Cerita Hijrah: Dari Alayhood menuju Adulthood

by - 01.40.00




Orang-orang pada nulis cerita hijrah, aku juga mau aaaah. Tapi hijrahnya kali ini bukan dari celana gemes menuju hijab syar’i  ya, tapi dari jaman alayah menuju kedewasaan. Ciee, dewasa cieee. 

Oke, pertama-tama, ijinkan aku mengaku bahwa, aku pernah alay. Yup! Bahkan lama banget alay. Bertahun-tahun. Sekarangpun masih. Cuma sebisa mungkin kukurangi kadarnya. Setiap kali alaynya kumat, aku akan mengingatkan diri sendiri “Ingat, Pel. Hijraaaah. Ingat hijraaaah,” sambil bernafas secara teratur. And it helps a lot. 

Sebenernya, kalau bisa sih aku pengen kaya Peterpan yang nggak dewasa-dewasa, tinggal di Neverland tempat mimpi nggak ada habisnya. Tapi aku sadar kalau aku hidup di realita, dan bentar lagi aku akan ulang tahun ke 26. Dan aku inget, jaman masih unyu dulu, aku kalau liat cewek usia 26 tuh udah yang kaya mbak-mbak banget. Dewasaaa banget. 

Jadi aku pengen hijrah karena itu? Ya nggak juga. Tapi lebih karena proses. Fase alay is supposed to be over. Dan mungkin ini titiknya. Demi itu semua, aku mencanangkan program operasi demi meningkatkan kualitas diri yang lebih baik. Act like a grown up, think like a grown up, talk like a grown up, dan lain-lainnya like a grown up. 

Apa saja yang kulakukan?

1.      Lebih rapi dan disiplin.

Ini ngaruh banget ternyata. Jaman dulu, bangun tidur nggak lipet selimut sampai ntar melem tidur lagi tu aku biasa. Nggak ngerasa ada yang salah sama sekali. Tapi itu ternyata ngaruh ke kinerjaku seharian. Kalau bangunnya aja udah males, seharian bawaannya maleeees terus. Makanya aku sekarang berusaha keras jadi lebih rapi. Bangun tidur, selimut dilipet rapi, sprei dibenerin sampai rapi, trus seluruh kamar dibersihin dan dirapi-rapiin. Dan ternyata itu ngaruh. Berfungsi seperti pemanasan. Aku jadi semangat.
Yang kedua adalah disiplin. Dulu aku menganggap discipline is boring. Tapi ternyata enggak. Discipline can be fun, tergantung gimana kitanya. Aku sadar passionku banyak. Dan aku nggak bisa kalau disuruh memilih salah satu atau salah dua aja. Nggak bisa. Bertahun-tahun sudah aku coba.
Jadi ya semuanya emang harus dapet jatah. Kalau nggak disiplin, yang terjadi adalah malah nggak karuan semua. Makanya aku harus pinter-pinter mem-break down waktu seharian biar dapet semuanya. Dan yang terjadi malah aku jadi nggak gampang bosen soalnya seharian kegiatannya bervariasi.
Meskipun nggak saklek, urut-urutannya, tapi aku punya to do list yang harus diselesaikan tiap harinya. Harus. Nggak peduli gimana urutannya. Setelah terbiasa toh ternyata jadi terinstall di alam bawah sadar dan berjalan otomatis.
Misalnya tiap hari aku mewajibkan diriku sendiri untuk olahraga minimal 30 menit sama latihan nyanyi minimal sepuluh lagu. Aku akan memenuhinya meskipun waktunya nggak mesti. Soalnya kerjaan juga nggak pasti kadang bisa disambi, kadang nggak terlalu bisa disambi. Jadi kondisional aja. Tapi tetep harus ditunaikan.
Jualanpun ada to do listnya tersendiri. Upload desain baru, nulis status story telling berapa kali, share ke grup, jam berapa belanja supplies, jam berapa harus udah selesai packing, jam berapa kirim barang, dan sebagainya.
Dengan melakukan cara itu, semuanya dapet jatah dan tetep nggak bosen karena kegiatannya macem-macem.
Kalau to do list hariannya udah tercoret semuaaa, baru aku bisa santai-santai kaya misalnya nonton film, main instagram, atau baca bacaan ringan.

