Memfilter Diri Sendiri
Di
jaman informasi serba cepat seperti sekarang ini, sering kali aku merasa telah
menyia-nyiakan umur cuma gara-gara baca informasi sampah.
Makanya
kadang kalau lagi fesbukan gitu aku cuma scroll aja, nggak baca postingan yang kalimat
awalnya nggak menarik. Kalau ketemu yang menarik nha baru, baca sampai habis.
Bayangin
aja! Hari ini semua orang sibuk memproduksi informasi. Mulai dari yang berharga
sampai yang bener-bener nggak ada faedahnya bagi siapapun, bahkan diri sendiri.
Tentu
saja aku juga termasuk dalam gerombolan nirfaedah itu. Tiap hari memproduksi
sampah visual, sampah verbal, sampah kata-kata. Tiap hari. Yawlooh. Apa hidupku
segitu kurangnya kesibukan ya?
Makanya
sejak menyadari fakta yang menyedihkan ini aku mulai memfiltter diri sendiri.
Or in this case, doesn't mean I should post it on Facebook. |
Sering
kali aku merasakan ‘the urge’ untuk ngepos sesuatu yang sedap banget. Misalnya
aja gosip, atau nyindir siapa gitu. Sedaaaaap. Tapi trus aku batalin karena aku
akhirnya menyadari kalau itu nggak ada faedahnya sama sekali. Buat diriku
sendiri aja enggak, apalagi buat orang lain?
Sering
juga aku sotoy pengen belaga ngomentarin isyu penting yang melibatkan
kepentingan khalayak. Tapi trus nggak jadi karena aku sadar diri aku nggak
capable buat komentar tentang topik yang bersangkutan.
Kadang
juga pengen jelasin tentang kesalahapahaman oknum yang nggak paham guyonanku
dan menimbulkan misinterpretasi dalam komen mereka. Tapi well ya, ntar malah
dikira aku baper. Jadi ya udah lah. Biarkan yang nggak paham tetap nggak paham.
Nggak semua hal harus dijelaskan.
Dan
masih banyak lagi contoh lain. Yang bahkan sampai sekarang juga aku masih suka
lupa ngelakuin itu. Huhuhu. Soalnya timeline berjalan begitu cepat. Kepleset
jari jadi hal yang tak terelakkan. Godaan untuk serta merta nyamber ngomen
hal-hal yang lagi happening itu gedeee baanget. Butuh segenap tekad dan kekuatan
penuh untuk menahan diri.
Belum
lagi pesonanya yang sungguh menyita waktu. Makanya aku rasanya suka pengen
berguru ke temen-temen yang ngelola sosmednya dengan bagus, postingannya cantik
nggak pernah nyinggung siapa-siapa, kalau nulis panjang dan dibaca sampai habis
ada manfaatnya, dan mereka masih sempet kuliah S2, jadi dosen, ngeblog (aktif
rajin banget update), nulis buku, dan baca buku filsafat. Aku kok curiga
sebenernya mereka itu dewa/dewi yang menyamar jadi netizen.
Mengontrol Emosi
Yang
paling berat dari semuanya tentu saja mengontrol emosi. Seringnya, kasus
kepleset jari dan asal samber itu asal mulanya tak lain dan tak bukan adalah
akibat kegagalan berumah tangga mengontrol emosi.
Ada
ribut-ribut apa, tak kuasa menahan godaan untuk urun pendapat juga. Ada temen
salah komen langsung ngamuk tersinggung. Ada temen posting sesuatu yang nggak
berkenan di hati, langsung bikin posting tandingan, dst. Iya, ini aku lagi
ngomongin diri sendiri kok.
Sekarang
ini ibaratnya aku lagi transisi mencoba untuk sedikiiiit saja lebih sabar.
Misalnya ada yang komen sotoy padahal baca postingannya aja enggak, daripada
baper mending energinya kuarahkan untuk hal lain. Mengalihkan uneg-uneg yang
sedianya mau distatusin itu menjadi tulisan yang rada lebih panjang buat
isi-isi blog, misalnya. Hahahah.
Sama
aja sih, cuma rada lebih bermanfaat seenggaknya bagi diriku sendiri karena
nulis postingan blog itu beda sama nulis status. Perlu mikir. Jadi selama nulis
aku juga sekalian kontemplasi. Kalau cuma di status, ha mbok yakin, isinya cuma
emosi.
Tipe-tipe Netizen
Dari
pengamatan terhadap netizen yang sering berinteraksi di statusku, aku menemukan
setidaknya ada tiga tipe netizen:
1. Yang mudeng guyonanku dan langsung nyaut guyon juga.
Orang-orang kaya gini biasanya adalah orang
asik yang kemungkinan besar level kesablengannya sama kaya aku. Tahu banget
caranya bercanda. Hidupnya super bahagia bin lucu. Kalau aku nyarkas, tahu
banget kalau itu sarkas, dan komen sarkas juga sampai-sampai kaya serius
banget. Padahal nulisnya sambil ngekek-ngekek.
2. Yang menerima apapun yang kutulis sebagaimana adanya tanpa bisa menangkap guyonan tersirat di dalamnya atau gagal memahami kalau itu sarkasme.
Yang kaya gini tuh orang-orang lugu. Mereka
benar-benar menerima segala sesuatau sesuai yang terlihat. Nggak masuk ke
kedalaman. Mereka cuma ketawa pada guyonan yang jelas-jelas menyatakan guyon.
