Memfilter Diri Sendiri

by - 12.28.00




               Di jaman informasi serba cepat seperti sekarang ini, sering kali aku merasa telah menyia-nyiakan umur cuma gara-gara baca informasi sampah. 

               Makanya kadang kalau lagi fesbukan gitu aku cuma scroll aja, nggak baca postingan yang kalimat awalnya nggak menarik. Kalau ketemu yang menarik nha baru, baca sampai habis. 

               Bayangin aja! Hari ini semua orang sibuk memproduksi informasi. Mulai dari yang berharga sampai yang bener-bener nggak ada faedahnya bagi siapapun, bahkan diri sendiri. 

               Tentu saja aku juga termasuk dalam gerombolan nirfaedah itu. Tiap hari memproduksi sampah visual, sampah verbal, sampah kata-kata. Tiap hari. Yawlooh. Apa hidupku segitu kurangnya kesibukan ya? 

               Makanya sejak menyadari fakta yang menyedihkan ini aku mulai memfiltter diri sendiri. 
Or in this case, doesn't mean I should post it on Facebook.

               Sering kali aku merasakan ‘the urge’ untuk ngepos sesuatu yang sedap banget. Misalnya aja gosip, atau nyindir siapa gitu. Sedaaaaap. Tapi trus aku batalin karena aku akhirnya menyadari kalau itu nggak ada faedahnya sama sekali. Buat diriku sendiri aja enggak, apalagi buat orang lain? 

               Sering juga aku sotoy pengen belaga ngomentarin isyu penting yang melibatkan kepentingan khalayak. Tapi trus nggak jadi karena aku sadar diri aku nggak capable buat komentar tentang topik yang bersangkutan. 

               Kadang juga pengen jelasin tentang kesalahapahaman oknum yang nggak paham guyonanku dan menimbulkan misinterpretasi dalam komen mereka. Tapi well ya, ntar malah dikira aku baper. Jadi ya udah lah. Biarkan yang nggak paham tetap nggak paham. Nggak semua hal harus dijelaskan.

               Dan masih banyak lagi contoh lain. Yang bahkan sampai sekarang juga aku masih suka lupa ngelakuin itu. Huhuhu. Soalnya timeline berjalan begitu cepat. Kepleset jari jadi hal yang tak terelakkan. Godaan untuk serta merta nyamber ngomen hal-hal yang lagi happening itu gedeee baanget. Butuh segenap tekad dan kekuatan penuh untuk menahan diri. 

               Belum lagi pesonanya yang sungguh menyita waktu. Makanya aku rasanya suka pengen berguru ke temen-temen yang ngelola sosmednya dengan bagus, postingannya cantik nggak pernah nyinggung siapa-siapa, kalau nulis panjang dan dibaca sampai habis ada manfaatnya, dan mereka masih sempet kuliah S2, jadi dosen, ngeblog (aktif rajin banget update), nulis buku, dan baca buku filsafat. Aku kok curiga sebenernya mereka itu dewa/dewi yang menyamar jadi netizen.

Mengontrol Emosi

               Yang paling berat dari semuanya tentu saja mengontrol emosi. Seringnya, kasus kepleset jari dan asal samber itu asal mulanya tak lain dan tak bukan adalah akibat kegagalan berumah tangga mengontrol emosi.

               Ada ribut-ribut apa, tak kuasa menahan godaan untuk urun pendapat juga. Ada temen salah komen langsung ngamuk tersinggung. Ada temen posting sesuatu yang nggak berkenan di hati, langsung bikin posting tandingan, dst. Iya, ini aku lagi ngomongin diri sendiri kok. 

               Sekarang ini ibaratnya aku lagi transisi mencoba untuk sedikiiiit saja lebih sabar. Misalnya ada yang komen sotoy padahal baca postingannya aja enggak, daripada baper mending energinya kuarahkan untuk hal lain. Mengalihkan uneg-uneg yang sedianya mau distatusin itu menjadi tulisan yang rada lebih panjang buat isi-isi blog, misalnya. Hahahah.


               Sama aja sih, cuma rada lebih bermanfaat seenggaknya bagi diriku sendiri karena nulis postingan blog itu beda sama nulis status. Perlu mikir. Jadi selama nulis aku juga sekalian kontemplasi. Kalau cuma di status, ha mbok yakin, isinya cuma emosi.

Tipe-tipe Netizen

               Dari pengamatan terhadap netizen yang sering berinteraksi di statusku, aku menemukan setidaknya ada tiga tipe netizen:

1.      Yang mudeng guyonanku dan langsung nyaut guyon juga.

Orang-orang kaya gini biasanya adalah orang asik yang kemungkinan besar level kesablengannya sama kaya aku. Tahu banget caranya bercanda. Hidupnya super bahagia bin lucu. Kalau aku nyarkas, tahu banget kalau itu sarkas, dan komen sarkas juga sampai-sampai kaya serius banget. Padahal nulisnya sambil ngekek-ngekek.

2.      Yang menerima apapun yang kutulis sebagaimana adanya tanpa bisa menangkap guyonan tersirat di dalamnya atau gagal memahami kalau itu sarkasme.

Yang kaya gini tuh orang-orang lugu. Mereka benar-benar menerima segala sesuatau sesuai yang terlihat. Nggak masuk ke kedalaman. Mereka cuma ketawa pada guyonan yang jelas-jelas menyatakan guyon. Guyon tersembunyi atau yang menyamar jadi sarkasme? Mereka nggak paham. Mereka suka kebigungan sendiri karena “Pelle kok aneh, perasaan tadi bilang hobi bikin PR sama les Fisika, tapi di status berikutnya cerita kalau semasa sekolah nakal.” Nha, mereka nggak bisa membedakan mana yang cerita betulan mana yang cuma guyon.
Nggak heran kenapa temenku mam Wesiati kalau nulis status kadang dikasih keterangan “Nggak usah dimasukin hati. Ini guyon.” Soalnya orang nggak mudeng guyon semacam ini memang ada. Hehe.

3.      Yang kelewat serius.

Tipe yang selalu menanggapi apapun secara serius. Bahkan di status paling hilarious-pun mereka masih bisa banget ngasih petuah-petuah bijak yang luar biasa seriusnya. Orang-orang ini selalu mengkhawatirkan orang lain. Takut yang nulis status nggak masuk surga, takut yang nulis status nggak bahagia, dst. Padahal yang nulis status cuma becanda-becanda aja. 

Thank goodness, spesies kaya gini sama langkanya kaya populasi badak bercula satu. Kalau ada banyak, niscaya aku nggak akan sanggup lagi masuk timeline. Nggak tega, bro, kasian sama orang kaya gini.

Tujuan Bersosial Media

               Di media sosial itu ya, orang bebas mau jadi apapun, siapapun, seperti apapun. Mau jadi cantik, berbagai fitur edit-mengedit sudah tersedia. Mau jadi gaol, semua trik pencitraan juga bisa dipakai. Mau jadi playboy? Banyak caranya. Bisa dengan nulis sajak yang merontokkan hati, bisa dengan pamer harta, pamer otot, pamer kecerdasan, dll. Mau jadi terkenal? Bikin aja cerita kontraversi. Makin goblok makin cepet terkenalnya. 

               Bebaaaasss, mau jadi apa juga. Makanya aku heran kalau ada orang yang di internet itu malah memilih menjadi begitu serius. Seolah kehidupan nyata itu belum cukup bikin menderita. 

               Aku? Aku memilih untuk bahagia. Makanya aku kebanyakan becanda. Dan ketahuilah, wahai seriusers, statusku itu 99% becanda. 1% seriusnya belum tentu muncul setahun sekali. Jadi nggak usah dipikirin banget-banget, apalagi percaya. Jangan! Wong akunya aja nulisnya sambil ngakak-ngakak kok. 

               Kembali ke topik awal soal filter, yahh, itu memang berat sih. Berubah itu nggak gampang. Harus fokus dan konsisten. Aku sekarang masih seriiing begitu reaktif ikut nyamber apapun itu topik yang lagi happening. Kadang juga kelepasan nggak kontrol emosi dan jadi reaktif atas tanggapan orang (yang sebenernya nggak perlu diambil pusing). 

               Tapi kalau pas sadar, aku berusaha sebaik-baiknya buat memfilter diri. Posting cuma yang lucu-lucu aja. Jadi yah, sekalipun itu sampah informasi yang nggak ada manfaaatnya, seenggaknyaa bisa bikin orang tertawa. Setidaknya aku sendiri tertawa. Bahagia. 


               Ya lah, bersosial media buat fun-fun. Lha kalau serius sih, mending aku kuliah S3, melanjutkan penelitian-penelitian Tesla, bangun mesin waktu, mencalonkan diri jadi presiden. Karuan!

You May Also Like

2 komentar

  1. BERKOMENTAR ADALAH BERCERMIN

    Berkomentar di sosmed seringkali bagiku terasa bercermin pada diri sendiri.
    Komentar yang kutulis ikut menunjukkan siapa diriku,
    di satu saat menyimpulkan pemikiran atau laku hidup yg selama ini dijalani namun tdk disadari.
    Di saat lain memunculkan nilai2 ideal yg dipahami secara kognitif namun belum menjadi praktek laku hidup keseharian.
    __________
    Berkomentar juga menjadi cermin empati & sambung rasa kepada orang lain yg kita komentari, sering komentarku tidak nyambung dg esensi pemikiran yg dibagikan dalam sebuah thread.
    Juga menjadi ajang belajar banyak hal.
    __________
    Berkomentar di tulisan2 seorang guru penggiat menulis & blog seperti Pak Sawali Tuhusetya membuatku belajar utk menggunakan istilah, kosa kata & tata bahasa yg tepat juga semangat utk tetap menulis berbagi pemikiran. :-)
    Berkomentar di diskusi anak2 muda seperti mbak Anesha Muhtar membuatku belajar memahami sikap kritis mereka thd kehidupan sekaligus menguji pandanganku apakah sdh tertinggal jaman & menjadi nyinyir sejalan dg usia yg makin menua *berasa dah tua*
    __________
    Seringkali pula setelah berkomentar ada perasaan apakah komentarku cukup bijak atau hanya menyampah. Mengajakku menyadari diri dari mana kecenderungan baper & keberpihakanku pada suatu hal.

    Dan sesuatu yg penting pula, dg berkomentar kita menjalin persahabatan, drpd hanya sekedar memberi like saja, :-)

    Di FB aku pake nama belakangku Teguh Prihandoko

    BalasHapus
    Balasan
    1. OMG! Makasih, komentarnya panjang sekali. :D
      Iya, betul. Kadang sebelum komen aku juga mikir dulu ini komennya ada andilnya dalam diskusi atau cuma sampah. Apalagi kalau menyangkut tema-tema sensitif yang memungkinkan terjadinya keberpihakan.
      Jangan sampai malah cuma memancing debat kusir.
      Bersikap netral dan santai-santai saja kadang juga nggak mudah. Hehehe.

      Hapus