2.      Talk less do more.

Talk di sini nggak berarti mentah ngomong pakai mulut, tapi termasuk update status. Dulu aku seriiing banget update status. Sehari bisa sampai sejuta kali kayaknya. Soalnya dulu aku belum punya jadwal harian yang harus dipenuhi, jadi waktunya kaya selo banyak gitu dan aku suka mikir-mikir “Ngapain yaa, ngapain yaa,” trus akhirnya fesbukan deh. Padahal kerjaan aslinya banyak, cuma dodolnya, nggak kepikir. Ntar pas sadar, baru panik. Dan tentu saja nggak lupa update status dulu lagi: “Aduuh, baru sadar kalau ternyata banyak kerjaan.” *sigh
Gara-gara itu, 24 jamku jadi sama sekali nggak produktif. Aku kebanyakan ngomong, kerjanya nggak ada.
Kalau sekarang tak balik. Kerjain dulu semuanya, kalau ada waktu selo baru update status, gitu.
Namanya juga proses kak, belum bisa kalau mendadak jadi nggak update status sama sekali. Hihi.

3.      Read more.

Masa-masa alay itu, salah satunya ditandai dengan kurang ilmu kurang pengalaman, tapi sok merasa yang paling pintar. Serius deh, kalau aku nemu mesin waktu, aku akan balik ke masa lalu dan menyuruh diriku sendiri baca lebih banyak lagi. Dari dulu aku emang suka baca sih. Tapi masih kuraaaang. Kurang banget, kurang banyaaaak. Dan itupun udah bikin aku belagu. Ngerasa paling pinter sejagad.
Makin ke sini, makin banyak yang dipelajari, makin sadarlah aku betapa kesongongan masa lalu itu memalukan. Ooh ternyata gini ya? Ohh ternyata yang bener gitu? Kok dulu aku taunya gini sih? Duhh, salah dong. Heuheuheu. Dan seterusnya. Trus diriku terbelah jadi dua. Yang satu bisa terbang dan ngomong dengan bijak, “Makanya Pel, nggak usah songong. Baca lagi yang banyak!” Yang satu cuma bisa menundukkan kepala dengan muka merah. Malu sejadi-jadinya.
“I, i… iya.”

4.      Listen more.

Aku tu keras kepalanya nggak ketulungan. Sekarang juga masih sih. Mungkin emang sifat bawaan apa gimana ya? Cuma bedanya kalau sekarang ya aku akan berusaha bangeeeet untuk lebih mendengarkan orang lain. Kalau dulu, nggak peduli pendapatku bener atau salah, aku nggak mau dengerin orang. Yang penting ngeyel aja dulu. Makanya sering kejadian udahannya aku ‘kisinan’ kalau ternyata salah. Kisinan itu apa ya, aku nggak nemu istilah yang tepat dalam bahasa Indonesianya. Emm, mungkin malu sendiri gitu lah kira-kira.
Kalau sekarang, aku memaksa diriku sendiri untuk mendengarkan. Mendengarkan serius sekalipun aku nggak yakin yang orang omongin bener. Setelah itu, cari referensi lain, nyari pendapat ketiga, keempat, dan seterusnya, yang selanjutnya kuolah, kupikir lagi berkali-kali dan baru menghasilkan kesimpulan. Jadi bukan sebaliknya, ngeyel dulu, salah, kisinan, baru mikir. Hahahaha.
Dan sekarang kalau seandainya aku udah dengerin, cari-cari referensi ke sana ke mari, dan yakin kalau berada di posisi yang benar juga aku nggak akan ngeyel atau bersorak penuh kemenangan. Cukup tau aja. Ini perubahan besaaaaaar buatku. Lumayan bikin aku bangga pada diri sendiri. *menyibakkan alis

5.      Think deeper.

Jaman alay tuh pikiranku dangkal banget. Dan kedangkalan berpikir ini menyebabkanku jadi gampang ngejudje orang. Gampang banget, tanpa mempertimbangkan kemungkinan lain, tanpa melihat gambaran yang lebih besar, dan sering kali judgement ini berdasarkan kecenderungan kebencian atau iri hati saja. Makanya suka nggak nyambung dan maksa. Premisnya apa, kesimpulannya apa. 

