• Home
  • About
  • Contact
    • Category
    • Category
    • Category
  • Shop
  • Advertise
facebook twitter instagram pinterest bloglovin Email

MADGIRL!





“Maman, comment faire un bébé?” tanya Nicolas pada ibunya di film Le Petit Nicolas. Artinya kira-kira sama dengan “Mama, gimana caranya bikin bayi?”

Ibunya kebingungan lah pastinya. Dan mungkin ibu-ibu lain kalau ditanyain kaya gitu sama anaknya juga bakal bingung juga mau jawab gimana. Aku sendiri ngebayangin “Waduhh, ntar kalau jadi mama trus anaknya nanya gitu jawabnya gimana ya?” hihihi. Belum-belum aja aku udah salting duluan. 

“Emm, nganu dek, gini … emm.” Bwahahahahaha. Awkward banget pastinya. 

Kenapa rata-rata orang tua kalau mendapat pertanyaan kaya gitu dari anaknya kemungkinan besar salting? Karena nggak ngebiasain sex education pada anak dari dini. Menganggap tema itu sebagai hal yang nggak pantes buat diomongin. Saru. Giliran anak nanya, bingung deh. Kalau enggak malah dimarahin anaknya “Nggak usah nanya-nanya kaya gitu,” wkwkwk. Plis lah mah. 

Kalau ada yang nanya sama aku, “Pendidikan seks buat anak sejak dini perlu nggak sih?” maka akan kujawab “Perlu lah. Banget!”  

Gimana mungkin kamu bisa jawab perlu, Pel? Punya anak aja belum pernah.

Yupp! Aku emang belum pernah punya anak dan ngerasain jadi orang tua. Tapi masa kalian lupa sih? Aku kan pernah jadi anak kecil.

Jadi ceritanya, gara-gara rame-rame buku anak bertema pendidikan seksual karya mbak Fitra Chakra kemarin itu (sekarang masih rame nggak sih?), aku jadi ikutan mikir. Berhubung aku belum punya anak ya aku inget-inget sendiri jaman aku kecil dulu gimana. 

Dan aku jadi inget, kalau aku nggak dapat pendidikan seksual dari orang tuaku sama sekali, atau oke lah, aku nggak mendapat peendidikan seksual dari orang dewasa manapun.

Trus pendidikan seksual pertamaku kudapat dari mana? Dari temen sekolah. Waktu itu kelas dua SD dan temen-temenku pada bahas ken***. Aku yang waktu itu masih polos dan suci *plak nggak mudeng dan nanya “Ken*** apaan sih?” 

Daaaaaan temen-temenku pada ngejelasin “Itunya orang laki-laki dimasukin ke itunya orang perempuan.”

Lagi-lagi dengan polosnya aku nanya “Biar apa?” dan dijawab “Biar enak.”

Yes, kalian nggak salah, itu percakapan anak kelas dua SD. Kelas DUA SD yang notabene umurnya paling antara 7-8 tahun. Aku tinggalnya di desa lho yaa, jauh dari kehidupan kota yang hedonis. Dan ngomong-ngomong, aku kelas dua SD itu jamdul banget. Tahun 1997. Dan ya, percakapan anak-anak udah kaya gitu.

Jadi plis ya buibu yang masih mikir anak itu polos dan akan tetap suci pikirannya sampai mereka menikah kelak, maaf-maaf ngatain nih ya, naïf bu! Aku aja jaman tahun segitu, tinggal di desa kaya gitu, temen-temennya obrolannya udah kaya gitu.

Gimana tahun sekarang ini, dua dekade kemudian, anak-anak bisa dengan mudahnya mengakses informasi apapun dan nyaris tanpa filter? 

Anak tetanggaku sebagai contoh nyata yang aktual deh, masih kelas dua SD juga sama kaya aku dulu. Cowok. Dan kalau pas ngumpul sama temen-temennya cewek dia pegang-pegang payudaranya anak cewek itu. Si anak cewek yang dipegang-pegang cuma bisa jerit-jerit manggil ibunya. Dan apa yang ibunya lakukan? Nggak ada, ngowoh doang depan tivi. 

Si anak cowok ini tahu dari mana coba? Trus si anak cewek juga nggak tau harus berbuat apa. See?

