Mantra

by - 12.38.00


Image from Pinterest


Malam ini kita menyamar menjadi sepasang kekasih. Aku berbaring dalam pelukanmu sambil berceloteh tak putus-putus tentang Night Fury yang terbang menuju matahari tenggelam. 

“Dia tak pernah sampai. Karena dia cepat dan bumi bulat. Matahari tak pernah jadi tenggelam.”

“Senja terus di sana?”

“Tidak. Sudah malam di sana. Tapi Night Fury sudah tidak di sana lagi. Dia kan terbang mengejar matahari. Kau tahu kan, matahari hanya bisa tenggelam kalau kita duduk diam.”

Lalu kau ganti bercerita tentang perjalanan menapaki cahaya untuk menemukan tulang ikan. 

“Cerita macam apa itu?” aku tertawa serak. Lalu kau menciumku gemas.

“Aku mulai kesetanan. Sejak sore tadi aku membaca mantra pemanggil setanku dan sekarang aku kesurupan kamu.”

“Hah?”

“Kamu keberatan?”

“Apa?”

“Kalau aku memujamu?”

“Tentu saja tidak. Itu kan kegilaanmu sendiri. Terserah saja. Kita tidak bisa meminta seseorang untuk mencintai kita. Kita juga tidak bisa meminta seseorang untuk berhenti memuja kita,” kataku. Masih memikirkan apa yang dilakukan tulang ikan di tumpukan cahaya. 

“Aku mencintaimu meski kau tidak,” katamu. 

“Jangan ngomong cinta, ah. Aku trauma.”

“Terserah lah. Aku bisa ngomong gini juga gara-gara kamu.”

Aku hanya menggerakkan bahu. Berharap kau bicara tentang tulang ikan lagi saja. Sudah sampai mana tadi? Ah iya, menapaki cahaya yang semakin tinggi semakin ciut kan?

“Aku senang kau pulang,” katamu lagi. Aku menarik nafas sebentar lalu menghembuskannya agak lama.

“Kau pernah bilang padaku kalau sejak sembilan tahun lalu kau mulai menulis dan rasanya seperti bicara dengan diri sindiri sampai kau bertemu denganku. Aku juga merasa begitu. Bagiku, menulis memang aktivitas berbicara dengan diri sendiri. Aku pernah punya banyak teman tapi aku selalu kesepian. Tak ada seorangpun yang memahamiku. Aku beruntung punya kau sekarang yang bersedia memahami kekacauan isi kepalaku. Itulah alasan kenapa aku memutuskan untuk kembali,” aku mengaku.

“Jangan pergi lagi,” katamu.

“Aku nggak janji.”

Kemudian sambil membelai rambutku kau bilang, “Waktu kamu pergi aku nggak bisa apa-apa. Bahkan pengen ketabrak pun nggak bisa meski aku berjalan ngawur. Kamu tahu rasanya? Kadang jengkel, kadang kangen, kadang berharap. Tapi kamu masih saja belum bisa membuatku marah.”

“Kadang ingin mati lalu hidup lagi, begitu terus berulang-ulang sampai sejuta kali lalu reinkarnasi jadi kanguru supaya hidup jauh di Australia dan siapa tahu bisa jatuh cinta dengan Tazmania dan melupakan ini semua? Kalau seperti itu aku tahu rasanya,” kataku ngawur. Merasa sedikit pahit karena terlambat menyadari kebenaran di balik kengawuran omonganku sendiri.

“Kira-kira mantra apa yang bisa membuatku reinkarnasi hari ini juga?”

Giliran kau yang tertawa serak. Tapi aku tidak menciummu. Meski gemas.

You May Also Like

0 komentar