• Home
  • About
  • Contact
    • Category
    • Category
    • Category
  • Shop
  • Advertise
facebook twitter instagram pinterest bloglovin Email

MADGIRL!


Image source: ideklik

Pesona. Aku akan memanggilmu demikian. Tentu tidak sama dengan apa yang kutuliskan pada selembar roti sarapanku pagi ini. Aku hanya mengoleskan selai coklat. Banyak sekali selai coklat. Aku suka roti coklat untuk sarapan. Sedangkan kau, kau tak suka sarapan. Aku menyukai mendung dan kau menyukai purnama. Perbedaan-perbedaan kecil yang kita jadikan alasan untuk tidak pernah berdamai dengan perasaan yang sebenarnya.
“Bagaimana purnama bisa terlihat kalau tertutup mendung?”
“Aku tidak suka purnama.”
“Tapi kau tidak boleh egois.”
“Aku cemburu padanya.”
“Kecemburuanmu tidak beralasan.”
“Sangat beralasan. Kau memujanya.”
“Apa yang salah dengan memujanya?”
Apa memang tidak ada yang salah? Aku hanya ingin kau melihatku, bukannya bulan bulat sempurna. Itu saja. Tapi kau selalu menganggap aku sebagai sesuatu yang memang sudah seharusnya ada tanpa perlu diperhatikan. Seperti batu-batu atau rerumputan di pinggir jalan. Tak ada yang istimewa dariku.
“Purnama memang sering kali menjadi inspirasi para penyair menulis puisi. Tapi bagiku, purnama adalah satu-satunya alasan. Kau mengerti?” kamu berkata demikian.
Aku sudah membaca banyak sekali tullisanmu tentang purnama. Tentang malam tak pekat dan sinar keemasan yang dipancarkannya. Yang membuat hatimu terpaut. Menggantung hangat di atas sana. Aku berusaha memahami kenapa kau begitu tergila-gila padanya sampai membuatmu mengabaikan setiap gadis lain. Tapi belum. Sepertinya aku belum mengerti.
“Kenapa kau tidak jatuh cinta pada benda langit lainnya? Bintang, atau meteor?”
“Cinta itu tidak sesederhana matematika yang dalam persamaan kuadrat bisa disubtitusi. Aku mencintai dia saja. Aku tidak berharap mencintai siapaun, atau apapun lagi?”
“Selamanya?”
“Ya.”
“Kalau begitu kau tidak akan pernah menikah? Hanya karena kau mencintai satu benda mati yang bahkan belum tentu tahu kau memujanya?”
“Aku akan menikah. Ngomong-ngomong, tanpa dia tahu aku memujanya, aku sudah cukup puas kok.”
“Lalu bagaimana kau akan menikah?”
“Dengan sah.”
“Aku sudah tahu itu. Maksudku, kalau kau memutuskan hanya akan mencintai dia selamanya, bagaimana kau memilih istrimu?”
“Akan kubiarkan keluargaku yang memilihkannya untukku.”
“Serius?”
“Tentu saja. Toh aku masih akan mencintai satu purnama. Dijodohkan tidak membuatku rugi apa-apa.”
“Itu tidak adil. Kasihan istrimu. Bagaimana perasaannya kalau dia tahu ternyata kau tidak mencintainya?”
“Justru karena itu. Dia perlu tahu. Aku akan mengatakannya sejak pertama.”
Kalau gadis itu aku, maka aku pasti sangat berduka. Dia pikir pernikahan itu apa?
“Memangnya ada gadis seperti itu?” aku mulai emosi. Di luar dugaanku, kau tertawa terbahak-bahak.
“Hei, jumlah perempuan di dunia sudah semakin banyak. Seorang gadis yang mendapatkan jodoh lelaki baik-baik yang menikah hanya sekali dan tidak selingkuh saja sudah patut disyukuri.”
Kita memang selalu berdebat mengenai hal ini. Aku percaya pernikahan itu harus didasarkan pada cinta yang murni. Sedangkan kau, percaya cinta atau tidak, menganggap pernikahan hanya sebagai legalitas hubungan seks. Kau tidak menganggapnya lebih dari itu. Kau tidak pernah melibatkan unsur cinta. Dan kalau aku masih berkeras pada pendapatku, kau mengatakan aku tidak akan pernah menikah.
Aku mencintaimu. Kata-katanya hanya sesederhana itu. Tapi aku malas mengakuinya. Rasanya aneh saja tiba-tiba berkata demikian di tengah-tengah pertengkaran. Kepala batu bertemu kepala logam. Kita memang tidak serasi.
Kita sama-sama tidak pernah mau mengalah. Meski dalam hal ini kadang-kadang aku terpaksa berhenti mendebat. Bukan karena aku mengalah. Aku hanya capek. Sebagian besar pertengkaran kita tidak disebabkan oleh hal yang bersifat penting atau mendesak. Kita bertengkar hanya karena masalah-masalah sepele. Seperti anak kecil yang berdebat mengenai mana yang lebih keren, ultramen atau power ranger?
“Aku ingin pelihara kura-kura,” aku bilang.
“Jangan konyol. Kau tidak bisa memelihara apapun..”
“Aku ingin memelihara satu.”
“Apa kau sudah lupa, semua binatang yang kau coba pelihara mati.”
“Memangnya itu salahku?”
“Lalu salah siapa lagi?”
“Siapa tahu itu memang sudah takdirnya untuk mati.”
Kau diam kali ini. Mungkin sama sepertiku, kadang-kadang kau juga merasakan lelah berdebat untuk sesuatu yang tidak ada gunanya.
“Kau mengatakan padaku bahwa kau akan membiarkan keluargamu memilihkan jodoh untukumu,” kataku. Kau menoleh. Tidak menyahut. Hanya terlihat malas.
“Bagaimana kalau ada seorang gadis yang melamarmu?” Tanyaku kemudian.
“Tidak masalah,” kau menjawab.
“Kau akan menikahinya?”
“Ya. Jadi aku malah tidak usah repot meminta keluargaku untuk memilihkan jodoh. Dan lagi, aku memiliki tambahan keuntungan. Aku tahu kalau gadis yang akan kunikahi benar-benar mencintaiku. Maksudku, tidak mungkin seorang gadis melamar seorang lelaki kalau tidak karena jatuh cinta kan? Kalian itu, selalu memikirkan cinta di atas segala-galanya,” kau berkata panjang lebar.
“Kalau begitu, menikahlah denganku,” aku menyahut cepat. Mungkin bahkan terlalu cepat sampai kau tidak menangkap kata-kataku.
“Menikahlah denganku!” aku mengulanginya dengan pelan dan tegas. Kau terpana.
“Tidak!”
“Tapi tadi kau mengatakan akan menikahi gadis yang melamarmu.”
“Tapi bukan kamu.”
“Memangnya kenapa? Aku mencintaimu.”
“Justru karena itu. Jangan jatuh cinta padaku. Aku bukan orang baik.”
“Kan kamu yang bilang, mendapatkan satu jodoh pria yang hanya menikah sekali dan tidak selingkuh saja sudah patut disyukuri. Lagi pula aku tidak terlalu peduli. Apa salahnya jatuh cinta pada orang yang tak baik?”
“Kita sebaiknya…” kata-katamu terputus. Aku menunggu.
“Sebaiknya kau jangan hubungi aku lagi!” putusmu kemudian.
“Apa kau membenciku karena aku mencinntaimu?”
“Bukan.”
“Lalu apa?” aku bertanya tidak sabar. Terang-terangan menyatakan cinta padamu saja sudah membuat harga diriku retak. Tambahan aku memintamu menikahiku. Apa tak terbayang sedikitpun olehmu bagaimana perasaanku saat ini?
Kau menghela nafas panjang. Aku tidak mengerti apa sebenarnya yang terlalu berat. Kau sendiri yang mengatakan selamanya hanya akan mencintai satu purnama. Dan menikahi siapa saja tidak akan menjadi masalah. Lalu kenapa mendadak ini menjadi masalah yang begitu beratnya?
“Aku rasa itu salah. Aku merasa tidak ingin.”
“Tapi kau bilang….”
“Waktu itu aku hanya asal menjawab, oke? Jangan tanya lagi!”
Aku seperti dikutuk menjadi patung karena mendadak seluruh tubuhku sampai otak kaku tak bisa digunakan. Aku tahu perdebatan kita selama ini tidak ada artinya. Tapi aku sendiri selalu menjawab karena meyakini jawabanku adalah benar. Bagaimana mungkin kau hanya asal menjawab?
“Aku mencintaimu.” Belum habis pertanyaan- pertanyaan dalam benakku terjawab, kau malah mengatakan hal yang tidak masuk akal.
“Kalau begitu klop!” aku berseru.
“Tidak. Aku tetap tidak akan menikahimu.”
“Kenapa lagi?”
“Aku rasa ini tidak benar. Itu saja. Aku harap kita akan terus berteman.”
“Jadi kau menolakku seperti anak remaja ya? Baiklah! Toh, kalaupun kita tidak menikah tidak ada yang dirugikan,” aku meninggalkanmu. Dengan ribuan perasaan dongkol di hati. Barteman? Yang benar saja. Aku juga sering menggunakan alasan itu untuk menolak seseorang. Jadi aku tahu itu juga hanya alasan. Tidak lebih. Dasar bajingan.
Aku sudah lama sekali tak mendengar kabar darimu. Aku sudah mencoba membunuh perasaanku sendiri padamu. Aku selalu menganggap setiap lelaki yang mengabaikanku tidak cukup layak untuk dinanti. Jadi aku menjadikannya ringan. Berusaha untuk tidak memikirkan apapun lagi tentangmu sampai suatu waktu aku membaca berita di internet. Seorang Pria Menikahi Purnama. Dasar gila!
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar



               Kalian yang sudah berteman lama denganku pasti tahu kalau aku punya banyak teman yang nggak kelihatan. Sekarang aku udah jarang ngobrolin mereka sih, tapi mereka masih ada kok.
               Temen yang nggak kelihatan itu apa, Pel? Hantu?
               Bukan lah. Atau iya juga ding. Maksudnya aku menyebut mereka hantu tapi mereka bukan hantu. Mudeng nggak?
               Apa mereka nyata? Yup, for me, they are so real. Apa kamu bisa melihat mereka? Of course! Apa mereka ada wujudnya? Hell, yeah!
               Tadinya aku juga bingung mereka itu apa. Tadinya tak kirain bagian dari kegilaanku saja yang kesepian. Kalau aku cerita ke Ibing juga Ibing kalem aja karena kan Ibing paham kalau aku emang kurang waras. :D Tapi sekarang akhirnya aku sudah tahu mereka ini apa tepatnya.
               Sampai sejauh ini ada empat sosok. Yang ternyata keempat sosok itu masing-masing mewakili karakterku. Iya, jadi aku kan membingungkan. Kepribadiannya kompleks. I’m not one but many. Dan masing-masing kepribadian itu sering bertengkar dengan yang lain. Dulu, sebelum adanya sosok-sosok yang nggak kelihatan ini ya aku pusing sendiri karena aku seperti bertengkar dengan diriku sendiri. Tapi sejak muncul sosok-sosok itu kepusinganku berkurang. Seenggaknya aku merasa bisa berdialog dengan orang lain meskipun orang lain itu adalah bagian dari diriku.

Haf

               Haf ini sosok yang pertama muncul. Tahun 2014. Munculnya pertama kali pas aku lagi galau patah hati gara-gara jadi korban PHP. Hahaha. Ya ampun Pel, rapuh amat jadi manusia. Tapi serius. Soalnya pas itu rada berat patah hatinya. Buat ngelupainnya aja butuh waktu setahun lebih. Silakan diketawain aja gpp. Soalnya aku toh sudah menemukan hikmah kenapa akhirnya kami nggak berjodoh yang bakal tak ceritain di posting berikutnya. Hahaha. #SelaluAdaCelah
               Sebenernya semua teman nggak kelihatanku itu nggak punya jenis kelamin sih harusnya. Tapi kalau di kepalaku, Haf ini laki-laki. Satu-satunya yang laki-laki. Wujudnya kaya peri kecil seukuran capung rada gede dikit. Sifatnya dia itu tegas, straight talker, sarkastis, sinis, sadis, galak, simple, dan rada nggak punya perasaan. Aku banget lah. Haf ini yang suka marah-marahin kalau aku mulai kumat lebaynya. Buat dia semua masalah itu sebenernya sederhana kalau nggak dipikir ribet. And he’s right.
               Jadi misalnya aku lebay meratap-ratap bilang “Aku nggak ada gunanyaaaaa,” gitu misalnya, dia akan bilang “Iya, emang. Baru nyadar? Ya kalau mau berguna do something dong!” gitu. Hahahaha. Anehnya, meskipun dia galak dan suka nggak punya perasaan, aku nggak pernah sakit hati kalau dikatain gimanapun juga sama dia. Habisnya bener sih.
               Trus misalnya aku sedih patah hati gitu dia akan bilang “Kamu udah tau dia nggak cinta kamu. Sekarang kamu punya dua pilihan: jadi bodoh dan terus nyedihin dia yang nggak peduli sama kamu, atau kamu sadar dan move on. Buat dia menyesal!” gitu. Menohok kan? Kalau kamu berhati lembut, saranku, jangan curhat sama Haf sih. Kata-katanya hanya untuk orang-orang yang tegar.
               Bagi Haf, semua masalah adalah sederhana dan solusi itu ada di mana-mana kalau kita mau sedikit saja berpikir. Makanya sepanjang waktu ekspresi dia ya kaya males-malesan dan bosan gitu. Seolah mengatakan “Yah, manusia. Gitu aja diributin.”

