Rosary

by - 17.36.00


Image source: pinterest


Cahaya berhamburan di antara kelopak mata gadis kecil penabur bunga. Cahaya bening jatuh perlahan, mengikuti langkah kaki sang pengantin. Bola-bola berpantulan di seluruh penjuru ruangan. Bukan barang pecah belah yang ia khawatirkan. Tapi bayi dalam kandungan dan sang mempelai pria yang belum juga datang. Di altar, orang-orang suci menanti dengan topi tertelungkup dan buku-buku jari terpasung. Rosario. Orang-orang menggunakannya sebagai pertanda dan hitungan puji-pujian. Akan tetapi Virsha memmbiarkannya teruntai manis di leher. Sedang tren, katanya.

Satu jam, mempelai wanita menanti dengan gugup. Bayi dalam kandungannya bisa berontak dan lahir kapan saja. Tapi si ayah belum juga datang. Dia memoleskan kempali cat kuku untuk menutupi kekhawatiran. Bunga-bunga sudah habis ditabur. Mata gadis kecil masih penuh cahaya. Tamu-tamu duduk tegang, menghayati musik yang dimainkan dengan nada patah hati. Burung merpati merontoki bulu-bulu mereka sendiri di depan pintu. Ada begitu banyak yang tidak bahagia hari itu.

Di deretan bangku tamu, nyaris tak kelihatan, Virsha memerhatikan seluruh ruangan. Ada begitu banyak mawar putih dan pita sebagai dekorasi. Para pria memakai tuksedo mereka yang telah disetrika dan para wanita memakai gaun-gaun indah rancangan desainer. Semuanya khusus dipersiapkan demi hari pernikahan ini. Anak-anak perempuan pula berpakaian rapi dan membawa bunga. Pita-pita menghias kepala mereka. Anak-anak lelaki sibuk bertengkar. Ibu-ibu mereka lebih tegang dari siapapun yanng ada di ruangan itu.

Kelana. Lelaki itulah sang mempelai pria. Lelaki itu lah yang membuat tegang seluruh ruangan karena dua jam terlambat. Lelaki itulah yang akan menjadi ayah dari bayi dalam kandungan sang mempelai perempuan. Lelaki itu lah yang memberikan rosario pada Virsha, memakaikannya di leher cantiknya untuk membuatnya tercekik amat perlahan. Sekarang, leher Virsha sudah amat terluka. Dirabanya leleran darah yang hampir mengental dan membasahi karangan bunga mawar di tangannya. 

Hampir tiga jam. Tamu sudah satu persatu meninggalkan ruangan. Virsha duduk diam memerhatikan pengantin wanita yang gelisah dan ketakutan anaknya lahir sekarang. “Kelana, kamu sampai mana?” Teriak perempuan dengan perut besar itu. Seperti badut karena make upnya telah luntur oleh air mata. Virsha seperti ingin menangis melihatnya. Juga tertawa. Begitu bergejolak emosi yang tak bisa dipahami sehingga bunga-bunga di tangannya mekar dan mengeluarkan duri-duri.

“Menurutmu, aku harus jadi pria yang bertanggung jawab atau tidak?”
“Tentu saja, bodoh!”
“Aku ingin lari,” begitulah yang Kelana katakan pada Virsha malam sebelumnya.

Pengantin wanita telah kian frustasi dan melempari dirinya dengan bangku-bangku patah ketika akhirnya Kelana tiba. 

“Aku tidak mencintaimu,” gumamnya. Kemudian mereka menikah. Sementara itu, di luar gereja, leher Virsha terjerat lebih erat. Tapi dia bahagia. Itu terbukti dari cahaya yang turut berjatuhan bersama air mata. Pandangannya ditimpakan pada burung-burung yang terbang dan hinggap. Berganti-ganti. Padahal mereka tak punya sayap.

You May Also Like

0 komentar