Angin
Oh, usang. Lagi-lagi angin mengabarkan
kerinduan. Membosankan.
Tapi kau tahu, seperti angin juga tahu, aku tak
mempercayai siapapun, atau apapun. Ingin berubah jadi angin, katamu? Padahal di
antara semua hal yang tak bisa dipercaya, angin berada di urutan pertama.
Selalu berubah arah, angin itu. Bergantung pada suhu dan kerapatan udara.
Kendali atas diri sendiripun tak punya.
Tapi kalau rindu itu adalah api, angin bukan
memadamkannya. Justru rindu itu ia kobarkan. Tak peduli kobarannya mencapai
langit. Tak peduli dalam perjalanannya menghancurkan apa-apa. Tapi itu toh
bukan salah angin. Bukan juga salah api. Sejak semula, kitalah yang bersalah
karena menyalakan pemantik, bukan? Iya, aku egois telah menyalakannya.
Tapi aku rindu kau. Dan rupanya, kepergianku
hanyalah omong kosong untuk membohongi diri sendiri. Api sudah terlanjur
menyala. Kalau saja aku berani terjun ke bak mandi untuk memadamkannya.
“Aku pun rindu kau,” katamu.
“Sekalipun kau tak ingin?”
“Aku ingin.”
“Kau tidak tahu. Aku sudah bilang angin tak
punya kendali atas dirinya sendiri.”
“Aku tahu aku ingin.”
“Bagaimana kalau aku tak ingin?”
“Aku tahu kau ingin. Buktinya, kau menyalakan
api.”
“Itu kesalahan. Aku ingin memadamkannya. Aku
ingin berhenti merindukanmu.”
“Jangan berhenti!”
“Aku tak bisa terus-terusan merindukan angin.
Angin datang lalu pergi. Selalu seperti itu.”
“Aku tidak. Aku akan menjadi angin,
mendatangimu dengan badai, lalu mengembun di dekatmu. Nanti kita bisa menguap
bersama.”
“Embun memadamkan api, sayang,” kataku. Tersenyum
jenuh.
Kita berdua memang harus berhenti menyalakan
omong kosong, mengobarkannya, dan menganggapnya nyata. Tidak ada yang
benar-benar nyata. Kita berdua terbakar tapi tak hangus. Kita berdua berkobar
tapi kedinginan. Kita mengembun, menguap, terpecah menjadi partikel-partikel
kecil, tapi tak pernah bersama. Aku tidak tahu lagi harus menangis atau
tertawa.
“Aku tak akan membiarkan kau terluka,” kau
pernah bilang.
“Bagaimana mungkin? Menyalakan api adalah
kesalahanku yang pertama. Jatuh cinta pada angin adalah kesalahanku yang kedua.
Terbakar maupun terjatuh, aku tetap terluka.”
Kabar baiknya, tak ada satu halpun yang
benar-benar nyata. Jadi mudah-mudahan luka itupun tak nyata. Walaupun kau harus
menguap dan tak ada lagi. Sekalipun aku padam menjadi asap dan tak ada lagi.
Lagi pula, kita ini hanya sekumpulan angka nol
dan satu. Berjalan-jalan mengendarai mesin waktu. Kita bisa menyamar menjadi
api, angin, bahkan phoenix sekalipun yang abadi sekalipun terbakar berkali-kali.
Kita bisa terus bicara mimpi. Dan tertawa pura-pura bahagia. Tapi sementara kau
berlarian ke sana ke mari, aku akan diam menyala di sini. Sendirian dan
baik-baik saja. Sampai tiba saatnya kau berubah menjadi embun dan memadamkanku.
“Aku tak akan membiarkan kau terluka.”
“Pilihan apa yang aku punya?”
0 komentar