanya salah satu strategi marketing buat nyari fitness babe yang mau beli produk mereka, foto, direpost, kemudian dikasih personalised promo code sebagai kompensasinya. Komisinya lumayan sebenarnya: 30% per item. Kalau seandainya niche Instagramku fitness dan aku punya cukup banyak pengikut setia yang akan rela ngeluarin duit 60an dollar buat beli setelan legging sama sport bra, maka aku akan mendapatkan cukup banyak uang.

Dalam hal ini, brand yang bersangkutan enggak ngebayar si "ambassador". Malah nyuruh si ambassador beli dulu produknya, Wkwkwk. Tapi sistem kerja sama dengan promo codes kayak gini menurutku cukup adil. Terutama bagi influencer yang baru mau belajar jalan, baru nyari followers, lagi mau ngembangin social media mereka. 

Baru aja tadi malem aku nonton videonya Peter McKinon (ma bae, mumumu) tentang awal mula karirnya dulu gimana. Sebagai fotografer dan videografer yang sekarang udah memiliki banyak pengikut, Peter udah nggak kesulitan lagi dapet klien. Ibaratnya klien sekarang berdatangan ketuk pintu nawarin kerjaan. Tapi apa dulunya langsung gitu? Enggak. 

Secara terang-terangan Peter bilang nggak ada salahnya kerja gratisan. Dulu awalnya dia beli-beli produk dari merek yang dia bidik, Dia bikin foto-foto cantik, dia upload sambil ngetag si brand. Itu pun awalnya dicuekin. Habis itu dia beli-beli lebih banyak produk, upload-upload lagi sampai akhirnya dinotice "Hey, we love your work, can we reupload it?" 

Yang dia jawab "Tentu saja. Eh, ngomong-ngomong kalau misal kamu butuh foto buat promosi dan konten di website, bisa ke aku aja. Foto pertama gratis." 

Dia nawarin kerja gratisan secara sukarela. Habis itu si brand ngirimin banyak barang buat difotoin (gratis), lama-lama bayar, trus sekarang Peter punya merch kerjasama bareng mereka. Dan jadi best friend sama pemiliknya.

Itu jalan panjang yang harus dia tempuh hanya demi menarik perhatian satu brand. Jadi emang bener kalau dulu ada orang yang bilang "Rahasianya adalah nggak ada rahasia. Only lots of works." 

Kerja gratisan nggak selalu buruk, apalagi kalau kita baru mulai. Banyak alasan kenapa kerja gratisan baik:

Portofolio


Kerja gratis yang kita lakukan bisa jadi tambahan portofolio. Portofolio ini penting banget apapun bidang kerjaan kamu. Karena ini modal dasar buat ditawarin ke calon klien nanti-nantinya. 

Batu Loncatan


Nggak cuma portofolio, hasil kerja gratisan ini bisa juga jadi batu loncatan. Kayak Peter pernah sekali bikin video promotional gratis buat satu merek, trus habis itu ada brand lain yang tertarik dan minta dibikinin video yang serupa. 

Keuntungan Lainnya


Ada banyak kok keuntungan lainnya. Misalnya, fotomu direpost trus kamu nambah followers. Kan lumayan. Hey, di zaman seperti sekarang kan followers itu aset. Yang rela jadi goblok demi ningkatin followers aja banyak. Kalau cuma kerja gratisan ya masih jauh lebih mending lah. 
Selain itu kalau kayak kasus fitness brand yang aku bahas di awal tadi, kita masih bisa dapet keuntungan dari promo codes. Kalau ada penjualan ya kita untung juga. Jadi itungannya nggak gratis-gratis amat. Malah bisa menang banyak. 

Nah, di sinilah letak kesalnya aku sama kemiskinan. Mempelajari penawaran itu sebenernya aku sangat tertarik. Apalagi lihat produk mereka yang emang bagus sih. Ibaratnya aku juga pasti bakal beli kalau aku banyak duit. Cuma sayangnya masih mahal. 60 dollar satu set itu sama aja kayak aku kerja keras nulis artikel sebulan. Wkwkwkwk. Murah amat sih tarifku, bangsat! Tapi nih, kalau aku banyak duit, aku akan melakukannya dengan senang hati. Kenapa enggak? Aku bahkan akan rajin bikin konten fitness dan home workout biar bisa mamerin setelanku dan bikin orang pada beli. Hahahahaha. 