Lucile

               Muncul nggak lama setelah Haf. Agak lama ding, aku lupa tepatnya. Kalau Lucile ini kebalikannya Haf. Dia cewek cantik lembut hatinya dan pendengar yang baik. Dia juga sosok yang peduli pada keindahan dan gaya hidup sehat. Dia benci melihat barang-barang nggak berada pada tempatnya. Dia selalu mengingatkanku untuk berolahraga for the sake of keeping shape, dan iyaa dia jugalah yang kreatif dan suka hal-hal seperti ngecraft, bikin diy, merajut, dan semacamnya.
               Lucile ini membelah hatiku jadi dua dan membuatku bingung sebingung-bingungnya. Sebelum ada Lucile, aku nggak suka dandan. Aku ngomongin dandanan tadinya cuma demi jualan aja. Ahahah. Tapi dengan Lucile, entah kenapa aku malah jadi suka beneran. Makanya aku sampai bikin beauty blog segala meskipun nggak pernah diurusin.
Makanya kalau ada di antara kalian yang merasa aneh karena aku yang nggak fashionable blas ini tau-tau suka main baju-bajuan, Lucile-lah penyebabnya. Dia juga yang ngasih ide jualan craft sama bantal. Lha aku sebelumnya mana pernah kepikiran coba buat bisnis bantal dan ngecraft yang kegiatan utamanya itu ngejahit dan bikin printil-printil kaya gitu?
               Dia juga yang sempat membantuku jadi penjual baju yang nyaris sukses. Dia sangat menikmati acara mengombinasikan baju, mix n match, ngedandanin mannequin, dan yes, ngasih fashion advice. Kalau nggak saking hebatnya Lucile, nggak mungkin dulu aku sampai punya pelanggan yang datang lagi berkali-kali karena menurut mereka aku punya gaya dan mereka pengen dikasih saran. Dan bahkan pernah orang mau beli baju yang lagi aku pakai hanya karena kepengen dan stoknya sudah habis. Iya, Lucile sehebat itu.
               Tapi Lucile pendiam anaknya. Dia suka bekerja dalam diam, dan seperti yang aku sudah bilang tadi, dia pendengar yang baik. Jadi, kalau kamu kepengen curhat, Lucile adalah orang yang tepat. Gara-gara itu, aku jadi sering dicurhati. Bukan karena aku bisa ngasih saran yang hebat, tapi semata hanya karena aku akan mendengarkan curhatan orang itu. Kata Lucile, orang curhat itu sebenarnya hanya butuh didengerin, kita nggak usah banyak ngomong. Wew.
               Dan karena Lucile lembut hatinya, dia juga jadi gampang iba. Dicurhatin dikit, malah ikut kepikiran sampai berjam-jam. Hahaha. Sensitif banget perasaannya. Kalau lihat ada kucing pincang di pinggir jalan, Lucile akan teriak suruh ngajak kucingnya pulang buat dirawat.
Tapi dia jarang muncul dalam wujud fisik sekarang. Dia nggak suka sama kosku yang sekarang. Katanya terlalu kaku dan nggak menarik. Dia udah berkali-kali membujuk dan ngasih ide buat mempercantik kos biar lebih instagramable, tapi apalah daya, ntar dimarahin pak kos. Hahaha.

Purple

               Waini. Munculnya tahun 2015. Purple itu playful anaknya. Kekanakan, polos, dan ceriaaaaaa terus nggak peduli kondisinya lagi seberat apapun juga. Dia ini sosok yang bisa bikin sesuatu yang menyedihkan dan bakal membuat siapapun menangis pilu, menjadi sesuatu yang lucu.  Dia bisa menemukan kelucuan di manapun dia berada, ke manapun dia melihat.
               Dia selalu punya ide jahil di kepalanya. Senyumnya juga senyum jahil. Prengas prenges gitu. Kalau jalan nggak pernah biasa. Pakai acara jingkrak-jingkrak. Dia suka bikin aneh-aneh kaya misalnya ngajak main kepang-kepangan biar rambutnya kaya medusa, dandan kumis-kumisan, dan wah, pokoknya yang aneh, gila, dan nggak penting, itu dari dia semua idenya. Dia juga kebalikan dari Lucile. Kalau Lucile dewasa, Purple itu kekanak-kanakan banget.
               Yang hobi nyanyi sambil joget-joget sendiri di atas kasur pura-puranya lagi di panggung? Purple. Yang hobi nonton Barbie sambil ngemil kwaci? Purple. Yang kalau lagi makan es krim trus ada anak kecil ngeliatin bukannya ngasih tapi malah ngiming-imingi? Purple. Yang suka korek-korek udel trus ngoser-oserin baunya ke hidung Ibing? Purple. Jadi kalau kelakuanku lagi cengengesan nggak jelas dan kelakuannya kaya orang gila, semua itu gara-gara Purple. Purple itu kaya Peter Pan. Dia nggak pernah tumbuh dewasa. Umurnya 6 tahun. Kayaknya sih.
               Tapi karena dia ini bahagia terus, dia jadi nggak tersinggungan. Kebalikannya Lucile. Lucile itu perasa. Baru ada orang nggak suka sama aku di pikiran aja Lucile tahu. Sedangkan Purple, kalau ada orang yang nggak suka, nyinyir, ngomong di belakang gitu dia akan cuek-cuek aja. Dia punya prinsip: hate me as much as you want, I’m cute anyway. -_-