Contoh:
Premis 1               : Temenku kayaknya nggak punya kerjaan karena hidupnya keliatannya santai banget. 
Premis 2               : Dia menolak pas tak ajakin seminar bisnis yang bermanfaat tanpa alasan yang jelas.
Kesimpulanku      : Dia anak pemalas kebanyakan alasan yang nggak mau sukses.
Padahal kenyataannya bisa aja dia udah punya bisnis mapan, dan waktu itu dia nggak bisa ikut karena ada jadwal kegiatan sosial berbagi sebagian dari penghasilannya. Cuma dia nggak mau bilang karena dia anaknya humble bangeeeet. Nggak kaya aku, yang dikit-dikit pamer. Siapa yang tahu kan?

Contoh 2:
Premis 1               : Ketemu cowok ganteng, cakep, penampilan rapi, pakai barang-barang branded,     nongkrongnya di tempat mahal-mahal.
Premis 2               : Pacarnya kebetulan juga cantik, keren, elegan, dan keliatan ‘mahal’.
Kesimpulanku     : Ni cowok pasti manja, kaya-raya karena warisan, bego, nggak pernah baca buku, plus nilai cewek dari luarnya aja nih. Pasti!
Pas ngobrol e la dalaaaah, pinter banget sampe bikin aku ngowoh-ngowoh. Pas baca tulisan-tulisannya apalagi. Dan ceweknya ternyata nggak cuma cantik di luar aja, tapi otaknya juga bikin minder lah pokoknya. Udah gitu mandiri lagi. Penampilan gaya abis gitu nggak mintain duit cowok atau ortunya. Jadi ‘kisinan’ lagi deh akunya.

Jadi gitu. Setelah gede ini aku baru sadar kalau orang itu multidimensional. Orang itu kaya bawang. Punya lapisan-lapisan yang buanyaaak yang kita belum tau. Yang kita lihat itu mungkin hanya kulit paling luarnya aja. Itupun tipiiiis banget. 

Ngejudge semena-mena tanpa tahu latar belakangnya, tanpa repot-repot nyari tau lebih banyak, atau bahkan tanpa sempet mempertimbangkan kemungkinan lain adalah sangat-sangat dangkal dan nggak dewasa. 

Dulu aku sering kaya gitu. Parahnya, seringnya judgement itu karena aku iri aja. Dia kok hidupnya bisa enak banget kaya gitu sih? Ini pasangan kok keren banget sih? Dan banyak lagi.
Dan seolah ngejudge tanpa dasar aja belum cukup, aku akan menghakimi mereka dengan standarku sendiri. “Kalau aku jadi kamu, aku bakal gini, gini, gini,” atau “Kalau aku jadi dia, aku nggak bakalan gitu,” atau “Halah, kalau dibayarin juga aku bisa jadi secantik dia.”

Padahal aku nggak tau lho, apa aja yang sudah mereka alami, latar belakangnya gimana, pertimbangan-pertimbangan apa yang mereka ambil, dan lain sebagainya. Ibaratnya aku maksa orang untuk pakai sepatuku dan aku bahkan nggak tau ukuran sepatunya apa. Apalagi selera sepatunya gimana. Ini sangat-sangat egois dan nggak adil. 

Betapa banyaknya orang yang udah kujudge secara nggak adil kaya gitu. Aku merasa berdosa dan kotooor, kakak. Aku kotooooooor. *kemudian mandi besar

6.      Sabaaaaaaaaaar.

Nama Pelle itu, kalau disandingin sama kata sabar sama sekali nggak matching. Pelle itu sama sekali nggak sabaran anaknya. Temperamen nggak jelas dan hobi banget marah.
Saking parahnya, dulu pas pertama-tama jualan online, karena belum terbiasa ya, kalau ada orang yang ngeselin pasti tak marahin. Misalnya orangnya mbuleeet gitu. Udah didesainin, masih minta revisi mulu sampai sebelas kali, habis itu ujung-ujungnya milih desain yang pertama, dan yang paling ngeselin lagi, abis itu bilang “Nanti ya sis, aku kabari lagi jadi apa enggaknya.” Habis itu berlalu nggak ada kabar. Hanya remah-remah chat yag tersisa.

