Angin

by - 17.08.00





Oh, usang. Lagi-lagi angin mengabarkan kerinduan. Membosankan.
Tapi kau tahu, seperti angin juga tahu, aku tak mempercayai siapapun, atau apapun. Ingin berubah jadi angin, katamu? Padahal di antara semua hal yang tak bisa dipercaya, angin berada di urutan pertama. Selalu berubah arah, angin itu. Bergantung pada suhu dan kerapatan udara. Kendali atas diri sendiripun tak punya.
Tapi kalau rindu itu adalah api, angin bukan memadamkannya. Justru rindu itu ia kobarkan. Tak peduli kobarannya mencapai langit. Tak peduli dalam perjalanannya menghancurkan apa-apa. Tapi itu toh bukan salah angin. Bukan juga salah api. Sejak semula, kitalah yang bersalah karena menyalakan pemantik, bukan? Iya, aku egois telah menyalakannya.
Tapi aku rindu kau. Dan rupanya, kepergianku hanyalah omong kosong untuk membohongi diri sendiri. Api sudah terlanjur menyala. Kalau saja aku berani terjun ke bak mandi untuk memadamkannya.
“Aku pun rindu kau,” katamu.
“Sekalipun kau tak ingin?”
“Aku ingin.”
“Kau tidak tahu. Aku sudah bilang angin tak punya kendali atas dirinya sendiri.”
“Aku tahu aku ingin.”
“Bagaimana kalau aku tak ingin?”
“Aku tahu kau ingin. Buktinya, kau menyalakan api.”
“Itu kesalahan. Aku ingin memadamkannya. Aku ingin berhenti merindukanmu.”
“Jangan berhenti!”
“Aku tak bisa terus-terusan merindukan angin. Angin datang lalu pergi. Selalu seperti itu.”
“Aku tidak. Aku akan menjadi angin, mendatangimu dengan badai, lalu mengembun di dekatmu. Nanti kita bisa menguap bersama.”
“Embun memadamkan api, sayang,” kataku. Tersenyum jenuh.
Kita berdua memang harus berhenti menyalakan omong kosong, mengobarkannya, dan menganggapnya nyata. Tidak ada yang benar-benar nyata. Kita berdua terbakar tapi tak hangus. Kita berdua berkobar tapi kedinginan. Kita mengembun, menguap, terpecah menjadi partikel-partikel kecil, tapi tak pernah bersama. Aku tidak tahu lagi harus menangis atau tertawa.
“Aku tak akan membiarkan kau terluka,” kau pernah bilang.
“Bagaimana mungkin? Menyalakan api adalah kesalahanku yang pertama. Jatuh cinta pada angin adalah kesalahanku yang kedua. Terbakar maupun terjatuh, aku tetap terluka.”
Kabar baiknya, tak ada satu halpun yang benar-benar nyata. Jadi mudah-mudahan luka itupun tak nyata. Walaupun kau harus menguap dan tak ada lagi. Sekalipun aku padam menjadi asap dan tak ada lagi.
Lagi pula, kita ini hanya sekumpulan angka nol dan satu. Berjalan-jalan mengendarai mesin waktu. Kita bisa menyamar menjadi api, angin, bahkan phoenix sekalipun yang abadi sekalipun terbakar berkali-kali. Kita bisa terus bicara mimpi. Dan tertawa pura-pura bahagia. Tapi sementara kau berlarian ke sana ke mari, aku akan diam menyala di sini. Sendirian dan baik-baik saja. Sampai tiba saatnya kau berubah menjadi embun dan memadamkanku.
“Aku tak akan membiarkan kau terluka.”
“Pilihan apa yang aku punya?”

You May Also Like

0 komentar