Tongkrongers, Keramahan, dan Saran-saran yang Tertukar

by - 17.12.00



Kalau ada satu hal yang aku tidak suka dari Indonesia, itu adalah budaya nongkrong-nongkrong nggak jelas. Jangan salah sangka. Aku juga suka nongkrong lah pastinya. Ngumpul sama temen ngopi bareng, ngemil gorengan, dan bicara omong kosong itu menyenangkan kok. 

Yang aku maksud itu adalah sekumpulan pria dewasa usia produktif yang nongkrong and doing absolutely nothing di hari dan jam kerja. Aku nggak mau nuduh mereka pengangguran. Bisa jadi aja mereka itu pengusaha kaya raya yang duitnya udah banyak banget dan nggak perlu kerja lagi sampai tujuh turunan. Tapi tetep aja, mereka nongkrong, and doing absolutely nothing.

Tongkrongan jenis ini ada di mana-mana. Di pos ronda, di pangkalan ojek, di perempatan, di tikungan, dan yang terbaru ada di bengkel dan toko pakan burung depan kosan. 

Sebenarnya terserah aja sih mau nongkrong juga itu hak mereka kok. Tapi setiap kali aku ngelewatin tongkrongan kaya gitu tuh aku selalu merasa nggak nyaman. Karena mereka semua akan memandangiku seolah aku makhluk aneh dengan kuping lancip dan tanduk di kepala. Ngeliatin aja gitu. Ngeliatin teruuus dari sejak pertama aku muncul sampai aku nggak kelihatan lagi. Kalau disapa paling cuma nyengir. Bukan hanya ngeliatin, mereka juga kepo aku mau ngapain. Misalnya aku jalan ke warung mereka akan cari tahu aku masuk ke warung mana, beli apa, ngapain beli itu, dan seterusnya. Serius itu. tongkrongers di daerahku sini sampai segitunya. 

Btw, aku tadi bilang kalau itu tongkrongers pria dewasa ya. Bagaimana dengan ibu-ibu? Sama saja. Lebih parah bahkan karena kalau sekumpulan ibu-ibu nggak punya kesibukan nongkrong bareng itu aktivitasnya tak lain dan tak bukan adalah gosip. Aku bahkan sampai malas turun dari kamar kalau ibu-ibu lagi pada ngumpul dan ngegosip karena nantinya aku akan dihadapkan pada satu pilihan: diajakin ngumpul dan ikut bergosip. Kalau aku nggak mau … yupp, akulah yang akan digosipin.

Keramahan yang Tidak Pada Tempatnya

Orang sini itu ramah. Itu benar, dan aku suka itu. Tapi kadang ada keramahan-keramahan yang nggak pada tempatnya, kurasa. Aku sebenarnya termasuk anak yang lebih suka sendirian menghabiskan waku untuk hal yang rada bermanfaat ketimbang ngumpul nggak jelas, tapi demi menjaga hubungan baik kadang aku menyapa dan beramah tamah juga lah sama misalnya, penghuni kos lain dan penduduk sekitar. 

Yang aku nggak suka dari aktivitas ramah tamah ini adalah, they will start to ask me personal shit. Mbaknya yang kerja di kamar atas itu ya? Kerja apa? Kok nggak pernah keluar? Itu yang sering datang pacarnya? Kalau makan masak sendiri apa beli mbak? Kalau beli, beli di mana? Kenapa nggak masak sendiri aja mbak? Dan seterusnya yang sering kali membuatku pura-pura angkat telpon meski nggak ada satu orangpun yang tahu nomer hapeku. 

Nggak cukup nanya-nanya aja. Kalau udah kehabisan pertanyaan selanjutnya mereka akan ngasih nasihat panjang lebar. Mending masak sendiri aja mbak, lebih hemat lho. Nanti belanjanya di pasar situ mbak, deket kok. Mbok sering ngumpul gitu lho mbak, sosialisasi. Jangan di kamar sendirian aja. Rambutnya mbok dicreambath mbak. Di salon sana itu bagus lho. Makan yang banyak mbak, biar gendut. Dan seterusnya yang sering kali membuatku pura-pura harus secepatnya nyelesaiin jahitan bantal meski seharian belum ada yang order. Hiks.

Yang bener aja deh. Apa cuma aku yang nggak nyaman digituin? Apa semua orang lain baik-baik saja dikepoin kaya gitu? Apa aku aja yang aneh, iya? Kenapa sih orang seneng banget ngasih saran ke orang-orang yang mereka tahu hidupnya aja enggak? Tentu saja saran-sarannya jadi sering kali nggak nyambung sama kebutuhan si yang dikasih saran lah. Kaya misalnya aku sering banget dikasih saran ini itu, pakai produk nganu-nganu biar kulitnya putih. Padahal akunya aja sengaja panas-panasan minimal 20 menit tiap hari untuk mempertahankan warna kulit kaya gini.

Terus terang aja aku sendiri nggak bisa kaya gitu. Mungkin karena aku masih harus bekerja keras untuk sekedar hidup nyaman sekarang ini. Aku belum jadi orang kaya raya tajir melintir yang nggak perlu kerja lagi sampai tujuh turunan. Aku nggak punya waktu sebanyak itu untuk ngurusin hidup orang. 

Aku masih bisa senyum hangat, menyapa ceria, dan basa basi seadanya, tapi aku memang nggak bisa mendadak akrab dan ngobrol banyak ngasih nasihat ini itu ke orang lain yang baru kukenal namanya. Mungkin gara-gara itu aku dicap nggak ramah. Tapi kalau definisi ramah adalah terlalu ngurusi hidup orang sampai orang itu nggak nyaman dan sibuk ngasih ceramah sedangkan yang diceramahi sendiri belum tentu butuh, well, aku memutuskan kalau menjadi nggak ramah itu nggak apa-apa. 

Kecuali orangnya memang curhat, aku baru siap menjadi pendengar yang baik. Dan hanya itu. 

Btw, ini tulisan nggak nyambung yang aslinya kutulis karena gundah aja sik, gara-gara akhir-akhir ini itu aku kalau mau keluar-keluar males gitu dilihatin dan ditanya-tanya. Keluar ditanya-tanya, nggak keluar-keluar makin dipertanyakan.

Oh, jubah tak kasat mata.  

You May Also Like

0 komentar