Duluuuuu, dulu ni ya, pas masih alay, aku akan ngamuk sejadi-jadinya. Ngamuk langsung ke orangnya, sama ngamuk di status sampai puluhan lembaaaar.
Nggak penting banget pokoknya. Ada dua kerugian yang aku alami di sini. Pertama, waktuku jadi habis buat ngamuk yang nggak ada gunanya, kedua, calon pembeli lain malah jadi takut dan males buat deket-deket. “Yang jualnya nggak ramah.” Sungguh rugi bukan?

Kalau sekarang ada kejadian kaya gitu, yaa tetep kesel sih. Dan itu normal. Penjual On Line mana juga yang nggak kesel berhadapan sama orang kaya gitu? Hahaha.
Tapi sikapnya aja sekarang yang udah beda. Kalau sekarang, ada kejadian kaya gitu, aku akan narik nafas, trus ngebales “Oke sis,” terus ngasih emot peluk meski diem-diem sambil makan tang sih tetep.
Waktu yang harusnya terbuang percuma buat ngamuk, bisa tak pakai secara produktif untuk banyakin promo dan ngurusin customer lain. Akhirnya tetep ngomset. Tetep untung. *ngitung duit

7.      Self control. Lebih stabil.

Aku anaknya moody, dan itu parah banget. Ekstrim gitu lah. Semenit bahagia, menit berikutnya pengen bunuh diri. Semenit merasa bersyukur dan betapa hidup ini sangat berharga, menit berikutnya membenci seluruh dunia.
Kaya gituuuu terus sampai akunya capek sendiri.
Sekarang udah enggak untungnya. Mungkin karena udah capek itu tadi. Palingan kalau kumat cuma pas PMS aja, sehari tau-tau murung, tapi habis itu udah, normal lagi. 

Hal ini juga berpengaruh ke sikapku dalam menangani kritik, gosip, kesalahpahaman, cara diskusi, dan lain sebagainya. Lebih stabil, otomatis jadi nggak terlalu gampang tersulut emosinya.
Kalau dulu yang penting ngegaaaas aja. Sekalipun salah, yang penting marah-marah dulu. Tapi habis itu nggak berani diskusi sehat dan malah minggat ke akun sendiri, update status baru yang intinya menggalang dukungan sebanyak-banyaknya, plus nyindir-nyindir yang beda pendapatnya. Masih pakai acara bisik-bisik di grup pula. “Iiiih, si ini ternyata gini ya. Masa pendapatnya gini gitu.” Jijik banget ya, aku dulu? Hahaha.

Dulu nggak bisa menerima perbedaan pendapat. Yang pokoknya kalau orang lain nggak sependapat sama aku berarti dia salah, udah nggak usah jadi temennya lagi. Temen itu harus senantiasa sependapat, setuju sama pendapatku, karena aku yang paling bener. Titik.

Kalau sekarang kontrol lah ya. Kalau ada perbedaan pendapat, aku menerima dengan suka cita. Mikir juga, jangan-jangan pendapat dia yang bener.
Bahkan ada orang yang bilang bumi itu datar aja aku nggak langsung marah-marah, tapi mikir lagi. Jangan-jangan bener wong aku belum pernah liat bumi langsung dari luar angkasa kok. Main paling jauh juga baru ke Pacitan, belum ngerasain perbedaan waktu. Tapi ya nggak trus menelan mentah juga. Nyari referensi lagi, mempertimbangkan fakta-fakta, baru menarik kesimpulan mana yang lebih masuk akal. 

Emosi yang stabil ini berguna terutama untuk diriku sendiri. Dengan self control yang lebih baik, nggak gampang meledak atau mooodswing, jadinya makin bahagia. Jiwanya juga nggak terlalu lelah jadinya kak. Lelah jiwa itu nggak baik untuk kesehatan kan?

8.      Bisa menentukan prioritas.

Kalau dulu, mentang-mentang passionnya banyak, aku pengen semuanya. Nggak bisa menentukan prioritas sama sekali. Ini gawat, karena bukannya dapet semua, tapi jadinya malah berantakan semua. Aku harus atur prioritas. Mana yang harus dapet porsi pikiran paling banyak, mana yang nggak terlalu.
Mana yang penting banget, penting aja, nggak terlalu penting, sampai nggak penting sama sekali. 

Ibu-ibu salon depan pernah ngatain aku nggak bisa sosialisasi karena aku emang nggak pernah ngumpul. Paling nyapa-nyapa aja kalau lewat atau ketemu. Bukan karena aku sombong atau apa, tapi kalau ngumpul tuh kegiatannya tak lain dan tak bukan adalah ngegosip.
“Eh, Mbaknya yang kamar nomer ini kemarin datang sama pacarnya ya?”
“Bukan, itu suaminya.”
“Suami piye, wong belum nikah kok. Dia kan statusnya belum cerai dari suaminya yang dulu. Kadang orangnya juga ke sini,” dan bla bla bla deh. Itu petikan gosip yang aku denger secara nggak sengaja. Lha kalau aku ikut ngumpul? Bisa dibayangin gimana kotornya telinga ini? 

Dalam daftar skala prioritasku, acara ngegosip itu masuk ke kategori nggak penting sama sekali.
Soal sosialisasi, yang penting aku tetep ramah, selalu menyapa dengan ceria, dan kalau mereka butuh pertolongan, akunya ada. Ngapain juga tiap ngegosip rajin ngumpul tapi giliran temen ada masalah nggak ngebantuin, dan yup, malah sibuk ngegosipin?

Aku juga nggak akan bela-belain main ke luar kota sekalipun alasannya buat networking kalau kenyataannya di rumah aja banyak orderan belum dikerjain. Mungkin networkingnya emang dapet sama beberapa orang baru. Tapi belasan customer jadi protes gara-gara kerjaaannya molor? Ya mikir lagi lah. Dalam hal ini, networking dengan orang baru emang penting, tapi ketepatan waktu dan kepuasan customer masuk kategori penting banget. Jadi kalian juga pasti udah tau kan, mana yang kudahulukan? Yah, namanya juga usaha masih kecil, apa-apa masih dikerjain sendiri. Kecuali aku emang lagi selo banget, nggak ada kegiatan penting lain. Tentu aku akan pergi dengan senang hati. 

Itu dia beberapa hal yang kulakukan dalam rangka hijrah menuju kedewasaan.
Tentu saja aku masih jauh, jauuuuuuuuh dari jadi orang dewasa yang baik. Kadang juga masih suka lupa dan kumat alaynya. Namanya aja proses kan?

Oya, dengan mengatakan berusaha jadi dewasa di sini, bukan berarti aku akan meninggalkan sisi kanak-kanak yang berpikir tanpa kotak. Aku masih suka main ke rumah Piqui di atas awan dan berteman dengan hewan peliharaannya, si kura-kura terbang kok. Perubahan lebih ke sikap aja kali ya. Kalian ngerti lah, maksudku gimana.

Btw, kalau kalian punya saran apalagi yang bisa kulakukan untuk meningkatkan kualitas diri biar jadi lebih dewasa dan nggak kolokan, please feel free to comment yahh. Kutunggu lohh.
Makasih banyak sekali lagi, udah baca. 

Sampai jumpa di postingan berikutnya.
Bye!

Isthar Pelle

You May Also Like

2 komentar

  1. Aduh setuju banget. Hal paling kerasa krn makin dewasa itu adalah think deeper, sabar, dan emosi yang stabil. Aku juga lg di jalan pendewasaan nih ��

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaa, kerasa banget emang bedanya yaa.
      Yuk, sama-sama menuju dewasa. *gandeng tangan

      Hapus