• Home
  • About
  • Contact
    • Category
    • Category
    • Category
  • Shop
  • Advertise
facebook twitter instagram pinterest bloglovin Email

MADGIRL!


               Jujur aja ya, aku itu sebenarnya anaknya insecure, minderan, dan hobi membanding-bandingkan diri sendiri sama orang lain. Terutama sama mbak-mbak cerdas cemerlang yang pengetahuannya luar biasa dan hidupnya bermanfaat. He’em, aku nggak pernah iri sama cewek cantik atau cewek kaya, aku mindernya sama cewek pinter. T__T

               Nggak sehat banget lah buat jiwaku, aku tahu itu. Soalnya aku jadi merasa makin kecil, makin nggak ada apa-apanya, makin merasa nggak berguna, makin menyadari kalau hanya serpihan kecil remah ceriping singkong, dan seterusnya. 

               Kalau baca status teman yang bermanfaat dan luar biasa menginspirasi, aku langsung minder melihat postinganku sendiri yang isinya cuma guyon-guyon nggak lucu. 

               Baca postingan temen yang isinya syer-syeran tulisan dia di media-media yang disegani, makin minder. Apalagi setelah melihat isi blog pribadinya braaaaad banget. Jangankan blog pribadi. Status fesbuknya aja brad, berisi, berkualitas, cerdas, bernas, dll. Dia cuma mau masukin tulisan berbobot lah pasti kalau buat blog. Nha aku? Udah susah payah mengerahkan konsentrasi seharian aja postingan blognya tetep yha gitu deh. *nangis menjerit

               Sekarang setelah menyadari itu ya aku berusaha memperbaiki diri lah pastinya. Bukan dengan berusaha menjadi seperti mereka, karena itu sama saja aku menolak untuk menerima diri sendiri apa adanya dan malah berusaha menjalani hidup sebagai orang lain. Aku memperbaiki diriku dengan cara nggak membanding-bandingkan diri sendiri sama siapapun lagi. Karena kalau terus dibandingkan nggak ada habisnya, sis. Selalu ada yang jauh lebih baik daripada kita, yang lebih hebat, dst. Kalau dibandingkan terus, kapan bahagianya?

               Kemarin aku ada obrolan menarik sama mbak Agnes Dara. Bahwa tiap orang itu punya perannya masing-masing. Ada yang jadi magnet cinta kaya Mbak Agnes, ada yang (mengutip kata mbak Agnes) aneh bin ajaib kaya aku. 

               Aku trus mikir bener juga sih. Orang yang hebat banget pinter cerdas cemerlang luar biasa juga belum tentu bisa dapetin ide segila aku. Yah, maksudku, kegilaan memang bukan sesuatu yang umumnya dibanggakan sama orang, tapi tetep aja kan? 

               Bangsa sebelah merasa minder sama bangsa kita karena merasa kalah kreatif lohh, tau nggak? Produk-produk kreatif macam lagu dan hiburan lain aja mereka harus impor. Mungkin mereka cerdas, iya. Pintar, iya. Berpendidikan, iya. Tapi kurang kreatif dan itu ternyata menyedihkan. 

               Aku diberkahi alam semesta dengan ide-ide baru setiap hari. Masa aku nggak bersyukur dan malah galau memikirkan hal-hal yang aku nggak miliki? 

               Membaca orang lain untuk menjadi terinspirasi itu bagus, melihat prestasi orang lain untuk memacu semangat sendiri juga bagus. Tapi membandingkan hanya untuk sedih-sedih dan merasa kekurangan, itu salah. Sangat salah.

Menyadari Kekurangan dan Potensi Diri

               Sebelumnya, aku tipe anak yang mudah sekali menemukan berbagai kekuranganku. Aku pemalas, kurang fokus, gampang bosan, pelupa, dll. Banyak banget. kalau disuruh menyebutkan daftar kekurangan dalam semenit, aku mungkin bisa langsung menuliskannya dalam 1000 kata (oke, ini lebay). 

               Kelebihannya? Nggak. Aku nggak bisa menyebutkan kelebihanku. Lebih tepatnya, nggak berani menyebutkan kelebihan yang aku punya. Bahkan kalau ada orang yang memujiku dan menyatakan kelebihanku, reaksi pertamaku adalah menyangkal. Meskipun di luar aku bilang “Terima kasih,” tapi dalam hati aku menyangkal. 

               Tentu saja ini ada sebabnya. Aku lahir dan tumbuh besar di lingkungan yang lebih gampang menjatuhkan daripada mendorong potensi. Aku juga dulunya dikelilingi teman-teman ‘racun’ yang selalu menemukan kejelakanku dan bukannya kelebihanku. Jadi waktu itu, sekalipun aku sadar aku punya kelebihan tertentu, aku nggak berani mengakui. Dan oh, sedihnya, yang seperti itu ternyata tercetak di alam bawah sadar. 

               Sekarang setelah sadar, susah payah aku bangun kembali rasa percaya diriku. Maksudnya, tahu diri itu perlu seperti misalnya aku sadar kalau aku nggak punya bakat menggambar, maka aku nggak akan maksa untuk menjadi tukang gambar. 

               Tapi ada kelebihan-kelebihan yang memang harus diterima, misalnya ide-ide baru yang nggak tiap orang punya. Ide aneh, unik, dan lain daripada yang lain, bakat untuk menemukan kelucuan di manapun dan dalam situasi seperti apapun, dll. Itu harus aku terima, dan bukannya disangkal. Lha kelebihannya ya cuma itu itu kok, masa masih mau disangkal juga?