Alasan Pentingnya Pendidikan Seks Sejak Usia Dini

               Sekarang, kenapa pendidikan seks sejak usia dini penting? Karena eh karenaaa, dikasih atau enggak, anak-anak tetep akan tahu dengan sendirinya. Jadi pilihannya cuma ada dua: tahu dari orang tua dengan cara yang benar, atau tahu dari teman-temannya dengan banyak kemungkinan informasi nggak benar? Itu yang pertama. 


               Yang kedua, biar anak nggak canggung buat ngomongin seputar seksualitas sama orang tua. Kalau seksualitas biasa diobrolkan sebagai ilmu pengetahuan sama seperti ilmu pengetahuan lain, anak nggak akan canggung lagi ngobrolin itu sama orang tua. Jadi orang tua akan jadi lebih mudah juga buat ‘membentengi’ dengan ngasih tahu yang boleh dan nggak boleh dilakukan. Lha, daripada anak ngobrol-ngobrol sendiri sama temennya, nggak mudeng, trus memutuskan untuk coba-coba? Hayoo. Untung pas kecil dulu aku nggak nyoba. ._.

               Ketiga, untuk melindungi anak. Dari apa? Banyak. Salah satu yang paling meresahkan adalah kejahatan seksual yang dilakukan orang dewasa. Kalau anak tidak diberi ilmu yang cukup, saat ada orang yang melakukan pelecehan seksual padanya, bisa-bisa anak malah nggak sadar itu pelecehan dan nggak tahu kalau itu salah. Untuk anak yang sudah lebih besar, pendidikan seks usia dini penting untuk mencegah anak dari melakukan hubungan seks bebas, kehamilan dini, dan aborsi yang tidak aman. 

               Keempat, perlu ditanamkan juga menghormati lawan jenis. Jadi kalau cowok biar jangan sampai melecehkan anak cewek. Begitu juga sebaliknya. 


               Pendidikan seks untuk anak itu bukan mengajari anak untuk berhubungan seks, tapi justru mengajarkan anak tentang seksualitas yang benar. Justru untuk membentengi anak supaya mereka bisa melindungi diri.

Trus Gimana Dong?

               Iya, I know, pasti bakalan ‘susah’ banget mulainya kalau nggak dibiasain sejak kecil. Jangankan sama anak kecil. Wong aku yang udah gede gini aja pasti nggak bakalan nyaman kalau disuruh nanya-nanya soal seks sama orang tuaku kok. Dan dari kecil dulu sampai sekarang emang nggak pernah blas. Aku belajar soal seks (soal mesntruasi, pertumbuhan payudara, dll) palingan dari majalah remaja, dan ya, dari teman-teman.

               Langkah pertama makanya memang, pendidikan seks harus diberikan sedini mungkin. Tentunya sesuai usia lah ya, ngasihnya. Contoh yang paling gampang, yang temen-temenku pada terapin ke anak-anaknya adalah mengajarkan menyebutkan nama alat kelamin dengan nama yang benar yaitu penis dan vagina. Sesederhana itu. Lah, santai aja, wong itu memang namanya kok. Itu nama anggota tubuh, sama seperti tangan dan kaki. 


               Kedua kalau menurutku itu mengenali tubuhnya sendiri dan perbedaannya dengan lawan jenis.  Selanjutnya, hal-hal sederhana tapi penting seperti misalnya anggota tubuh yang nggak boleh dilihat dan disentuh orang lain, siapa saja yang boleh membuka bajunya, apa yang harus dilakukan kalau ada orang yang misalnya menyentuhnya. 

               Makin besar baru ditambah porsinya, misalnya diberi tahu bagian-bagian tubuh mana yang kalau disentuh itu bisa menimbulkan rangsangan seksual, apa itu rangsangan seksual, apa itu mimpi basah, dannanti lama-lama sampai ke gender dan orientasi seksual.


               Ya aku sadar sih ngomong kaya gini cuma kaya sok tahu banget. Belum pernah jadi orang tua aja belagu. Tapi seenggaknya aku ingat masa ketika aku kecil dulu dan kekurangan pengetahuan seputar seksualitas. Dalam kasusku, aku termasuk bejo karena aku anaknya nggak pedulian dan sibuk sama urusanku sendiri. Jadi ketika ada temen yang bawa gambar porno, sementara anak lain ngerubung aku cuek-cuek aja. Bahkan sampai remaja dan temen-temenku rame-rame nonton bokep, aku cuek-cuek aja. Wkwkwk. Tapi nggak semua anak kaya aku kan? 

