PENTINGNYA MEMPERHATIKAN LINGKUNGAN PERGAULAN ANAK
Ini bukan foto Syifa. Apalagi Fahri. Ini Zaza, anaknya Bu Umi. Bu Umi itu siapa? Yaallaaah, bisa jadi satu postingan sendiri nih caption. |
Apaan nih, hamil aja belum pernah
kok tau-tau bikin postingan tentang parenting?
Kalian tahu Syifa sama Fahri?
Mereka ini pernah tak tulis di status lho. *penting?
Buat kalian yang selama ini nggak
peduli-peduli amat sama statusku sehingga nggak kenal sama Syifa dan Fahri, nih
aku ceritain dikit. Jadi kosku itu ada yang ngurus, suami istri namanya Mbak
Siti dan Pak Abu. Mbak Siti dan Pak Abu punya dua orang anak, Syifa dan Fahri
itu tadi. Syifa kelas 2 SD, Fahri,
kakaknya, kelas 3 SD.
Di postingan statusku yang ‘penting’
itu, aku nulis tentang betapa kagumnya aku sama Mbak Siti dan Pak Abu yang bisa
ngedidik Syifa dan Fahri sehingga mereka tumbuh menjadi anak-anak yang santun, rukun,
suka membantu, ceria, bermain sesuai usianya, nggak pernah minta mainan
aneh-aneh, nggak minta main gadget, hormat sama yang lebih tua, dan segudang
hal positif lainnya tentang anak-anak. Aku sama Ibing bahkan sampai berencana
menjadikan Mbak Siti dan Pak Abu sebagai role model dalam hal parenting kalau
kami punya anak nanti.
Tapi semua itu berubah sejak Negara
Api menyerang gaes. Lebih tepatnya sejak Mbak Siti nambah kerja di luar kos.
Jadi kalau tugas bersih-bersih dan rapi-rapi di kos udah selesai, Mbak Siti
pergi kerja jadi baby sitter di rumah orang yang agak jauhan lah pokoknya dari
sini.
Kalau dulu, pulang sekolah itu
Syifa sama Fahri langsung ‘dipegang’ Mbak Siti, dalam artian diajak makan
siang bareng sambil anak dua itu cerita-cerita tadi di sekolah ngapain aja,
belajar apa aja, ada hal seru apa aja, dan yang bikin aku tambah kagum lagi,
mereka ngobrolnya selalu dalam bahasa Jawa halus.
Nah, sejak Mbak Siti kerja,
otomatis pulang sekolah nggak ada acara makan siang plus ngobrol-ngobrol kaya
gitu lagi. Aku nggak lagi mempermasalahkan Mbak Siti yang kerja ya, soalnya
pada mulanya semuanya baik-baik aja, pulang sekolah mereka makan sendiri, ganti
baju, trus main sama anak-anak sebaya keliling kompleks atau ke sawah deket
kosan (kosanku deket sawah dong). Normal dan baik-baik aja.
Perubahan mengerikan baru terjadi
setelah dua anak itu mulai sering hang out sama Mbak sebelah yang hobi goyang mujahir.
Kalian yang ngikutin statusku juga pasti tahu siapa dia. Tapi bagi kalian yang
belum tahu, baiklah, aku ceritain juga dikit.
Jadi tetanggaku sebelah kamar ini
hobi banget dangdutan. Sehari-hari kerjaannya cuma dua: nyetel dangdut kalau
nggak nonton tipi. Chanel yang ditonton apa lagi kalau bukan Indosiar? Lagu
favoritnya adalah Goyang Mujahir yang seharian disetel on repeat dalam volume
maksimal. Pagi-pagi langsung nyetel Goyang Mujahir puluhan kali. Siangan dikit
lagunya distop, ganti nonton FTVnya Indosiar. Ntar siang nyetel Goyang Mujahir
lagi. Stop buat nonton Golden Memories, Goyang Mujahir lagi, dan seterusnya.