Piqui

               I love Piqui sooooo much. Muncul paling akhir, 2016 lalu pas Haf pamit mau pergi (sekarang sudah sering muncul lagi, yaaaay!). Dia itu anaknya sistematis, rapi, efektif. Kalau ada Piqui, kerjaan yang biasanya baru selesai dalam waktu tiga hari bisa selesai dalam waktu sehari. Dia bisa bikin aku menyelesaikan banyak sekali hal tanpa satupun terlewat. Dia bisa bikin aku ngerjain banyak hal berguna dan masih punya banyak waktu untuk bersenang-senang.
               Sejak ada Piqui, aku jauh lebih produktif dari yang pernah kulakukan selama bertahun-tahun. Tapiiiii, faknya, dia itu sering banget ngilang. Sering banget libur lamaaaaaa dan nggak pernah kelihatan. Sekalipun tak panggil-panggil saat aku membutuhkan.
Dia itu keras kepala, semaunya sendiri, nggak mau diatur. Kalau seandainya dia manusia dan dia kerja di perusahaan manusia, dia pasti bakalan dipecat nggak peduli seberapa bagus kinerjanya.
               Lha pas banget beberapa hari kemarin ini aku merasa nggak bergairah dan nggak produktif sama sekali. Tak panggil-panggil, dianya nggak nongol. Padahal kalau dia nggak nongol itu aku mendadak oon, nggak tau harus ngapain. Tau sih, harus ngapain, cuma nggak ngerti mau ngerjain yang mana dulu. Segalanya jadi nggak efektif lah pokoknya.
               Kemarin malam dia tiba-tiba muncul membawa sederet to do list dan dengan tenangnya ngasih instruksi, “Gini lho Pel, ini dulu, lalu ini, ini, ini. Kan udah pernah tak bilangin. Masa lupa?”
               Diomelin gitu aku ngomel balik, “Lha kamu ke mana aja? Ke mana perginya kamu di saat aku lagi butuh? Kamu itu pinter banget, Piqui. Sangat membantu. Tapi libur libur mulu,” dengan pandangan mata menghujam menghakimi. Dan dia bilang apa coba? Aku nggak akan lupa yang dia katakan malam itu, soalnya gara-gara omongannya itulah aku akhirnya paham semua ini dan menuliskan ini semua (apa banget ini kalimat). Dia bilang “What? I’m just like you: brilliant but lazy,” kemudian ngeloyor pergi meninggalkanku terbengong-bengong di kamar mandi.
               Gara-gara omongan Piqui itu aku jadi ingat omongan seseorang belum lama ini yang mengatakan “Kalau aku punya kepalamu, sudah banyak karya yang tercipta,” trus omongan orang lain dulu yang bilang “Kamu punya potensi. Ide-idemu out of the box. Cuma nggak tau bakal sukses apa enggak kalau kamunya kaya gini,” dan omongan-omongan lain yang sejenis. Aku nggak mau kegeeran sih, tapi mereka semua benar. Semua orang punya potensi. Semua orang bisa menjadi sukses dan hebat kalau rajin dan semangat. Bahkan yang difabel aja bisa berkarya kok kenapa aku yang sehat wal afiat sempurna malah sibuk ngegalauin diri sendiri?
               Trus aku jadi mikir lagi. Piqui was right. She is just like me. Kalau gitu, Haf, Lucile, Purple … wah pantas saja. Dan detik itulah aku baru memahami ini semua. Kalau mereka itu bukan sosok aneh-aneh. Mereka itu sesederhana pecahan dari diriku karena kepribadianku yang kompleks. Mereka semua adalah aku.

Trus bagaimana dengan aku yang asli?

Aku yang asli sebenarnya melankolis anaknya. Rapuh banget. Putus asa, ketakutan, lelah, dan memilih untuk bersembunyi dalam kegelapan. Mereka berempat menyelamatkanku. Contohnya saja pas aku depresi berat dan sudah pengen bunuh diri, mereka melakukan peran mereka dengan sangat baik.
               Haf muncul dan bilang “Sebenernya terserah aja sih kamu pengen mati juga. Tapi kalau kamu bunuh diri di sini, kamu akan bikin repot banyak orang. Anak-anak kos bakal ketakutan, Pak Kos bakal kebingungan, dan kamu bakal nyusahin Mbak Siti dan Pak Abu yang harus terpaksa ngebersihin TKP. Belum lagi Ibing pasti akan jadi orang pertama yang diinterogasi karena dia adalah orang terakhir yang ketemu kamu. Kamu bosen hidup? Terserah. Tapi kamu mau, kematianmu malah nyusahin banyak orang?”
               Aku udah bilang kan, dia itu nggak ada lembut-lembutnya sama sekali. Lucile tentu saja ada buat memeluk dan ngepuk-puk sementara aku mencerna omongan Haf. Akhirnya aku pikir, bener juga. Hidup ngasih manfaat enggak, matinya malah bikin susah. Setelah aku menerima omongan Haf sambil sesenggukan, Purple dengan cerianya bilang “Santai aja lah, Peeeel Pel. Serius amat. Masih banyak yang fun fun lhoo,” trus ngingetin kenangan lucu-lucu yang bisa bikin aku tersenyum dan akhirnya ketawa.
               Setelah reda semuanya, aku udah baikan, Piqui muncul dan ngingetin kalau aku masih punya proyek ini itu, masih punya impian ini itu, masih banyak orang yang harus dibantu, dan lain sebagainya. Aku jadi semangat lagi.
               Hebat kan, mereka. Aku bersyukur banget dengan kemunculan mereka. Kalau nggak ada mereka, mungkin sampai sekarang aku masih kesusahan memahami diri sendiri karena memang terlalu kompleks dan membingungkan. Bertengkar dengan diri sendiri itu melelahkan. Gagal memahami diri sendiri apa lagi. Bisa jadi gila beneran.
               Tentu saja mereka suka bikin bingung juga. Misalnya saja kalau ada orang jatuh. Lucile akan secara otomatis bergerak menolong. Purple? Dia akan ngetawain. Jadi apa yang kulakukan? Yes, nolongin sih, tapi sambil ngempet ketawa.
               Sudah terjawab kan sekarang kenapa aku punya banyak ketertarikan yang bertolak belakang, kenapa aku suka berubah-ubah sifatnya, kenapa aku aneh dan membingungkan. Aku juga masih belum bisa menghandel ini dengan sangat baik sekarang (Oh, andai saja Piqui nggak kebanyakan libur), tapi setidaknya memahami ini saja sudah merupakan satu langkah maju. Ternyata aku nggak berhalusinasi. Aku cuma ngomong dengan diriku sendiri.
               Buat siapapun yang juga berkepribadian kompleks di luar sana, nggak usah bingung. Mungkin nggak semua orang punya sosok-sosok berwujud kaya di kasusku, tapi aku yakin seiring berjalannya waktu, kamu akan bisa memahami dirimu sendiri dan menghandle kekompleks-an itu sehingga nggak kelelahan lagi. You are not alone.
               Butuh teman curhat? Curhatlah kalau sedang ada Lucile, jangan pas Haf yang menguasai. Hihi. Jangan curhat sama Purple juga. Dia sih ndlewer, nggak pernah bisa serius anaknya. Nanti kamu tersinggung kalau udah curhat panjang lebar tapi malah diledekin. Piqui? Oh, dia terlalu malas untuk mendengarkan.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar



              I hate crowd. Aku nggak tau sejak kapan tepatnya, karena dulunya enggak, tapi akhir-akhir ini aku merasa sangat nggak nyaman kalau harus berada di tengah bwaaanyak orang. Kalaupun terpaksa harus berada di tempat rame, aku akan berusaha berada sejauh mungkin dari kerumunan yang padat dan nggak akan lama-lama. Kenapa? Karena kalau berada di tengah banyak orang kaya gitu aku akan merasa pusing, mual, dan anehnya, kelelahan.
               Makanya pas malam tahun baru kemarin, sama seperti tahun baru-tahun baru sebelumnya, aku nggak berencana keluar buat kembang apian. Lagian kembang apinya gitu-gitu aja palingan. Aku udah tau bakalan lebih bagus kembang api kalau pas imlek nanti. Hehehe.
               Meskipun nggak niat tahun baruan, tapi aku tetep keluar sama Ibing. Buat apa? Buat makan malam. Iya, rencananya sesederhana itu. Namun karena sejak sore itu kami malah keasyikan ngobrol nggak tau apa, kami keluarnya kemaleman, dan kalian tahu apa yang terjadi? Kami terjebak macet. Nggak bisa gerak sama sekali pas di alun-alun (karena tadinya nggak menduga kalau alun-alun sudah sepadat itu) sampai jam 12 malam dan akhirnya nonton kembang api juga meskipun dengan bete.
               Begitu acara kembang apinya bubar, orang-orangpun semuanya langsung ikut bubar. Dan bubarnya ini sama sekali nggak beraturan. Orang jalan di jalan raya, umpel-umpelan sampai yang bawa motor ngalah diem nunggu agak renggang.
               Berada di kerumunan saja sudah bisa bikin aku kelelahan. Ini ditambah pas kondisi badan masih nggak fit. Sempurna sudah penderitaanku. Saking padatnya, sampai aku mau turun dari motorpun nggak bisa. Jadi nggak ada jalan keluar sama sekali dari situasi menjebak itu. Well, ada sih, terbang. Tapi kan hukum sihir melarang penggunaan sihir di depan muggles. Apalagi mugglesnya sebanyak itu. Repot nanti harus menghapus memori dari mereka semua.
               Ya sudah, aku bersabar. Memandang ke atas biar nggak terlalu pusing sambil tangan stand by di kanan kiri melindungi badan karena orang-orang itu minta ampun deh, jalannya nggak bisa biasa. Harus banget pakai sikut-sikutan.
               Sementara aku berjuang dengan diriku sendiri biar nggak panik (kalau panik takutnya bakal sesak nafas), mendadak aku merasakan sentuhan di pinggulku. Aku posisinya di boncengan motor ya itu. awalnya tak pikir wah, nggak sengaja palingan lagi rame gitu. Tapi perasaan dari tadi orang nyikut-nyikut, nyenggol-nyenggol juga cuma di lengan sama bahu deh palingan. Tak toleh, ada anak cowok gitu usia 20an lah yang menempelkan punggung jari-jarinya. Tak sikut-sikut, nggak bisa wah, soalnya badanku posisinya kehimpit banyak orang jadi susah geraknya. Dan cowok itu terus jalan. Sambil terus jalan dia menyentuhkan punggung jari-jarinya di sepanjang paha kiriku. Mulai dari pinggul sampai lutut.
               Selama beberapa detik yang berharga aku malah tercengang sambil mikir “Sengaja nggak sih?” sampai kemudian pas posisinya udah agak jauh, itu cowok menoleh dan … tersenyum. Senyum yang bikin aku merinding. He touched me in purpose. It’s a light touch, but it’s still a touch.
               Begitu menyadari itu, hal pertama yang kurasakan adalah marah, detik berikutnya, aku merasa kotor, dan detik berikutnya, ya, seperti yang sudah bisa kalian tebak mengingat kebiasaan burukku, aku merasa bersalah. Aku merasa bersalah kenapa aku nggak cepat tanggap? Kenapa aku kelamaan mikirnya? Kenapa aku terlalu berbaik sangka? Dan kenapa kenapa lainnya.
               Kalau aku sadar lebih cepet, seenggaknya aku bisa ngasih pelajaran. Seenggaknya dia harus tau kalau aku nggak terima digituin. Tapi momen berharga itu kulewatkan begitu saja. Goblok ya kan? Mungkin dia udah kaya gitu dari tadi. Memanfaatkan kerumunan buat nyentuh cewek-cewek. Kalau dilihat dari senyumnya sih dia sangat-sangat menikmati itu. Mungkin bahkan dengan melihat ekspresi tercengang telat mikirku dia malah lebih puas lagi.
               Pakaianmu mengundang buat disentuh-sentuh kali, Pel? Enggak, nyet! Magelang itu dingin dan itu malam aku keluarnya. Aku pakai jins panjang, jaket, helm, sepatu. Ketutup rapet dari ujung kepala sampai ujung kaki. Nggak kelihatan seksi sama sekali. Dan aku itu posisinya mbonceng Ibing lohh. Ibing itu tampangnya kurang mengintimidasi gimana lagi coba?
               Aku sedih banget sampai udahannya aku cerita panjang lebar sama Ibing. Pas kejadian Ibing nggak tau sama sekali. Kalau tahu, mungkin itu cowok sudah nggak punya wajah sekarang. Aku emang bukan cewek baik sok suci belum pernah disentuh laki-laki, tapi mendapatkan sentuhan yang tidak diinginkan itu membuatku jijik, sumpah. Sampai rasanya pengen kungkum di larutan antiseptik selama dua belas bulan kalau saja itu nggak berlebihan.