Tapi ya sayangnya sekarang aku lagi terlalu kere sehingga kesempatan semacam ini pergi begitu saja. Bahkan untuk kerja gratisan pun aku nggak bisa. Bayangkan! Kurang sedih gimana? Wkwkwk. Nggak ding, aku nggak sedih, biasa aja. 

Sebenernya banyak sih contoh lain kayak misalnya salah satu Youtuber yang sering aku tonton Nava Rose yang suka bikin konten fashion sama DIY. Bertahun-tahun dia bikin konten pakai produk-produknya DollKills dan nggak pernah dinotice. Sampai akhirnya dinotice juga, direpost, dan mungkin nextnya bisa dapet tawaran sponsor atau mungkin malah kepilih jadi angel. 

See? Kesempatan bisa banyak berdatangan ketika di awal kita mau kerja walau itu gratis. 

Yaaa, ya. Tentu saja bukan berarti habis ini kita menyerah pada kuasa pemilik modal dan kerja gratis selama-lamanya. Dengan followers kita yang meningkat, jam kerja yang  makin tinggi, dan portofolio yang makin banyak, kita akan memiliki daya tawar. Saat itulah kita bisa nego. Baik tarif per postingan maupun jumlah komisi yang kita dapatkan. 

"Know your worth!" they said. Dan itu memang benar. Bahkan dari awal kita bersedia kerja gratis juga bukan berarti kita menempatkan diri kita sebagai pengemis job yang nggak punya harga. Kita tetap tahu betul value kita. Kerja-kerja gratis itu hanya bagian dari anak-anak tangga yang harus kita panjat untuk sampai ke sana. 

Secara pribadi, aku belum pernah sih kerja gratisan. Kalau kerja dengan tarif sangat murah nggak masuk akal baru pernah. Dulu aku pernah nulis artikel bayarannya cuma lima ribu per judul. Lima ribu! Kalau mau bisa makan hari itu seenggaknya aku harus nulis lima artikel. Dan aku melakukannya. Kerja keras bagai quda cuma buat uang makan. Aku melakukannya dengan effort yang sama dengan yang kulakukan saat aku nulis artikel bertarif ratusan ribu sekarang. Karena aku mau semua yang aku hasilkan beneran bagus. Jadi di saat ada yang nanyain portofolio aku bisa dengan mudahnya nyodorin hasil kerjaan yang bener-bener berkualitas hasil usaha maksimal, bukan kerja asal-asalan.

Begitulah. Mudah-mudahan sih tulisan ini nggak ditelan mentah-mentah. Masih banyak banget yang harus dipertimbangkan. Kayak aku sekarang nggak akan keberatan kalau disuruh kerja gratisan selama masih ada keuntungan buatku di kemudian hari. Kalau nggak ada ya ngapain? Hahahaha. 



*ditulis dalam keadaan gabut libur lebaran di tengah pandemi sambil ngitung kerjaan-kerjaan yang belum kebayar, banyak juga lumayan oi! -__-
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Aku udah pernah cerita apa belum sih, soal cita-cita? Pastinya udah sih ya. Sering malah. Hihihi. Kalau ditanya cita-citaku pengen jadi apa, dari kecil aku selalu jawab "Mau jadi penyanyi." Sampai sekarang pun masih. Kalau aku punya kesempatan untuk menyanyi dan dibayar, tentu aku akan menjalaninya dengan penuh suka cita lah. Makanya sungguh tidak aneh kalau aku mempertimbangkan pekerjaan sebagai pemandu karaoke. Karena yha kerjanya nyanyi beberapa jam, dapet duitnya lebih banyak dibanding nulis seharian. (((hoiiii)))

Sayangnya hidup memaksaku untuk gagal dan belajar menerima kenyataan. Mau jadi penyanyi, bahkan sekadar biduan dangdut di hajatan sekalipun, ternyata enggak mudah. Ya mungkin jujur aja dalam hal ini aku belum pernah yang serius banget ngejar gitu sih. Paling ikut lomba beberapa kali sama bikin video youtube. Jadi kalau dibilang gagal ya sebenernya enggak juga. Karena aku belum pernah benar-benar mencoba. Entahlah, mafren. Banyak hal yang bikin aku nggak yang fokus banget ngejar karir di dunia musik. Banyak hal. Keterbatasan bakat salah satunya. Wkwkwkwk.

