Harta Karun dan Riak Kecil

by - 14.56.00





          Petuah bijak yang mengatakan bahwa silaturahmi membuka pintu rejeki itu memang benar adanya.

          Kemarin, di siang hari yang nanggung, Mbak Asti tiba-tiba chat via WA:
          “Buku-bukuku mau pulang kapan?”

         Hihihi. Itu adalah tagihan karena aku pinjam bukunya dan sudah hampir dua tahun tak kunjung kukembalikan. 

          “Tak paketke wae po, mbak?” balasku. Aku membalas demikian bukan tanpa alasan. Sebenernya, rumah Mbak Asti yang Jogja pinggiran itu nggak jauh-jauh amat dari kosku di Magelang sini. Paling sejam. Alasannya aku nggak kunjung main lagi ke sana sehingga buku yang tak pinjem itu enggak pulang-pulang adalah karena Ibing selalu nggak mau kalau tak ajakin ke rumahnya Mbak Asti. Gara-garanya, di kunjungan pertama dulu, aku sama Mbak Asti ngobrol lupa waktu selama berjam-jam sampai Ibing pusing sendiri. Wkwkwk. Trauma dia.

          “Lha kamu nggak bisa po, main sini lagi? Mumpung ada jeruk peres ki, kecutnya bisa buat diet alami.” 

          Demi membayangkan jeruk peres di siang hari yang panasnya bikin dehidrasi itu, aku memutuskan untuk ngerayu Ibing. Lagian hari itu kami nggak punya rencana apa-apa. Cuma bengong bersantai-santai menikmati libur Nyepi. 

          “Plis Bing, aku janji nggak lama-lama deh, cuma balikin buku. Lagian suaminya Mbak Asti di rumah kok. Jadi Ibing bisa ngobrol-ngobrol berdua,” kataku. Tentu saja sebagiannya merupakan janji palsu belaka. Aku sama Mbak Asti ketemu tapi nggak ngobrol lama? Sama mustahilnya seperti AADC tanpa Cinta dan Rangga. 

          Meski Ibing sebenarnya sadar kalau aku sedang berjanji palsu, akhirnya mau juga. Alasannya yaa … toh kami nggak punya rencana apa-apa. Plus, kalau nggak diiyain aku bakal ribut terus sampai besok. Hahaha. Nunggu sore biar nggak terlalu panas, kami pun berangkat. 

          Selain bawa buku yang mau tak balikin, aku bawa dua buku jadul sebagai ekstra. Rencananya buat hadiah.  
          Tapi Tuhan berencana lain. sampai rumahnya Mbak Asti, orangnya lagi rapi-rapi buku dan tetek bengeknya. Kemudian tahu-tahu keluar bawa setumpuk buku.
          “Arep tak buang ki, mbuh sopo sing gelem ngopeni.” 

          Whaaaaat? Mataku langsung terbelalak ijo-pink-kuning-oren-bling-bling. Are you kidding me? Kemudian buku-buku yang rencananya mau dibuang itu tak lirik. Pura-puranya ngelirik padahal ngebet. Wkwkwk. Sampai kemudian ….

          “Mbaaaaak, ini juga mau dibuang?” pekikku ketika melihat Love in The Time of Cholera, bukunya Gabriel Garcia Marques yang akhir-akhir ini sedang dicari-cari itu.



          “Iya,” kata Mbak Asti tanpa keraguan.
          “Kyaaaaaaaaaaaaa, aku mau bangeeeeeet,” pekikku kaya di film-film kartun.
          “Ya sana bawa aja,” katanya santai.

         Akupun blingsatan lihat-lihat buku lainnya juga. Tak pilih-pilih buat tak bawa pulang. Hahaha. "Malah nemu harta karun, iki," kataku.

          “Serius mbak?” tanyaku berkali-kali.
       “Iya, serius. Aku malah seneng ada yang ngopeni,” katanya lagi.  Jadi ceritanya kan Mbak Asti bulan depan mau pindah rumah, jadi harus beberes gitu. Di antaranya ya buang-buang benda-benda yang menurutnya nggak perlu. Well, too much memories will kill you. Ahahaha. Atau seenggaknya, too much memories will ngrepoti you kalau mau pindahan. Bener juga sih. 

