SENI MENERTAWAKAN DIRI SENDIRI

by - 11.07.00




Aku suka melucu. Biarpun seringnya malah krik krik dan nggak ada yang ketawa, tetapi seenggaknya aku bisa menertawakan diri sendiri. Ini penting. Kenapa? Karena aku punya prinsip aneh: kalau aku bisa ngetawain diri sendiri, nggak ada orang lain yang bisa ngetawain aku lagi. Yang ada kami malah ketawa bareng.
Jadi gitu. Dari dulu, aku adalah orang yang paling tau kekurangan diriku dan menertawakannya paling keras. Bukan karena aku minder. Tapi justru karena aku tahu dan aku pede dengan itu. Aku tahu dan aku baik-baik saja. Jadi kalau ada orang yang ngece kekuranganku, aku nggak bisa sakit hati lagi, karena aku toh udah biasa ngece diriku sendiri.
Trus kekurangan-kekuranganku apa aja sih? Banyaaaaak. Dari segi fisik aja udah keliatan aku badannya tinggi, langsing, kakinya bagus, kulitku item, mukaku nggak cantik (aslinya emang nggak cantik gaes. Kalau aku biasanya bilang cantik itu pencitraan aja), jidatku jenong lebar banget, gigiku mencang-mencong nggak disiplin, kulitku jerawatan, rambutku jenis yang kusut susah dikendalikan. Cobaaaa, kurang ngenes gimana lagi cobaaa? Kalau aku minderan pasti aku udah mengurung diri di kamar atau kalau aku kaya raya, aku udah operasi plastik ke Korea. Sialnya, aku pede banget dengan semua itu. Aku jenis anak yang naïf banget yang percaya kalau kecantikan sejati itu muncul dan bersinar-sinar dari dalam. Keren itu dari jiwa. Fisik hanya kendaraan.
Trus, apakah kepedeanku itu menyelamatkan hidupku? Emm, mungkin iya, tapi mungkin sedikit merepotkan juga. Ibuku malu punya anak nggak cantik karena dia sendiri merasa cantik. Untuk ukuran wanita usia 47, ibuku masih keliatan muda banget kaya usia 30. Udah gitu kulitnya kuning langsat bersih lembut lembab dan sehat wal afiat. Dari lahir nggak pernah jerawatan barang setitikpun. Jadi dia malu kenapa anaknya nggak bisa kaya dia. Kenapa kulitku item (yang jelas banget keturunan dari Bapak), kenapa aku jerawatan (yang juga dari Bapak), dan kenapa kenapa yang lain yang aku sendiri juga nggak tau. Yakalii kalau aku bisa ngedesain fisik sendiri aku bakalan ngedesain diriku cantik banget sampai Gal Gadot sama Gigi Hadid nyingkrih-nyingkrih minder bahkan sekalipun aku nggak berada deket-deket mereka. Tapi kan bentuk fisik kita nggak bisa milih. Merawat mungkin iya, tapi merubah ya nggak bisa. Lagian, yang jadi masalah di sini dan bikin kami (aku sama Ibuku) nggak nyambung adalah karena aku bangga akan diriku apa adanya.
Terus apakah kepedean ini memudahkanku mendapatkan jodoh? Hemm, kalau pasangan sih iya. Rata-rata cowok yang pernah pacaran sama aku bilang kalau mereka nggak peduli lagi sama fisikku bentukannya gimana karena aku anaknya udah asik (((asique -_-))). Bahkan ada, banyak malah, yang dengan jahatnya bilang “Kamu itu nggak cantik. Cewek lain banyak yang lebih cantik. Mantan-mantanku jauh lebih cantik dari kamu,” gitu dan seterusnya. Aku sakit hati? Enggaaaaak. Aku kan kelewat pede anaknya. Aku malah bilang “See? Kecantikan itu bukan segala-galanya beibih!” Wkwkwk.
Tapi jodoh? Lha ini. Urusan jodoh kan nggak cuma kita sama pasangan. Tapi termasuk kita sama keluarga pasangan ya kaaan? Ibing sih menerima aku banget apa adanya sekalipun mantannya juga cantik-cantik. Aku tau itu dari manaaa? Dari Ibunya Ibing yang bilang. Iyes, ini masalahnya. Ibing nerima aku tapi Ibunya enggak. Ibunya malah di hadapanku bilang “Kok kamu malah milih yang kaya gitu sih? Dulu sama si A si B si C aslinya Ibu udah setuju.” Iya gaes, bilang kaya gitu. DI HADAPANKU! Aku nangis. Bukan, bukan karena ejekan fisik. Kalau soal fisik aku udah khatam. Tapi karena Ibunya Ibing nyindir-nyindir yang katanya gara-gara pacaran sama aku Ibing jadi kurus? Padahal dulu gendutnya Ibing itu gara-gara mabuk terus kerjaaannya sampai perutnya buncit. Trus sekarang perutnya nggak buncit lagi karena udah nggak alcoholic kaya dulu. Minum jarang-jarang. Gara-gara kekurangan fisik, aku jadi bertanggungjawab atas segalanya. Sekarang sih aku bisa nulis ini sambil ketawa-tawa. Dulu pas adegannya aku nangis karena aku kan emang terharuan anaknya (bagian mananya yang mengharukan woyyy???).
