Cerita Hijrah: Dari Alayhood menuju Adulthood
Orang-orang pada nulis cerita hijrah, aku juga
mau aaaah. Tapi hijrahnya kali ini bukan dari celana gemes menuju hijab
syar’i ya, tapi dari jaman alayah menuju
kedewasaan. Ciee, dewasa cieee.
Oke, pertama-tama, ijinkan aku mengaku bahwa,
aku pernah alay. Yup! Bahkan lama banget alay. Bertahun-tahun. Sekarangpun
masih. Cuma sebisa mungkin kukurangi kadarnya. Setiap kali alaynya kumat, aku
akan mengingatkan diri sendiri “Ingat, Pel. Hijraaaah. Ingat hijraaaah,” sambil
bernafas secara teratur. And it helps a lot.
Sebenernya, kalau bisa sih aku pengen kaya
Peterpan yang nggak dewasa-dewasa, tinggal di Neverland tempat mimpi nggak ada
habisnya. Tapi aku sadar kalau aku hidup di realita, dan bentar lagi aku akan
ulang tahun ke 26. Dan aku inget, jaman masih unyu dulu, aku kalau liat cewek
usia 26 tuh udah yang kaya mbak-mbak banget. Dewasaaa banget.
Jadi aku pengen hijrah karena itu? Ya nggak
juga. Tapi lebih karena proses. Fase alay is supposed to be over. Dan mungkin
ini titiknya. Demi itu semua, aku mencanangkan program operasi demi
meningkatkan kualitas diri yang lebih baik. Act like a grown up, think like a
grown up, talk like a grown up, dan lain-lainnya like a grown up.
Apa saja yang kulakukan?
1. Lebih rapi dan disiplin.
Ini ngaruh banget ternyata. Jaman dulu, bangun
tidur nggak lipet selimut sampai ntar melem tidur lagi tu aku biasa. Nggak
ngerasa ada yang salah sama sekali. Tapi itu ternyata ngaruh ke kinerjaku
seharian. Kalau bangunnya aja udah males, seharian bawaannya maleeees terus.
Makanya aku sekarang berusaha keras jadi lebih rapi. Bangun tidur, selimut
dilipet rapi, sprei dibenerin sampai rapi, trus seluruh kamar dibersihin dan
dirapi-rapiin. Dan ternyata itu ngaruh. Berfungsi seperti pemanasan. Aku jadi
semangat.
Yang kedua adalah disiplin. Dulu aku menganggap
discipline is boring. Tapi ternyata enggak. Discipline can be fun, tergantung
gimana kitanya. Aku sadar passionku banyak. Dan aku nggak bisa kalau disuruh
memilih salah satu atau salah dua aja. Nggak bisa. Bertahun-tahun sudah aku
coba.
Jadi ya semuanya emang harus dapet jatah. Kalau
nggak disiplin, yang terjadi adalah malah nggak karuan semua. Makanya aku harus
pinter-pinter mem-break down waktu seharian biar dapet semuanya. Dan yang
terjadi malah aku jadi nggak gampang bosen soalnya seharian kegiatannya
bervariasi.
Meskipun nggak saklek, urut-urutannya, tapi aku
punya to do list yang harus diselesaikan tiap harinya. Harus. Nggak peduli
gimana urutannya. Setelah terbiasa toh ternyata jadi terinstall di alam bawah
sadar dan berjalan otomatis.
Misalnya tiap hari aku mewajibkan diriku
sendiri untuk olahraga minimal 30 menit sama latihan nyanyi minimal sepuluh
lagu. Aku akan memenuhinya meskipun waktunya nggak mesti. Soalnya kerjaan juga
nggak pasti kadang bisa disambi, kadang nggak terlalu bisa disambi. Jadi
kondisional aja. Tapi tetep harus ditunaikan.
Jualanpun ada to do listnya tersendiri. Upload
desain baru, nulis status story telling berapa kali, share ke grup, jam berapa
belanja supplies, jam berapa harus udah selesai packing, jam berapa kirim
barang, dan sebagainya.
Dengan melakukan cara itu, semuanya dapet jatah
dan tetep nggak bosen karena kegiatannya macem-macem.
