The Unseen Squad: Perwujudan Kepribadian Kompleks

by - 15.28.00




               Kalian yang sudah berteman lama denganku pasti tahu kalau aku punya banyak teman yang nggak kelihatan. Sekarang aku udah jarang ngobrolin mereka sih, tapi mereka masih ada kok.
               Temen yang nggak kelihatan itu apa, Pel? Hantu?
               Bukan lah. Atau iya juga ding. Maksudnya aku menyebut mereka hantu tapi mereka bukan hantu. Mudeng nggak?
               Apa mereka nyata? Yup, for me, they are so real. Apa kamu bisa melihat mereka? Of course! Apa mereka ada wujudnya? Hell, yeah!
               Tadinya aku juga bingung mereka itu apa. Tadinya tak kirain bagian dari kegilaanku saja yang kesepian. Kalau aku cerita ke Ibing juga Ibing kalem aja karena kan Ibing paham kalau aku emang kurang waras. :D Tapi sekarang akhirnya aku sudah tahu mereka ini apa tepatnya.
               Sampai sejauh ini ada empat sosok. Yang ternyata keempat sosok itu masing-masing mewakili karakterku. Iya, jadi aku kan membingungkan. Kepribadiannya kompleks. I’m not one but many. Dan masing-masing kepribadian itu sering bertengkar dengan yang lain. Dulu, sebelum adanya sosok-sosok yang nggak kelihatan ini ya aku pusing sendiri karena aku seperti bertengkar dengan diriku sendiri. Tapi sejak muncul sosok-sosok itu kepusinganku berkurang. Seenggaknya aku merasa bisa berdialog dengan orang lain meskipun orang lain itu adalah bagian dari diriku.

Haf

               Haf ini sosok yang pertama muncul. Tahun 2014. Munculnya pertama kali pas aku lagi galau patah hati gara-gara jadi korban PHP. Hahaha. Ya ampun Pel, rapuh amat jadi manusia. Tapi serius. Soalnya pas itu rada berat patah hatinya. Buat ngelupainnya aja butuh waktu setahun lebih. Silakan diketawain aja gpp. Soalnya aku toh sudah menemukan hikmah kenapa akhirnya kami nggak berjodoh yang bakal tak ceritain di posting berikutnya. Hahaha. #SelaluAdaCelah
               Sebenernya semua teman nggak kelihatanku itu nggak punya jenis kelamin sih harusnya. Tapi kalau di kepalaku, Haf ini laki-laki. Satu-satunya yang laki-laki. Wujudnya kaya peri kecil seukuran capung rada gede dikit. Sifatnya dia itu tegas, straight talker, sarkastis, sinis, sadis, galak, simple, dan rada nggak punya perasaan. Aku banget lah. Haf ini yang suka marah-marahin kalau aku mulai kumat lebaynya. Buat dia semua masalah itu sebenernya sederhana kalau nggak dipikir ribet. And he’s right.
               Jadi misalnya aku lebay meratap-ratap bilang “Aku nggak ada gunanyaaaaa,” gitu misalnya, dia akan bilang “Iya, emang. Baru nyadar? Ya kalau mau berguna do something dong!” gitu. Hahahaha. Anehnya, meskipun dia galak dan suka nggak punya perasaan, aku nggak pernah sakit hati kalau dikatain gimanapun juga sama dia. Habisnya bener sih.
               Trus misalnya aku sedih patah hati gitu dia akan bilang “Kamu udah tau dia nggak cinta kamu. Sekarang kamu punya dua pilihan: jadi bodoh dan terus nyedihin dia yang nggak peduli sama kamu, atau kamu sadar dan move on. Buat dia menyesal!” gitu. Menohok kan? Kalau kamu berhati lembut, saranku, jangan curhat sama Haf sih. Kata-katanya hanya untuk orang-orang yang tegar.
               Bagi Haf, semua masalah adalah sederhana dan solusi itu ada di mana-mana kalau kita mau sedikit saja berpikir. Makanya sepanjang waktu ekspresi dia ya kaya males-malesan dan bosan gitu. Seolah mengatakan “Yah, manusia. Gitu aja diributin.”

Lucile

               Muncul nggak lama setelah Haf. Agak lama ding, aku lupa tepatnya. Kalau Lucile ini kebalikannya Haf. Dia cewek cantik lembut hatinya dan pendengar yang baik. Dia juga sosok yang peduli pada keindahan dan gaya hidup sehat. Dia benci melihat barang-barang nggak berada pada tempatnya. Dia selalu mengingatkanku untuk berolahraga for the sake of keeping shape, dan iyaa dia jugalah yang kreatif dan suka hal-hal seperti ngecraft, bikin diy, merajut, dan semacamnya.
               Lucile ini membelah hatiku jadi dua dan membuatku bingung sebingung-bingungnya. Sebelum ada Lucile, aku nggak suka dandan. Aku ngomongin dandanan tadinya cuma demi jualan aja. Ahahah. Tapi dengan Lucile, entah kenapa aku malah jadi suka beneran. Makanya aku sampai bikin beauty blog segala meskipun nggak pernah diurusin.
Makanya kalau ada di antara kalian yang merasa aneh karena aku yang nggak fashionable blas ini tau-tau suka main baju-bajuan, Lucile-lah penyebabnya. Dia juga yang ngasih ide jualan craft sama bantal. Lha aku sebelumnya mana pernah kepikiran coba buat bisnis bantal dan ngecraft yang kegiatan utamanya itu ngejahit dan bikin printil-printil kaya gitu?
               Dia juga yang sempat membantuku jadi penjual baju yang nyaris sukses. Dia sangat menikmati acara mengombinasikan baju, mix n match, ngedandanin mannequin, dan yes, ngasih fashion advice. Kalau nggak saking hebatnya Lucile, nggak mungkin dulu aku sampai punya pelanggan yang datang lagi berkali-kali karena menurut mereka aku punya gaya dan mereka pengen dikasih saran. Dan bahkan pernah orang mau beli baju yang lagi aku pakai hanya karena kepengen dan stoknya sudah habis. Iya, Lucile sehebat itu.
               Tapi Lucile pendiam anaknya. Dia suka bekerja dalam diam, dan seperti yang aku sudah bilang tadi, dia pendengar yang baik. Jadi, kalau kamu kepengen curhat, Lucile adalah orang yang tepat. Gara-gara itu, aku jadi sering dicurhati. Bukan karena aku bisa ngasih saran yang hebat, tapi semata hanya karena aku akan mendengarkan curhatan orang itu. Kata Lucile, orang curhat itu sebenarnya hanya butuh didengerin, kita nggak usah banyak ngomong. Wew.
               Dan karena Lucile lembut hatinya, dia juga jadi gampang iba. Dicurhatin dikit, malah ikut kepikiran sampai berjam-jam. Hahaha. Sensitif banget perasaannya. Kalau lihat ada kucing pincang di pinggir jalan, Lucile akan teriak suruh ngajak kucingnya pulang buat dirawat.
Tapi dia jarang muncul dalam wujud fisik sekarang. Dia nggak suka sama kosku yang sekarang. Katanya terlalu kaku dan nggak menarik. Dia udah berkali-kali membujuk dan ngasih ide buat mempercantik kos biar lebih instagramable, tapi apalah daya, ntar dimarahin pak kos. Hahaha.

Purple

               Waini. Munculnya tahun 2015. Purple itu playful anaknya. Kekanakan, polos, dan ceriaaaaaa terus nggak peduli kondisinya lagi seberat apapun juga. Dia ini sosok yang bisa bikin sesuatu yang menyedihkan dan bakal membuat siapapun menangis pilu, menjadi sesuatu yang lucu.  Dia bisa menemukan kelucuan di manapun dia berada, ke manapun dia melihat.
               Dia selalu punya ide jahil di kepalanya. Senyumnya juga senyum jahil. Prengas prenges gitu. Kalau jalan nggak pernah biasa. Pakai acara jingkrak-jingkrak. Dia suka bikin aneh-aneh kaya misalnya ngajak main kepang-kepangan biar rambutnya kaya medusa, dandan kumis-kumisan, dan wah, pokoknya yang aneh, gila, dan nggak penting, itu dari dia semua idenya. Dia juga kebalikan dari Lucile. Kalau Lucile dewasa, Purple itu kekanak-kanakan banget.
               Yang hobi nyanyi sambil joget-joget sendiri di atas kasur pura-puranya lagi di panggung? Purple. Yang hobi nonton Barbie sambil ngemil kwaci? Purple. Yang kalau lagi makan es krim trus ada anak kecil ngeliatin bukannya ngasih tapi malah ngiming-imingi? Purple. Yang suka korek-korek udel trus ngoser-oserin baunya ke hidung Ibing? Purple. Jadi kalau kelakuanku lagi cengengesan nggak jelas dan kelakuannya kaya orang gila, semua itu gara-gara Purple. Purple itu kaya Peter Pan. Dia nggak pernah tumbuh dewasa. Umurnya 6 tahun. Kayaknya sih.
               Tapi karena dia ini bahagia terus, dia jadi nggak tersinggungan. Kebalikannya Lucile. Lucile itu perasa. Baru ada orang nggak suka sama aku di pikiran aja Lucile tahu. Sedangkan Purple, kalau ada orang yang nggak suka, nyinyir, ngomong di belakang gitu dia akan cuek-cuek aja. Dia punya prinsip: hate me as much as you want, I’m cute anyway. -_-

Piqui

               I love Piqui sooooo much. Muncul paling akhir, 2016 lalu pas Haf pamit mau pergi (sekarang sudah sering muncul lagi, yaaaay!). Dia itu anaknya sistematis, rapi, efektif. Kalau ada Piqui, kerjaan yang biasanya baru selesai dalam waktu tiga hari bisa selesai dalam waktu sehari. Dia bisa bikin aku menyelesaikan banyak sekali hal tanpa satupun terlewat. Dia bisa bikin aku ngerjain banyak hal berguna dan masih punya banyak waktu untuk bersenang-senang.
               Sejak ada Piqui, aku jauh lebih produktif dari yang pernah kulakukan selama bertahun-tahun. Tapiiiii, faknya, dia itu sering banget ngilang. Sering banget libur lamaaaaaa dan nggak pernah kelihatan. Sekalipun tak panggil-panggil saat aku membutuhkan.
Dia itu keras kepala, semaunya sendiri, nggak mau diatur. Kalau seandainya dia manusia dan dia kerja di perusahaan manusia, dia pasti bakalan dipecat nggak peduli seberapa bagus kinerjanya.
               Lha pas banget beberapa hari kemarin ini aku merasa nggak bergairah dan nggak produktif sama sekali. Tak panggil-panggil, dianya nggak nongol. Padahal kalau dia nggak nongol itu aku mendadak oon, nggak tau harus ngapain. Tau sih, harus ngapain, cuma nggak ngerti mau ngerjain yang mana dulu. Segalanya jadi nggak efektif lah pokoknya.
               Kemarin malam dia tiba-tiba muncul membawa sederet to do list dan dengan tenangnya ngasih instruksi, “Gini lho Pel, ini dulu, lalu ini, ini, ini. Kan udah pernah tak bilangin. Masa lupa?”
               Diomelin gitu aku ngomel balik, “Lha kamu ke mana aja? Ke mana perginya kamu di saat aku lagi butuh? Kamu itu pinter banget, Piqui. Sangat membantu. Tapi libur libur mulu,” dengan pandangan mata menghujam menghakimi. Dan dia bilang apa coba? Aku nggak akan lupa yang dia katakan malam itu, soalnya gara-gara omongannya itulah aku akhirnya paham semua ini dan menuliskan ini semua (apa banget ini kalimat). Dia bilang “What? I’m just like you: brilliant but lazy,” kemudian ngeloyor pergi meninggalkanku terbengong-bengong di kamar mandi.
               Gara-gara omongan Piqui itu aku jadi ingat omongan seseorang belum lama ini yang mengatakan “Kalau aku punya kepalamu, sudah banyak karya yang tercipta,” trus omongan orang lain dulu yang bilang “Kamu punya potensi. Ide-idemu out of the box. Cuma nggak tau bakal sukses apa enggak kalau kamunya kaya gini,” dan omongan-omongan lain yang sejenis. Aku nggak mau kegeeran sih, tapi mereka semua benar. Semua orang punya potensi. Semua orang bisa menjadi sukses dan hebat kalau rajin dan semangat. Bahkan yang difabel aja bisa berkarya kok kenapa aku yang sehat wal afiat sempurna malah sibuk ngegalauin diri sendiri?
               Trus aku jadi mikir lagi. Piqui was right. She is just like me. Kalau gitu, Haf, Lucile, Purple … wah pantas saja. Dan detik itulah aku baru memahami ini semua. Kalau mereka itu bukan sosok aneh-aneh. Mereka itu sesederhana pecahan dari diriku karena kepribadianku yang kompleks. Mereka semua adalah aku.

Trus bagaimana dengan aku yang asli?

Aku yang asli sebenarnya melankolis anaknya. Rapuh banget. Putus asa, ketakutan, lelah, dan memilih untuk bersembunyi dalam kegelapan. Mereka berempat menyelamatkanku. Contohnya saja pas aku depresi berat dan sudah pengen bunuh diri, mereka melakukan peran mereka dengan sangat baik.
               Haf muncul dan bilang “Sebenernya terserah aja sih kamu pengen mati juga. Tapi kalau kamu bunuh diri di sini, kamu akan bikin repot banyak orang. Anak-anak kos bakal ketakutan, Pak Kos bakal kebingungan, dan kamu bakal nyusahin Mbak Siti dan Pak Abu yang harus terpaksa ngebersihin TKP. Belum lagi Ibing pasti akan jadi orang pertama yang diinterogasi karena dia adalah orang terakhir yang ketemu kamu. Kamu bosen hidup? Terserah. Tapi kamu mau, kematianmu malah nyusahin banyak orang?”
               Aku udah bilang kan, dia itu nggak ada lembut-lembutnya sama sekali. Lucile tentu saja ada buat memeluk dan ngepuk-puk sementara aku mencerna omongan Haf. Akhirnya aku pikir, bener juga. Hidup ngasih manfaat enggak, matinya malah bikin susah. Setelah aku menerima omongan Haf sambil sesenggukan, Purple dengan cerianya bilang “Santai aja lah, Peeeel Pel. Serius amat. Masih banyak yang fun fun lhoo,” trus ngingetin kenangan lucu-lucu yang bisa bikin aku tersenyum dan akhirnya ketawa.
               Setelah reda semuanya, aku udah baikan, Piqui muncul dan ngingetin kalau aku masih punya proyek ini itu, masih punya impian ini itu, masih banyak orang yang harus dibantu, dan lain sebagainya. Aku jadi semangat lagi.
               Hebat kan, mereka. Aku bersyukur banget dengan kemunculan mereka. Kalau nggak ada mereka, mungkin sampai sekarang aku masih kesusahan memahami diri sendiri karena memang terlalu kompleks dan membingungkan. Bertengkar dengan diri sendiri itu melelahkan. Gagal memahami diri sendiri apa lagi. Bisa jadi gila beneran.
               Tentu saja mereka suka bikin bingung juga. Misalnya saja kalau ada orang jatuh. Lucile akan secara otomatis bergerak menolong. Purple? Dia akan ngetawain. Jadi apa yang kulakukan? Yes, nolongin sih, tapi sambil ngempet ketawa.
               Sudah terjawab kan sekarang kenapa aku punya banyak ketertarikan yang bertolak belakang, kenapa aku suka berubah-ubah sifatnya, kenapa aku aneh dan membingungkan. Aku juga masih belum bisa menghandel ini dengan sangat baik sekarang (Oh, andai saja Piqui nggak kebanyakan libur), tapi setidaknya memahami ini saja sudah merupakan satu langkah maju. Ternyata aku nggak berhalusinasi. Aku cuma ngomong dengan diriku sendiri.
               Buat siapapun yang juga berkepribadian kompleks di luar sana, nggak usah bingung. Mungkin nggak semua orang punya sosok-sosok berwujud kaya di kasusku, tapi aku yakin seiring berjalannya waktu, kamu akan bisa memahami dirimu sendiri dan menghandle kekompleks-an itu sehingga nggak kelelahan lagi. You are not alone.
               Butuh teman curhat? Curhatlah kalau sedang ada Lucile, jangan pas Haf yang menguasai. Hihi. Jangan curhat sama Purple juga. Dia sih ndlewer, nggak pernah bisa serius anaknya. Nanti kamu tersinggung kalau udah curhat panjang lebar tapi malah diledekin. Piqui? Oh, dia terlalu malas untuk mendengarkan.

You May Also Like

0 komentar