Sekarang Ibunya Ibing konon sudah menerima aku. Aku juga nggak tau aslinya. Kalau tak endus dari baunya sih belum (aku bisa nyium pikiran kan?) soalnya masih sempet-sempetnya nitip pesan ke Ibing katanya aku disuruh luluran biar putih. Lhahh, dikira aku nggak pernah luluran? Biar Madgirl juga aku rajin luluran dan body scrub-an lhoo. Tapi bukan biar putih. Cuma biar kulitku bersih dan sehat soalnya aku nyadar kulitku kering. Kalau nggak rajin discrub pasti jadinya kusem. Sekarang kan item-item juga yang penting glowing *halah. Tapi gimanaaa, orang tua kan? Aku nggak bisa jelasin kalau semua sudah dibatasi oleh phenotype yang ditentukan oleh genotype. Nggak bisa diubah. Bersih, cerah, glowing, dan nggak kusem, bisa. Tapi kalau disuruh jadi putih? Nggak bisa kecuali suntik putih. Dan aku nggak seinsecure itu sampai suntik putih segala. Balik lagi kan, aku pede apa adanya. Tapi tetep aja aku nggak enak mau ngejelasin. Apa baiknya aku susupin link blog ini ke hapenya ya biar beliaw baca postingan ini? Hihihi.
Itu baru soal fisik. Kekurangan lain masih ada juga kaya misalnya aku tu lahir dan menjalani masa kanak-kanak di kampung yang kampung banget, yang semua hal tentang kampungan yang bisa kamu bayangin ada di situ. Ndesaaaaaaa byanget. Ciri-cirinya? Jauh dari keramaian. Iya, bahkan sekedar keramaian aja jauh, apalagi kota. Jarak sama kantor kecamatan aja 24 km sendiri. Itupun bisa ditempuh dalam waktu satu setengah jam karena jalannya jelek banget sampai kadang-kadang aku mending milih jadi Sun Go Ku aja biar bisa naik awan. Jarak sama kantor kabupaten? Aku nggak tau ada berapa kilo, tapi yang jelas bisa ditempuh dalam waktu 3-4 jam. Trus, di kampungku tu nggak ada angkot. Jadi orang kalau mau pergi-pergi tuh naik mobil pick up gitu gaes. Udah kebayang? Ya pokoknya intinya itu.
Nha, setelah lulus SD, ceritanya aku kan SMP di kecamatan. Kenapa? Karena di kampungku nggak ada SMP lah. Ada MTs sih, tapi aku kelewat songong dan nggak mau sekolah di situ. Hahaha. Sekampung seangkatan cuma aku aja yang ngelanjutin SMP. Yang lain ada yang ngelanjutin ke MTs. Yang lain nggak ngelanjutin. Iyaaa, desaku masih segitunya. Nha, pas mau masuk SMP ini Ibuku cemas karena SMP itu kan di kecamatan yang notabene rada kota, sedangkan aku berasal dari kampung. Ibuku cemas kalau aku bakalan nggak punya temen sehingga Ibuku menyarankan aku untuk pura-pura nggak berasal dari kampung. Untuk pura-pura jadi anak kota yang gewl. Untuk menjadi seseorang yang bukan aku. Untuk menjadi palsu.
Who am I kidding? Aku sih cuma iya-iya aja. Kenyataannya? Aku malah ceritain dengan pedenya keunikan-keunikan di kampung yang nggak dimiliki temen-temenku. Aku malah ketawa keras-keras pas nyeritain jalan menuju rumahku yang aduhai jeleknya. Aku menunjukkan kalau iya, aku emang berasal dari kampung, tapi aku baik-baik saja. Trus apa bener kekhawatiran Ibuku kalau aku bakal nggak punya temen? Enggak. Aku punya temen. Banyaaak temen.
Besides, aku merasa pede banget waktu itu karena aku merasa pinter. Di SD aku rangking satu terus. Bukan karena aku jenius, tapi karena temen-temenku tiap pulang sekolah harus ikut ngebantuin di sawah sehingga nggak bisa belajar sedangkan aku yang putune mbah kaji ini punya waktu belajar sebanyak yang aku mau.
Kalian tahu apa yang om-om dan tanteku bilang pas aku mau melanjutkan SMP ke kecamatan? Mereka bilang “Nggak usah kepedean. Kamu kan pinter di sini karena nggak ada saingannya. Kalau di kota banyak yang lebih pinter,” gitu. Untungnya aku nggak percaya. Hahaha. Aku waktu itu mikir pelajaran SMP doang, apa susahnya. Ntar kalau SMA mungkin aku baru akan khawatir. Dan pas SMApun ternyata aku juga nggak khawatir. Bukan karena masih merasa pinter. Tapi itu adalah fase-fase aku lagi nggak peduli sama apa-apa termasuk prestasi akademik. Jadi mau pelajarannyaa susah mau nilainya jelek ya bodo amat, gitu.
Kesimpulannya dari banyak banget di atas itu tadi apa? Aku aslinya pede dan merasa baik-baik saja dengan apa adanya diriku baik secara kekurangan fisik, latar belakang, dan lain sebagainya. Yang ribut itu malah orang-orang di sekitarku. Ibuku, om dan tanteku, Ibunya Ibing. Bukan hanya ribut, banyak dari mereka yang mengecilkan. Ibuku sendiri pernah bilang katanya aku ngisin-isini karena nggak cantik sementara tetangga yang kerja jadi pembantu rumah tangga aja pulang-pulang jadi cantik. Tanteku apa lagi. Gencar banget kalau ngatain aku secara fisik karena anaknya (sepupuku) konon cantik banget. Omku selalu ngatain aku ndeso dan pas aku kecil dia bahkan nggak mau gaul sama aku, ngajakin aku ke mana-mana karena katanya bisa malu-maluin sedangkan sepupuku yang konon cantik itu diajakin karena tampangnya ngota. *nangis ngoser di sebelah pawon
Ibunya Ibing selalu membandingkan aku sama anak perempuannya (adiknya Ibing) yang cantik bin putih, dan calon menantu satunya (pacarnya adiknya Ibing yang cowok) yang juga cantik bin putih dan tetangganya yang juga cantik bin putih, dan sodaranya yang juga cantik bin putih, dan bintang filem,dan bihun, dan semuanya yang cantik bin putih deh pokoknya.
Apakah aku jadi minder gara-gara itu semua? Enggak. Aku emang rada nggak tau diri sih anaknya. Aku itu kaya Sanchai (kalian nggak usah pura-pura nggak tau Sanchai biar nggak keliatan tuanya gitu deh). Rumput liar yang biarpun diinjek, dipotong, dilindes, disemprot obat rumput, tapi tetep bisa tumbuh dan berdiri njegrik lagi. Dan ada untungnya juga aku keras kepala. Jadi aku kekeh berpendapat kalau cantik itu dari dalam. Cukup jadi diri sendiri dan orang lain akan suka pada kita (iya sih, if you were somebody else Pel).
Di akhir postingan yang khidmad ini, aku bersyukur karena aku pede apa adanya, karena aku masih punya banyak teman tanpa harus pura-pura, dan terutama karena aku bisa menertawakan diri sendiri sekeras-kerasnya. Dalam pergaulan, seni menertawakan diri sendiri ini terbukti ampuh. Temen-temenku udah nggak bisa ngece dengan maksud menyakitiku lagi. Kalaupun ngece paling becanda biasa. Ha gimana mau menyakiti kalau akunya sendiri udah sering ngece diri sendiri dan menertawakannya paling kenceng? Kalau nggak percaya, tanya aja sama temen-temenku. Udah berapa kali aja mereka niat ngece aku tapi mengurungkan niat, atau udah jadi ngece tapi nggak kena sasaran karena akunya malah ketawa paling keras.
Quote dari postingan kali ini adalah: sebelum orang lain ngetawain kamu, maka sebaiknya kamu ketawain dirimu terlebih dahulu. Itu!
Love,
Isthar Pelle

You May Also Like

6 komentar

  1. We have a same way of life kak :') ternyata yang kek gini bukan aku aja. Girang ada temennya hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha. Iyaa. Spesies kaya kita emang rada langka sih. Makasih ya Geriel, udah mampir. Salam kenal..

      Hapus
  2. Hai pell....sepertinya kita samaan. Haha...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai Ncis.. Ah, kalau kamu sih, apanya lagi yang mau dihina-hina? Wkwkwk.

      Hapus
  3. U have inner beauty bebz..ttp cemungut..hihihi

    BalasHapus