Aku keracunan? Iya, dulu sampai
nggak sengaja apal lirik lagunya (sekarang juga masih), tapi sekarang aku udah
punya teknik jitu buat menangkal itu semua. Nyetel lagu tandingan. Nggak sekenceng
dia sih, aku kan sopan anaknya. Tapi seenggaknya mending buat menangkal biar
liriknya nggak merasuk-merasuk amat. Takutnya ntar tercetak di alam bawah
sadarku dan tau-tau ntar gede aku jadi biduan.
Hubungannya sama Syifa dan Fahri
apa? Sejak gaul sama mbak yang satu ini, mereka otomatis pertama, ketularan
dangdutan. Tiap main ke kamarnya mbak sebelah mereka bertiga langsung dangdutan
Goyang mujahir. Sesekali diselingi sama lagu lain, yaitu Sambalado. Kadang lagu
dangdut lain yang aku nggak tau judulnya apaan. Yang Fahri apal banget sampai
dinyanyiin terus tu yang liriknya gini “Biiiiirunya cintaaaaa, kiiiiita
berduaaaaa.” Ada yang tahu nggak itu lagu judulnya apa?
Kedua, mereka jadi ketularan
kelakuan mbak ini yang kalau ngomong itu selalu teriak-teriak nggak ada sopan
santunnya sama sekali. Tadinya Syifa sama Fahri ngomongnya pakai Bahasa Jawa
alus terus lho, kadang Bahasa Indonesia kalau sama anak kos, dan ngomong Bahasa
Jawa ngoko kalau sama teman sepermainannya, tapi tetep halus normal. Sekarang jadi
teriak-teriak. Harus banget gitu teriak-teriak.
Ketiga, mereka jadi nggak sopan. Tadinya
kalau ada tamunya anak kos mereka sopan, main biasa, tapi nggak ngegangguin. Sekarang
mereka nggangguin. Mondar-mandir lari-lari sambil teriak-teriakin yang
teriakannya ini diajarin sama Mbak Goyang Mujahir itu tadi. Teriakannya
bangsanya “Pacaran hepi-hepi ya?” gitu. Padahal mereka mana tau arti pacaran
cobaa? Lagian tamunya anak kos belum tentu pacarnya juga.
Keempat, mereka mulai minta
aneh-aneh. Yang paling gampang tau-tau minta dibeliin hape karena biasa pinjem
hapenya Mbak Goyang Mujair. Dan kalau pinjem hapenya mbak ini kalian tau nggak
apa yang mereka lakuin? Baca-baca chatnya si embak sama pacarnya yang isi
obrolannya tu, aduuuh, aku aja miris dengernya. Yang biasanya mereka seneng
main sama temen-temen sebayanya di sawah juga sekarang maunya jeng-jeng cyiiin,
harus naik motor.
Sebagai tetangga, aku merasa miris.
Kalau didiemin bisa gawat karena usia segitu lagi pembentukan karakter banget
kan? Belum lagi si mbak goyang mujair ini suka cerita-cerita kalau misalnya dia
habis jalan sama pacarnya (sementara dia punya suami dan Syifa dan Fahri tahu itu).
Dia bilang “Kalau sama pacarku enak. Naik mobil, dibelanjain, dan bla bla bla.”
Coba kalian bayangkan, dia ngomong kaya gitu sama anak kecil. Ini kalau jadinya
anak-anak itu nangkepnya “Ooh, berarti udah punya suami masih boleh punya pacar
lagi? Ooh, berarti yang enak itu pacaran sama orang yang punya mobil dan
ngebelanjain?” gitu gimana cobaa?
Sementara itu, aku nggak bisa
berbuat apa-apa. Ya masa aku ngelarang-larang Syifa sama Fahri biar jangan main
ke kamarnya mbak sebelah sih? Sementara Mbak Siti sama Pak Abu yang sekarang
mulai ngeh anak-anaknya berupahpun nggak kuasa ngelarang lagi. Kenapa? Karena dua
anak ini sekarang berani ngeyel kalau dibilangin. Ngeyelnya karena apa? Karena
si embak goyang mujair bilang gini “Ngapain sama Ibumu, Ibumu nggak bisa naik
motor, nggak bisa ajak kalian jalan-jalan. Mending sama aku, jalan-jalan terus,”
gitu. Kalian bayangin aja deh gaeees.
Tadi sore, mbak goyang mujair lagi
telponan sama nggak tau siapa dan obrolannya bleh, aku aja yang udah gede risih
dengerinnya sampai aku sengaja nyetel musik agak kenceng biar nggak denger. Dan
Syifa mendekat ke kamarnya. Aku udah deg-degan. Yaallaaah, ini anak kecil apa
ya harus denger kaya gituan? Untungnya karena si embak lagi sibuk di telpon,
Syifa nggak jadi main, trus dia ngeliatin aku dari depan pintu. Aku sih biasa,
lagi sibuk ngejahit.
Trus tak panggil. Dan tumben-tumbenan
mau. Biasanya nggak mau sambil melet trus lari ke si embak untuk selanjutnya
mereka ketawa-ketawa. Entah apa yang mbak mujair katakan tentang aku.
Pas Syifa udah masuk kamarku, tak
ajakin bikin boneka sendiri. Tak kasih alat dan bahan. Tak suruh bikin pola
sendiri, jahit sendiri, menghias sendiri. Dan dia mau. Sibuuuk banget bikin
gantungan tas bentuk bunga. Meskipuan hasilnya masih berantakan nggak karuan, tapi
dia bangga banget. Trus dia turun, manggil kakaknya. Dan mereka berdua sibuk di
kamarku bikin prakarya sambil dengerin Deep Purple sampai malem jam sembilan lewat.
Sampai aku makan malamnya telat. Hahaha.
Mereka sibuk banget, dan somehow
berubah jadi normal. Jadi kaya dulu lagi. Sopan banget. Nanya-nanya kepo khas
anak kecil, dan mereka banyak belajar.
Pertama, karena aku lagi ngerjain
bantal dengan quote berbahasa Inggris, mereka nanya artinya, yang akhirnya
berlanjut dengan les bahasa Inggris singkat. Syifa bahkan dengan cerianya lari
ke bawah ngambil kamus anak-anaknya. Trus tebak-tebakan sama Fahri.
Kedua, mereka sukses bikin gantungan
tas sendiri. Aku cuma ngarahin sama ngebantuin masang gantungannya. Untuk pertama
kalinya dalam sejarah mereka tahu kalau mainan itu ternyata nggak harus beli
tapi bisa bikin sendiri.
Ketiga, Fahri sempet nanya “Mbaaak,
ini sampahnya banyak banget?” trus aku bilang “Itu perca. Nanti masih bisa
dipakai lagi dibuat barang-barang baru kaya gini,” sambil nunjukin hiasan topi
mini di bando yang aku pakai. Dan mereka surprise banget. “Bikin itu dari
sampah?” Untuk pertama kalinya juga mereka belajar recycling.
Kemudian pas kami lagi seru bin
asik banget bermain, berkarya, sambil belajar, mbak mujair yang udah selesai
telponan tau-tau nimbrung dan ngapain cobaaaa? NGEGANGGUIN! Dia bahkan ngatain gantungan
bunganya Syifa jelek. Coba kalian bayangkan!
Untungnya, karena dari awal udah
aku support dengan bilang “Enggak apa-apa kalau belum rapi. Namanya juga
belajar. Dulu aku jugaa masih kaya gitu jahitannya waktu kelas dua,” dan lain
sebagainya, dianya tenang-tenang aja. Tetep bangga sama hasil karyanya.
Dan mbak mujair mulai lagi. Berusaha
ngajak mereka main ke kamarnya dan dangdutan, dan merekanya enggak mau. Mereka terlalu
asik learning English sama aku. Wkwkwk. Sampai sini aku merasa sedikit lega. Baru
dikit. Soalnya nggak tau kan, kalau besok-besoknya mereka mendadak balik ke
mujair mode lagi? -_-
Di sini aku nggak lagi mau bilang
kalau aku lebih baik dari mbak mujair enggak. Aku juga blangsak anaknya. Cuma
aku lihat-lihat lah. Kalau gaul sama anak kecil ya aku menyesuaikan sama usia
mereka. Tema obrolan baiknya apa, ngajak main apa. Yahh, meskipun playlistnya
Deep Purple sih karena aku nggak punya lagu anak-anak.
Yang jelas, dari penglihatanku
(penglihatan? Apa ya istilah tepatnya?), lingkungan ternyata memang berpengaruh
besar banget terhadap perkembangan dan tingkah laku anak.
Temenku pernah update status bilang
“Anak tetanggaku, orang tuanya santun kok anaknya bisa nggak sopan gitu ya?”
Jawabannya kukira itu tadi. Karena anak-anak
meniru apapun yang dilihatnya, nggak hanya dari orang tuanya tapi juga dari
orang-orang di sekitarnya. Makanya penting banget buat orang tua untuk
memperhatikan lingkungan pergaulan anak juga. Memang rada repot. Aku sendiri
ngebayanginnya ntar kalau punya anak pasti repot banget ngawasinnya. Nggak mungkin
juga melarang-larang dan membatasi.
Temen-temen yang udah punya anak adakah yang
punya solusi jitu untuk mengatasi hal ini?
Bagi-bagi infonya dong di komen.
Makasih yaa, udah baca.
Love,
Isthar Pelle
4 komentar
Aduh mudah-mudahan ngga tergoda ke sebelah lagi ya tuh anak berdua. Memang lingkungan berpengaruh terhadap anak ya. Itu contoh nyatanya seperti yang ditulis. Makasih udah sharing...
BalasHapusIyaa. Tadinya pertama-pertama pas main di tempatku trus digodain mbak sebelah masih suka bingung. Sekarang makin ke sini udah makin nggak mempan.
HapusIya banget nih. Makanya aku kasian lihatnya.
Sama-sama, Levina. Makasih ya, udah mampir..
seru banget baca tulisannya mbak..bener anak-anak masih polos banget dan niru apa yang mereka lihat sehari hari. Aku kan pernah tuh mbak kunjungan ke ruang belajar untuk anak jalanan, pas pertama kali rasanya takut karena setauku anak jalanan deket jalanan besar rumah kalo ngomong kasar2 bahkan berani ngomong kasar ke org dewasa..eh pas saya berkunjung baru saya sadar sebenarnya mereka bandel tapi niat banget belajar bahkan mau diajarin bahasa inggris sama kakak2 relawan yang ngajar..bandel tapi sebenernya baik..saya dan yg relawan lain aja dianterin ke arah deket satasiun pas pulangnya meski rada jauh hehehhe. Bener sih mbak anak2 cepet nyerap apa yang mereka liat dan akhirnya mereka tiru. Semoga kedua anak itu jarang main ama si mbak sebelah hehehe..terima kasih sudah sharing :)
BalasHapusIya banget. Pada dasarnya kan semua anak itu polos banget. Tinggal orang dewasanya mau nyontohinnya gimana.
HapusSekarang udah balik normal lho, mereka. Udah nggak suka teriak-teriak lagi, udah main sama temen-temen sebayanya lagi, udah nggak dikit-dikit minta jalan-jalan naik motor (bahkan diajakinpun udah nggak mau). Cepet banget perubahannya. Namanya juga anak-anak.
Cuma tadi minta ajarin main gitar, tak tanya mau belajar lagu apa masih jawab "Birunya Cinta" sama "Pacar Lima Langkah". Beghh..
Giliran aku yang pusing sekarang nyariin materi lagu yang pas buat mereka. Di laptop ada video anak-anak juga nyanyinya Enter Sandman. Nggak apa-apa kali ya? :D
Sama-sama.
Makasih yaa udah mampir.