Oke, anggap saja menjadi penyanyi bukan lagi pekerjaan impian, cuma hobi sampingan aja. Trus apa sih sebenernya kerjaan yang paling aku suka?

Mungkin aku udah sering, terlalu sering mengulang-ulang cerita suksesku ketika jualan baju. Post power syndrome banget iya sih. Tapi ya gimana. Kenyataannya aku suka banget menjalani peran itu. Aku kangen banget jualan baju. Aku kangen banget bantu pembeli milih outfit yang cocok buat mereka dan bikin mereka menjadi lebih bahagia dan percaya diri. Aku kangen semuanyaaaa.

Aku emang punya passion di bidang fashion sejak lama. Mungkin sih gara-gara pas remaja terlalu terpengaruh sama film-film kayak The Devil Wears Prada, Confession of A Shopaholic, dan Sex and The City. Atau pengaruh-pengaruh lain yang mungkin aku sendiri nggak sadar masuk ke otak bawah sadarku. Di samping sejak kecil emang aku ngebantuin ibuku jualan baju. Tapi itu lain hal.

Ibuku sendiri selalu bilang seleraku buruk. Ketika mungkin sebenarnya cuma beda aja dan beliau nggak paham. Buat ibuku modis itu ya anggun, basic, elegan, dan semacamnya. Sementara aku lebih suka gaya alternatif. Kalau dideskripsikan mungkin gambarannya kayak e-girl zaman sekarang gitu lah.

Itupun aku masih terkendala lagi banyak hal. Misalnya, nggak punya duit buat beli bajunya. Hahahahaha. Nggak usah diceritain juga kali ya, bagian ini, -,-

Singkat cerita, aku punya ketertarikan yang sangat kuat di bidang fashion. Kalau sekarang aku masih boleh punya cita-cita, aku pengen berkecimpung di industri fashion entah bagaimana caranya. Jadi model, udah nggak mungkin. Mimpi aja. Jadi desainer, pengen banget sih astaga, tapi aku kan nggak bisa menggambar. Paling pol mentok bikin-bikin desain kaos sendiri. Huvt.

Jualan baju, yha aku suka dan mau banget lah. Nggak ada perasaan yang lebih indah dibanding melihat pembeli wajahnya berbinar-binar, merasa cantik karena pakai baju yang memaksimalkan kecantikan alaminya. Atau aku pengen juga jadi stylist atau professional shopper gitu, hihhh. I wiiiish.

Karena sekarang aku lagi belum bisa jualan lagi ya aku sabar aja. Paling pol jualan kaos. Hehehe. Dulu aku masih sempet-sempetin jualan kaos pakai bikin OOTD set. Menyalurkan sedikit hasrat mendandani orang lah. Sekarang udah nggak lagi sih.

Kemudian, kemarin aku dapet job nulis tentang fashion. Astaga, cuma gitu aja aku udah seneng banget. Hemm. Did you hear that? That was my heart, falling in love.

Kebetulan temanya tentang desainer lokal Indonesia. Sialnya, selama ini aku malah nggak ngikutin perkembangan fashion dalam negeri karena aku pikir boring aja gitu nggak menarik. Ternyata oh ternyata, aku ketinggalan banyaaaaaak. Desainer-desainer Indonesia banyak yang gayanya asyik. Sepanjang riset jantungku berdebar-debar. Rasanya mirip banget kayak kalau lagi jatuh cinta sama cowok. Eh, enggak ding, malah lebih parah deg-degannya. Antara mau nangis haru sama pengen pingsan. Saat itulah aku tahu, ibarat ikan, maka fashion itu airku.

Aku nggak tahu ke depannya hidup mau bawa aku ke mana. Kemarin-kemarin aku sempet agak fokus ke musik, ternyata enggak membawaku ke mana-mana. Hahahaha. Dan musik nggak bikin aku berdebar sampai segitunya sih. Lebih parah fashion lah asli, parah banget mau nangis.