Tiga Langkah Hidup Bahagia

Menyadari dan Menerima Kekurangan Diri

               Ini penting. Bukan biar kita minder, tapi lebih biar kita tahu diri. Kalau udah tahu diri dan sadar akan kekurangan, kita bisa memperbaikinya. Misalnya, aku sadar banget kalau salah satu kekuranganku itu nggak fokus, gampang banget teralihkan perhatiannya. Aku mengakalinya dengan cara membuat to do list. Goalku apa? Langkah-langkah apa yang harus kulakukan untuk meraihnya? Dan itu dikerjain satu-satu sesuai urutan. Dan itu sukses membantuku fokus.
 
               Kekurangaku yang lain itu pelupa. Maka aku menulis reminder di mana-mana. Di tembok, di atas kasur, di hape, di buku catatan, dll. Dan itu lumayan membantu meskipun kadang aku harus menulis reminder tentang reminderku sendiri. -_-

               See? Dengan menyadari kekurangan kita, kita jadi bisa menemukan solusi untuk memperbaikinya.

Menyadari dan Menerima Kelebihan Diri

               Ini nggak kalah pentingnya. Dan aku yakin, bukan aku saja yang tadinya nggak berani mengakui kelebihan diri sendiri. Aku tahu alasannya klise lah. Takut dibilang sombong, dibilang ngebrag, dll. 

               Hey, maksudnya mengakui di sini itu mengakui ke diri sendiri. Tahu, sadar, oh, aku punya kekebihan ini ini ini. Aku bagus kalau mengerjakan ini, dll. Bukannya diumbar ke orang-orang, eh aku cantik lohh, aku cerdas berwawasan lohh, dan semacamnya. Itu sih namanya songong (meskipun dalam porsi yang pas dalam rangka meningkatkan kepercayaan diri, songong itu boleh. Hahaha). 

               Kalau menyadari kekurangan penting buat memperbaikinya, menyadari kelebihan penting buat meningkatkannya. Orang yang nggak tahu potensinya di mana akan cenderung hilang arah. Nggak tahu hidup harus ngapain. Mencari-cari, meraba-raba, atau lebih parahnya asal nabrak. Ngerjain gitu aja apa yang disodorkan di depan muka tanpa menyadari beneran bisa apa enggak. Memangnya kenapa kok masih banyak orang yang masih stress sama kerjaannnya? Hayooo, think again!

               Aku dulu juga sudah melewati fase nabrak-nabrak itu. Ngerjain apapun itu yang bisa dikerjain. Motivasinya lebih karena butuh uang aja sih buat makan. Hahaha. Makanya nggak heran kalau pas kerja dulu aku stress. Soalnya bukan hanya aku nggak punya potensi di situ, akunya juga nggak suka. That’s not my thing. 

               Mengenali potensi juga bisa jadi tricky buat orang yang tertarik ke banyak hal kaya aku. Jadi memerlukan pemikiran yang lebih dalam lagi. Aku suka nulis? Suka. Bagus nggak? Belum. Solusinya? Latihan terus. 

               Aku suka nyanyi? Suka bangeeet. Bagus nggak? Belum. Solusinya? Latihan terus. 

               Aku suka dagang? Suka. Bisa nggak? Bisa. Bagus nggak kemampuan dagangnya? Bisa dibilang hebat banget selama produknya aku suka. Pengalaman udah dari kecil ikut ibu jualan baju, sering jualan apa saja mulai snack sampai aksesoris sejak SD. 

               Dari ketiga hal yang menarik minatku itu, mana yang harusnya aku fokuskan sebagai pilihan karir? Yes, dagang. Kenapa? Karena di situ aku paling bagus dibanding dua bidang lainnya. Aku mungkin bisa nulis, bisa nyanyi, tapi kalau mau berkarir di situ butuh waktu karena aku nggak sebagus itu. Masih butuh banyak latihan dan kerja keras lagi.

Berhenti Membandingkan Diri Sendiri dengan Orang Lain

               Sampai sini aku udah tahu kekuranganku apa, kelebihanku apa, dan potensiku paling bagus di mana. Jadi, daripada sibuk membandingkan diri sendiri sama orang yang emang udah sukses jadi penulis, misalnya, aku mending fokus mengerjakan ‘my thing’. Nggak usah sibuk mikirin prestasi orang lain “Duh, dia udah sampai sana sana sana, udah nulis di mana-mana, udah diundang ke mana-mana,” dan lain-lain. Toh yang tulisannya bagus belum tentu bisa kalau disuruh jualan. Beneran ini. 

               Aku nggak perlu membandingkan diriku sama orang yang sering menang lomba blog karena jago bikin infografis. Sadar kalau gambar dan desain itu bukan ‘my thing’. Jadi memang tidak untuk diperbandingkan. Ya bagaimana mau dibandingin wong urusannya aja udah beda kok. Itu kan jadi kaya membandingkan kualitas sayur-sayuran sama fitur smartphone. Nggak nyambung. 

               Sadar, menerima diri sendiri, berhenti membandingkan. Nyari inspirasi boleh, membandingkan jangan. Sekarang aku nggak perlu malu lagi mengakui kelebihanku meski kelihatannya nggak se-cool bakat orang-orang. 