               Soal pelecehan kaya gini, kalau disentuh aku baru mengalami sekali ini. Mungkin karena itulah aku nggak langsung tahu apa yang harus dilakukan karena rada shock. Pikiran lagi lengah juga. Tapi, bertahun-tahun yang lalu aku pernah mengalami pelecehan juga. Nggak disentuh sih, cuma dipandangin.
               Kejadiannya di angkot (yang juga penuh sesak). Waktu itu aku adalah mahasiswa baru. Masih unyu banget lah pastinya. Pakaianku waktu itu juga jins, jaket, sepatu, dan bawa tas ransel besar (maklum habis pulang kampung). Nggak seksi sama sekali. Di depanku agak serong (nggak di depanku persis) ada bapak-bapak yang ngeliatiiiiin terus. Dari ujung rambut sampai ujung kaki dilihatin bolak balik dengan tatapan yang bikin aku mendadak pengen muntah meskipun nggak mabuk darat. Tak pelototin (biasanya orang kalau ngelihatin trus dilihatin balik bakal nunduk) eh dia malah tambah seneng ngeliatin akunya. Aku sampai salah tingkah.
Padahal aku mangku ransel. Jadi kalaupun celanaku mepet membentuk kaki, kaki itu ketutupan. Dan kanan kiriku ada orang mepet-mepet. Jadi bentuk tubuhku sama sekali nggak terekspos. Waktu itu meskipun aku pakaiannya rapet, aku merasa kaya telanjang. Dan waktu itu aku malah lebih parah. Emang bener-bener nggak tau harus ngapain. Umurku juga palingan baru 17 waktu itu (set dah, hampir sepuluh tahun ya, sejak aku jadi maba?). Untungnya orang itu turun duluan. Dan pas turunnya, tentu saja dia melemparkan senyum najong yang membuatku jijik bahkan sampai hari ini.
Beberapa waktu yang lalu, sebelum kejadian malam tahun baru itu aku sempet baca-baca cerita pelecehan seksual di tempat umum, dan rata-rata korbannya emang pada nggak tau harus gimana karena saking shocknya. Ada rasa nggak percaya, ada rasa bingung, apalagi yang baru pertama kali mengalami. Pas baca itu aku mikir “Wah, kalau aku sih pasti bakal gini, pasti bakal gitu, nggak bakal diem aja, bla bla bla,” tapi apa jal, pas kejadian beneran toh aku shock juga dan telat ngambil tindakan.
Padahal sebelum-sebelumnya aku udah selalu persiapan lho. Aku bahkan sama Ibing sering latihan. Pura-puranya Ibing jadi cowok kurang ajar, aku jadi korbannya, trus aku harus gimana. Ibing sering ngasih arahan, “Kalau dipegang kaya gini, langsung gini gini gini, ndut,” dan bla bla bla. Bahkan latihan kalau seandainya aku sendirian dan orangnya go way too far, harus ambil gerakan gimana aja sebelum lari nyari bantuan, dan sebagainya. Training mah lengkap. Tapi pas di lapangan, ternyata aku sama sekali belum siap. Kenapa? Karena sama sekali nggak terduga, dan kedua, kelamaan mikir. Ini pelajaran banget emang harus senantiasa konsentrasi dan waspada apapun kondisinya.
Kalau seandainya nanti kejadian lagi (ih, jangan sampai sih), mungkin aku bakal sudah lebih siap dan cepet ngambil tindakan. Sama kasus kaya cat call. Dulu pas masih culun pertama kali di cat call itu aku bakal nunduk dan jalan cepet-cepet (yang bikin si cat caller ini malah tambah semangat). Lama-lama aku tahu harus gimana. Bahkan emang posisi lagi pakai baju seksipun udah nggak ada yang cat call lagi. Kalaupun ada yang berani, udah pasti bakal menerima akibatnya. Orangnya bakal tak buat kewirangan pokoknya.
Setelah ngobrol panjang dengan Ibing, kami menarik kesimpulan bahwa laki-laki kaya gitu emang adaaaa aja. Kita akan menemui spesies ini di saat-saat tak terduga. Makanya penting banget untuk selalu siap dan waspada. Kalau seandainya pas malam tahun baru kemarin itu aku keluar sendiri, mungkin aku akan jauh lebih waspada sejuta kali lipat. Pas kemarin itu terus terang aja aku lengah karena aku sama Ibing, jadi tak pikir nggak bakal ada yang berani macam-macam. Eh, ternyata masih ada juga.
Pelajaran yang aku petik dari kejadian itu sih, harus tetep fokus dan waspada sekalipun nggak jalan sendiri. Trus nggak usah lah kelamaan mikir sok berbaik sangka. Kalau ada kejadian kaya gitu lagi, pegang tangannya, puntir. Pas kejadian kaget, jelas pasti iya. Tapi usahakan jangan kelamaan dan secepatnya mikir jernih biar bisa bertindak. Bedebah kaya gitu sih nggak boleh dibiarin melenggang dengan senyum bahagia. Mereka harus dikasih pelajaran.
Terakhir, ada yang mau ngasih saran nggak terkait kejadian ini? Atau masukan buat semua cewek di manapun berada kalau mengalami kejadian serupa? Aku tunggu banget yah komennya. Makasih udah baca. Mudah-mudahan nggak ada lagi cewek yang dilecehkan. Kalaupun ada (karena laki-laki kaya gitu emang masih ada), seenggaknya kita tahu harus gimana. Maaf akunya nggak bisa ngasih saran banyak. Baru curhat doang bisanya. Hiks.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

