Mbak

by - 17.11.00



          
Image source: pinterest
“Mbak, apa salahku kalau suamimu tidak setia?”

          25 Desember. Pernikahan kalian. Aku menyanyi karena harus. Untuk pertama kalinya, aku merasa tidak bahagia di atas pentas. Meski seluruh yang datang hari itu bertepuk tangan. Tulus, aku tahu. Aku tahu itu dari sorot mata mereka yang bahagia, yang penuh harap aku segera menyanyikan lagu berikutnya. Untuk sepupuku, dan suaminya yang menikah di hari yang sama dengan pernikahan kalian. Cukup dijadikan jawaban atas pertanyaan orang-orang, “Kemana Maharani? Tidak hadirkah dia?” dan juga yang berbisik-bisik dengan suara nyaring “Ah, kasihan, pasti dia sangat patah hati.”

          Mereka tak tahu sama sekali, hari itupun aku dipuji. Aku tetap bintang seperti biasanya. Disorot kamera, diincar fotografer yang sedianya bertugas mengabadikan momen pernikahan sepupuku. Dan mereka memintaku menyanyikan lagu cinta, seperti selalu saat aku menyanyi di pernikahan. Tugasku adalah melagukan kebahagiaan mereka. Apa kalian bahagia? Apa kalian bahagia seperti umumnya pengantin?

          “Jangan datang!” kata suamimu.
          “Kenapa kau tak ingin aku hadir di pernikahan kalian?”
          “Aku tak ingin kehadiranmu mengacaukan segalanya.”
          “Jadi memang, aku ini pengacau,” ujarku tersinggung.
          “Bukan, maksudku.... aku khawatir akan berubah pikiran saat melihatmu.”
          “Kau tak bisa.”

          Hari itu, aku tak bahagia. Tapi aku tersenyum seperti biasa.

          “Menyanyilah di pernikahan adikmu,” kata Om beberapa minggu sebelumnya. Baiklah, aku menjadikan ini kado pernikahannya. Dan oleh karena itu, aku wajib tampak bahagia. Selain itu, semua orang lain juga berbahagia, bukan? Kau tahu ini hari natal. Aku telah menggantung kaus kaki semalaman. Tapi tak seorangpun mengisinya dengan hadiah. Aku percaya Sinter Klass itu tidak ada. Tapi aku terlanjur sering menonton film-film drama tentang dia. Oh, mungkin dia sedang sangat sibuk di natal tahun ini. Atau mungkin dia sudah tidak menganggapku anak-anak lagi. Atau mungkin juga aku dianggap anak nakal sehingga tak layak diberi hadiah.

          Hari itu. Pernikahan kalian. Aku tahu segalanya telah berubah. Dia berjanji akan selalu ada bagian-bagian waktu untuk berbagi bersamaku. Tapi dia tak akan pernah sama. Cincin di jari manis itu, misalnya.

          Ketika akhirnya dia menemuiku beberapa hari setelah pernikahan kalian yang tanpa bulan madu, aku melihatnya dengan wujud yang tetap sama. Tempat kerja yang sama, dan cerita yang nyaris tak berubah. “Aku benci ibunya,” katanya. “Kami butuh banyak uang. Dan lebih banyak lagi setelah ini.” “Aku menyesal mengapa dia tidak mengatakannya dari dulu.” “Dia ingin ikut bersamaku. Aku tahu, seorang istri harus mengikuti suami, tapi.. aku malu.” Dia masih sangat sama seperti yang selama ini kukenal. Tapi memandangnya, seperti bukan siapa-siapa lagi sekarang.

          Hari itu, telah kutandai. Aku sudah menghabiskan masa-masa berkabung lama sebelumnya. Hari itu aku telah siap dan tak menitikkan setetespun air mata. “Maybe she thought she won, but, her failure is just begun,” kataku menghibur sahabatku yang bahkan sangat membencimu karena ini.

          “Jadi sebenarnya ada apa antara kalian bertiga?”
          “Dia sudah beristri. Dan tetap menginginkanku. Lalu kenapa?”
          “Tidak boleh. Kalian tidak boleh bersama-sama seperti dulu.”
          “Bahkan Tuhan tahu, dia tak butuh wanita selain aku.”
          “Tapi mereka menikah.”
          “Itu dia lakukan hanya agar bayinya punya ayah.”
          “Tapi itu tidak adil.”
          “Cinta tidak pernah adil.”
          “Wanita itu curang dengan menjebaknya. Dia lebih buruk dari pelacur.”
          “Meski pada akhirnya tetap aku yang menang, bukan?”

          Adalah saat yang sulit ketika kau tak bisa melakukan apapun, sementara kau tahu banyak hal harus dilakukan. Sekali lagi, aku menyadari, aku telah memberikan cinta pada pria yang salah. Mungkin dia akan menjadi ayah yang baik bagi anak kalian nanti. Tapi jelas dia tidak bisa setia. Atau lebih buruk lagi, dia tak pernah mencintaimu.

          “Kalau bukan karena dia hamil, aku tak akan menikahinya. Kau tahu itu.”
          “Kamu sudah menghamili anak orang. Itu kenyataan yang aku tahu.”

         “Waktu itu aku tidak sadar. Aku sangat patah hati ketika kau memutuskan untuk tidak lagi bersamaku. Dan dia datang. Mengajakku ke rumah temannya yang kosong. Menawariku cinta. Dan aku laki-laki.”

          “Aku tahu kau laki-laki karena kau brengsek. Mengapa sekarang kau masih bercinta denganku? Pernikahanmu seminggu lagi.”  

          “Itu sebabnya aku ingin menghabiskan waktu-waktu ini bersamamu saja. Aku tak ingin kehilanganmu.”

          “Kau sudah kehilangan aku.”
          “Oh, please.... menurutmu aku harus jadi pria yang bertanggungjawab?”
          “Kau sendiri yang mengatakan bahwa kau lelaki.”
          “Aku ingin lari.”
          “Lari kemana?”
          “Ke negeri yang jauh. Kau boleh ikut.”
          “Bukankah sudah sangat terlambat?”

          Pada akhirnya, dia tetap harus memilih. Dan aku tahu dia akan memilihmu. Aku curiga dia jatuh cinta lagi padamu, tapi dia meyakinkanku bahwa tidak ada pilihan lain selain itu. Bahkan pilihan yang lebih buruk sekalipun.

          “Kalau aku tak mencintaimu,untuk apa aku masih selalu ada untukmu? Bahkan setelah aku menikahinya?” katanya saat kami sedang mengobrol berdua.

          Dan aku pikir benar juga. Kau ingat ketika kau memaksanya ikut ke tempat kerja? Dia menyelinap mendatangiku hanya untuk bercerita betapa malunya dia ketika orang-orang melihat perutmu yang semakin membesar.

          “Akan sangat aneh kalau sebentar lagi dia melahirkan. Baru dua bulan kami menikah dan dia sudah akan melahirkan.”

          “Itulah mengapa kukatakan padamu agar tak menggelar  pesta. Dengan demikian akan semakin sedikit orang yang menyadari ke’sangat aneh’an yang kau maksud.”

          “Tapi dia merengek meminta.”
          “Astaga!”

          Bulan berikutnya aku pindah ke tempat yang lebih baik. Agak jauh dari suamimu tentu saja. Tapi diapun pernah hampir menginap di sini kalau aku tidak memaksa mengantarnya pulang. Tapi tetap saja aku memasak untuknya. Seperti selalu kami bicarakan, kami akan masak dan makan bersama. Dan memang demikian. Kau lihat? Dia sangat bahagia. Bahkan dengan cincin di jari manisnya, dia berpura-pura tak mendengar teleponmu dan menciumku.

          Kau pasti ingat saat kami bersama dulu. Saat hubungan kami baru berumur beberapa minggu. Kau mengatakan hal-hal cengeng dan tak masuk akal padaku. Diapun bercerita kalau kau menangis.

          “Kalau dia masih sangat mencintaimu, untuk apa dia meninggalkanmu demi pria lain?”

          “Dia sendiri mengaku tidak tahu.”
          “Berarti dia bodoh,” kataku.

          Dan aku tak tahu lagi cinta itu apa, karena yang aku lihat sekarang hanyalah kamu terobsesi ingin memilikinya. Dan kamu mendapatkan itu. Aku bisa melihat betapa kau bangga, betapa kau merasa menang melihatku menderita. Tapi ceritanya sama sekali tak seperti itu. 

          “Mungkin sebentar lagi aku akan jadi duda, hehehe....” begitu selalu katanya. Bahkan di telingakupun, itu terdengar menyakitkan. Untung saja dia menikahimu, bukan aku. Betapa sedihnya memiliki suami yang memberimu ucapan “Selamat bobok, sayang!” dan memberiku kecupan selamat malam yang sesungguhnya?

          Pernah aku bertanya “Hei, bagaimana kalau yang di kandungannya bukanlah anakmu?” dan dia bersemangat menjawab “Akan segera kuceraikan dia.” Kau harus dengar itu.

          Aku tak akan memberimu nasihat apa-apa. Kau jauh lebih tua dariku. Aku bahkan tak mengatakan apapun di saat kau merebutnya dengan cara paling murahan seperti itu. Tidak sepertimu yang merengek seperti bayi saat dia mengatakan tak mencintaimu lagi dan hanya mencintaiku. Mungkin sebaiknya kau jangan terlalu percaya diri. Atau berpikir pintarlah sekali-kali.

          Jelas kau tak mengenal suamimu sendiri, Mbak. Dia lebih brengsek, bahkan lebih dari yang pernah kukira. Dan kau boleh tenang. Karena meskipun kami masih sering bersama, aku sudah tak lagi mencintainya. Sudah tak lagi ketika dia mengatakan akan menikahimu.

          “Kau sudah tidak berharap kita akan bersama lagi, bukan?” tanyanya tiga bulan yang lalu. Beberapa hari setelah kau memberitahunya untuk bertanggungjawab atas janin yang terus membesar.

          “Tentu saja tidak. Kenapa?”
          “Aku akan menikahinya.”
          “Aku tahu kau bodoh.”

          Aku tidak pernah bisa jatuh cinta pada pria bodoh, Mbak. Dan aku baru tahu, betapa bodohnya dia. Sungguh, apa salahku kalau suamimu tidak setia?

You May Also Like

0 komentar