               Dulu kalau lagi kehilangan motivasi, aku akan stalking akun orang-orang hebat dan membanding-bandingkan mereka dengan diri sendiri, trus merasa makin terpuruk. Sekarang kalaupun stalking akun mereka, aku serap inspirasinya saja, trus ngaca sambil bilang “Girl, you're rock!”
Share
Tweet
Pin
Share
6 komentar



               Di jaman informasi serba cepat seperti sekarang ini, sering kali aku merasa telah menyia-nyiakan umur cuma gara-gara baca informasi sampah. 

               Makanya kadang kalau lagi fesbukan gitu aku cuma scroll aja, nggak baca postingan yang kalimat awalnya nggak menarik. Kalau ketemu yang menarik nha baru, baca sampai habis. 

               Bayangin aja! Hari ini semua orang sibuk memproduksi informasi. Mulai dari yang berharga sampai yang bener-bener nggak ada faedahnya bagi siapapun, bahkan diri sendiri. 

               Tentu saja aku juga termasuk dalam gerombolan nirfaedah itu. Tiap hari memproduksi sampah visual, sampah verbal, sampah kata-kata. Tiap hari. Yawlooh. Apa hidupku segitu kurangnya kesibukan ya? 

               Makanya sejak menyadari fakta yang menyedihkan ini aku mulai memfiltter diri sendiri. 
Or in this case, doesn't mean I should post it on Facebook.

               Sering kali aku merasakan ‘the urge’ untuk ngepos sesuatu yang sedap banget. Misalnya aja gosip, atau nyindir siapa gitu. Sedaaaaap. Tapi trus aku batalin karena aku akhirnya menyadari kalau itu nggak ada faedahnya sama sekali. Buat diriku sendiri aja enggak, apalagi buat orang lain? 

               Sering juga aku sotoy pengen belaga ngomentarin isyu penting yang melibatkan kepentingan khalayak. Tapi trus nggak jadi karena aku sadar diri aku nggak capable buat komentar tentang topik yang bersangkutan. 

               Kadang juga pengen jelasin tentang kesalahapahaman oknum yang nggak paham guyonanku dan menimbulkan misinterpretasi dalam komen mereka. Tapi well ya, ntar malah dikira aku baper. Jadi ya udah lah. Biarkan yang nggak paham tetap nggak paham. Nggak semua hal harus dijelaskan.

               Dan masih banyak lagi contoh lain. Yang bahkan sampai sekarang juga aku masih suka lupa ngelakuin itu. Huhuhu. Soalnya timeline berjalan begitu cepat. Kepleset jari jadi hal yang tak terelakkan. Godaan untuk serta merta nyamber ngomen hal-hal yang lagi happening itu gedeee baanget. Butuh segenap tekad dan kekuatan penuh untuk menahan diri. 

               Belum lagi pesonanya yang sungguh menyita waktu. Makanya aku rasanya suka pengen berguru ke temen-temen yang ngelola sosmednya dengan bagus, postingannya cantik nggak pernah nyinggung siapa-siapa, kalau nulis panjang dan dibaca sampai habis ada manfaatnya, dan mereka masih sempet kuliah S2, jadi dosen, ngeblog (aktif rajin banget update), nulis buku, dan baca buku filsafat. Aku kok curiga sebenernya mereka itu dewa/dewi yang menyamar jadi netizen.

Mengontrol Emosi

               Yang paling berat dari semuanya tentu saja mengontrol emosi. Seringnya, kasus kepleset jari dan asal samber itu asal mulanya tak lain dan tak bukan adalah akibat kegagalan berumah tangga mengontrol emosi.

               Ada ribut-ribut apa, tak kuasa menahan godaan untuk urun pendapat juga. Ada temen salah komen langsung ngamuk tersinggung. Ada temen posting sesuatu yang nggak berkenan di hati, langsung bikin posting tandingan, dst. Iya, ini aku lagi ngomongin diri sendiri kok. 

               Sekarang ini ibaratnya aku lagi transisi mencoba untuk sedikiiiit saja lebih sabar. Misalnya ada yang komen sotoy padahal baca postingannya aja enggak, daripada baper mending energinya kuarahkan untuk hal lain. Mengalihkan uneg-uneg yang sedianya mau distatusin itu menjadi tulisan yang rada lebih panjang buat isi-isi blog, misalnya. Hahahah.


               Sama aja sih, cuma rada lebih bermanfaat seenggaknya bagi diriku sendiri karena nulis postingan blog itu beda sama nulis status. Perlu mikir. Jadi selama nulis aku juga sekalian kontemplasi. Kalau cuma di status, ha mbok yakin, isinya cuma emosi.

Tipe-tipe Netizen

               Dari pengamatan terhadap netizen yang sering berinteraksi di statusku, aku menemukan setidaknya ada tiga tipe netizen:

1.      Yang mudeng guyonanku dan langsung nyaut guyon juga.

Orang-orang kaya gini biasanya adalah orang asik yang kemungkinan besar level kesablengannya sama kaya aku. Tahu banget caranya bercanda. Hidupnya super bahagia bin lucu. Kalau aku nyarkas, tahu banget kalau itu sarkas, dan komen sarkas juga sampai-sampai kaya serius banget. Padahal nulisnya sambil ngekek-ngekek.

2.      Yang menerima apapun yang kutulis sebagaimana adanya tanpa bisa menangkap guyonan tersirat di dalamnya atau gagal memahami kalau itu sarkasme.

