Antara Pecel dan Sabun
Kiss Illustration from www.lelalondon.com |
“Alasan klise. Nggak kamu, nggak temen-temenku, selalu bilang suka
tulisanku. Hanya suka. Tak ada spesifikasi suka karena apanya,” kalimat yang
sama, kesekian kali aku mendengarnya dari bibirmu.
“Aku suka tulisanmu karena tulisanmu bisa dinikmati.”
“Hyaaa, kamu pikir tulisanku cewek apaan?”
“Nggak semua cewek bisa dinikmati, tahu?” sekalipun bodi cewek itu termasuk
golongan yang menggugah selera, belum tentu bodi itu enak digeliati.
“Yaa kalau ceweknya kaya suster ngesot sih, mending aku main sabun sendiri
di WC umum.”
“Nhaa, tulisanmu bukan termasuk tipe cewek kaya suster ngesot.”
“Lalu apa? Suster ngentot?”
“Jadi seperti judul film horor Indonesia.”
Proyek antah berantah, katamu. Kamu menelepon hanya untuk membahas itu.
Membahas sesuatu yang sebenarnya sudah selesai kita bahas.
“Sudah tidak ada pertanyaan?”
“Tidak. Aku tidak mau bertanya lagi,” jawabku. Daripada aku selalu
menanyakan hal-hal yang menurutmu tak perlu dipertanyakan.
“Pertanyaanmu standar. Sama seperti pertanyaan ‘Kenapa suka pecel?’”
“Apa salahnya pertanyaan seperti itu?”
“Terlalu standar. Dan menurutku tidak penting. Kreatiflah sedikit. Tanyakan
hal-hal yang lebih akademis.”
“Aku tak suka mendewakan kata-kata.”
“Aku tak mengharuskan pertanyaanmu berbahasa dewa. Hanya... tanyakanlah hanya
hal-hal penting, yang memang perlu untuk dipertanyakan.”
“Kalau begitu, aku benar-benar sudah tidak punya
pertanyaan lagi.”
Kamu tertawa.
“Soalnya kalau aku bertanya, pertanyaan-pertanyaan standar itu pasti akan
muncul juga.”
“Benar, sudah tidak ada yang mau dibahas?”
“Tidak. Maksudku, benar.”
“Ya sudah, aku yang bertanya. Kenapa sampai sekarang kamu belum punya
pacar?”
“Jawabannya standar: belum ada yang mau. Aku tidak bisa menjawab lebih
akademis lagi.”
“Hahaha, kalau begitu jadi pacarku saja. Mau ya?”
“Untuk pertanyaan standar seperti itu, aku juga tidak bisa menjawab degan
terlalu akademis.”
“Tapi aku tahu sebenarnya kamu mau.”
“Kamu tahu?”
“Jadi kamu mau?”
“Mau.”
“Ah, gampang banget. Nggak menantang. Kita putus!”
“Hiks hiks, sedih nih habis diputusin.”
“Jadi sebenarnya kenapa kamu tidak punya pacar? Nggak percaya banget kalau
nggak ada yang mau.”
“Mau tahu yang sebenarnya? Aku ini tipe cewek seperti suster ngesot, tahu?”
“Masa sih?”
“Iya. Aku nggak mau diajak berhubungan seks. Jadinya kalau pacaran sama aku
tetap aja kamu bakal sibuk sendiri di WC umum. Hahaha.”
“Wahh, boros juga kalau gitu.”
“Ha?”
“Ya lah, bikin sabun cepet habis aja.”
“Kok jadi bahas sabun?”
“Dari pada bahas ‘kenapa aku suka pecel?’”
“Memangnya sisi akademis dari sabun apa?”
“Ya kalau aku pacaran sama kamu dan tetep rela ngeborosin duit buat beli
sabun, itu artinya aku bener-bener jatuh cinta.”
“Ah, nggak masuk akal. Kalau kamu pacaran sama aku dan rela menjawab
pertanyaan ‘kenapa kamu suka pecel?’ itu baru jatuh cinta.”
“Ya sudah, aku suka pecel karena pecel enak. Bisa dinikmati.”
“Ah, emangnya pecel cewek apaan?”
“Yang jelas kalau makan pecel nggak bisa pakai sabun.”
“Yang jelas kamu sinting. Kita
berdua sinting.”
“Lebih jelasnya lagi, aku jatuh cinta padamu. Plis, mau ya jadi pacarku.”
“Nggak ah, aku ingat satu
petuah bijak: sesama sinting dilarang pacaran.”
“Hiks, sedih nih habis ditolak.”
“Tenang. Masih ada sabun.”
“Tapi aku nggak suka sabun disiram bumbu pecel.”
“Ya main sabun dulu, makan pecelnya nanti-nanti lagi.”
“Sama kamu tapi.”
“Main sabun kok minta ditemani.”
“Makan pecelnya, hihh!”
“Kan kamu yang suka pecel.”
“Nggak, aku sukanya kamu.”
“Aku mau disiram bumbu pecel?”
“Disiram sabun. Trus aku mainin.”
“Ini obrolan udah tiga halaman. Kapan berakhirnya ini?”
“Kalau kamu udah mau jadi pacar aku.”
“Diajakin makan pecel pakai sabun nggak?”
“Nggak lah. Biar aku saja yang sinting.”
“Baiklah. Mumpung cuma kamu yang sinting.”
Kemudian kau menciumku, dengan mulut berbusa dan beraroma sabun. Sedang
aku membalas ciummu, dengan lidah asin dan gurih kacang tanah. Mungkin
sebenarnya kita berdua tidak sinting. Hanya jatuh cinta.
0 komentar