Tentu saja aku masih punya banyak keinginan. Masih aku simpen dulu. Sambil aku melihat dari kejauhan. Aku nggak peduli sekalipun ibuku selalu bilang seleraku jelek. Buktinya aku bisa membahagiakan banyak orang yang beli bajuku dulu. Yang penting aku mau kerja di bidang ini, entah gimanapun jalannya. Nulis kolom tentang fashion kayak Carrie Bradshaw juga aku mau banget mau banget mau banget.

Dengan nulis ini, aku semacam meyakinkan diriku sendiri kalau memang ini yang aku mau. Dan aku udah berada di jalan yang benar selama ini. Aku nggak kesasar.

Semoga wabah-wabahan segera berakhir, dan aku cepet kerja di bidang yang aku suka. Dan cepet kaya raya. Amin. Hihihihi.

I love you, me. :*
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Foto profil yang akhirnya dipakai. Lol

Omg!
Akhirnya aku ngeblog lagi. Waaaaw.
Nggak usah seneng dulu! << ngomong sama diri sendiri. Karena sebenernya postingan ini tak lain dan tak bukan hanyalah upaya untuk menunda-nunda pekerjaan. Ngahahaha.

Jarang ngeblog kalau dulu alesannya males, nggak ada waktu, sibuk, dan lain sebagainya. Sekarang sebenernya aku nggak sibuk sama sekali. Jauh lebih nggak sibuk dibanding dulu saat aku nggak sibuk.

Kalau dulu rate kebergunaanku di muka bumi ini ada di angka 0, maka sekarang udah minus. Itupun minusnya banyak.

Singkat cerita, karena saking nggak sibuknya, akhirnya aku jadi nggak punya kegiatan dong. Karena nggak punya kegiatan ya akhirnya aku nggak punya bahan buat diceritain, gitu lho. But damn! I miss blogging.

Kabar baiknya, status ketidakbergunaanku itu tidak bertahan lama. Selama periode tidak berguna, aku sibuk nyari kerjaan ke sana ke mari. Masuk-masukin lamaran, kirim-kirim CV, nyari-nyari job freelance, dan banyak deh. Mulai dari jadi waitress, penjaga kantin, sampai kerja di karaoke. Pokoknya semuanya aku coba dan kerjaan apapun akan aku ambil. Jadi kalau ada yang sampai hati berkata "Yha usaha dong!" rasanya sungguh ingin kupancal ndasnya.

Semua usaha itu tentu saja tidak banyak menghasilkan, kecuali sekumpulan harapan palsu. Enggak apa-apa sih. Udah biasa kalau cuma dikecewakan sih.

Nah, akhirnya, sesuai hukum probabilitas, dari berjuta-juta kegagalan, pastilah ada yang nyantol juga. Singkat cerita aku dapet job menulis lagi. Yaaaayyyyy!!! Kali ini buat klien luar negeri jadi in enggres tapi ya bayarannya juga mashook banget kok. Aku juga suka karena 'agent'nya (idk how else to call her) sangat baik dan profesional. Sa suka bekerja bersama rang-orang profesional tuh. Komunikasinya jelas, efektif, nggak khawatir untuk ngasih kritik dan masukan, dan yang jelas nggak perlu pakai drama.

Kemudian, paymentnya kan harus pakai PayPal. Nha akutu belum punya akun akutu. Jadi sebelumnya aku bikin dulu kan. Karena buru-buru, tak sempatlah aku mengupload foto profil. Aku mikirnya, "Ntar aja lah, gempil." Hahahaha.

Yang ternyata ... tidak gempil sama sekali.

Tadi berhubung rasanya lagi pengen menunda-nunda pekerjaan, aku masuk ke akun paypalku dengan maksud dan tujuan untuk mengganti foto profil. Aku pikir bakal gampang dong, ya kan? Biasanya juga pasti ada di menu profil atau setting. Kan?

Tentu saja tidak ada.