Yang kaya gini tuh orang-orang lugu. Mereka benar-benar menerima segala sesuatau sesuai yang terlihat. Nggak masuk ke kedalaman. Mereka cuma ketawa pada guyonan yang jelas-jelas menyatakan guyon. Guyon tersembunyi atau yang menyamar jadi sarkasme? Mereka nggak paham. Mereka suka kebigungan sendiri karena “Pelle kok aneh, perasaan tadi bilang hobi bikin PR sama les Fisika, tapi di status berikutnya cerita kalau semasa sekolah nakal.” Nha, mereka nggak bisa membedakan mana yang cerita betulan mana yang cuma guyon.
Nggak heran kenapa temenku mam Wesiati kalau nulis status kadang dikasih keterangan “Nggak usah dimasukin hati. Ini guyon.” Soalnya orang nggak mudeng guyon semacam ini memang ada. Hehe.

3.      Yang kelewat serius.

Tipe yang selalu menanggapi apapun secara serius. Bahkan di status paling hilarious-pun mereka masih bisa banget ngasih petuah-petuah bijak yang luar biasa seriusnya. Orang-orang ini selalu mengkhawatirkan orang lain. Takut yang nulis status nggak masuk surga, takut yang nulis status nggak bahagia, dst. Padahal yang nulis status cuma becanda-becanda aja. 

Thank goodness, spesies kaya gini sama langkanya kaya populasi badak bercula satu. Kalau ada banyak, niscaya aku nggak akan sanggup lagi masuk timeline. Nggak tega, bro, kasian sama orang kaya gini.

Tujuan Bersosial Media

               Di media sosial itu ya, orang bebas mau jadi apapun, siapapun, seperti apapun. Mau jadi cantik, berbagai fitur edit-mengedit sudah tersedia. Mau jadi gaol, semua trik pencitraan juga bisa dipakai. Mau jadi playboy? Banyak caranya. Bisa dengan nulis sajak yang merontokkan hati, bisa dengan pamer harta, pamer otot, pamer kecerdasan, dll. Mau jadi terkenal? Bikin aja cerita kontraversi. Makin goblok makin cepet terkenalnya. 

               Bebaaaasss, mau jadi apa juga. Makanya aku heran kalau ada orang yang di internet itu malah memilih menjadi begitu serius. Seolah kehidupan nyata itu belum cukup bikin menderita. 

               Aku? Aku memilih untuk bahagia. Makanya aku kebanyakan becanda. Dan ketahuilah, wahai seriusers, statusku itu 99% becanda. 1% seriusnya belum tentu muncul setahun sekali. Jadi nggak usah dipikirin banget-banget, apalagi percaya. Jangan! Wong akunya aja nulisnya sambil ngakak-ngakak kok. 

               Kembali ke topik awal soal filter, yahh, itu memang berat sih. Berubah itu nggak gampang. Harus fokus dan konsisten. Aku sekarang masih seriiing begitu reaktif ikut nyamber apapun itu topik yang lagi happening. Kadang juga kelepasan nggak kontrol emosi dan jadi reaktif atas tanggapan orang (yang sebenernya nggak perlu diambil pusing). 

               Tapi kalau pas sadar, aku berusaha sebaik-baiknya buat memfilter diri. Posting cuma yang lucu-lucu aja. Jadi yah, sekalipun itu sampah informasi yang nggak ada manfaaatnya, seenggaknyaa bisa bikin orang tertawa. Setidaknya aku sendiri tertawa. Bahagia. 


               Ya lah, bersosial media buat fun-fun. Lha kalau serius sih, mending aku kuliah S3, melanjutkan penelitian-penelitian Tesla, bangun mesin waktu, mencalonkan diri jadi presiden. Karuan!
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
Image from: Lost Panda

               Kasus First Travel sedang booming heboh, di mana-mana. Buka browser, beritanya First Travel semua. Buka sosmed, orang-orang pada bahas First Travel juga. Semuanya dikuliti, dipelototi, dibahas rinci. Mulai dari tas-tas bermerek yang sering dipamerkan Anniesa Hasibuan, case hapenya yang harganya sama kaya harga satu paket umroh, sampai wajahnya yang dulu senantiasa putih bersinar dengan makeup sempurnah, yang kini jadi tampak kucel setelah dipenjara. 

               Segala sesuatunya dibahas, terutama soal gaya hidup glamor yang luar biasa lebay. Padahal di mana-mana orang kaya sungguhan itu malah gaya hidupnya santai. Remah-remah sekecil apapun termasuk masa lalunya yang pernah jualan pulsa dan burger sampai perbandingan foto-foto saat sebelum kaya dan sesudah ‘tampak’ kaya. 

               Oke lah. Hosip itu memang sedap. Apalagi kalau orang yang selama ini diam-diam kita iriin ketahuan kalau ternyata jahat. Ya kesempatan dooong. Hujat terus sampai kitanya merasa lebih baik dari mereka. 

               Ya ini aku juga iyaa. Hahaha. Aku semacam gembira banget dan menyatakan pembenaran. “Tuh, kan. Kaya raya kalau maling ya apa artinya? Mending hidup biasa-biasa aja lah, asal ga nilep duit orang.” Padahal bisa jadi itu karena aku iri aja belum pernah jalan-jalan ke luar negeri. *sedyh*

               Saking semangatnya kita menjelek-jelekkan pasangan suami istri yang kompak mampus baik dalam hal percintaan maupun kejahatan ini, kita malah sampai lupa ngebahas yang esensial. Seperti biasa lah. Orang macam aku sih, ikut heboh bahas jelek-jeleknya aja, nggak melihat ke kedalaman. 

