• Home
  • About
  • Contact
    • Category
    • Category
    • Category
  • Shop
  • Advertise
facebook twitter instagram pinterest bloglovin Email

MADGIRL!


Aku sering bilang, kalau apa-apa yang kita lihat di social media itu paling baru seperduajuta dari kenyataan yang sesungguhnya. Dan aku malah baru sadar betapa benarnya itu.

Kesadaran ini juga datangnya nggak serta merta, melainkan bertahap. Dan prosesnya sebenarnya sudah lama, terlalu lama bahkan. Cuma akunya aja yang terlalu lemot dan nggak kunjung paham.

Pas kuliah dulu aku punya temen yang kebetulan berprofesi sebagai jurnalis. Hubungan pertemanan kami ndilalahnya juga nggak ada kaitannya sama hal bermanfaat selain cuma sebatas senang-senang saja: mabok bareng dan tidur bareng (beneran tidur doang dalam arti yang sebenarnya karena aku nggak pernah mau ngapa-ngapain sama dia, seringnya malah ngapa-ngapain sama temennya, ngahaha).

Kami cukup akrab. Aku sering nginep di kosnya (biasanya kalau udah terlalu mabuk dan aku males pulang), dan dia juga pernah beberapa kali nginep di kosku (ajaibnya, tetep nggak pernah ngapa-ngapain). Kami nggak pernah memperbincangkan topik yang rada pakai mikir gitu. Ringan-ringan aja kayak misalnya cuaca, ban bocor, atau harga congyang yang makin lama makin naik.

Pas suatu ketika dia akhirnya tahu kalau di kampus aku pernah ikut persma, suka baca, dan kadang nulis, reaksi pertamanya adalah … nggak percaya. Bahkan secara menyakitkan dia bilang “Nggak mungkin ah, cewek kayak kamu.”

He.

Lama berselang, aku nggak pernah mengalami pengalaman sejenis. Sampai akhir-akhir ini. Beberapa bulan yang lalu, aku posting foto buku yang sedang aku baca di story facebook. Hal yang sangat jarang kulakukan. Itu juga tumben-tumbenan karena kebetulan aja bukunya udah ada di wishlist sejak bertahun-tahun lalu dan baru dapet, trus aku gembira, makanya posting.

Trus ada orang katakanlah hobi mikir tapi tidak hobi bekerja gitu yang ngirim pesan dan bilang “Aku nggak nyangka, ternyata kamu baca buku juga?”

Hehe.

Beberapa waktu setelah itu, ada orang yang terheran-heran sama gaya hidupku. Kok kayak selo banget punya seluruh waktu di dunia dan nggak ngapa-ngapain. Trus aku fungsinya di masyarakat itu apa. Kok beneran kayak numpang ngeborosin oksigen doang nggak ada gunanya.

Hehehe.

Trus beberapa waktu yang lalu aku ketemu seseorang. Kopdar lah ceritanya. Trus dia nanya aku tuh kerjaannya apa. Aku bilang “Sekarang sih lagi nulis.” Dan orangnya merasa perlu bertanya untuk meyakinkan kupingnya sendiri “Nulis??”

Seolah-olah itu adalah hal yang sangat aneh buatku. Seolah sangat jauh dari bayangan dia tentang aku.

Hehehehe.

Tentu saja aku nggak menyalahkan mereka. Karena mereka menilai dari apa yang mereka lihat dan apa yang mereka ¬sangka ketahui. Dan mereka menarik kesimpulan-kesimpulan itu dari luar.

Si jurnalis melihatku sebatas sebagai mahasiswi santai gaul ke sana ke mari dan kuat minum kayak ikan. Si teman yang ngomen storyku melihatku sebagai anak facebook penggemar jokes receh. Si teman kencan kopi daratku melihatku sebagai si toket gede yang gemar posting foto telanjang. Dan nggak lebih dari itu. Di mata mereka, aku nggak mungkin punya kualitas lebih dari itu.

Cewek yang doyan minum, bisanya cuma share humor nggak lucu, foto telanjang, dan pinter ngoral, nggak mungkin suka baca buku dan apalagi berprofesi sebagai penulis (yang dianggap harus cerdas dan memiliki kualitas tertentu).

