Mbak
“Mbak, apa
salahku kalau suamimu tidak setia?”
25
Desember. Pernikahan kalian. Aku menyanyi karena harus. Untuk pertama kalinya,
aku merasa tidak bahagia di atas pentas. Meski seluruh yang datang hari itu
bertepuk tangan. Tulus, aku tahu. Aku tahu itu dari sorot mata mereka yang
bahagia, yang penuh harap aku segera menyanyikan lagu berikutnya. Untuk
sepupuku, dan suaminya yang menikah di hari yang sama dengan pernikahan kalian.
Cukup dijadikan jawaban atas pertanyaan orang-orang, “Kemana Maharani? Tidak
hadirkah dia?” dan juga yang berbisik-bisik dengan suara nyaring “Ah, kasihan,
pasti dia sangat patah hati.”
Mereka tak
tahu sama sekali, hari itupun aku dipuji. Aku tetap bintang seperti biasanya. Disorot
kamera, diincar fotografer yang sedianya bertugas mengabadikan momen pernikahan
sepupuku. Dan mereka memintaku menyanyikan lagu cinta, seperti selalu saat aku
menyanyi di pernikahan. Tugasku adalah melagukan kebahagiaan mereka. Apa
kalian bahagia? Apa kalian bahagia seperti umumnya pengantin?
“Jangan
datang!” kata suamimu.
“Kenapa
kau tak ingin aku hadir di pernikahan kalian?”
“Aku tak
ingin kehadiranmu mengacaukan segalanya.”
“Jadi
memang, aku ini pengacau,” ujarku tersinggung.
“Bukan,
maksudku.... aku khawatir akan berubah pikiran saat melihatmu.”
“Kau tak
bisa.”
Hari itu,
aku tak bahagia. Tapi aku tersenyum seperti biasa.
“Menyanyilah
di pernikahan adikmu,” kata Om beberapa minggu sebelumnya. Baiklah,
aku menjadikan ini kado pernikahannya. Dan oleh karena itu, aku wajib tampak
bahagia. Selain itu, semua orang lain juga berbahagia, bukan? Kau tahu ini hari
natal. Aku telah menggantung kaus kaki semalaman. Tapi tak seorangpun
mengisinya dengan hadiah. Aku percaya Sinter Klass itu tidak ada. Tapi aku
terlanjur sering menonton film-film drama tentang dia. Oh, mungkin dia sedang
sangat sibuk di natal tahun ini. Atau mungkin dia sudah tidak menganggapku
anak-anak lagi. Atau mungkin juga aku dianggap anak nakal sehingga tak layak diberi
hadiah.
Hari itu.
Pernikahan kalian. Aku tahu segalanya telah berubah. Dia berjanji akan selalu ada
bagian-bagian waktu untuk berbagi bersamaku. Tapi dia tak akan pernah sama.
Cincin di jari manis itu, misalnya.
Ketika
akhirnya dia menemuiku beberapa hari setelah pernikahan kalian yang tanpa bulan
madu, aku melihatnya dengan wujud yang tetap sama. Tempat kerja yang sama, dan
cerita yang nyaris tak berubah. “Aku benci ibunya,” katanya. “Kami butuh banyak
uang. Dan lebih banyak lagi setelah ini.” “Aku menyesal mengapa dia tidak
mengatakannya dari dulu.” “Dia ingin ikut bersamaku. Aku tahu, seorang istri
harus mengikuti suami, tapi.. aku malu.” Dia masih sangat sama seperti yang
selama ini kukenal. Tapi memandangnya, seperti bukan siapa-siapa lagi sekarang.
Hari itu,
telah kutandai. Aku sudah menghabiskan masa-masa berkabung lama sebelumnya.
Hari itu aku telah siap dan tak menitikkan setetespun air mata. “Maybe she thought she won, but, her failure
is just begun,” kataku menghibur sahabatku yang bahkan sangat membencimu
karena ini.
“Jadi
sebenarnya ada apa antara kalian bertiga?”
“Dia sudah
beristri. Dan tetap menginginkanku. Lalu kenapa?”
“Tidak
boleh. Kalian tidak boleh bersama-sama seperti dulu.”
“Bahkan
Tuhan tahu, dia tak butuh wanita selain aku.”
“Tapi
mereka menikah.”
“Itu dia
lakukan hanya agar bayinya punya ayah.”
“Tapi itu
tidak adil.”
“Cinta tidak pernah adil.”
“Wanita
itu curang dengan menjebaknya. Dia lebih buruk dari pelacur.”
“Meski
pada akhirnya tetap aku yang menang, bukan?”
Adalah
saat yang sulit ketika kau tak bisa melakukan apapun, sementara kau tahu banyak
hal harus dilakukan. Sekali lagi, aku menyadari, aku telah memberikan cinta
pada pria yang salah. Mungkin dia akan menjadi ayah yang baik bagi anak kalian
nanti. Tapi jelas dia tidak bisa setia. Atau lebih buruk lagi, dia tak pernah
mencintaimu.
“Kalau
bukan karena dia hamil, aku tak akan menikahinya. Kau tahu itu.”
“Kamu
sudah menghamili anak orang. Itu kenyataan yang aku tahu.”