               Padahal kalau diamati, kenapa kasus kaya gini bisa terjadi, ada masalah yang jauh lebih mendasar dan jauh lebih berbahaya: tekanan sosial. Masyarakat kita itu jagoo banget menilai orang. Kalau kelihatannya miskin, nggak dihormati. Begitu kelihatan kaya, langsung dipuja-puja. 

               Pas kuliah dulu ada satu temenku yang gaya hidupnya mewah kaya horang kayah. Kos di kosan yang mihil, pakai baju cuma mau yang branded, makan nggak mau yang kelas rendah, dan wah, haibat banget lah. Semua orang kagum padanya. Kemudian kebenaran terungkap. Ternyata dia tidak berasal dari keluarga berada, bahkan cenderung menerbitkan rasa iba. Orang tuanya hidup sangat sederhana sekali demi biar anaknya bisa kuliah. Singkatnya njemplang banget lah, gaya hidup si anak ini dengan kondisi ekonomi keluarganya. Pas ditanya alasannya apa kok dia bergaya semacam itu, jawabnya “Aku pengen punya temen.” *sick* *sedyh*

               Ada temenku satu lagi yang kira-kira hampir mirip seperti itu. Dipuja-puja karena kuliah bawa mobil dan yang paling penting, sering nraktir temen-temennya, bosque. Bajunya bagus-bagus, wajahnya cantik high maintenance nggak pernah telat perawatan kelas premium. Nggak banyak yang tahu kalau di rumah, orang tuanya sampai banyak hutang demi membiayai gaya hidup si anak. 

               Kapan dulu itu pernah ada kasus menghebohkan di twitter. Tagar #BacotSisPay jadi trending. Siapa sis Pay? Dia adalah seorang gadis yang berhutang banyak sekali sampai ratusan juta hanya demi bisa eksis jalan-jalan ke luar negeri, nonton konser Coldplay, dll. Demi biar feeds instagramnya bagus, karena foto berlatarkan pemandangan sawah sambil makan pisang emas itu sungguh kurang instagramable. 

               Orang dekatku sendiri, adik kandungnya Ibing. Berhutang ke banyak sekali orang yang jumlahnya sampai puluhan juta. Sama lah, demi biar bisa belanja baju baru terus yang bagus-bagus, makan di restoran fancy yang kalau difoto trus diupload itu nggak memalukan, trus bisa gonta-ganti hape tiap ada keluaran terbaru. Ibunya sampai shock pas tahu-tahu banyak orang ke rumah nagih hutang dan jumlahnya nggak main-main. *menangys*
Ingat ya, nggak semua yang lau lihat di social media itu benar adanya.
               Ibuku sendiri, jual-jual tanah, menggadaikan rumah, bahkan ‘menjual’ anaknya demi menunjang gaya hidup juga. Biar bisa tetep punya mobil, bisa beli barang-barang bagus, tas yang bergaya, dan seterusnya. *pedyh*

               See? Banyak banget contohnya. First Travel bukan yang pertama. Meskipun contoh yang kukasih di atas itu kecil-kecil banget jumlahnya, tapi itu terjadi. Fakta nyata yang kusaksikan sendiri. di sekitarku, orang yang aku kenal. Kecuali sis Pay sih, aku nggak kenal sama dia. Hahaha. 

               Yang aku nggak tahu di luaran sana? Aku nggak tahu. Coba di sekitar kalian ada nggak yang kaya gitu? 

Tekanan Sosial

               Dari semua kasus yang aku ceritain di atas, penyebabnya kira-kira sama. Orang pengen mendapat penngakuan, ingin diterima, ingin punya banyak teman. Karena yahh, jujur aja lah yuk, orang miskin cenderung diabaikan, orang kaya cenderung dipuja. 

               Kalau nggak percaya coba aja kamu kalau pas lagi butuh uang trus nyari pinjeman. Ada barapa banyak yang benar-benar jadi temanmu? Bandingkan dengan pas kamu nraktir-nraktir. Oh, mendadak semua orang jadi temanmu. 

               Kadang aku lihat fenomena lucu gini. Orang yang tadinya bukan siapa-siapa, tiba-tiba terkenal dan jadi social media darling. Trus mulai deh bermunculan komentar-komentar “Temen SMAku nih,” “Teman SDku nih,” “Aku pernah satu bis bareng nih,” dll. Coba kalau itu orang biasa-biasa aja? Ya orang yang ngaku-ngaku teman ini mana ada? Ingat aja enggak. Ini fakta. *ngakak*

               Sekarang lihat instagram. Yang followersnya banyak pasti yang postingannya fancy. Kecuali mimi peri. Hahaha. Dia anomali. Meskipun apa adanya kadang cuma pakai daun-daunan dan keranjang kurungan ayam aja followersnya bisa banyak. Hihihi. 

               Dari jaman sebelum ada social media dulu, orang udah biasa pamer kok. Pamer pas arisan, pas kumpul keluarga, pas lebaran, pas reuni, dll. Misal, ditanya soal kerjaan dan aktivitas akhir-akhir ini. Pasti beda nada antara yang jawab “Aku sekarang lagi ngerintis butik. Kemarin baru pulang habis fashion show di Milan,” sama yang jawab “Aku kerja di toko baju dalam pasar.” Reaksi yang diterima juga beda. Antara “Wooow!” dan “Oh.” ._.

               Beda juga yang datang cuma naik motor pitung C70 sama yang bermobil mulus, dan semacamnya. Jadi bukan sosmed yang menyebabkan kita jadi tukang pamer. Pada dasarnya manusia memang terlahir pamer. Sekarang cuma pindah tempat aja. 