Kalau to do list hariannya udah tercoret
semuaaa, baru aku bisa santai-santai kaya misalnya nonton film, main instagram,
atau baca bacaan ringan.
2. Talk less do more.
Talk di sini nggak berarti mentah ngomong pakai
mulut, tapi termasuk update status. Dulu aku seriiing banget update status.
Sehari bisa sampai sejuta kali kayaknya. Soalnya dulu aku belum punya jadwal
harian yang harus dipenuhi, jadi waktunya kaya selo banyak gitu dan aku suka
mikir-mikir “Ngapain yaa, ngapain yaa,” trus akhirnya fesbukan deh. Padahal
kerjaan aslinya banyak, cuma dodolnya, nggak kepikir. Ntar pas sadar, baru panik.
Dan tentu saja nggak lupa update status dulu lagi: “Aduuh, baru sadar kalau
ternyata banyak kerjaan.” *sigh
Gara-gara itu, 24 jamku jadi sama sekali nggak
produktif. Aku kebanyakan ngomong, kerjanya nggak ada.
Kalau sekarang tak balik. Kerjain dulu
semuanya, kalau ada waktu selo baru update status, gitu.
Namanya juga proses kak, belum bisa kalau
mendadak jadi nggak update status sama sekali. Hihi.
3. Read more.
Masa-masa alay itu, salah satunya ditandai
dengan kurang ilmu kurang pengalaman, tapi sok merasa yang paling pintar.
Serius deh, kalau aku nemu mesin waktu, aku akan balik ke masa lalu dan
menyuruh diriku sendiri baca lebih banyak lagi. Dari dulu aku emang suka baca
sih. Tapi masih kuraaaang. Kurang banget, kurang banyaaaak. Dan itupun udah
bikin aku belagu. Ngerasa paling pinter sejagad.
Makin ke sini, makin banyak yang dipelajari,
makin sadarlah aku betapa kesongongan masa lalu itu memalukan. Ooh ternyata
gini ya? Ohh ternyata yang bener gitu? Kok dulu aku taunya gini sih? Duhh,
salah dong. Heuheuheu. Dan seterusnya. Trus diriku terbelah jadi dua. Yang satu
bisa terbang dan ngomong dengan bijak, “Makanya Pel, nggak usah songong. Baca
lagi yang banyak!” Yang satu cuma bisa menundukkan kepala dengan muka merah.
Malu sejadi-jadinya.
“I, i… iya.”
4. Listen more.
Aku tu keras kepalanya nggak ketulungan.
Sekarang juga masih sih. Mungkin emang sifat bawaan apa gimana ya? Cuma bedanya
kalau sekarang ya aku akan berusaha bangeeeet untuk lebih mendengarkan orang
lain. Kalau dulu, nggak peduli pendapatku bener atau salah, aku nggak mau
dengerin orang. Yang penting ngeyel aja dulu. Makanya sering kejadian udahannya
aku ‘kisinan’ kalau ternyata salah. Kisinan itu apa ya, aku nggak nemu istilah
yang tepat dalam bahasa Indonesianya. Emm, mungkin malu sendiri gitu lah
kira-kira.
Kalau sekarang, aku memaksa diriku sendiri
untuk mendengarkan. Mendengarkan serius sekalipun aku nggak yakin yang orang
omongin bener. Setelah itu, cari referensi lain, nyari pendapat ketiga,
keempat, dan seterusnya, yang selanjutnya kuolah, kupikir lagi berkali-kali dan
baru menghasilkan kesimpulan. Jadi bukan sebaliknya, ngeyel dulu, salah,
kisinan, baru mikir. Hahahaha.
Dan sekarang kalau seandainya aku udah
dengerin, cari-cari referensi ke sana ke mari, dan yakin kalau berada di posisi
yang benar juga aku nggak akan ngeyel atau bersorak penuh kemenangan. Cukup tau
aja. Ini perubahan besaaaaaar buatku. Lumayan bikin aku bangga pada diri
sendiri. *menyibakkan alis
5. Think deeper.
Jaman alay tuh pikiranku dangkal banget. Dan
kedangkalan berpikir ini menyebabkanku jadi gampang ngejudje orang. Gampang banget,
tanpa mempertimbangkan kemungkinan lain, tanpa melihat gambaran yang lebih
besar, dan sering kali judgement ini berdasarkan kecenderungan kebencian atau
iri hati saja. Makanya suka nggak nyambung dan maksa. Premisnya apa,
kesimpulannya apa.
Contoh:
Premis 1 :
Temenku kayaknya nggak punya kerjaan karena hidupnya keliatannya santai banget. Premis 2 : Dia menolak pas tak ajakin seminar bisnis yang bermanfaat tanpa alasan yang jelas.
Kesimpulanku :
Dia anak pemalas kebanyakan alasan yang nggak mau sukses.
Padahal kenyataannya bisa aja dia udah punya bisnis
mapan, dan waktu itu dia nggak bisa ikut karena ada jadwal kegiatan sosial berbagi
sebagian dari penghasilannya. Cuma dia nggak mau bilang karena dia anaknya
humble bangeeeet. Nggak kaya aku, yang dikit-dikit pamer. Siapa yang tahu kan?
Contoh 2:
Premis 1 :
Ketemu cowok ganteng, cakep, penampilan rapi, pakai barang-barang branded,
nongkrongnya di tempat mahal-mahal.
Premis 2 :
Pacarnya kebetulan juga cantik, keren, elegan, dan keliatan ‘mahal’.
Kesimpulanku :
Ni cowok pasti manja, kaya-raya karena warisan, bego, nggak pernah baca buku,
plus nilai cewek dari luarnya aja nih. Pasti!
Pas ngobrol e la dalaaaah, pinter banget sampe
bikin aku ngowoh-ngowoh. Pas baca tulisan-tulisannya apalagi. Dan ceweknya
ternyata nggak cuma cantik di luar aja, tapi otaknya juga bikin minder lah pokoknya.
Udah gitu mandiri lagi. Penampilan gaya abis gitu nggak mintain duit cowok atau
ortunya. Jadi ‘kisinan’ lagi deh akunya.
Jadi gitu. Setelah gede ini aku baru sadar
kalau orang itu multidimensional. Orang itu kaya bawang. Punya lapisan-lapisan
yang buanyaaak yang kita belum tau. Yang kita lihat itu mungkin hanya kulit
paling luarnya aja. Itupun tipiiiis banget.
Ngejudge semena-mena tanpa tahu latar
belakangnya, tanpa repot-repot nyari tau lebih banyak, atau bahkan tanpa sempet
mempertimbangkan kemungkinan lain adalah sangat-sangat dangkal dan nggak
dewasa.
Dulu aku sering kaya gitu. Parahnya, seringnya
judgement itu karena aku iri aja. Dia kok hidupnya bisa enak banget kaya gitu
sih? Ini pasangan kok keren banget sih? Dan banyak lagi.
Dan seolah ngejudge tanpa dasar aja belum
cukup, aku akan menghakimi mereka dengan standarku sendiri. “Kalau aku jadi kamu,
aku bakal gini, gini, gini,” atau “Kalau aku jadi dia, aku nggak bakalan gitu,”
atau “Halah, kalau dibayarin juga aku bisa jadi secantik dia.”
Padahal aku nggak tau lho, apa aja yang sudah
mereka alami, latar belakangnya gimana, pertimbangan-pertimbangan apa yang
mereka ambil, dan lain sebagainya. Ibaratnya aku maksa orang untuk pakai
sepatuku dan aku bahkan nggak tau ukuran sepatunya apa. Apalagi selera
sepatunya gimana. Ini sangat-sangat egois dan nggak adil.
Betapa banyaknya orang yang udah kujudge secara
nggak adil kaya gitu. Aku merasa berdosa dan kotooor, kakak. Aku kotooooooor.
*kemudian mandi besar
6. Sabaaaaaaaaaar.
Nama Pelle itu, kalau disandingin sama kata
sabar sama sekali nggak matching. Pelle itu sama sekali nggak sabaran anaknya.
Temperamen nggak jelas dan hobi banget marah.
Saking parahnya, dulu pas pertama-tama jualan
online, karena belum terbiasa ya, kalau ada orang yang ngeselin pasti tak marahin.
Misalnya orangnya mbuleeet gitu. Udah didesainin, masih minta revisi mulu
sampai sebelas kali, habis itu ujung-ujungnya milih desain yang pertama, dan
yang paling ngeselin lagi, abis itu bilang “Nanti ya sis, aku kabari lagi jadi
apa enggaknya.” Habis itu berlalu nggak ada kabar. Hanya remah-remah chat yag
tersisa.
Duluuuuu, dulu ni ya, pas masih alay, aku akan
ngamuk sejadi-jadinya. Ngamuk langsung ke orangnya, sama ngamuk di status
sampai puluhan lembaaaar.
Nggak penting banget pokoknya. Ada dua kerugian
yang aku alami di sini. Pertama, waktuku jadi habis buat ngamuk yang nggak ada
gunanya, kedua, calon pembeli lain malah jadi takut dan males buat deket-deket.
“Yang jualnya nggak ramah.” Sungguh rugi bukan?
Kalau sekarang ada kejadian kaya gitu, yaa
tetep kesel sih. Dan itu normal. Penjual On Line mana juga yang nggak kesel
berhadapan sama orang kaya gitu? Hahaha.
Tapi sikapnya aja sekarang yang udah beda.
Kalau sekarang, ada kejadian kaya gitu, aku akan narik nafas, trus ngebales
“Oke sis,” terus ngasih emot peluk meski diem-diem sambil makan tang sih tetep.
Waktu yang harusnya terbuang percuma buat
ngamuk, bisa tak pakai secara produktif untuk banyakin promo dan ngurusin
customer lain. Akhirnya tetep ngomset. Tetep untung. *ngitung duit
7. Self control. Lebih stabil.
Aku anaknya moody, dan itu parah banget. Ekstrim
gitu lah. Semenit bahagia, menit berikutnya pengen bunuh diri. Semenit merasa
bersyukur dan betapa hidup ini sangat berharga, menit berikutnya membenci seluruh
dunia.
Kaya gituuuu terus sampai akunya capek sendiri.
Sekarang udah enggak untungnya. Mungkin karena
udah capek itu tadi. Palingan kalau kumat cuma pas PMS aja, sehari tau-tau
murung, tapi habis itu udah, normal lagi.
Hal ini juga berpengaruh ke sikapku dalam
menangani kritik, gosip, kesalahpahaman, cara diskusi, dan lain sebagainya. Lebih
stabil, otomatis jadi nggak terlalu gampang tersulut emosinya.
Kalau dulu yang penting ngegaaaas aja. Sekalipun
salah, yang penting marah-marah dulu. Tapi habis itu nggak berani diskusi sehat
dan malah minggat ke akun sendiri, update status baru yang intinya menggalang
dukungan sebanyak-banyaknya, plus nyindir-nyindir yang beda pendapatnya. Masih
pakai acara bisik-bisik di grup pula. “Iiiih, si ini ternyata gini ya. Masa
pendapatnya gini gitu.” Jijik banget ya, aku dulu? Hahaha.
Dulu nggak bisa menerima perbedaan pendapat.
Yang pokoknya kalau orang lain nggak sependapat sama aku berarti dia salah,
udah nggak usah jadi temennya lagi. Temen itu harus senantiasa sependapat,
setuju sama pendapatku, karena aku yang paling bener. Titik.
Kalau sekarang kontrol lah ya. Kalau ada
perbedaan pendapat, aku menerima dengan suka cita. Mikir juga, jangan-jangan
pendapat dia yang bener.
Bahkan ada orang yang bilang bumi itu datar aja
aku nggak langsung marah-marah, tapi mikir lagi. Jangan-jangan bener wong aku
belum pernah liat bumi langsung dari luar angkasa kok. Main paling jauh juga
baru ke Pacitan, belum ngerasain perbedaan waktu. Tapi ya nggak trus menelan
mentah juga. Nyari referensi lagi, mempertimbangkan fakta-fakta, baru menarik
kesimpulan mana yang lebih masuk akal.
Emosi yang stabil ini berguna terutama untuk
diriku sendiri. Dengan self control yang lebih baik, nggak gampang meledak atau
mooodswing, jadinya makin bahagia. Jiwanya juga nggak terlalu lelah jadinya
kak. Lelah jiwa itu nggak baik untuk kesehatan kan?
8. Bisa menentukan prioritas.
Kalau dulu, mentang-mentang passionnya banyak,
aku pengen semuanya. Nggak bisa menentukan prioritas sama sekali. Ini gawat,
karena bukannya dapet semua, tapi jadinya malah berantakan semua. Aku harus
atur prioritas. Mana yang harus dapet porsi pikiran paling banyak, mana yang
nggak terlalu.
Mana yang penting banget, penting aja, nggak
terlalu penting, sampai nggak penting sama sekali.
Ibu-ibu salon depan pernah ngatain aku nggak
bisa sosialisasi karena aku emang nggak pernah ngumpul. Paling nyapa-nyapa aja
kalau lewat atau ketemu. Bukan karena aku sombong atau apa, tapi kalau ngumpul
tuh kegiatannya tak lain dan tak bukan adalah ngegosip.
“Eh, Mbaknya yang kamar nomer ini kemarin
datang sama pacarnya ya?”
“Bukan, itu suaminya.”
“Suami piye, wong belum nikah kok. Dia kan
statusnya belum cerai dari suaminya yang dulu. Kadang orangnya juga ke sini,”
dan bla bla bla deh. Itu petikan gosip yang aku denger secara nggak sengaja.
Lha kalau aku ikut ngumpul? Bisa dibayangin gimana kotornya telinga ini?
Dalam daftar skala prioritasku, acara ngegosip
itu masuk ke kategori nggak penting sama sekali.
Soal sosialisasi, yang penting aku tetep ramah,
selalu menyapa dengan ceria, dan kalau mereka butuh pertolongan, akunya ada. Ngapain
juga tiap ngegosip rajin ngumpul tapi giliran temen ada masalah nggak
ngebantuin, dan yup, malah sibuk ngegosipin?
Aku juga nggak akan bela-belain main ke luar
kota sekalipun alasannya buat networking kalau kenyataannya di rumah aja banyak
orderan belum dikerjain. Mungkin networkingnya emang dapet sama beberapa orang
baru. Tapi belasan customer jadi protes gara-gara kerjaaannya molor? Ya mikir
lagi lah. Dalam hal ini, networking dengan orang baru emang penting, tapi
ketepatan waktu dan kepuasan customer masuk kategori penting banget. Jadi
kalian juga pasti udah tau kan, mana yang kudahulukan? Yah, namanya juga usaha masih kecil, apa-apa masih dikerjain sendiri. Kecuali aku emang lagi
selo banget, nggak ada kegiatan penting lain. Tentu aku akan pergi dengan
senang hati.
Itu dia beberapa hal yang kulakukan dalam
rangka hijrah menuju kedewasaan.
Tentu saja aku masih jauh, jauuuuuuuuh dari
jadi orang dewasa yang baik. Kadang juga masih suka lupa dan kumat alaynya.
Namanya aja proses kan?
Oya, dengan mengatakan berusaha jadi dewasa di
sini, bukan berarti aku akan meninggalkan sisi kanak-kanak yang berpikir tanpa
kotak. Aku masih suka main ke rumah Piqui di atas awan dan berteman dengan
hewan peliharaannya, si kura-kura terbang kok. Perubahan lebih ke sikap aja
kali ya. Kalian ngerti lah, maksudku gimana.
Btw, kalau kalian punya saran apalagi yang bisa
kulakukan untuk meningkatkan kualitas diri biar jadi lebih dewasa dan nggak
kolokan, please feel free to comment yahh. Kutunggu lohh.
Makasih banyak sekali lagi, udah baca.
Sampai jumpa di postingan berikutnya.
Bye!
Isthar Pelle
2 komentar
Aduh setuju banget. Hal paling kerasa krn makin dewasa itu adalah think deeper, sabar, dan emosi yang stabil. Aku juga lg di jalan pendewasaan nih ��
BalasHapusIyaa, kerasa banget emang bedanya yaa.
HapusYuk, sama-sama menuju dewasa. *gandeng tangan