          Total sembilan buku tak bawa pulang. Sembilan buku. Gratis. Beberapa di antaranya emang buku yang sempet tak taksir cuma waktu itu belum dijodohkan saja. Hihihi. Sementara aku cuma bawa dua buku buat hadiah, itupun cuma dipilih satu sama Mbak Asti. 

          “Lagi jarang baca-baca,” katanya. Yasudah. Ternyata yah, baru niat berbagi saja aku udah dapet kembalian jauh lebih banyak lagi. Kayaknya harus lebih sering niat berbagi nih. Lhoo, kok jadi pamrih? 

          Setelah milih-milih buku, kami ngobrol lah biasa. Sampai detik itu baik aku maupun Mbak Asti udah lupa sama jeruk peres dan malah ngeteh. Lha lagian aku datangnya juga kesorean gitu. Sampai sana maghrib. Mimik kecut-kecut di malam hari bisa bikin perut sakit kan ya. 

          Seperti biasa, ngobrolnya nggak pakai tema alias apa saja dibahas. Mulai dari buku-buku, nostalgia jaman organisasi di kampus dulu, indra keenam, sampai soal Bahasa Jawa. Kan Mbak Asti ini guru Bahasa Jawa. 

          Wes, pokoknya saking serunya aku sampai lupa Ibing. Yang tadinya udah tak janjiin “Pulang jam tujuh ya,” malah mbablas sampai jam setengah sembilan malam. Hahaha.

          “Itupun kalau nggak distop bisa nggak berhenti ya, Ndut,” komentar Ibing pas pulangnya.
          “Iya lah, wong jaman aku masih unyu dulu, aku sering ‘diracuni’ Mbak Asti sampai jam tiga pagi,” ini real, by the way. 

          Meskipun orangnya mungkin nggak nyadar, Mbak Asti sebenarnya memiliki peran penting dalam pembentukan karakterku lho. Waktu itu aku mahasiswa baru, kesasar, naïf, polos, dan nggak tahu harus melangkah ke mana. Di situ Mbak Asti mengisi dengan petuah-petuah beracunnya. 

          Kalau pada masa itu aku nggak ketemu sama Mbak Asti, bisa jadi lhoo, aku sekarang ini menjadi seseorang yang sama sekali lain. Wong orang hidup itu kan dibentuk dari banyak hal. Ibarat batu di pinggir kali yang terbentuk nggak hanya oleh gelombang besar, tapi juga riak-riak kecil. 

          Mbak Asti mungkin termasuk riak kecil karena sebenarnya aku sama Mbak Asti nggak pernah yang dekeeeeet banget. Biasa aja. Tapi khotbahnya pada suatu malam yang aku nggak pernah lupa, mengubah pandanganku selamanya.  

          Mungkin rada lebay, tapi beneran ini. Aku ingeeet banget waktu itu aku terpesona. Betapa aku waktu itu hampir saja kejungkel ke ideologi yang sangat-sangat-sangat berbeda dengan yang kuanut sekarang (emangnya aku menganut ideologi apa?) 

          Aku nggak bisa cerita detil soal ini soalnya mungkin rada ya gimana ya ..., tapi you got the point, no? Intinya yah, sejak malam itu aku tercerahkan dan selamat. Wkwkwk. 

          Pesan moralnya, kadang obrolan yang kelihatannya nggak penting, yang tadinya cuma sesantai “Kamu kos di mana?” saja bisa jadi sesuatu yang mengubah pandangan dan cara hidup seseorang lho. Di sini Mbak Asti sudah change basa-basi to the next level. Hihihi. 

          Makasih banyak ya mbaak, buat buku-bukunya, buat racun-racun di masa lalu. Tanpa itu semua, jadi apa aku sekarang kita nggak pernah tahu. Iya, nggak pernah tahu.

You May Also Like

0 komentar