“Waktu itu
aku tidak sadar. Aku sangat patah hati ketika kau memutuskan untuk tidak lagi
bersamaku. Dan dia datang. Mengajakku ke rumah temannya yang kosong. Menawariku
cinta. Dan aku laki-laki.”
“Aku tahu
kau laki-laki karena kau brengsek. Mengapa sekarang kau masih bercinta
denganku? Pernikahanmu seminggu lagi.”
“Itu
sebabnya aku ingin menghabiskan waktu-waktu ini bersamamu saja. Aku tak ingin
kehilanganmu.”
“Kau sudah
kehilangan aku.”
“Oh,
please.... menurutmu aku harus jadi pria yang bertanggungjawab?”
“Kau
sendiri yang mengatakan bahwa kau lelaki.”
“Aku ingin
lari.”
“Lari
kemana?”
“Ke negeri
yang jauh. Kau boleh ikut.”
“Bukankah
sudah sangat terlambat?”
Pada
akhirnya, dia tetap harus memilih. Dan aku tahu dia akan memilihmu. Aku curiga
dia jatuh cinta lagi padamu, tapi dia meyakinkanku bahwa tidak ada pilihan lain
selain itu. Bahkan pilihan yang lebih buruk sekalipun.
“Kalau aku
tak mencintaimu,untuk apa aku masih selalu ada untukmu? Bahkan setelah aku
menikahinya?” katanya saat kami sedang mengobrol berdua.
Dan aku
pikir benar juga. Kau ingat ketika kau memaksanya ikut ke tempat kerja? Dia
menyelinap mendatangiku hanya untuk bercerita betapa malunya dia ketika
orang-orang melihat perutmu yang semakin membesar.
“Akan
sangat aneh kalau sebentar lagi dia melahirkan. Baru dua bulan kami menikah dan
dia sudah akan melahirkan.”
“Itulah
mengapa kukatakan padamu agar tak menggelar pesta. Dengan demikian akan semakin sedikit
orang yang menyadari ke’sangat aneh’an yang kau maksud.”
“Tapi dia
merengek meminta.”
“Astaga!”
Bulan
berikutnya aku pindah ke tempat yang lebih baik. Agak jauh dari suamimu tentu
saja. Tapi diapun pernah hampir menginap di sini kalau aku tidak memaksa
mengantarnya pulang. Tapi tetap saja aku memasak untuknya. Seperti selalu kami
bicarakan, kami akan masak dan makan bersama. Dan memang demikian. Kau lihat?
Dia sangat bahagia. Bahkan dengan cincin di jari manisnya, dia berpura-pura tak
mendengar teleponmu dan menciumku.
Kau pasti
ingat saat kami bersama dulu. Saat hubungan kami baru berumur beberapa minggu.
Kau mengatakan hal-hal cengeng dan tak masuk akal padaku. Diapun bercerita
kalau kau menangis.
“Kalau dia
masih sangat mencintaimu, untuk apa dia meninggalkanmu demi pria lain?”
“Dia
sendiri mengaku tidak tahu.”
“Berarti
dia bodoh,” kataku.
Dan aku
tak tahu lagi cinta itu apa, karena yang aku lihat sekarang hanyalah kamu
terobsesi ingin memilikinya. Dan kamu mendapatkan itu. Aku bisa melihat betapa
kau bangga, betapa kau merasa menang melihatku menderita. Tapi ceritanya sama
sekali tak seperti itu.
“Mungkin
sebentar lagi aku akan jadi duda, hehehe....” begitu selalu katanya. Bahkan di
telingakupun, itu terdengar menyakitkan. Untung saja dia menikahimu, bukan aku.
Betapa sedihnya memiliki suami yang memberimu ucapan “Selamat bobok, sayang!” dan
memberiku kecupan selamat malam yang sesungguhnya?
Pernah aku
bertanya “Hei, bagaimana kalau yang di kandungannya bukanlah anakmu?” dan dia
bersemangat menjawab “Akan segera kuceraikan dia.” Kau harus dengar itu.
Aku tak
akan memberimu nasihat apa-apa. Kau jauh lebih tua dariku. Aku bahkan tak
mengatakan apapun di saat kau merebutnya dengan cara paling murahan seperti
itu. Tidak sepertimu yang merengek seperti bayi saat dia mengatakan tak
mencintaimu lagi dan hanya mencintaiku. Mungkin sebaiknya kau jangan terlalu
percaya diri. Atau berpikir pintarlah sekali-kali.
Jelas kau
tak mengenal suamimu sendiri, Mbak. Dia lebih brengsek, bahkan lebih
dari yang pernah kukira. Dan kau boleh tenang. Karena meskipun kami masih
sering bersama, aku sudah tak lagi mencintainya. Sudah tak lagi ketika dia
mengatakan akan menikahimu.
“Kau sudah
tidak berharap kita akan bersama lagi, bukan?” tanyanya tiga bulan yang lalu.
Beberapa hari setelah kau memberitahunya untuk bertanggungjawab atas janin yang
terus membesar.
“Tentu
saja tidak. Kenapa?”
“Aku akan
menikahinya.”
“Aku tahu
kau bodoh.”
Aku tidak
pernah bisa jatuh cinta pada pria bodoh, Mbak. Dan aku baru tahu, betapa bodohnya
dia. Sungguh, apa salahku kalau suamimu tidak setia?
0 komentar