Mantra
Image from Pinterest |
Malam ini kita
menyamar menjadi sepasang kekasih. Aku berbaring dalam pelukanmu sambil
berceloteh tak putus-putus tentang Night Fury yang terbang menuju matahari
tenggelam.
“Dia tak pernah
sampai. Karena dia cepat dan bumi bulat. Matahari tak pernah jadi tenggelam.”
“Senja terus di sana?”
“Tidak. Sudah malam di
sana. Tapi Night Fury sudah tidak di sana lagi. Dia kan terbang mengejar
matahari. Kau tahu kan, matahari hanya bisa tenggelam kalau kita duduk diam.”
Lalu kau ganti
bercerita tentang perjalanan menapaki cahaya untuk menemukan tulang ikan.
“Cerita macam apa
itu?” aku tertawa serak. Lalu kau menciumku gemas.
“Aku mulai kesetanan.
Sejak sore tadi aku membaca mantra pemanggil setanku dan sekarang aku kesurupan
kamu.”
“Hah?”
“Kamu keberatan?”
“Apa?”
“Kalau aku memujamu?”
“Tentu saja tidak. Itu
kan kegilaanmu sendiri. Terserah saja. Kita tidak bisa meminta seseorang untuk
mencintai kita. Kita juga tidak bisa meminta seseorang untuk berhenti memuja
kita,” kataku. Masih memikirkan apa yang dilakukan tulang ikan di tumpukan
cahaya.
“Aku mencintaimu meski
kau tidak,” katamu.
“Jangan ngomong cinta,
ah. Aku trauma.”
“Terserah lah. Aku
bisa ngomong gini juga gara-gara kamu.”
Aku hanya menggerakkan
bahu. Berharap kau bicara tentang tulang ikan lagi saja. Sudah sampai mana
tadi? Ah iya, menapaki cahaya yang semakin tinggi semakin ciut kan?
“Aku senang kau
pulang,” katamu lagi. Aku menarik nafas sebentar lalu menghembuskannya agak
lama.
“Kau pernah bilang
padaku kalau sejak sembilan tahun lalu kau mulai menulis dan rasanya seperti
bicara dengan diri sindiri sampai kau bertemu denganku. Aku juga merasa begitu.
Bagiku, menulis memang aktivitas berbicara dengan diri sendiri. Aku pernah
punya banyak teman tapi aku selalu kesepian. Tak ada seorangpun yang memahamiku.
Aku beruntung punya kau sekarang yang bersedia memahami kekacauan isi kepalaku.
Itulah alasan kenapa aku memutuskan untuk kembali,” aku mengaku.
“Jangan pergi lagi,”
katamu.
“Aku nggak janji.”
Kemudian sambil
membelai rambutku kau bilang, “Waktu kamu pergi aku nggak bisa apa-apa. Bahkan
pengen ketabrak pun nggak bisa meski aku berjalan ngawur. Kamu tahu rasanya?
Kadang jengkel, kadang kangen, kadang berharap. Tapi kamu masih saja belum bisa
membuatku marah.”
“Kadang ingin mati
lalu hidup lagi, begitu terus berulang-ulang sampai sejuta kali lalu
reinkarnasi jadi kanguru supaya hidup jauh di Australia dan siapa tahu bisa
jatuh cinta dengan Tazmania dan melupakan ini semua? Kalau seperti itu aku tahu
rasanya,” kataku ngawur. Merasa sedikit pahit karena terlambat menyadari
kebenaran di balik kengawuran omonganku sendiri.
“Kira-kira mantra apa
yang bisa membuatku reinkarnasi hari ini juga?”
Giliran kau yang
tertawa serak. Tapi aku tidak menciummu. Meski gemas.
0 komentar