About me

About Me

Aenean sollicitudin, lorem quis bibendum auctor, nisi elit conseat ipsum, nec sagittis sem nibh id elit. Duis sed odio sit amei.

Follow Us

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Google+
  • pinterest
  • youtube

Categories

recent posts

Sponsor

Facebook

Blog Archive

  • Juni 2021 (2)
  • Mei 2021 (3)
  • Agustus 2020 (1)
  • Mei 2020 (1)
  • Maret 2020 (2)
  • Juni 2019 (2)
  • Maret 2019 (1)
  • Februari 2019 (2)
  • Januari 2019 (15)
  • Februari 2018 (1)
  • Januari 2018 (1)
  • Oktober 2017 (1)
  • September 2017 (1)
  • Agustus 2017 (4)
  • Juli 2017 (2)
  • Juni 2017 (3)
  • Mei 2017 (1)
  • April 2017 (2)
  • Maret 2017 (8)
  • Februari 2017 (10)
  • Januari 2017 (3)
  • Desember 2016 (6)
  • Oktober 2016 (4)
  • September 2016 (6)
  • Agustus 2016 (5)
  • Juli 2016 (3)
  • Juni 2016 (8)
  • April 2016 (1)
  • Maret 2016 (6)
  • Oktober 2012 (1)
Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

  • Me and My Dream Job
  • Antikemiskinan dan Kenapa Kita Harus Kerja Gratisan
  • Mengganti Foto Profil di PayPal Aja Aku Nggak Bisa
  • PESAN MORAL LOMBA-LOMBA AGUSTUSAN
  • Tentang Anak Durhaka

Yang Nulis

Isthar Pelle
Lihat profil lengkapku

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates