The Unseen Squad: Perwujudan Kepribadian Kompleks
Kalian
yang sudah berteman lama denganku pasti tahu kalau aku punya banyak teman yang
nggak kelihatan. Sekarang aku udah jarang ngobrolin mereka sih, tapi mereka
masih ada kok.
Temen
yang nggak kelihatan itu apa, Pel? Hantu?
Bukan
lah. Atau iya juga ding. Maksudnya aku menyebut mereka hantu tapi mereka bukan
hantu. Mudeng nggak?
Apa
mereka nyata? Yup, for me, they are so real. Apa kamu bisa melihat mereka? Of
course! Apa mereka ada wujudnya? Hell, yeah!
Tadinya
aku juga bingung mereka itu apa. Tadinya tak kirain bagian dari kegilaanku saja
yang kesepian. Kalau aku cerita ke Ibing juga Ibing kalem aja karena kan Ibing
paham kalau aku emang kurang waras. :D Tapi sekarang akhirnya aku sudah tahu
mereka ini apa tepatnya.
Sampai
sejauh ini ada empat sosok. Yang ternyata keempat sosok itu masing-masing
mewakili karakterku. Iya, jadi aku kan membingungkan. Kepribadiannya kompleks.
I’m not one but many. Dan masing-masing kepribadian itu sering bertengkar
dengan yang lain. Dulu, sebelum adanya sosok-sosok yang nggak kelihatan ini ya
aku pusing sendiri karena aku seperti bertengkar dengan diriku sendiri. Tapi
sejak muncul sosok-sosok itu kepusinganku berkurang. Seenggaknya aku merasa bisa
berdialog dengan orang lain meskipun orang lain itu adalah bagian dari diriku.
Haf
Haf
ini sosok yang pertama muncul. Tahun 2014. Munculnya pertama kali pas aku lagi
galau patah hati gara-gara jadi korban PHP. Hahaha. Ya ampun Pel, rapuh amat
jadi manusia. Tapi serius. Soalnya pas itu rada berat patah hatinya. Buat
ngelupainnya aja butuh waktu setahun lebih. Silakan diketawain aja gpp. Soalnya
aku toh sudah menemukan hikmah kenapa akhirnya kami nggak berjodoh yang bakal
tak ceritain di posting berikutnya. Hahaha. #SelaluAdaCelah
Sebenernya
semua teman nggak kelihatanku itu nggak punya jenis kelamin sih harusnya. Tapi
kalau di kepalaku, Haf ini laki-laki. Satu-satunya yang laki-laki. Wujudnya
kaya peri kecil seukuran capung rada gede dikit. Sifatnya dia itu tegas,
straight talker, sarkastis, sinis, sadis, galak, simple, dan rada nggak punya
perasaan. Aku banget lah. Haf ini yang suka marah-marahin kalau aku mulai kumat
lebaynya. Buat dia semua masalah itu sebenernya sederhana kalau nggak dipikir
ribet. And he’s right.
Jadi
misalnya aku lebay meratap-ratap bilang “Aku nggak ada gunanyaaaaa,” gitu
misalnya, dia akan bilang “Iya, emang. Baru nyadar? Ya kalau mau berguna do
something dong!” gitu. Hahahaha. Anehnya, meskipun dia galak dan suka nggak
punya perasaan, aku nggak pernah sakit hati kalau dikatain gimanapun juga sama
dia. Habisnya bener sih.
Trus
misalnya aku sedih patah hati gitu dia akan bilang “Kamu udah tau dia nggak
cinta kamu. Sekarang kamu punya dua pilihan: jadi bodoh dan terus nyedihin dia
yang nggak peduli sama kamu, atau kamu sadar dan move on. Buat dia menyesal!”
gitu. Menohok kan? Kalau kamu berhati lembut, saranku, jangan curhat sama Haf
sih. Kata-katanya hanya untuk orang-orang yang tegar.
Bagi
Haf, semua masalah adalah sederhana dan solusi itu ada di mana-mana kalau kita
mau sedikit saja berpikir. Makanya sepanjang waktu ekspresi dia ya kaya
males-malesan dan bosan gitu. Seolah mengatakan “Yah, manusia. Gitu aja
diributin.”
Lucile
Muncul
nggak lama setelah Haf. Agak lama ding, aku lupa tepatnya. Kalau Lucile ini
kebalikannya Haf. Dia cewek cantik lembut hatinya dan pendengar yang baik. Dia
juga sosok yang peduli pada keindahan dan gaya hidup sehat. Dia benci melihat
barang-barang nggak berada pada tempatnya. Dia selalu mengingatkanku untuk
berolahraga for the sake of keeping shape, dan iyaa dia jugalah yang kreatif
dan suka hal-hal seperti ngecraft, bikin diy, merajut, dan semacamnya.
Lucile
ini membelah hatiku jadi dua dan membuatku bingung sebingung-bingungnya.
Sebelum ada Lucile, aku nggak suka dandan. Aku ngomongin dandanan tadinya cuma
demi jualan aja. Ahahah. Tapi dengan Lucile, entah kenapa aku malah jadi suka
beneran. Makanya aku sampai bikin beauty blog segala meskipun nggak pernah
diurusin.
Makanya kalau ada di antara kalian
yang merasa aneh karena aku yang nggak fashionable blas ini tau-tau suka main
baju-bajuan, Lucile-lah penyebabnya. Dia juga yang ngasih ide jualan craft sama
bantal. Lha aku sebelumnya mana pernah kepikiran coba buat bisnis bantal dan
ngecraft yang kegiatan utamanya itu ngejahit dan bikin printil-printil kaya
gitu?
Dia
juga yang sempat membantuku jadi penjual baju yang nyaris sukses. Dia sangat
menikmati acara mengombinasikan baju, mix n match, ngedandanin mannequin, dan
yes, ngasih fashion advice. Kalau nggak saking hebatnya Lucile, nggak mungkin
dulu aku sampai punya pelanggan yang datang lagi berkali-kali karena menurut
mereka aku punya gaya dan mereka pengen dikasih saran. Dan bahkan pernah orang
mau beli baju yang lagi aku pakai hanya karena kepengen dan stoknya sudah
habis. Iya, Lucile sehebat itu.
Tapi
Lucile pendiam anaknya. Dia suka bekerja dalam diam, dan seperti yang aku sudah
bilang tadi, dia pendengar yang baik. Jadi, kalau kamu kepengen curhat, Lucile
adalah orang yang tepat. Gara-gara itu, aku jadi sering dicurhati. Bukan karena
aku bisa ngasih saran yang hebat, tapi semata hanya karena aku akan
mendengarkan curhatan orang itu. Kata Lucile, orang curhat itu sebenarnya hanya
butuh didengerin, kita nggak usah banyak ngomong. Wew.
Dan
karena Lucile lembut hatinya, dia juga jadi gampang iba. Dicurhatin dikit,
malah ikut kepikiran sampai berjam-jam. Hahaha. Sensitif banget perasaannya.
Kalau lihat ada kucing pincang di pinggir jalan, Lucile akan teriak suruh
ngajak kucingnya pulang buat dirawat.
Tapi dia jarang muncul dalam wujud
fisik sekarang. Dia nggak suka sama kosku yang sekarang. Katanya terlalu kaku
dan nggak menarik. Dia udah berkali-kali membujuk dan ngasih ide buat
mempercantik kos biar lebih instagramable, tapi apalah daya, ntar dimarahin pak
kos. Hahaha.
Purple
Waini.
Munculnya tahun 2015. Purple itu playful anaknya. Kekanakan, polos, dan
ceriaaaaaa terus nggak peduli kondisinya lagi seberat apapun juga. Dia ini
sosok yang bisa bikin sesuatu yang menyedihkan dan bakal membuat siapapun
menangis pilu, menjadi sesuatu yang lucu. Dia bisa menemukan kelucuan di manapun dia
berada, ke manapun dia melihat.
Dia
selalu punya ide jahil di kepalanya. Senyumnya juga senyum jahil. Prengas
prenges gitu. Kalau jalan nggak pernah biasa. Pakai acara jingkrak-jingkrak.
Dia suka bikin aneh-aneh kaya misalnya ngajak main kepang-kepangan biar
rambutnya kaya medusa, dandan kumis-kumisan, dan wah, pokoknya yang aneh, gila,
dan nggak penting, itu dari dia semua idenya. Dia juga kebalikan dari Lucile.
Kalau Lucile dewasa, Purple itu kekanak-kanakan banget.
Yang
hobi nyanyi sambil joget-joget sendiri di atas kasur pura-puranya lagi di
panggung? Purple. Yang hobi nonton Barbie sambil ngemil kwaci? Purple. Yang
kalau lagi makan es krim trus ada anak kecil ngeliatin bukannya ngasih tapi
malah ngiming-imingi? Purple. Yang suka korek-korek udel trus ngoser-oserin
baunya ke hidung Ibing? Purple. Jadi kalau kelakuanku lagi cengengesan nggak
jelas dan kelakuannya kaya orang gila, semua itu gara-gara Purple. Purple itu
kaya Peter Pan. Dia nggak pernah tumbuh dewasa. Umurnya 6 tahun. Kayaknya sih.
Tapi
karena dia ini bahagia terus, dia jadi nggak tersinggungan. Kebalikannya
Lucile. Lucile itu perasa. Baru ada orang nggak suka sama aku di pikiran aja
Lucile tahu. Sedangkan Purple, kalau ada orang yang nggak suka, nyinyir,
ngomong di belakang gitu dia akan cuek-cuek aja. Dia punya prinsip: hate me as
much as you want, I’m cute anyway. -_-
Piqui
I
love Piqui sooooo much. Muncul paling akhir, 2016 lalu pas Haf pamit mau pergi
(sekarang sudah sering muncul lagi, yaaaay!). Dia itu anaknya sistematis, rapi,
efektif. Kalau ada Piqui, kerjaan yang biasanya baru selesai dalam waktu tiga
hari bisa selesai dalam waktu sehari. Dia bisa bikin aku menyelesaikan banyak
sekali hal tanpa satupun terlewat. Dia bisa bikin aku ngerjain banyak hal
berguna dan masih punya banyak waktu untuk bersenang-senang.
Sejak
ada Piqui, aku jauh lebih produktif dari yang pernah kulakukan selama
bertahun-tahun. Tapiiiii, faknya, dia itu sering banget ngilang. Sering banget
libur lamaaaaaa dan nggak pernah kelihatan. Sekalipun tak panggil-panggil saat
aku membutuhkan.
Dia itu keras kepala, semaunya
sendiri, nggak mau diatur. Kalau seandainya dia manusia dan dia kerja di
perusahaan manusia, dia pasti bakalan dipecat nggak peduli seberapa bagus
kinerjanya.
Lha
pas banget beberapa hari kemarin ini aku merasa nggak bergairah dan nggak
produktif sama sekali. Tak panggil-panggil, dianya nggak nongol. Padahal kalau
dia nggak nongol itu aku mendadak oon, nggak tau harus ngapain. Tau sih, harus
ngapain, cuma nggak ngerti mau ngerjain yang mana dulu. Segalanya jadi nggak
efektif lah pokoknya.
Kemarin
malam dia tiba-tiba muncul membawa sederet to do list dan dengan tenangnya
ngasih instruksi, “Gini lho Pel, ini dulu, lalu ini, ini, ini. Kan udah pernah
tak bilangin. Masa lupa?”
Diomelin
gitu aku ngomel balik, “Lha kamu ke mana aja? Ke mana perginya kamu di saat aku
lagi butuh? Kamu itu pinter banget, Piqui. Sangat membantu. Tapi libur libur
mulu,” dengan pandangan mata menghujam menghakimi. Dan dia bilang apa coba? Aku
nggak akan lupa yang dia katakan malam itu, soalnya gara-gara omongannya itulah
aku akhirnya paham semua ini dan menuliskan ini semua (apa banget ini kalimat).
Dia bilang “What? I’m just like you: brilliant but lazy,” kemudian ngeloyor
pergi meninggalkanku terbengong-bengong di kamar mandi.
Gara-gara
omongan Piqui itu aku jadi ingat omongan seseorang belum lama ini yang
mengatakan “Kalau aku punya kepalamu, sudah banyak karya yang tercipta,” trus
omongan orang lain dulu yang bilang “Kamu punya potensi. Ide-idemu out of the
box. Cuma nggak tau bakal sukses apa enggak kalau kamunya kaya gini,” dan
omongan-omongan lain yang sejenis. Aku nggak mau kegeeran sih, tapi mereka
semua benar. Semua orang punya potensi. Semua orang bisa menjadi sukses dan
hebat kalau rajin dan semangat. Bahkan yang difabel aja bisa berkarya kok
kenapa aku yang sehat wal afiat sempurna malah sibuk ngegalauin diri sendiri?
Trus
aku jadi mikir lagi. Piqui was right. She is just like me. Kalau gitu, Haf,
Lucile, Purple … wah pantas saja. Dan detik itulah aku baru memahami ini semua.
Kalau mereka itu bukan sosok aneh-aneh. Mereka itu sesederhana pecahan dari
diriku karena kepribadianku yang kompleks. Mereka semua adalah aku.
Trus bagaimana dengan aku yang asli?
Aku yang asli sebenarnya melankolis
anaknya. Rapuh banget. Putus asa, ketakutan, lelah, dan memilih untuk
bersembunyi dalam kegelapan. Mereka berempat menyelamatkanku. Contohnya saja
pas aku depresi berat dan sudah pengen bunuh diri, mereka melakukan peran
mereka dengan sangat baik.
Haf
muncul dan bilang “Sebenernya terserah aja sih kamu pengen mati juga. Tapi
kalau kamu bunuh diri di sini, kamu akan bikin repot banyak orang. Anak-anak
kos bakal ketakutan, Pak Kos bakal kebingungan, dan kamu bakal nyusahin Mbak
Siti dan Pak Abu yang harus terpaksa ngebersihin TKP. Belum lagi Ibing pasti
akan jadi orang pertama yang diinterogasi karena dia adalah orang terakhir yang
ketemu kamu. Kamu bosen hidup? Terserah. Tapi kamu mau, kematianmu malah
nyusahin banyak orang?”
Aku
udah bilang kan, dia itu nggak ada lembut-lembutnya sama sekali. Lucile tentu
saja ada buat memeluk dan ngepuk-puk sementara aku mencerna omongan Haf.
Akhirnya aku pikir, bener juga. Hidup ngasih manfaat enggak, matinya malah
bikin susah. Setelah aku menerima omongan Haf sambil sesenggukan, Purple dengan
cerianya bilang “Santai aja lah, Peeeel Pel. Serius amat. Masih banyak yang fun
fun lhoo,” trus ngingetin kenangan lucu-lucu yang bisa bikin aku tersenyum dan akhirnya
ketawa.
Setelah
reda semuanya, aku udah baikan, Piqui muncul dan ngingetin kalau aku masih
punya proyek ini itu, masih punya impian ini itu, masih banyak orang yang harus
dibantu, dan lain sebagainya. Aku jadi semangat lagi.
Hebat
kan, mereka. Aku bersyukur banget dengan kemunculan mereka. Kalau nggak ada
mereka, mungkin sampai sekarang aku masih kesusahan memahami diri sendiri
karena memang terlalu kompleks dan membingungkan. Bertengkar dengan diri
sendiri itu melelahkan. Gagal memahami diri sendiri apa lagi. Bisa jadi gila
beneran.
Tentu
saja mereka suka bikin bingung juga. Misalnya saja kalau ada orang jatuh.
Lucile akan secara otomatis bergerak menolong. Purple? Dia akan ngetawain. Jadi
apa yang kulakukan? Yes, nolongin sih, tapi sambil ngempet ketawa.
Sudah
terjawab kan sekarang kenapa aku punya banyak ketertarikan yang bertolak
belakang, kenapa aku suka berubah-ubah sifatnya, kenapa aku aneh dan
membingungkan. Aku juga masih belum bisa menghandel ini dengan sangat baik
sekarang (Oh, andai saja Piqui nggak kebanyakan libur), tapi setidaknya
memahami ini saja sudah merupakan satu langkah maju. Ternyata aku nggak
berhalusinasi. Aku cuma ngomong dengan diriku sendiri.
Buat
siapapun yang juga berkepribadian kompleks di luar sana, nggak usah bingung.
Mungkin nggak semua orang punya sosok-sosok berwujud kaya di kasusku, tapi aku
yakin seiring berjalannya waktu, kamu akan bisa memahami dirimu sendiri dan
menghandle kekompleks-an itu sehingga nggak kelelahan lagi. You are not alone.
Butuh
teman curhat? Curhatlah kalau sedang ada Lucile, jangan pas Haf yang menguasai.
Hihi. Jangan curhat sama Purple juga. Dia sih ndlewer, nggak pernah bisa serius
anaknya. Nanti kamu tersinggung kalau udah curhat panjang lebar tapi malah
diledekin. Piqui? Oh, dia terlalu malas untuk mendengarkan.
0 komentar