               Menurutku, buku tentang pendidikan seksual untuk anak seperti yang ditulis mbak Fitra penting banget. Utamanya buat membantu orang tua untuk menyampaikan materi ini. Misalnya aja niru kalimat-kalimatnya gimana untuk disesuaikan sama anaknya masing-masing. Jadi biar nggak canggung-canggung banget gitu. 


               Tapi iya, baca buku seperti ini anak harus didampingi biar orang tua bisa menjelaskan. Kalau anak dibiarin baca sendiri tanpa penjelasan ya sama aja dong ah. 

               So that’s it. My two cents tentang ribut-ribut ini. Kalau ada yang salah ya mohon dimaapkeun dan aku tunggu disskusinya di kolom komentar yaa. Makasih udah baca, cintaaah.

Love,
Isthar Pelle
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Image from here.


               Semua orang juga tahu kalau Indonesia itu negara yang unik. Ini topik basi. Bahkan orang-orang luaran sana di negeri-negeri yang jauh juga tahu. Alam tropis yang kaya raya, cantik menarik, trus apa coba apaaaah? Yes, keberagaman. Suku, adat, budaya, agama, bahasa dan … wah, sampai susah ngomonginnya. Bahasa aja ambil contoh, jumlahnya sampai 742 bahasa (terbanyak kedua di dunia setelah Papua Nugini). Belum pernah denger semuanya aja aku udah pusing duluan. Dan sialnya, aku jadi merasa bersalah karena dulu kuliah malah mempelajari Bahasa Perancis dan nggak kepikiran sama bahasa daerah yang banyak yang terancam punah karena kekurangan penutur. -_-

               Nggak usah jauh-jauh dulu bahasa daerah senusantara deh. Lha wong kampung sini sama kampung sebelah aja udah beda dialek kok meskipun tipis-tipis. Padahal sama-sama bahasa Jawa Magelangan. Trus 742 bahasa daerah itu kalau beserta dialek-dialeknya masing-masing jadi ada berapa cobaaa? Pusing kan? Iya, pusing. Tapi indah.

Aku masih aja terkagum-kagum setiap kali menemukan dialek-dialek yang belum pernah kudengar. Atau pas KKN dulu misalnya, di Brebes, desa yang aku tinggali itu memiliki empat dusun (kalau nggak salah ingat), dan masing-masing dusun punya dialek sendiri-sendiri. Pendatang yang nggak asli menuturkan bahasa ngapak sepertiku tentu nggak ngeh. Tapi penduduk yang cerita-cerita sendiri. “Beda mbak, kalau kampung sini ngomong ‘jaran’ itu begini, kampung sana begitu,” dan banyak lagi bikin aku terkagum-kagum. 

               Iya, tau, ini topik basi tapi aku kok nggak yakin banyak yang menyadari keindahannya ya? Ya deh, mungkin aku memang gumunan anaknya. Tapi kan … masa kalian nggak menganggap itu indah? 

               Aku ngebayangin, kalau misalnya aku orang luar negeri, kemungkinan aku akan iri sama Indonesia. Soalnya penuh warna kaya gini. Macem-macem. Seru. Meriah. Bahkan aku sering membayangkan kalau misalnya harus pergi jauh dari sini aku pasti bakalan kangen berat. Beda suku, agama, bahasa, adat istiadat, tapi hidup rukun berdampingan coba? Indah bangeeeeet dan aku bangga bisa jadi bagian dari itu.

               Makanya aku sedih pas akhir-akhir ini negara kita seolah terpecah belah justru karena keberagaman. Terpecah karena sesuatu yang seharusnya membuat kita unik dan kuat. Damn, aku aslinya nggak pernah mau ngomongin politik dan agama baik di blog maupun di status. Bahkan di buku diary pun enggak. Tapi, aku sedih aja sih. Soalnya perpecahan ini nggak mutu. Cuma gara-gara kepentingan politik golongan tertentu, rakyat yang unyu dan lugu juga jadi ikut-ikutan. Itupun kemungkinannya didalangi oleh orang-orang iri di luaran sana. Orang-orang yang nggak rela kita hidup bahagia berdampingan. 

               Anehnya, pada nggak nyadar dan malah seneng banget bertengkar sama tetangga sendiri. Kadang lucu juga pengen ketawa. Tapi kalaupun jadi ketawa, tawaku pasti terdengar fals karena campur sedih. 

               Sebenernya mengakhiri debat nggak mutu ini gampang aja kok. Saling menghargai. Udah, itu. Menghargai dan menghormati orang lain apapun keyakinannya, apapun pilihan politiknya. Nggak usah maksa-maksa, nggak usah merasa sok paling bener. Toh keyakinan orang lain nggak bikin kamu rugi apa-apa.

               Kita ibaratkan saja selera musik. Sebenci apapun aku sama dangdut koplo, aku nggak akan mendatangi tetangga sebelah yang nyetel musik itu kenceng-kenceng (well, meskipun sebenernya ini udah termasuk mengganggu dan merugikan sih) dan maksa dia untuk dengerin As I Lay Dying. Itu selera dia. Terserah. Hanya karena pilihan musik yang kami dengarkan berbeda, bukan berarti aku yang bener, lebih keren, sedangkan dia salah dan norak. 

               Dalam hal beragama juga. Bagaimana mungkin aku ngece orang lain dan ngatain mereka kemarab dan nggak Indonesia lagi sementara aku sendiri cuma mau dengerin musik impor dan dengan kemakinya ngaku agnostik?  

               Kalian terserah mau pakai jubah, mau pakai baju yang gimana juga, mau beragama Islam ori, Islam KW, Islam KW grade A, atau Islam bajakan sekalipun. Aku menghormati pilihan kalian (bahkan adikku sendiri jilbabnya gede selutut dan lagi galau mau pakai cadar apa enggak loh), tapi ya ayolah sama-sama. Kamu mungkin yakin sudah benar dengan pilihanmu, tapi orang lain punya keyakinan mereka sendiri juga. 

               Kenapa harus banyak yang putus hubungan pertemanannya (mungkin bahkan persaudaraan) hanya karena beda pilihan? Untuk hal yang satu ini aku punya contoh kebetulan. Aku punya teman FB, blogger juga dan dalam banyak hal kami beda jauh lah. Pandangan agama dan politik jelas beda. Tapi kami bertengkar? Enggak blas. Kami rukun-rukun aja dan becanda seperti biasa. Itu pilihan dia, aku nggak dirugikan apa-apa. Begitu juga sebaliknya. Kadang memang dia ngingetin aku tipis-tipis tapi ya aku biasa aja. Nggak marah. Soalnya di keyakinan dia, mengingatkan kepada kebaikan itu wajib hukumnya. Aku menghargai itu. Toh, dia nggak maksa.

               Soal pilihan politik, aku nggak akan ngebahas kalau yang kita pilih itu bukan pemimpin umat tapi pejabat administrasi (yang harusnya semua orang juga udah tau). Anggap saja okelah, haram hukumnya bagi kalian memilih pemimpin yang nggak seiman. Itu pilihan kalian, kami menghormati. Yaudah, pilih aja sesuai keyakinan kalian gimana. Tapi sekali lagi, ayolah sama-sama. Orang lain pilihannya nggak sama dengan pilihan kalian ya udah sih, biarin aja. Kalau misalnya itu dosa, kan masing-masing orang yang mempertanggungjawabkannya. Kalian udah mengingatkan (karena merasa wajib), udah gugur kewajiban kalian. Udah, nggak usah maksa. Di kehidupan nyata tetep rukun aja biasa. Bagaimanapun, menolak mengurus jenazah hanya karena beda pilihan politik itu konyol. 

               Udah lah yuk, kita damai-damai lagi. Bersatu dalam keberagaman yang unik dan indah. Jadi bangsa yang rukun berdampingan dalam perbedaan. Beribadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing tanpa perlu saling bully. Beriman boleh, memaksakan kehendak, jangan.
              
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Image from: vectorstock.com


Aku udah nulis ini lama. Terinspirasi atau oke lah, jadi keinget gara-gara kasus anak SMP nembak anak SD dulu banget itu. Aku jadi inget kalau jaman SMPku ternyata malah lumayan banyak kasus cinta monyetnya. Cuma aku lupa. Yahh, namanya aja cinta monyet. Eh, bai de way, aku kurang setuju ah kalau namanya cinta monyet. Ya secara kan pas kecil dan baru belajar cinta-cintaan dulu, kita nggak lantas tumbuh bulu. Lah, trus itu alasannya dikasih nama cinta monster? Gara-gara kalau pas kecil baru ngenal cinta-cintaan dulu kita semua lantas berubah jadi hijau? Enggak juga. Cuma menurutku, masih lebih keren disamain sama monster lah dari pada monyet. Eh, gimana kalau monster monyet? Monyet yang berubah jadi monster gara-gara overdosis cinta? Terserah kalian saja.

