Harta Karun dan Riak Kecil
Petuah bijak yang mengatakan bahwa
silaturahmi membuka pintu rejeki itu memang benar adanya.
Kemarin, di siang hari yang nanggung,
Mbak Asti tiba-tiba chat via WA:
“Buku-bukuku mau pulang kapan?”
Hihihi. Itu adalah tagihan karena aku
pinjam bukunya dan sudah hampir dua tahun tak kunjung kukembalikan.
“Tak paketke wae po, mbak?” balasku.
Aku membalas demikian bukan tanpa alasan. Sebenernya, rumah Mbak Asti yang
Jogja pinggiran itu nggak jauh-jauh amat dari kosku di Magelang sini. Paling
sejam. Alasannya aku nggak kunjung main lagi ke sana sehingga buku yang tak
pinjem itu enggak pulang-pulang adalah karena Ibing selalu nggak mau kalau tak
ajakin ke rumahnya Mbak Asti. Gara-garanya, di kunjungan pertama dulu, aku sama
Mbak Asti ngobrol lupa waktu selama berjam-jam sampai Ibing pusing sendiri. Wkwkwk.
Trauma dia.
“Lha kamu nggak bisa po, main sini
lagi? Mumpung ada jeruk peres ki, kecutnya bisa buat diet alami.”
Demi membayangkan jeruk peres di siang
hari yang panasnya bikin dehidrasi itu, aku memutuskan untuk ngerayu Ibing. Lagian
hari itu kami nggak punya rencana apa-apa. Cuma bengong bersantai-santai
menikmati libur Nyepi.
“Plis Bing, aku janji nggak lama-lama
deh, cuma balikin buku. Lagian suaminya Mbak Asti di rumah kok. Jadi Ibing bisa
ngobrol-ngobrol berdua,” kataku. Tentu saja sebagiannya merupakan janji palsu
belaka. Aku sama Mbak Asti ketemu tapi nggak ngobrol lama? Sama mustahilnya
seperti AADC tanpa Cinta dan Rangga.
Meski Ibing sebenarnya sadar kalau aku
sedang berjanji palsu, akhirnya mau juga. Alasannya yaa … toh kami nggak punya
rencana apa-apa. Plus, kalau nggak diiyain aku bakal ribut terus sampai besok. Hahaha.
Nunggu sore biar nggak terlalu panas, kami pun berangkat.
Selain bawa buku yang mau tak balikin,
aku bawa dua buku jadul sebagai ekstra. Rencananya buat hadiah.
Tapi Tuhan berencana lain. sampai
rumahnya Mbak Asti, orangnya lagi rapi-rapi buku dan tetek bengeknya. Kemudian tahu-tahu
keluar bawa setumpuk buku.
“Arep tak buang ki, mbuh sopo sing
gelem ngopeni.”
Whaaaaat? Mataku langsung terbelalak
ijo-pink-kuning-oren-bling-bling. Are you kidding me? Kemudian buku-buku yang
rencananya mau dibuang itu tak lirik. Pura-puranya ngelirik padahal ngebet. Wkwkwk.
Sampai kemudian ….
“Mbaaaaak, ini juga mau dibuang?”
pekikku ketika melihat Love in The Time of Cholera, bukunya Gabriel Garcia
Marques yang akhir-akhir ini sedang dicari-cari itu.
“Iya,” kata Mbak Asti tanpa keraguan.
“Kyaaaaaaaaaaaaa, aku mau bangeeeeeet,”
pekikku kaya di film-film kartun.
“Ya sana bawa aja,” katanya santai.
Akupun blingsatan lihat-lihat buku
lainnya juga. Tak pilih-pilih buat tak bawa pulang. Hahaha. "Malah nemu harta karun, iki," kataku.
“Serius mbak?” tanyaku berkali-kali.
“Iya, serius. Aku malah seneng ada
yang ngopeni,” katanya lagi. Jadi
ceritanya kan Mbak Asti bulan depan mau pindah rumah, jadi harus beberes gitu.
Di antaranya ya buang-buang benda-benda yang menurutnya nggak perlu. Well, too
much memories will kill you. Ahahaha. Atau seenggaknya, too much memories will
ngrepoti you kalau mau pindahan. Bener juga sih.
Total sembilan buku tak bawa pulang. Sembilan
buku. Gratis. Beberapa di antaranya emang buku yang sempet tak taksir cuma waktu
itu belum dijodohkan saja. Hihihi. Sementara aku cuma bawa dua buku buat
hadiah, itupun cuma dipilih satu sama Mbak Asti.
“Lagi jarang baca-baca,” katanya.
Yasudah. Ternyata yah, baru niat berbagi saja aku udah dapet kembalian jauh
lebih banyak lagi. Kayaknya harus lebih sering niat berbagi nih. Lhoo, kok jadi
pamrih?
Setelah milih-milih buku, kami ngobrol
lah biasa. Sampai detik itu baik aku maupun Mbak Asti udah lupa sama jeruk
peres dan malah ngeteh. Lha lagian aku datangnya juga kesorean gitu. Sampai
sana maghrib. Mimik kecut-kecut di malam hari bisa bikin perut sakit kan ya.
Seperti biasa, ngobrolnya nggak pakai
tema alias apa saja dibahas. Mulai dari buku-buku, nostalgia jaman organisasi
di kampus dulu, indra keenam, sampai soal Bahasa Jawa. Kan Mbak Asti ini guru
Bahasa Jawa.
Wes, pokoknya saking serunya aku
sampai lupa Ibing. Yang tadinya udah tak janjiin “Pulang jam tujuh ya,” malah
mbablas sampai jam setengah sembilan malam. Hahaha.
“Itupun kalau nggak distop bisa nggak
berhenti ya, Ndut,” komentar Ibing pas pulangnya.
“Iya lah, wong jaman aku masih unyu
dulu, aku sering ‘diracuni’ Mbak Asti sampai jam tiga pagi,” ini real, by the
way.
Meskipun orangnya mungkin nggak
nyadar, Mbak Asti sebenarnya memiliki peran penting dalam pembentukan
karakterku lho. Waktu itu aku mahasiswa baru, kesasar, naïf, polos, dan nggak
tahu harus melangkah ke mana. Di situ Mbak Asti mengisi dengan petuah-petuah
beracunnya.
Kalau pada masa itu aku nggak ketemu
sama Mbak Asti, bisa jadi lhoo, aku sekarang ini menjadi seseorang yang sama
sekali lain. Wong orang hidup itu kan dibentuk dari banyak hal. Ibarat batu di
pinggir kali yang terbentuk nggak hanya oleh gelombang besar, tapi juga
riak-riak kecil.
Mbak Asti mungkin termasuk riak kecil
karena sebenarnya aku sama Mbak Asti nggak pernah yang dekeeeeet banget. Biasa
aja. Tapi khotbahnya pada suatu malam yang aku nggak pernah lupa, mengubah
pandanganku selamanya.
Mungkin rada lebay, tapi beneran ini.
Aku ingeeet banget waktu itu aku terpesona. Betapa aku waktu itu hampir saja
kejungkel ke ideologi yang sangat-sangat-sangat berbeda dengan yang kuanut sekarang
(emangnya aku menganut ideologi apa?)
Aku nggak bisa cerita detil soal ini
soalnya mungkin rada ya gimana ya ..., tapi you got the point, no? Intinya yah, sejak
malam itu aku tercerahkan dan selamat. Wkwkwk.
Pesan moralnya, kadang obrolan yang
kelihatannya nggak penting, yang tadinya cuma sesantai “Kamu kos di mana?” saja
bisa jadi sesuatu yang mengubah pandangan dan cara hidup seseorang lho. Di sini
Mbak Asti sudah change basa-basi to the next level. Hihihi.
Makasih banyak ya mbaak, buat
buku-bukunya, buat racun-racun di masa lalu. Tanpa itu semua, jadi apa aku
sekarang kita nggak pernah tahu. Iya, nggak pernah tahu.
0 komentar