Aku nggak tahu gimana awal mulanya, tapi cewek yang dianggap “nakal” selalu otomatis dianggap goblok. Hampir sama dengan stereotip cewek cantik hobi dandan yang dianggap nggak mungkin bisa baca. Padahal apa hubungannya?

Iya, itu typo, aku males benerin.

Balik lagi ke awal: apa hubungan semua ini dengan social media? 

Mau nggak mau, social media sekarang ya emang dianggap sebagai representasi kepribadian seseorang sih. Semacam etalase lah ya. Makanya banyak orang yang sampai rela berkorban melakukan hal-hal konyol demi pencitraan. Karena faktanya, we do judge a person by their social media.

Tentu saja dalam beberapa hal memang ada benarnya. Aku juga sering gitu. Hahaha. Misal ada cowok deketin, trus aku lihat di wallnya isinya sebaran berita hoax tolol semacam Prof. Tokuda, yha monmaap.

Cuma ya balik lagi, yang kita lihat di wall itu baru lapisan kulit luar banget. Ibarat bawang, ya baru kulit arinya yang biasanya dikupas itu. Kenyataannya, masih ada lapisan demi lapisan yang kita bahkan nggak pernah bayangkan. Misalnya aja yang nyebar hoax Prof. Tokuda bisa jadi ternyata justru penggemar film-filmnya. Cuma sengaja nyebar aja biar ramai. Biar mengaduh sampai gaduh.

Kita kan nggak pernah tahu.

Aku sendiri, apa-apa yang aku sebar di medsos, sebenernya malah lebih banyak yang nggak ada sangkut pautnya sama kehidupan nyata. Cuma ngereceh aja, sama kadang-kadang  jualan.

Aku hampir nggak pernah posting soal buku yang aku baca, karena ya biar apa? Hahaha. Aktivitas membaca buatku ya biasa aja, nggak perlu diumumin. Kecuali ada yang mau aku bahas. Dulu pernah sih beberapa kali aku nulis soal buku di sini. Tadinya mau aku jadiin series, tapi trus nggak lanjut. Nggak tahu ya, mungkin nanti-nanti bakal aku lanjutin lagi. Pernah juga aku sempet agak sering posting foto buku di instagram. Tapi cuma buat isi-isi doang waktu itu ngepasin sama warna tema feeds. -_-

Aku juga nggak pernah posting soal kerjaan. Paling promo-promo jualan. Trus udah. Nggak pernah pengumuman lagi bungkusin paket, atau posting chat mesra sama pembeli. Dahulu kala, zaman pertama-pertama banget ngolshop sih sering. Sampai foto-fotoin resi yang bertumpuk-tumpuk itu. Di akun jualan tapi. Tujuannya buat meningkatkan kepercayaan. Balik-balik ya buat kepentingan promosi.

Di akun pribadi juga pernah beberapa kali. Tapi habis itu seringnya nggak sempet lagi. Atau sebenernya sempet cuma aku males aja.

Dan aku jualan kan nggak cuma di facebook. Di facebook pun ada alter akun khusus jualan dengan market spesifik dan cuma pakai nama jualan. Yang beli, bahkan kalau sebenernya berteman sama akun pribadiku di facebook juga mungkin nggak akan pernah tahu kalau itu aku.

Dan aku nggak pernah cerita soal kerjaanku yang lain. Kadang aku nulis. Sebelum nulis buku cerita anak, aku nulis artikel buat blog dan lain sebagainya. Banyak yang pakai nama palsu karena aku cuma mau uangnya. :D

Dan banyak lagi. Banyak banget sisi kehidupanku yang menurutku nggak perlu aku bahas di medsos. Padahal aku kelihatannya kayak ceriwis ya kan? Rajin posting dan ngomongin diri sendiri ya kan? Tapi itu paling mungkin cuma 0,05%nya aja.

Yang salah menilai tentu banyak banget. Bukan hanya heran karena aku ternyata bisa baca, tapi juga yang mencap aku ini itu yang mendekati kebenaran sedikitpun enggak.

Dan mereka nggak salah. Wajar. Enggak dilarang juga. Aku juga mengerti kalau citra-citra itu yang mereka tangkap karena yang aku tampilkan emang kayak gitu kok.

Meski tadinya aku sempet heran juga sih. “Kok bisa ya fakta sesederhana aku bisa baca ternyata bisa seaneh itu di mata orang?” atau “Kok gitu aja dia heran sih?” karena aku merasa biasa aja dan aslinya emang kayak gini. Lha mereka tahu dari mana coba? Nggak salah lah.

Aku cuma lagi terkagum-kagum aja sama betapa emejingnya cara kita berprasangka dan merasa tahu hanya dari apa yang kita lihat di social media. Social media loh. Tempat orang bisa berpura-pura jadi apa saja. :D
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Dari video klip Die Antwoord - Banana Brain


Judul ini terinspirasi dari Banana Brainnya Die Antwoord tentu saja, yang entah kenapa terngiang-ngiang terus di kepalaku selama empat puluh delapan jam terakhir ini, setidaknya. 

Aku punya pertanyaan: bisakah orang mati karena jatuh cinta atau patah hati? 

Aku tentu saja terlalu malas untuk mencari jawabannya secara serius, jadi aku memilih untuk menanyakannya padamu saja, yang entah karena angin apa tak sengaja membaca ini. Jangankan serius mencari jawaban, sekadar melakukan pencarian sederhana di Google saja aku malas. 

Padahal hal itu yang akhir-akhir ini aku lakukan. Menggogle segala sesuatu, mengklik apapun yang muncul di halaman pertama, dan merasa cerdas setelah membaca beberapa paragraf di Wikipedia. Hahaha. Aku ini ikan, yang bernafas di dalam air dengan bantuan tabung oksigen. 

Begini, sebelum kau memberiku jawaban berdasarkan pemikiran mendalam yang bukan hanya berasal dari hasil pencarian google, aku ingin menjelaskan dulu latar belakang kenapa aku bisa sampai muncul dengan pertanyaan itu. 

Ini pertanyaan lama, sebenarnya. Aku pernah menanyakannya, dan kalau tidak salah aku juga pernah menemukan jawabannya. Hanya saja aku pelupa. Dan aku bersyukur karena aku pelupa. Bayangkan kalau tidak. Aku bisa terus-terusan menangis mengingat semua hal yang tidak ingin aku ingat. 

Katakanlah aku jatuh cinta. Karena perasaan itu, tentu saja wajar kalau kemudian muncul rasa rindu. Bagaimana tidak? Konsekuensi dari jatuh cinta adalah ingin bersama-sama dengan orang yang dicintai kan? Tapi bagaimana kalau dia tidak ada? 

Nah, perasaan rindu ini sebenarnya yang menjengkelkan. Dari dulu kalau rindu aku selalu mengalami gejala-gejala seperti melilit, mulas, merinding, pusing, berkunang-kunang, kurang fokus, jantung terasa bagaikan dipelintir-pelintir. Sangat menyiksa. Dan hal inilah yang membuatku bertanya-tanya. 

Bagaimana kalau gejala-gejala ini betul-betul bikin orang mati? Istilahnya bukan gagal jantung, melainkan gagal hati. 

Pernahkan ada orang yang tadinya sedang menjalani hidupnya dengan normal, mendadak teringat pada satu kenangan teramat menyakitkan dan meninggal? Atau orang lain yang sedang menjalani kehidupannya dengan santai, mendadak melihat nama orang yang pernah disayangi dan mendadak merasa begitu rindunya sampai mati? 

Kita ini tidak tahu apa-apa. Karena yang sudah mati tidak pernah kembali untuk bercerita. 

Aku sering membayangkan kehidupan setelah mati. Kita semua berkumpul di suatu tempat yang biasa-biasa saja, mungkin mirip seperti teras pertokoan. Sambil minum es kelapa dan makan tahu, seseorang berkata “Tahu nggak, dulu aku matinya tuh konyol banget. Masa cuma gara-gara aku inget mantanku kan. Mendadak aku kangeeeen banget sama dia. Beneran sakit banget aku nggak kuat lagi. Pas bangun aku udah di sini. Hahaha. Tolol banget, sumpah. Padahal lho, aku putusnya sama dia juga udah lama.”
Kita tidak tahu. Apa kita harus mati dulu untuk mencari tahu? 

Cinta adalah Distraksi

YoLandi di video klip Banana Brain
Katakanlah aku jatuh cinta. Meski temanku bilang “Itu perasaan sekilas saja kurasa.”

Dia benar. Aku juga tahu. Karena sebenarnya aku tidak pernah benar-benar jatuh cinta. Aku biasanya hanya terlalu menikmati yang tidak seharusnya. Dan aku senang menganggapnya serius meski sebenarnya bukan apa-apa. Aku suka melebih-lebihkan perasaan hanya karena aku tak punya hal lain untuk dipikirkan. 

Tapi aku tetap setuju: jatuh cinta, nyata atau tidak, lama atau hanya sementara, itu membawa kerugian tersendiri. Waktu yang terbuang sia-sia hanya untuk meresapi kenangan-kenangan yang ternyata tidak memiliki arti sama pentingnya bagi orang yang kita cintai. Perasaan salah tingkah dan kecurigaan-kecurigaan tidak berguna: apa salahku sampai dia tidak memedulikanku sebesar aku memedulikannya? Apa kurangku sehingga dia bahkan tidak sedikitpun repot-repot ingin tahu tentang aku sementara aku pada titik ini, sudah tahu apa yang dilakukannya empat-lima tahun yang lalu? 

Buang-buang waktu adalah kerugian pertama dan paling nyata dari jatuh cinta. Dan ini bahkan belum apa-apa. 

Ada orang yang benar-benar bunuh diri karena urusan cinta-cintaan ini. Ada orang yang sakit jiwa karena alasan yang sama. Sampai sini aku heran kenapa jatuh cinta masih boleh dilakukan dengan bebas. Harusnya, ada semacam pil yang bisa membantu mengontrol seberapa banyak kita jatuh cinta. Jadi semuanya masih terkendali dan kita masih bisa berfungsi dengan normal sebagai bagian dari masyarakat. 

Begitu, mungkin. 

Pada akhirnya aku tidak peduli kalau suatu hari nanti aku akan mati karena apa. Toh semua orang akan mati pada akhirnya. Dan ketika saat itu tiba, aku akan menemuimu di emperan pertokoan. Kita minum es kelapa, tertawa terbahak-bahak mengetahui semua yang terjadi di kehidupan sekarang ini sama sekali tidak nyata. Dan aku akan menyenggol lenganmu sambil bilang “Tahu nggak, dulu aku tuh matinya konyol banget.” 

Pertanyaan tadi, tidak usah dijawab. Aku hanya ingin ada yang membaca ini. Dengan demikian, aku tidak merasa terlalu sendirian lagi. 

“Kamu tidak jatuh cinta, hanya kesepian,” temanku bilang.
Dia benar. Aku juga tahu. 
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

About me

About Me

Aenean sollicitudin, lorem quis bibendum auctor, nisi elit conseat ipsum, nec sagittis sem nibh id elit. Duis sed odio sit amei.

Follow Us

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Google+
  • pinterest
  • youtube

Categories

recent posts

Sponsor

Facebook

Blog Archive

  • Juni 2021 (2)
  • Mei 2021 (3)
  • Agustus 2020 (1)
  • Mei 2020 (1)
  • Maret 2020 (2)
  • Juni 2019 (2)
  • Maret 2019 (1)
  • Februari 2019 (2)
  • Januari 2019 (15)
  • Februari 2018 (1)
  • Januari 2018 (1)
  • Oktober 2017 (1)
  • September 2017 (1)
  • Agustus 2017 (4)
  • Juli 2017 (2)
  • Juni 2017 (3)
  • Mei 2017 (1)
  • April 2017 (2)
  • Maret 2017 (8)
  • Februari 2017 (10)
  • Januari 2017 (3)
  • Desember 2016 (6)
  • Oktober 2016 (4)
  • September 2016 (6)
  • Agustus 2016 (5)
  • Juli 2016 (3)
  • Juni 2016 (8)
  • April 2016 (1)
  • Maret 2016 (6)
  • Oktober 2012 (1)
Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

  • Mengganti Foto Profil di PayPal Aja Aku Nggak Bisa
  • YES PLEASE, FUCK ME!
  • Kumpulan Nasihat Buat Diri Sendiri
  • Ternyata Tiktok Enggak Seburuk yang Aku Bayangkan
  • Dream Book dan Mood Board: The Cheerleading Squad

Yang Nulis

Isthar Pelle
Lihat profil lengkapku

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates