SENI MENERTAWAKAN DIRI SENDIRI
Aku suka melucu. Biarpun seringnya
malah krik krik dan nggak ada yang ketawa, tetapi seenggaknya aku bisa
menertawakan diri sendiri. Ini penting. Kenapa? Karena aku punya prinsip aneh:
kalau aku bisa ngetawain diri sendiri, nggak ada orang lain yang bisa ngetawain
aku lagi. Yang ada kami malah ketawa bareng.
Jadi gitu. Dari dulu, aku adalah
orang yang paling tau kekurangan diriku dan menertawakannya paling keras. Bukan
karena aku minder. Tapi justru karena aku tahu dan aku pede dengan itu. Aku
tahu dan aku baik-baik saja. Jadi kalau ada orang yang ngece kekuranganku, aku nggak bisa sakit hati lagi, karena aku toh
udah biasa ngece diriku sendiri.
Trus kekurangan-kekuranganku apa
aja sih? Banyaaaaak. Dari segi fisik aja udah keliatan aku badannya tinggi,
langsing, kakinya bagus, kulitku item, mukaku nggak cantik (aslinya emang
nggak cantik gaes. Kalau aku biasanya bilang cantik itu pencitraan aja),
jidatku jenong lebar banget, gigiku mencang-mencong nggak disiplin, kulitku
jerawatan, rambutku jenis yang kusut susah dikendalikan. Cobaaaa, kurang ngenes
gimana lagi cobaaa? Kalau aku minderan pasti aku udah mengurung diri di kamar
atau kalau aku kaya raya, aku udah operasi plastik ke Korea. Sialnya, aku pede
banget dengan semua itu. Aku jenis anak yang naïf banget yang percaya kalau
kecantikan sejati itu muncul dan bersinar-sinar dari dalam. Keren itu dari
jiwa. Fisik hanya kendaraan.
Trus, apakah kepedeanku itu
menyelamatkan hidupku? Emm, mungkin iya, tapi mungkin sedikit merepotkan juga.
Ibuku malu punya anak nggak cantik karena dia sendiri merasa cantik. Untuk
ukuran wanita usia 47, ibuku masih keliatan muda banget kaya usia 30. Udah gitu
kulitnya kuning langsat bersih lembut lembab dan sehat wal afiat. Dari lahir
nggak pernah jerawatan barang setitikpun. Jadi dia malu kenapa anaknya nggak
bisa kaya dia. Kenapa kulitku item (yang jelas banget keturunan dari Bapak),
kenapa aku jerawatan (yang juga dari Bapak), dan kenapa kenapa yang lain yang
aku sendiri juga nggak tau. Yakalii kalau aku bisa ngedesain fisik sendiri aku
bakalan ngedesain diriku cantik banget sampai Gal Gadot sama Gigi Hadid nyingkrih-nyingkrih minder bahkan
sekalipun aku nggak berada deket-deket mereka. Tapi kan bentuk fisik kita nggak
bisa milih. Merawat mungkin iya, tapi merubah ya nggak bisa. Lagian, yang jadi
masalah di sini dan bikin kami (aku sama Ibuku) nggak nyambung adalah karena
aku bangga akan diriku apa adanya.
Terus apakah kepedean ini
memudahkanku mendapatkan jodoh? Hemm, kalau pasangan sih iya. Rata-rata cowok
yang pernah pacaran sama aku bilang kalau mereka nggak peduli lagi sama fisikku
bentukannya gimana karena aku anaknya udah asik (((asique -_-))). Bahkan ada,
banyak malah, yang dengan jahatnya bilang “Kamu itu nggak cantik. Cewek lain
banyak yang lebih cantik. Mantan-mantanku jauh lebih cantik dari kamu,” gitu
dan seterusnya. Aku sakit hati? Enggaaaaak. Aku kan kelewat pede anaknya. Aku
malah bilang “See? Kecantikan itu bukan segala-galanya beibih!” Wkwkwk.
Tapi jodoh? Lha ini. Urusan jodoh
kan nggak cuma kita sama pasangan. Tapi termasuk kita sama keluarga pasangan ya
kaaan? Ibing sih menerima aku banget apa adanya sekalipun mantannya juga
cantik-cantik. Aku tau itu dari manaaa? Dari Ibunya Ibing yang bilang. Iyes,
ini masalahnya. Ibing nerima aku tapi Ibunya enggak. Ibunya malah di hadapanku
bilang “Kok kamu malah milih yang kaya gitu sih? Dulu sama si A si B si C
aslinya Ibu udah setuju.” Iya gaes, bilang kaya gitu. DI HADAPANKU! Aku nangis.
Bukan, bukan karena ejekan fisik. Kalau soal fisik aku udah khatam. Tapi karena
Ibunya Ibing nyindir-nyindir yang katanya gara-gara pacaran sama aku Ibing jadi
kurus? Padahal dulu gendutnya Ibing itu gara-gara mabuk terus kerjaaannya sampai
perutnya buncit. Trus sekarang perutnya nggak buncit lagi karena udah nggak
alcoholic kaya dulu. Minum jarang-jarang. Gara-gara kekurangan fisik, aku jadi
bertanggungjawab atas segalanya. Sekarang sih aku bisa nulis ini sambil
ketawa-tawa. Dulu pas adegannya aku nangis karena aku kan emang terharuan
anaknya (bagian mananya yang mengharukan woyyy???).
Sekarang Ibunya Ibing konon sudah
menerima aku. Aku juga nggak tau aslinya. Kalau tak endus dari baunya sih belum
(aku bisa nyium pikiran kan?) soalnya masih sempet-sempetnya nitip pesan ke
Ibing katanya aku disuruh luluran biar putih. Lhahh, dikira aku nggak pernah
luluran? Biar Madgirl juga aku rajin luluran dan body scrub-an lhoo. Tapi bukan
biar putih. Cuma biar kulitku bersih dan sehat soalnya aku nyadar kulitku
kering. Kalau nggak rajin discrub pasti jadinya kusem. Sekarang kan item-item
juga yang penting glowing *halah. Tapi gimanaaa, orang tua kan? Aku nggak bisa
jelasin kalau semua sudah dibatasi oleh phenotype yang ditentukan oleh
genotype. Nggak bisa diubah. Bersih, cerah, glowing, dan nggak kusem, bisa.
Tapi kalau disuruh jadi putih? Nggak bisa kecuali suntik putih. Dan aku nggak
seinsecure itu sampai suntik putih segala. Balik lagi kan, aku pede apa adanya.
Tapi tetep aja aku nggak enak mau ngejelasin. Apa baiknya aku susupin link blog
ini ke hapenya ya biar beliaw baca postingan ini? Hihihi.
Itu baru soal fisik. Kekurangan
lain masih ada juga kaya misalnya aku tu lahir dan menjalani masa kanak-kanak
di kampung yang kampung banget, yang semua hal tentang kampungan yang bisa kamu
bayangin ada di situ. Ndesaaaaaaa byanget. Ciri-cirinya? Jauh dari keramaian.
Iya, bahkan sekedar keramaian aja jauh, apalagi kota. Jarak sama kantor
kecamatan aja 24 km sendiri. Itupun bisa ditempuh dalam waktu satu setengah jam
karena jalannya jelek banget sampai kadang-kadang aku mending milih jadi Sun Go
Ku aja biar bisa naik awan. Jarak sama kantor kabupaten? Aku nggak tau ada
berapa kilo, tapi yang jelas bisa ditempuh dalam waktu 3-4 jam. Trus, di
kampungku tu nggak ada angkot. Jadi orang kalau mau pergi-pergi tuh naik mobil
pick up gitu gaes. Udah kebayang? Ya pokoknya intinya itu.
Nha, setelah lulus SD, ceritanya
aku kan SMP di kecamatan. Kenapa? Karena di kampungku nggak ada SMP lah. Ada
MTs sih, tapi aku kelewat songong dan nggak mau sekolah di situ. Hahaha.
Sekampung seangkatan cuma aku aja yang ngelanjutin SMP. Yang lain ada yang
ngelanjutin ke MTs. Yang lain nggak ngelanjutin. Iyaaa, desaku masih segitunya.
Nha, pas mau masuk SMP ini Ibuku cemas karena SMP itu kan di kecamatan yang
notabene rada kota, sedangkan aku berasal dari kampung. Ibuku cemas kalau aku
bakalan nggak punya temen sehingga Ibuku menyarankan aku untuk pura-pura nggak
berasal dari kampung. Untuk pura-pura jadi anak kota yang gewl. Untuk menjadi
seseorang yang bukan aku. Untuk menjadi palsu.
Who am I kidding? Aku sih cuma
iya-iya aja. Kenyataannya? Aku malah ceritain dengan pedenya keunikan-keunikan
di kampung yang nggak dimiliki temen-temenku. Aku malah ketawa keras-keras pas
nyeritain jalan menuju rumahku yang aduhai jeleknya. Aku menunjukkan kalau iya,
aku emang berasal dari kampung, tapi aku baik-baik saja. Trus apa bener
kekhawatiran Ibuku kalau aku bakal nggak punya temen? Enggak. Aku punya temen.
Banyaaak temen.
Besides, aku merasa pede banget
waktu itu karena aku merasa pinter. Di SD aku rangking satu terus. Bukan karena
aku jenius, tapi karena temen-temenku tiap pulang sekolah harus ikut ngebantuin
di sawah sehingga nggak bisa belajar sedangkan aku yang putune mbah kaji ini punya waktu belajar sebanyak yang aku mau.
Kalian tahu apa yang om-om dan
tanteku bilang pas aku mau melanjutkan SMP ke kecamatan? Mereka bilang “Nggak
usah kepedean. Kamu kan pinter di sini karena nggak ada saingannya. Kalau di
kota banyak yang lebih pinter,” gitu. Untungnya aku nggak percaya. Hahaha. Aku
waktu itu mikir pelajaran SMP doang, apa susahnya. Ntar kalau SMA mungkin aku
baru akan khawatir. Dan pas SMApun ternyata aku juga nggak khawatir. Bukan
karena masih merasa pinter. Tapi itu adalah fase-fase aku lagi nggak peduli
sama apa-apa termasuk prestasi akademik. Jadi mau pelajarannyaa susah mau
nilainya jelek ya bodo amat, gitu.
Kesimpulannya dari banyak banget di
atas itu tadi apa? Aku aslinya pede dan merasa baik-baik saja dengan apa adanya
diriku baik secara kekurangan fisik, latar belakang, dan lain sebagainya. Yang
ribut itu malah orang-orang di sekitarku. Ibuku, om dan tanteku, Ibunya Ibing.
Bukan hanya ribut, banyak dari mereka yang mengecilkan. Ibuku sendiri pernah
bilang katanya aku ngisin-isini
karena nggak cantik sementara tetangga yang kerja jadi pembantu rumah tangga
aja pulang-pulang jadi cantik. Tanteku apa lagi. Gencar banget kalau ngatain
aku secara fisik karena anaknya (sepupuku) konon cantik banget. Omku selalu
ngatain aku ndeso dan pas aku kecil dia bahkan nggak mau gaul sama aku,
ngajakin aku ke mana-mana karena katanya bisa malu-maluin sedangkan sepupuku
yang konon cantik itu diajakin karena tampangnya ngota. *nangis ngoser di sebelah pawon
Ibunya Ibing selalu membandingkan
aku sama anak perempuannya (adiknya Ibing) yang cantik bin putih, dan calon
menantu satunya (pacarnya adiknya Ibing yang cowok) yang juga cantik bin putih
dan tetangganya yang juga cantik bin putih, dan sodaranya yang juga cantik bin
putih, dan bintang filem,dan bihun, dan semuanya yang cantik bin putih deh
pokoknya.
Apakah aku jadi minder gara-gara
itu semua? Enggak. Aku emang rada nggak tau diri sih anaknya. Aku itu kaya
Sanchai (kalian nggak usah pura-pura nggak tau Sanchai biar nggak keliatan
tuanya gitu deh). Rumput liar yang biarpun diinjek, dipotong, dilindes,
disemprot obat rumput, tapi tetep bisa tumbuh dan berdiri njegrik lagi. Dan ada
untungnya juga aku keras kepala. Jadi aku kekeh berpendapat kalau cantik itu
dari dalam. Cukup jadi diri sendiri dan orang lain akan suka pada kita (iya
sih, if you were somebody else Pel).
Di akhir postingan yang khidmad
ini, aku bersyukur karena aku pede apa adanya, karena aku masih punya banyak
teman tanpa harus pura-pura, dan terutama karena aku bisa menertawakan diri
sendiri sekeras-kerasnya. Dalam pergaulan, seni menertawakan diri sendiri ini
terbukti ampuh. Temen-temenku udah nggak bisa ngece dengan maksud menyakitiku
lagi. Kalaupun ngece paling becanda biasa. Ha gimana mau menyakiti kalau akunya
sendiri udah sering ngece diri sendiri dan menertawakannya paling kenceng?
Kalau nggak percaya, tanya aja sama temen-temenku. Udah berapa kali aja mereka
niat ngece aku tapi mengurungkan niat, atau udah jadi ngece tapi nggak kena
sasaran karena akunya malah ketawa paling keras.
Quote dari postingan kali ini
adalah: sebelum orang lain ngetawain kamu, maka sebaiknya kamu ketawain dirimu
terlebih dahulu. Itu!
Love,
Isthar Pelle
6 komentar
We have a same way of life kak :') ternyata yang kek gini bukan aku aja. Girang ada temennya hahaha
BalasHapusHahaha. Iyaa. Spesies kaya kita emang rada langka sih. Makasih ya Geriel, udah mampir. Salam kenal..
HapusHai pell....sepertinya kita samaan. Haha...
BalasHapusHai Ncis.. Ah, kalau kamu sih, apanya lagi yang mau dihina-hina? Wkwkwk.
HapusU have inner beauty bebz..ttp cemungut..hihihi
BalasHapusHwahahahaha..
Hapus