Kucari dan selalu kucari, tetep nggak ketemu. T___T

Berhubung aku adalah anak yang tumbuh dewasa di era internet, aku tak kehabisan akal. Langsung kuketik di google search bar "Cara Mengganti Foto Profil di Paypal." Ketemu hasilnya, Google tidak pernah mengecewakan. Sayangnya, itu adalah artikel dari tahun 2015.

Yap! Betul! sudah lima tahun kadaluarsa. Dan tentu saja udah nggak berguna lagi lah, orang tampilan PayPalnya aja udah ganti. Heuuuuft.

Setelah menghabiskan beberapa puluh menit di google dan halaman komunitas, disela main sama para kucing, akhirnya aku tercerahkan. Oleh artikel tutorial? Tidak sama sekali. Melainkan oleh kecerdasan dan keberuntunganku sendiri.

Singkat cerita, aku iseng masuk ke halaman PayPal dot Me. Bukan PayPal dot com. Aku masih muter-muter di situ sampai aku akhirnya menyadari bahwa di sudut kanan atas ada menu MyPayPalMe atau apalah lengkapnya, lupa aku males cek. Intinya kayak halaman profil kita itu.

Nah, di situuuuu, di situuuuu akhirnya aku menemukan menu 'manage profil' dan bisa mengganti foto profilku semudah mengganti foto profil di platform social media lain.

Luar biasa sekali bukan, pengalamanku hari ini?

Tapi oh, kerumitan foto profil ini tidak berakhir sampai di situ saja mylof, karena habis itu aku terlalu repot memilih foto mana yang akan aku pakai. Akutu baru sadar kalau ternyata aku enggak punya foto profesyenel gitu lho. Yang layak dipasang di cover buku bagian Tentang Penulis atau biasanya ditaruh di pamflet acara buat para pembicara itu lhooo. Aku nggak punya satupun. Foto-fotoku cuma ada dua macem: kalau nggak alay kayak orang gila ya telanjang. Hahahahaha.

Syukurlah, setelah bolak balik keluar masuk folder, akhirnya aku tercerahkan dengan adanya foto ini. Yang tetap nampak imut menggemaskan, cukup sopan, dan terlihat terpelajar. Wkwkwkwk.

Udah ah.
Btw, this is fun!
Dan aku baru nyadar dari kemarin aku stress pengen berkeluh kesah tapi malu kalau dibaca orang. Kan tinggal aku tulis di sini aja ya. Nggak ada yang peduli ini. Heuheuheu.

Kayaknya besok-besok kalau seluruh dunia udah kembali sehat, aku bakal ngapeh-ngapeh cantik sembari berghibah ngeblog.

Oke byee!
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Older Posts

About me

About Me

Aenean sollicitudin, lorem quis bibendum auctor, nisi elit conseat ipsum, nec sagittis sem nibh id elit. Duis sed odio sit amei.

Follow Us

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Google+
  • pinterest
  • youtube

Categories

recent posts

Sponsor

Facebook

Blog Archive

  • Juni 2021 (2)
  • Mei 2021 (3)
  • Agustus 2020 (1)
  • Mei 2020 (1)
  • Maret 2020 (2)
  • Juni 2019 (2)
  • Maret 2019 (1)
  • Februari 2019 (2)
  • Januari 2019 (15)
  • Februari 2018 (1)
  • Januari 2018 (1)
  • Oktober 2017 (1)
  • September 2017 (1)
  • Agustus 2017 (4)
  • Juli 2017 (2)
  • Juni 2017 (3)
  • Mei 2017 (1)
  • April 2017 (2)
  • Maret 2017 (8)
  • Februari 2017 (10)
  • Januari 2017 (3)
  • Desember 2016 (6)
  • Oktober 2016 (4)
  • September 2016 (6)
  • Agustus 2016 (5)
  • Juli 2016 (3)
  • Juni 2016 (8)
  • April 2016 (1)
  • Maret 2016 (6)
  • Oktober 2012 (1)
Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

  • Tentang Anak Durhaka
  • Attitude yang Pick Me?
  • Ternyata Tiktok Enggak Seburuk yang Aku Bayangkan
  • YES PLEASE, FUCK ME!
  • Kumpulan Nasihat Buat Diri Sendiri

Yang Nulis

Isthar Pelle
Lihat profil lengkapku

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates