Rosary
Image source: pinterest |
Cahaya berhamburan di antara kelopak
mata gadis kecil penabur bunga. Cahaya bening jatuh perlahan, mengikuti langkah
kaki sang pengantin. Bola-bola berpantulan di seluruh penjuru ruangan. Bukan
barang pecah belah yang ia khawatirkan. Tapi bayi dalam kandungan dan sang
mempelai pria yang belum juga datang. Di altar, orang-orang suci menanti dengan
topi tertelungkup dan buku-buku jari terpasung. Rosario. Orang-orang
menggunakannya sebagai pertanda dan hitungan puji-pujian. Akan tetapi Virsha
memmbiarkannya teruntai manis di leher. Sedang tren, katanya.
Satu jam, mempelai wanita menanti
dengan gugup. Bayi dalam kandungannya bisa berontak dan lahir kapan saja. Tapi
si ayah belum juga datang. Dia memoleskan kempali cat kuku untuk menutupi
kekhawatiran. Bunga-bunga sudah habis ditabur. Mata gadis kecil masih penuh
cahaya. Tamu-tamu duduk tegang, menghayati musik yang dimainkan dengan nada patah
hati. Burung merpati merontoki bulu-bulu mereka sendiri di depan pintu. Ada
begitu banyak yang tidak bahagia hari itu.
Di deretan bangku tamu, nyaris tak
kelihatan, Virsha memerhatikan seluruh ruangan. Ada begitu banyak mawar putih
dan pita sebagai dekorasi. Para pria memakai tuksedo mereka yang telah
disetrika dan para wanita memakai gaun-gaun indah rancangan desainer. Semuanya
khusus dipersiapkan demi hari pernikahan ini. Anak-anak perempuan pula
berpakaian rapi dan membawa bunga. Pita-pita menghias kepala mereka. Anak-anak
lelaki sibuk bertengkar. Ibu-ibu mereka lebih tegang dari siapapun yanng ada di
ruangan itu.
Kelana. Lelaki itulah sang mempelai
pria. Lelaki itu lah yang membuat tegang seluruh ruangan karena dua jam
terlambat. Lelaki itulah yang akan menjadi ayah dari bayi dalam kandungan sang
mempelai perempuan. Lelaki itu lah yang memberikan rosario
pada Virsha, memakaikannya di leher cantiknya untuk membuatnya tercekik amat
perlahan. Sekarang, leher Virsha sudah amat terluka. Dirabanya leleran darah
yang hampir mengental dan membasahi karangan bunga mawar di tangannya.
Hampir tiga jam. Tamu sudah satu persatu
meninggalkan ruangan. Virsha duduk diam memerhatikan pengantin wanita yang
gelisah dan ketakutan anaknya lahir sekarang. “Kelana, kamu sampai mana?”
Teriak perempuan dengan perut besar itu. Seperti badut karena make upnya telah
luntur oleh air mata. Virsha seperti ingin menangis melihatnya. Juga tertawa.
Begitu bergejolak emosi yang tak bisa dipahami sehingga bunga-bunga di
tangannya mekar dan mengeluarkan duri-duri.
“Menurutmu, aku harus jadi pria yang
bertanggung jawab atau tidak?”
“Tentu saja, bodoh!”
“Aku ingin lari,” begitulah yang Kelana
katakan pada Virsha malam sebelumnya.
Pengantin wanita telah kian frustasi
dan melempari dirinya dengan bangku-bangku patah ketika akhirnya Kelana tiba.
“Aku tidak mencintaimu,”
gumamnya. Kemudian mereka menikah. Sementara
itu, di luar gereja, leher Virsha terjerat lebih erat. Tapi dia bahagia. Itu
terbukti dari cahaya yang turut berjatuhan bersama air mata. Pandangannya
ditimpakan pada burung-burung yang terbang dan hinggap. Berganti-ganti. Padahal
mereka tak punya sayap.
0 komentar