Guyon tersembunyi atau yang menyamar jadi sarkasme? Mereka nggak paham. Mereka
suka kebigungan sendiri karena “Pelle kok aneh, perasaan tadi bilang hobi bikin
PR sama les Fisika, tapi di status berikutnya cerita kalau semasa sekolah
nakal.” Nha, mereka nggak bisa membedakan mana yang cerita betulan mana yang cuma
guyon.
Nggak heran kenapa temenku mam Wesiati kalau nulis
status kadang dikasih keterangan “Nggak usah dimasukin hati. Ini guyon.”
Soalnya orang nggak mudeng guyon semacam ini memang ada. Hehe.
3. Yang kelewat serius.
Tipe yang selalu menanggapi apapun secara
serius. Bahkan di status paling hilarious-pun mereka masih bisa banget ngasih
petuah-petuah bijak yang luar biasa seriusnya. Orang-orang ini selalu
mengkhawatirkan orang lain. Takut yang nulis status nggak masuk surga, takut
yang nulis status nggak bahagia, dst. Padahal yang nulis status cuma becanda-becanda
aja.
Thank goodness, spesies kaya gini sama
langkanya kaya populasi badak bercula satu. Kalau ada banyak, niscaya aku nggak
akan sanggup lagi masuk timeline. Nggak tega, bro, kasian sama orang kaya gini.
Tujuan Bersosial Media
Di
media sosial itu ya, orang bebas mau jadi apapun, siapapun, seperti apapun. Mau
jadi cantik, berbagai fitur edit-mengedit sudah tersedia. Mau jadi gaol, semua
trik pencitraan juga bisa dipakai. Mau jadi playboy? Banyak caranya. Bisa
dengan nulis sajak yang merontokkan hati, bisa dengan pamer harta, pamer otot,
pamer kecerdasan, dll. Mau jadi terkenal? Bikin aja cerita kontraversi. Makin
goblok makin cepet terkenalnya.
Bebaaaasss,
mau jadi apa juga. Makanya aku heran kalau ada orang yang di internet itu malah
memilih menjadi begitu serius. Seolah kehidupan nyata itu belum cukup bikin
menderita.
Aku?
Aku memilih untuk bahagia. Makanya aku kebanyakan becanda. Dan ketahuilah,
wahai seriusers, statusku itu 99% becanda. 1% seriusnya belum tentu muncul
setahun sekali. Jadi nggak usah dipikirin banget-banget, apalagi percaya.
Jangan! Wong akunya aja nulisnya sambil ngakak-ngakak kok.
Kembali
ke topik awal soal filter, yahh, itu memang berat sih. Berubah itu nggak
gampang. Harus fokus dan konsisten. Aku sekarang masih seriiing begitu reaktif
ikut nyamber apapun itu topik yang lagi happening. Kadang juga kelepasan nggak
kontrol emosi dan jadi reaktif atas tanggapan orang (yang sebenernya nggak
perlu diambil pusing).
Tapi kalau pas sadar, aku berusaha sebaik-baiknya buat memfilter diri. Posting cuma
yang lucu-lucu aja. Jadi yah, sekalipun itu sampah informasi yang nggak ada
manfaaatnya, seenggaknyaa bisa bikin orang tertawa. Setidaknya aku sendiri
tertawa. Bahagia.
Ya
lah, bersosial media buat fun-fun. Lha kalau serius sih, mending aku kuliah S3,
melanjutkan penelitian-penelitian Tesla, bangun mesin waktu, mencalonkan diri
jadi presiden. Karuan!
2 komentar
BERKOMENTAR ADALAH BERCERMIN
BalasHapusBerkomentar di sosmed seringkali bagiku terasa bercermin pada diri sendiri.
Komentar yang kutulis ikut menunjukkan siapa diriku,
di satu saat menyimpulkan pemikiran atau laku hidup yg selama ini dijalani namun tdk disadari.
Di saat lain memunculkan nilai2 ideal yg dipahami secara kognitif namun belum menjadi praktek laku hidup keseharian.
__________
Berkomentar juga menjadi cermin empati & sambung rasa kepada orang lain yg kita komentari, sering komentarku tidak nyambung dg esensi pemikiran yg dibagikan dalam sebuah thread.
Juga menjadi ajang belajar banyak hal.
__________
Berkomentar di tulisan2 seorang guru penggiat menulis & blog seperti Pak Sawali Tuhusetya membuatku belajar utk menggunakan istilah, kosa kata & tata bahasa yg tepat juga semangat utk tetap menulis berbagi pemikiran. :-)
Berkomentar di diskusi anak2 muda seperti mbak Anesha Muhtar membuatku belajar memahami sikap kritis mereka thd kehidupan sekaligus menguji pandanganku apakah sdh tertinggal jaman & menjadi nyinyir sejalan dg usia yg makin menua *berasa dah tua*
__________
Seringkali pula setelah berkomentar ada perasaan apakah komentarku cukup bijak atau hanya menyampah. Mengajakku menyadari diri dari mana kecenderungan baper & keberpihakanku pada suatu hal.
Dan sesuatu yg penting pula, dg berkomentar kita menjalin persahabatan, drpd hanya sekedar memberi like saja, :-)
Di FB aku pake nama belakangku Teguh Prihandoko
OMG! Makasih, komentarnya panjang sekali. :D
HapusIya, betul. Kadang sebelum komen aku juga mikir dulu ini komennya ada andilnya dalam diskusi atau cuma sampah. Apalagi kalau menyangkut tema-tema sensitif yang memungkinkan terjadinya keberpihakan.
Jangan sampai malah cuma memancing debat kusir.
Bersikap netral dan santai-santai saja kadang juga nggak mudah. Hehehe.