               Kalau jaman dulu aja pamer-pamer itu sudah menyebabkan minder, sekarang lebih parah. Karena aktivitas pamer sekarang bisa dilakukan real time setiap saat setiap waktu, bahkan disiarkan live. Wow, haibat! Sehari bisa berapa kali pamer, bosque? Pagi sarapan cantik di pool side, siang makan mango sticky rice di restoran yang letaknya ada di puncak tower, lanjut nonton bioskop (tiketnya jangan lupa difoto), habis itu upload lagi tiket pesawat sambil check in di bandara. Jangan lupa caption “Bismillah Ostrali.” Trus poto-poto di atas pesawat dengan awan-awan megah. Malamnya dinner di restoran hotel, dan seterusnya. Besoknya jalan-jalan males-males aja ke mall terdekat. Belanja-belanja jangan lupa foto di fitting room dengan nenteng tas belanjaan yang banyaaak, dan logo hapenya kelihatan. 
Ingaaat, yang diupload yang bagus-bagus ajah.
               Upload foto lagi makan nasi sambel teri di angkringan? Duh, malu sama wifi gratis.

Kebutuhan untuk Pamer

               Nah, berdasarkan kasus di atas, setidaknya ada tiga tipe netizen. Yang pertama, kalem aja, tetap bahagia apa adanya, dan bangga pamer kesederhanaan. Lha emang intinya sama aja kok, pamer. Aku sendiri ngapain coba upload foto dandan alien satu album sampai memenuhi beranda orang-orang dan berbesar hati menerima risiko diunfriend atau diunfollow kalau nggak demi pamer keimutan? *dijitak*

               Kedua, ada yang menerima tekanan sebagai tantangan. Kerja keras ngumpulin uang buat mewujudkan impiannya: memperbaiki feeds.

               Ada juga tipe ketiga, tipe yang seperti sis Pay atau bos First Travel, yang tertekan luar dalam dan memutuskan untuk mengambil langkah apapun untuk menunjukkan “Ni lohh, aku juga bisa.” Hutang sampai nipu juga boleh lah. Yang penting masyarakat mengakui, menerima eksistensi kita, menghormati, mengagumi, dan banyak lagi. 
Bagi sebagian orang memang postingan semacam ini bikin tertekan. Kenapa aku nggak kaya? Why? Whyyyy? T__T
               Pada dasarnya apa? Pamer itu boleh saja karena diakui atau tidak, sesungguhnya pamer adalah salah satu sifat dasar manusia kok. Kalau nggak percaya, cek aja piramida kebutuhannya Abraham Maslow. Menurut Maslow, kebutuhan tertinggi kedua adalah exteem needs. Kebutuhan untuk diakui, dihargai, diterima, dipuji, disanjung, dll. Kalau itu semua sudah terpenuhi, baru puncaknya aktualisasi diri. 

               Kalau karena pengen diakui trus kamu berusaha keras untuk mewujudkannya, itu hebat! Lanjutkan! Semangat! Tapi kalau trus menghalalkan segala cara sampai merugikan orang lain, ya jangan lah. Ingat, ketika kebenarannya terkuak, nanti kamu malah akan merasakan penderitaan yang jauh lebih dalam. Pencitraan yang sudah dibangun susah payah, hancur sudah. 

               Eh, btw, aku nulis panjang lebar kaya gini biar apa? Yang buat pamer lah, kalau ini lho aku lebih baik dari kalian. Duh, Mak, aku kentekan panadol.
Share
Tweet
Pin
Share
8 komentar

Image from: Pinterest


               Kemarin (udah lamaaaa) aku baca status teman di facebook tentang pentingnya scanning teman yang bener-bener baik agar terhindar dari kekecewaan. Katanya, “Gampang aja kok. Coba lempar berita bahagiamu ke misalnya grup chat. Lihat reaksi teman-temanmu. Yang tulus ikut bahagia pasti kelihatan.” Nggak persis kaya gitu sih kalimatnya, aku lupa tepatnya. Tapi kira-kira ya begitulah. :v

               Gara-gara baca status itu, aku jadi teringat mau nulis soal topik ini (dewa blog yang baik, plis jangan hukum saya karena kebiasaan niat nulis kapan baru ditulis beneran beberapa bulan kemudian). Teman racun itu bukan mitos. Mereka benar-benar ada. Bisa jadi masih ada di sekelilingmu sekarang ini dan kamu nggak menyadarinya. Mau contoh? 

               Disclaimer: cerita berikut ini bukan bermaksud menjelek-jelekkan mantan teman, tapi sebagai gambaran aja.

               Jadi ceritanya dari dulu itu aku nggak punya banyak teman. Sekadar teman kenal aja yang saling sapa, becandaan dan sesekali haha-hihi bareng sih banyak, tapi teman dekat, atau sahabat yang bisa kupercaya, dikiiiit banget. Bisa kuhitung dengan jari satu tangan saking dikitnya. 

               Bisa dibilang kami akrab sejak SMP, dan masih terus berteman akrab sampai usia dewasa (baca: kuliah). Temen ini ada beberapa, tapi ada satu yang menurutku paling dekat. Kalau ada hal yang nggak bisa kuceritakan pada siapapun, aku ceritanya ke dia. Aku buka semua aib, semua kebodohan, cerita-cerita memalukan, dan banyak rahasia-rahasia konyol. 

               Karena aku tulus menyayanginya kaya sodara sendiri (kami bahkan saling panggil ‘sis’ sebelum panggilan itu ngetren di kalangan olshopers), aku selalu mendukungnya. Aku anaknya galak dan blak-blakan. Makanya aku suka galakin dia juga kalau misal dia melakukan kesalahan yang menurutku merugikan dirinya sendiri. That was because I love her. Aku selalu berusaha jujur apa adanya kalau ngasih penilaian, nggak ragu-ragu memujinya kalau dia melakukan hal yang keren, dan mendukungnya sepenuhnya untuk menjadi lebih baik. 

               Jadi bukan hanya hobi mengkritik dan galakin, tapi aku juga menunjukkan kelebihan dan potensinya, dan aku mendukung dia sepenuhnya. 

               Hanya karena aku begitu ke dia, kupikir dia juga melakukan hal yang sama ke aku. Kupikir, dia juga selalu mengatakan yang sejujurnya. Dan aku percaya dia, juga sepenuhnya. 

               Tahun demi tahun, aku minta pendapatnya tentang apapun. Kalau ada berita bahagia, dia orang pertama yang aku kasih tahu. Berita-berita bahagia nggak penting gitu sih, tapi kupikir dia akan ikut bahagia juga buatku. Daaan aku baru nyadar akhir-akhir ini kalau ternyata dia nggak pernah ikut bahagia atas pencapaian apapun yang kubagi ke dia. 

               Contoh gampang, saat aku bilang “Ada yang naksir aku nih,” dia malah bilang yang intinya itu bukan karena aku menarik, tapi karena lagi ‘bejo’ aja. Ketika ternyata yang naksir aku jadi banyak dan aku cerita lagi ke dia, dia bilang itu aji mumpung aja, katanya. Lagi masa-masanya laku. (Ini asli contoh yang nggak penting banget -_-)

               Trus pas cerpenku untuk pertama kalinya dimuat di tabloid, dia jadi orang pertama yang kukasih tahu juga dan dia bilang “Koyo ngene ki iso dimuat?” yang artinya kurang lebih “Jelek kaya gini bisa dimuat?” 

               Sementara aku selalu fokus pada kelebihannya dan berusaha mendukung dan memupuk rasa percaya dirinya, dia selalu fokus pada kekuranganku dan menjatuhkan rasa percaya diriku. Katanya, aku anaknya over pede (yang mungkin memang benar sih :D). Uniknya, dia selalu saja bisa menemukan kekurangan dari apapun yang kulakukan. 

               Misalnya aku foto yang rada artsy gitu, dia akan fokus ngomen lemak perutku yang ngisin-isini. Hahaha. Yaaah, pokoknya dia selalu nemu apanya yang salah, yang jelek, yang kurang, yang bisa menjatuhkanku. 

Cuhat Masa Kini

               Kelemahanku itu, aku kadang suka gampang banget tahu-tahu curhat panjang lebar ke orang. Ini terutama dulu, pas aku masih culun dan menganggap semua orang baik. Kalau sekarang aku udah beda. Aku susaaaaaaah byanget percaya sama orang. Jadinya nggak banyak orang yang bisa tak curhati. Paling anak itu-itu lagi yang kadang bikin aku khawatir “Wah, jangan-jangan dia muak nih, aku curhatin mulu.” Hahaha. Tapi teman yang satu ini bukan racun. Dia memberi tanggapan pada porsi yang pas. Kalau aku salah dia akan bilang salah, tapi kalau aku ada benarnya ya dia akan bilang juga. Dari situ aku tahu kalau dia objektif dan tulus. Soalnya nggak mungkin lhoo, manusia itu salah mulu. Catet ya: sejelek-jeleknya manusia itu nggak mungkin kalau salah terus nggak sekali pun ada benarnya.

               Nah, sekarang aku udah reset teman. Cuma berteman sama yang positif aja. Tapi yah namanya orang kan juga kadang ada kecolongan ya. 

               Aku yang tadinya udah nggak gampang curhat sama siapa-siapa, tahu-tahu bisa nyaman banget curhat sama orang yang kuanggap matang segala-galanya. Pengalaman hidup, mental, spiritual. Super wise lah orangnya. Dan aku melakukan kesalahan yang persis sama. Aku nggak nyadar kalau orang ini juga ternyata tipe yang selalu nemu jelek-jeleknya dan cuma jelek-jeleknya aja. Pokoknya aku melakukan apapun selalu salah di mata dia. Hal apapun yang kulakukan, sepositif apapun, dan seenggakberbahaya apapun, dia selau bisa bilang “Jangan gini, jangan gitu.” Dia selalu bisa menemukan negasi dari gagasan dan tindakanku. 

               Aku tadinya nggak nyadar sampai hal ini terjadi berkali-kali. Bahkan di hal yang biasa-biasa aja dia masih bisa menyalahkan aku. Wkwkwk. O em ge. 

               Yaudah, cukup tahu. Pelajaran berharga banget buat aku nggak gampang percaya sama orang lagi sewise apapun dia kelihatannya. 

Frenemies

               Teman-teman kaya gini ini bahaya banget. Kalau musuh sekalian sih malah karuan. Tapi mereka itu seolah-olah kaya teman. Teman yang baik lagi. Kamu percaya mereka. Kan bahaya banget karena mereka ini jenis entitas yang akan meracunimu dari samping, tanpa kamu sadar kalau kamu lagi dikasih racun. Kamu menenggaknya secara sukarela dan mungkin malah berterima kasih. Mereka ini jenis orang yang bisa membunuhmu saat kamu tidur lelap merasa aman dalam perlindungan mereka. 



               Well, oke, nggak berarti harfiah membunuh dalam arti yang sebenarnya menghilangkan nyawa ya. Mereka ini lebih ke membunuh karakter dan potensi. Selalu mengatakan apapun yang kalian lakukan itu salah. Selalu mengatakan hasil kerjaanmu, apapun itu jelek. Mereka akan ngasih saran secara bijak heroik. Begitu kalian melakukan persis seperti yang mereka katakan, di lain kesempatan mereka akan bilang kalau itu salah juga. Pokoknya ngggak pernah ada benernya. Hahaha.

               Contoh gampang, di sosmed mereka nggak pernah kelihatan mengapresiasi pemikiranmu. Ngelike ngggak pernah, cuma akrab di japri. Tapi sekalinya ngomen ya cuma mau menyampaikan negasinya atas pemikiranmu itu. Ngomen becanda ikut hepi-hepi gitu nggak pernah. Yang kaya gini lama-lama bisa dititeni kok. Haha. 

               Misalnya gini nih: kamu update status galau, dia akan bilang “Udah lah, jangan mengumbar kesedihan terus di facebook. Orang-orang dalam daftar pertemaananmu nggak perlu tahu penderitaan hidupmu.”

               Besoknya kamu update status ceria karena mood kamu udah baikan, dia akan bilang “Kamu nggak harus selalu pura-pura baik-baik aja lho. It’s okay to be not okay.”

               Besoknya lagi kamu memutuskan untuk nggak main facebook lagi karena nggak tahu mau update status apa, dia akan bilang “Sayang banget, ih. Kamu nggak tahu apa the power of social media? Bisa banget lhoo dimanfaatkan untuk membagikan hal yang berguna daripada cuma curhat sama dinding kamar. Bisa buat promosi juga. Kan banyak lhoo, orang yang jadi kaya raya dari sosmed.”

               Merasa tercerahkan, besoknya kamu mulai aktif membagikan info-info bermanfaat, share postingan blog, vlog, dll, dan orang-orang menyukaimu. Eeeeh, dia bilang “Ngapain main facebook cuma buat nyari ketenaran? Tujuan utama media sosial kan untuk bersosialisasi.” T____T

Gituuuuu terus. Selamanya. Pokoknya seolah tujuannya dalam hidup adalah membuatmu sadar kalau apapun yang kamu lakukan tidak pernah benar. Dan ya, lama-lama terasa nggak nyamannya. Baru setelah itu kamu ingat-ingat lagi sikapnya selama ini dan … eng ing eeeng, selama ini ternyata dia memang toxic banget. Dia nggak pernah ikut seneng kalau kamu seneng, tapi anehnya semangat banget ngasih nasihat ini itu berdasarkan pengalaman hidupnya yang sempurna kalau kamu lagi kesusahan. Nggak keraasa yah? Heuuuft. 


               Aku sih nggak lagi menghakimi siapa-siapa yaa. Mungkin memang semua komen negasinya itu untuk kebaikan. Tapi kaya yang aku bilang tadi lho, nggak ada satu pun orang di muka bumi ini yang salah terus nggak pernah ada benernya. Kalau temenmu sekali-sekali kontra tapi kadang-kadang setuju sama pendapatmu, berarti dia normal. Wajar aja kaya gitu. Teman yang baik juga pasti bakalan ngasih saran dan kritik demi kebaikan ke depannya. Tapi kalau temanmu komennya selalu jelek-jelek terus, bisa dipastikan dia toxic. 

               Nggak harus langsung dihindari gitu sih. Biasa aja. Aku juga tetep kalem biasa. Cuma susah buat percaya lagi sama dia. Intinya sih mending berurusan sama musuh sekalian yang terang-terangan bilang benci kamu, daripada sama sahabat palsu yang diam-diam menjatuhkanmu. Udah, gitu aja.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

About me

About Me

Aenean sollicitudin, lorem quis bibendum auctor, nisi elit conseat ipsum, nec sagittis sem nibh id elit. Duis sed odio sit amei.

Follow Us

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Google+
  • pinterest
  • youtube

Categories

recent posts

Sponsor

Facebook

Blog Archive

  • Juni 2021 (2)
  • Mei 2021 (3)
  • Agustus 2020 (1)
  • Mei 2020 (1)
  • Maret 2020 (2)
  • Juni 2019 (2)
  • Maret 2019 (1)
  • Februari 2019 (2)
  • Januari 2019 (15)
  • Februari 2018 (1)
  • Januari 2018 (1)
  • Oktober 2017 (1)
  • September 2017 (1)
  • Agustus 2017 (4)
  • Juli 2017 (2)
  • Juni 2017 (3)
  • Mei 2017 (1)
  • April 2017 (2)
  • Maret 2017 (8)
  • Februari 2017 (10)
  • Januari 2017 (3)
  • Desember 2016 (6)
  • Oktober 2016 (4)
  • September 2016 (6)
  • Agustus 2016 (5)
  • Juli 2016 (3)
  • Juni 2016 (8)
  • April 2016 (1)
  • Maret 2016 (6)
  • Oktober 2012 (1)
Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

  • Bullet Journal untuk Hidup yang Lebih Produktif
  • PESAN MORAL LOMBA-LOMBA AGUSTUSAN
  • Tentang Anak Durhaka
  • Menguatkan Akar Rambut dengan Shampoo Ginseng
  • ALASAN MENGAPA AKU NGGAK NIKAH MUDA

Yang Nulis

Isthar Pelle
Lihat profil lengkapku

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates