Kalau ada satu hal yang aku tidak suka dari
Indonesia, itu adalah budaya nongkrong-nongkrong nggak jelas. Jangan salah
sangka. Aku juga suka nongkrong lah pastinya. Ngumpul sama temen ngopi bareng,
ngemil gorengan, dan bicara omong kosong itu menyenangkan kok.
Yang aku maksud itu adalah sekumpulan pria
dewasa usia produktif yang nongkrong and doing absolutely nothing di hari dan
jam kerja. Aku nggak mau nuduh mereka pengangguran. Bisa jadi aja mereka itu
pengusaha kaya raya yang duitnya udah banyak banget dan nggak perlu kerja lagi
sampai tujuh turunan. Tapi tetep aja, mereka nongkrong, and doing absolutely
nothing.
Tongkrongan jenis ini ada di mana-mana. Di pos
ronda, di pangkalan ojek, di perempatan, di tikungan, dan yang terbaru ada di
bengkel dan toko pakan burung depan kosan.
Sebenarnya terserah aja sih mau nongkrong juga
itu hak mereka kok. Tapi setiap kali aku ngelewatin tongkrongan kaya gitu tuh
aku selalu merasa nggak nyaman. Karena mereka semua akan memandangiku seolah
aku makhluk aneh dengan kuping lancip dan tanduk di kepala. Ngeliatin aja gitu.
Ngeliatin teruuus dari sejak pertama aku muncul sampai aku nggak kelihatan
lagi. Kalau disapa paling cuma nyengir. Bukan hanya ngeliatin, mereka juga kepo
aku mau ngapain. Misalnya aku jalan ke warung mereka akan cari tahu aku masuk
ke warung mana, beli apa, ngapain beli itu, dan seterusnya. Serius itu.
tongkrongers di daerahku sini sampai segitunya.
Btw, aku tadi bilang kalau itu tongkrongers
pria dewasa ya. Bagaimana dengan ibu-ibu? Sama saja. Lebih parah bahkan karena
kalau sekumpulan ibu-ibu nggak punya kesibukan nongkrong bareng itu
aktivitasnya tak lain dan tak bukan adalah gosip. Aku bahkan sampai malas
turun dari kamar kalau ibu-ibu lagi pada ngumpul dan ngegosip karena nantinya
aku akan dihadapkan pada satu pilihan: diajakin ngumpul dan ikut bergosip.
Kalau aku nggak mau … yupp, akulah yang akan digosipin.
Keramahan yang Tidak Pada Tempatnya
Orang sini itu ramah. Itu benar, dan aku suka
itu. Tapi kadang ada keramahan-keramahan yang nggak pada tempatnya, kurasa. Aku
sebenarnya termasuk anak yang lebih suka sendirian menghabiskan waku untuk hal
yang rada bermanfaat ketimbang ngumpul nggak jelas, tapi demi menjaga hubungan
baik kadang aku menyapa dan beramah tamah juga lah sama misalnya, penghuni kos
lain dan penduduk sekitar.
Yang aku nggak suka dari aktivitas ramah tamah
ini adalah, they will start to ask me personal shit. Mbaknya yang kerja di
kamar atas itu ya? Kerja apa? Kok nggak pernah keluar? Itu yang sering datang
pacarnya? Kalau makan masak sendiri apa beli mbak? Kalau beli, beli di mana?
Kenapa nggak masak sendiri aja mbak? Dan seterusnya yang sering kali membuatku
pura-pura angkat telpon meski nggak ada satu orangpun yang tahu nomer hapeku.
Nggak cukup nanya-nanya aja. Kalau udah
kehabisan pertanyaan selanjutnya mereka akan ngasih nasihat panjang lebar.
Mending masak sendiri aja mbak, lebih hemat lho. Nanti belanjanya di pasar situ
mbak, deket kok. Mbok sering ngumpul gitu lho mbak, sosialisasi. Jangan di
kamar sendirian aja. Rambutnya mbok dicreambath mbak. Di salon sana itu bagus
lho. Makan yang banyak mbak, biar gendut. Dan seterusnya yang sering kali
membuatku pura-pura harus secepatnya nyelesaiin jahitan bantal meski seharian
belum ada yang order. Hiks.
Yang bener aja deh. Apa cuma aku yang nggak
nyaman digituin? Apa semua orang lain baik-baik saja dikepoin kaya gitu? Apa
aku aja yang aneh, iya? Kenapa sih orang seneng banget ngasih saran ke orang-orang yang mereka tahu hidupnya aja enggak? Tentu saja saran-sarannya jadi sering kali nggak nyambung sama kebutuhan si yang dikasih saran lah. Kaya misalnya aku sering banget dikasih saran ini itu, pakai produk nganu-nganu biar kulitnya putih. Padahal akunya aja sengaja panas-panasan minimal 20 menit tiap hari untuk mempertahankan warna kulit kaya gini.
Terus terang aja aku sendiri nggak bisa kaya
gitu. Mungkin karena aku masih harus bekerja keras untuk sekedar hidup nyaman
sekarang ini. Aku belum jadi orang kaya raya tajir melintir yang nggak perlu
kerja lagi sampai tujuh turunan. Aku nggak punya waktu sebanyak itu untuk
ngurusin hidup orang.
Aku masih bisa senyum hangat, menyapa ceria,
dan basa basi seadanya, tapi aku memang nggak bisa mendadak akrab dan ngobrol
banyak ngasih nasihat ini itu ke orang lain yang baru kukenal namanya. Mungkin
gara-gara itu aku dicap nggak ramah. Tapi kalau definisi ramah adalah terlalu
ngurusi hidup orang sampai orang itu nggak nyaman dan sibuk ngasih ceramah sedangkan
yang diceramahi sendiri belum tentu butuh, well, aku memutuskan kalau menjadi
nggak ramah itu nggak apa-apa.
Kecuali orangnya memang curhat, aku baru siap
menjadi pendengar yang baik. Dan hanya itu.
Btw, ini tulisan nggak nyambung yang aslinya kutulis
karena gundah aja sik, gara-gara akhir-akhir ini itu aku kalau mau
keluar-keluar males gitu dilihatin dan ditanya-tanya. Keluar ditanya-tanya,
nggak keluar-keluar makin dipertanyakan.
Oh, jubah tak kasat mata.
0 komentar