Apakah cerita ini tentang aku yang jatuh cinta? Enggak! Cerita ini lebih tentang kelakuan anak SMP (baca: remaja alay, aku ini). Kaitannya sama cinta?

Jadi waktu itu aku aku kelas satu SMP, ngekos di daerah belakang sekolah kampung apa namanya lupa (aku sudah pikun sejak kanak-kanak). Aku punya tetangga anak rumah depan kos namanya sebut saja Cherry. Dia masih SD kelas 6 tapi badannya jauh lebih gede dari  pada aku, nalarnya juga. Kami sering main berdua (jaman dulu mainnya bekel), jalan ke stationary beli alat tulis bareng, sampai kelayapan ke pasar cuma buat beli jus. 

Trus aku jatuh cinta sama Cherry atau dia yang naksir aku? Nggak semua! Dia cewek (aku juga) dan kami sama-sama lurus.

Nah, one day, Cherry nyamperin aku sambil cerita yaa nggak terlalu heboh sih, tapi jadi menarik sampai aku harus nulis di diaryku berlembar-lembar setelahnya. Dia bilang kalau dia kenal salah satu kakak kelas aku cowok namanya sebut saja Gerimis. Rumahnya deket-deket situ. Kalau berangkat sekolah dia pasti ngelewatin rumah kosku dan aku baru tahu dari cerita Cherry kalau anak itu jalannya selalu di belakangku jarak beberapa meter. Berapa meter tepatnya aku nggak tahu. Yang jelas cukup aman sampai-sampai aku nggak ngeh blas. Pokoknya udah persis kaya psikopat ngincer calon korban.

“Eh, kemarin aku dikasih duit lohh, sama mas Gerimis,” Cherry bilang.
“Oh,” jawabku. Sambil mikir dalam hati “Kamu habis dapet duit kok aku nggak dijajanin?”
“Dia ngasih duit ini tapi dengan satu syarat,” dia bilang lagi.
“Apa?” tanyaku.
“Aku disuruh nyampein salam dari dia buat kamu.”
What? Cherry dapet duit dan aku cuma dapet salam? Nggak adil!

“Katanya dia suka sama kamu. Dia bilang kamu punya senyum manis dan dia suka ngeliat cara kamu jalan,” Cherry ngelanjutin lagi tanpa menyadari kalau aku diem-diem nyari tau dia ngumpetin duitnya di mana. Wait, what? Suka? Hihihi.

“Masa sih?” tanyaku. Senyum culun.
“Iya. Dia keren lohh orangnya. Jago main basket, trus rajin ngebantuin ibunya. Ibunya kan yang punya warung itu lohh,” kata Cherry sambil nunjuk warung di ujung gang. Tadi aku bilang juga apa. Meskipun baru kelas 6, si Cherry tu udah lebih gede dari pada aku. Sementara aku sibuk mikir “Ah iya, aku inget pas lewat warung itu ada permen kaki. Ntar beli ah,” dia udah jago promosi. Pantesan dia dapet duit sementara aku enggak. Jadi itu? Hemm.

Keesokan harinya, di sekolah aku certain itu semua ke temen-temen segeng. Jaman dulu wajar kalau anak-anak bergaul dalam rombongan tertentu. Dan pagi itu, aku khusyuk cerita ke rombonganku yang adalah cewek-cewek sekelas.

“Kalian tau Gerimis?”
“Nggak tau,” jawab Mayones.
“Itu lohh, anak kelas duaaaaa,” aku nggak sabaran.
“Oh, iya tau. Anaknya item dekil,” komentar Biskuit.
“Tapi dia jago basket kan?” aku setengah membela.
“Kayaknya sih iya,” jawab Biskuit lagi.
“Emang ada apaan?” tanya Kwaci.
“Kemarin aku dapet salam dari dia, hihhihi,” next, kalian bisa bayangin gimana alaynya cewek-cewek SMP bergosip. Satu hal yang aku nggak tahu adalah, mereka merencanakan rencana jahat padaku.

Jadi pas banget watu itu dekat valentine. Dan meskipun aku sendiri udah lupa karena Cherry malah nggak cerita-cerita soal Gerimis lagi (mungkin karena udah nggak lagi dikasih duit), ternyata gosip itu menyebar ke banyak pihak (nggak termasuk guru BP) dan anak-anak merencanakan sesuatu yang konyol.

“Pelle, ada yang nitip surat nih,” itu temen sekelasku meskipun nggak segeng, sebut saja namanya Daun yang ngomong sambil menyodorkan kertas yang disobek dari buku tulis, dalemnya udah ditulisin, dan dilipet jadi tiga. Loh, kok aku tahu kalau kertas itu ditulisin padahal kertasnya dilipet jadi tiga? Aku tahu itu karena yahh, habis itu kan kertasnya tak buka.

Isinya apa aku udah lupa banget sumpah! Padahal harusnya itu jadi surat cintaku yang pertama. Tapi nggak seperti lagunya Vina Panduwinata sama sekali. Karena apa? Anak-naak melakukan setidaknya dua kesalahan.

Pertama, aku apal model tulisannya anak-anak sekelas, dan aku tahu banget itu tulisannya Daun dan kedua, dalam hal tipu menipu bukannya mereka biasanya belajar dari aku? Tapi oke lahh, biar mereka happy, aku malah cerita makin menjadi-jadi. Si Gerimis ini lah, itu lah, yang itu semua aku karang-karang. Aku bahkan nggak tahu yang namanya Gerimis yang mana. Wkwkwk. 

Merekanya jadi makin semangat ngerjain aku. Sampai waktu itu momentnya valentine. Trus pas lagi nongkrong aku bilang “Coba ya, Gerimis ngasih aku kado valentine.” And you guys know what? Pas tanggal 14 Februarinya aku beneran dapet bingkisan. Isinya macem-macem coklat sama wafer. Ada suratnya yang masih tulisan tangan Daun. 

Iyaa, aku emang cerdas kan? Maksudku, siapa yang dapetin semua jajanan gratis itu?
Soal aku sama Gerimis, nggak ada nextnya sama sekali. Nggak lama setelah itu aku pindah kos dan otomatis nggak pernah ngegosip sama Cherry lagi. Trus juga nggak deket rumah Gerimis lagi, dan sampai detik postingan ini diterbitkan, aku belum pernah ngobrol sama Gerimis sepatah katapun. Aku bahkan nggak yakin ingat orangnya yang mana? Yang lagi baca tanpa merasa sedikitpun diomongin itu bukan?
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

About me

About Me

Aenean sollicitudin, lorem quis bibendum auctor, nisi elit conseat ipsum, nec sagittis sem nibh id elit. Duis sed odio sit amei.

Follow Us

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Google+
  • pinterest
  • youtube

Categories

recent posts

Sponsor

Facebook

Blog Archive

  • Juni 2021 (2)
  • Mei 2021 (3)
  • Agustus 2020 (1)
  • Mei 2020 (1)
  • Maret 2020 (2)
  • Juni 2019 (2)
  • Maret 2019 (1)
  • Februari 2019 (2)
  • Januari 2019 (15)
  • Februari 2018 (1)
  • Januari 2018 (1)
  • Oktober 2017 (1)
  • September 2017 (1)
  • Agustus 2017 (4)
  • Juli 2017 (2)
  • Juni 2017 (3)
  • Mei 2017 (1)
  • April 2017 (2)
  • Maret 2017 (8)
  • Februari 2017 (10)
  • Januari 2017 (3)
  • Desember 2016 (6)
  • Oktober 2016 (4)
  • September 2016 (6)
  • Agustus 2016 (5)
  • Juli 2016 (3)
  • Juni 2016 (8)
  • April 2016 (1)
  • Maret 2016 (6)
  • Oktober 2012 (1)
Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

  • YES PLEASE, FUCK ME!
  • Bullet Journal untuk Hidup yang Lebih Produktif
  • PESAN MORAL LOMBA-LOMBA AGUSTUSAN
  • Tentang Anak Durhaka
  • Menguatkan Akar Rambut dengan Shampoo Ginseng

Yang Nulis

Isthar Pelle
Lihat profil lengkapku

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates