“Isthar Pelle itu dulu alay. Yang
ngelike statusnya dikit,” seorang teman pernah berujar.
Aku sedih dikatain gitu? Nggak lah. Soalnya aku tahu apa yang sebenarnya terjadi sedangkan temanku itu enggak.
Yaa ya, tentu saja aku pernah alay,
aku nggak akan menyangkal itu. Terutama kalau lagi patah hati. Udah, time line
pasti banjir air mata. Pasti! Jangankan kalian, aku sendiri aja muak kalau baca
ulang. Malu juga dan sering berakibat pada penghapusan. lol
Tapiiii, aku kalau ngalay nggak pernah
lama. Bahkan pas drama yang menyebabkan langit kelap-kelap bumi gonjang-ganjing
dulu banget itu aja aku mengeluhnya nggak lama. Nggak inget berapa lama
tepatnya tapi yang jelas nggak lebih dari sebulan. Bukan karena kontrolku yang
bagus, tapi lebih karena yahh, emosiku aja. Aku ekspresif anaknya. Kalau lagi
sedih ya bakal sedih sesedih-sedihnya, tapi habis itu lega dan normal kembali.
Sesederhana itu.
Lha sialnya, temenku itu dulu pertama
kali berteman sama aku paaaas banget aku lagi menghadapi episode paling
mengerikan sepanjang sinetron hidupku (drama yang menyebabkan langit kelap-kelap
bumi gonjang-ganjing itu tadi). Dibanding masalah-masalah yang pernah tak
hadapi sebelum-sebelumnya, masalah yang harus kuhadapi waktu itu tekanannya sejuta
kali lipat lebih berat. Dan kalau biasanya aku punya banyak bahu untuk
bersandar, teman buat dicurhati, cheerleader yang memberi dukungan, waktu itu
nggak ada sama sekali.
Orang-orang yang biasanya tak
‘sambati’ ternyata punya dendam dan diam-diam bersorak aku kena masalah seperti
itu. Mereka kompak meninggalkan, menghujat, dan ngomongin di belakang. Oh,
bulan purnama.
Ada sih, orang-orang baik yang
mendukungku dan atau seenggaknya bersikap netral dan nggak ngomong jahat di
belakang. Tapi dulu kami belum seakrab itu sehingga nggak mungkin lah tak
curhati. Jadi aku nggak punya pilihan lain selain menjerit sekencang-kencangnya
di facebook.
Dan temen yang ngomenin aku tadi itu
pertama kali berteman sama aku di facebook ya pas kondisiku lagi kaya gitu.
Makanya first impression dia aku ya alay, tukang ngeluh, tukang curhat di
sosmed, dan tukang-tukang lainnya yang nggak keren.
Saking kuatnya first impression itu,
sampai udah tak jelasin juga orangnya nggak percaya. Hahahah. Pokoknya Isthar
Pelle itu alay, tukang ngeluh. Titik. Tentu saja temenku nggak salah soalnya
emang nggak tahu, dan kesan pertama yang kusuguhkan padanya memang nyatanya
alay kok. Lesson learned: kesan pertama itu memang segala-galanya. Lain kali
kalau lagi galau nggak usah add teman baru. Hahaha.
Apalagi ada satu alasan yang
memperkuat argumennya: yang ngelike statusku dikit. Palingan satu apa dua orang.
Iya, itu bener. Tapi nggak ada kaitannya sama alay. Soalnya pas aku alay dramah,
anehnya malah yang ngelike dan ngomen lebih banyak. 0,1 % karena peduli, 99,9%
kepo. Hahaha. Setelah aku normal biasa, yang kepo-kepo ini ya nggak kelihatan
lagi batang jempolnya.
Soal like itu gini lho….
Pertama, aku dulu emang nggak mikirin
like sama sekali. Aku nggak kepengen jadi seleb. Aku nulis status juga bukan
karena mengharap pujian, penghargaan, pengakuan, dan lain sebagainya. Nggak
lah. Alasanku bersosmed nggak sedangkal itu. Toh nggak ada yang ngelike pun aku
masih bisa ketawa-ketawa sendiri bacanya. #BedebahNarsis
Yang tak perhatikan likenya itu dulu cuma
akun jualan. Kenapa? Ya demi omset lah. Akun Isthar Pelle statusnya sepi like
sepi komen, nggak masalah. Akun jualan sepiii, nha baru deh cemas.
Akun pribadi, akun facebook Isthar
Pelle itu baru tak pikirin likenya setelah aku mulai (agak) rajin ngeblog. Tahun
lalu. Aku baca-baca banyak tips blogging dan banyak yang ngomongin kekuatan
share social media. So yeah, aku mikirin like demi traffic.
Trus apa yang kulakukan untuk meningkatkan like?
Aku ganti teman. Literally. Ya nggak
semuanya lah. Yang tadinya udah saling sapa nggak tak ganti, yang postingannya
menarik selalu kuikuti nggak tak ganti, yang berwajah tampan dan bisa jadi
moodbooster di siang hari yang panik juga nggak tak ganti.
Tapi aku refresh pertemanan, secara agak
besar-besaran.
Pertama, akun dengan nama alay kuhapus
tanpa pandang bulu. Mungkin itu sisa masa lalu ketika menerima pertemanan masih
begitu mudah. Kedua, yang postingannya alay mekipun namanya enggak, kuhapus. Iyaaa,
ngerti, curhat di sosmed adalah hak segala pemuda. Apalagi kalau patah hati.
Lha tapi kalau curhatnya lebih dari sepuluh kali sehari, setiap hari, selama
tujuh tahun berturut-turut?
Ketiga, akun yang udah lama nggak
aktif kuhapus. Keempat, akun yang aktif, udah berteman lama, tapi sejak
berteman lima tahun yang lalu nggak pernah bersinggungan barang sakstatus pun,
hapus. Kelima, yah, pokoknya intinya orang-orang yang nggak memungkinkan untuk
diajak berteman (baca: nggak pernah berinteraksi dan nggak banyak inspirasi
yang bisa kuambil darinya tiap hari) tak hapusin.
Selanjutnya, aku add teman-teman baru.
Orang-orang yang memiliki passion sama, penulis, blogger, atau akun-akun lucu
yang selera humornya mirip-mirip denganku. Pokoknya statusnya bikin aku
ngakak-ngakak, add. Nggak masalah kalau orangnya nggak ngakak balik pas baca
statusku. Selain juga aku add akun orang-orang cerdas bin keren yang suka nulis
status-status inspiratif biar aku bisa belajar. Jadi aktivitas nyosmedku itu
ada manfaatnya gitu lho. Scrolling timeline juga ada ilmu yang kudapat.
Seiring berjalannya waktu teman-teman
baru ini bertambah. Kadang gara-gara sering ‘ketemu’ di status teman yang sama
trus merasa akrab.
Jenisnya macem-macem, mulai dari
pedagang, tukang komik, beauty enthusiast, pengamat politik, sampai yang
hobinya ngomongin pengetahuan ilmiah. Ada semua dan aku suka itu. Duniaku jadi
nggak sempit sama satu jenis pertemanan saja. Tiap hari aku bisa berinteraksi
dengan banyak orang yang bener-bener beda passion, beda kesibukan, beda
kegiatan, beda pikiran, beda sudut pandang. Ini setidaknya mengurangi efek
bubble buatku.
Trus ngefek ke like status?
Yes, it works. Yah meskipun nggak banyak banget juga kaya temen-temenku
sih, tapi seenggaknya ada yang menanggapi, ada yang baca.
Bukan karena statusku yang makin bagus. Yang udah berteman lama sama aku
pasti juga tahu kalau gaya nyetatusku masih sama-sama aja. Kadang malah aku
mikir bagusan dulu karena dulu itu saking koplaknya sampai banyak yang copas
dan ‘nunut’ bangga kok. Sampai aku beberapa kali diunfriend dan diblokir
gara-gara ngomen “Cie ciee,” di status copasannya. Hahaha.
Yo’iiih, yang ngopas siapa, yang
marah-marah siapa. :v
Mungkin banyak yang mikir “Halaaah,
muk status ra penting wae kok koe ribut sih, Pel? Ndeso!”
Yahh, aku masih menganut “Kalau mau
mengutip, mengutiplah dengan santun,” sih. Facebook sudah menyediakan tombol
share. Kalau malas share ya silakan copas (which is lebih ribet nggak sih?)
asal menyantumkan sumber.
Dan lagiaan, kalau memang status nggak
penting, kenapa nggak bikin sendiri saja? Toh nggak penting kan? Gampang lah
harusnya. Selain itu juga menurutku ‘pembajakan’ sekecil status bisa berkembang
menjadi ‘pembajakan’ yang lebih besar kalau menjadi kebiasaan dan nggak
menganggap itu sebagai satu hal yang salah. Duh, bangganya yang dipuji-puji
kreatif, out of the box, cerdas, dan bla bla bla meskipun yang dipuji itu bukan
hasil pikiran sendiri. Tapi yahh…, aku yang ndeso ini tahu apa? :D
Oke, balik lagi ke like. Statusku
masih sama. Cuma mungkin beda format aja. Kalau dulu aku suka bikin status
pendek-pendek tapi banyaaaaak (kaya kultwit di twitter), kalau sekarang status
yang printhil-printhil itu tak kumpulin jadi status yang agak panjang. Atau tak
bikin blogpost sekalian buat isi-isi blog, haha. Tapi isinya? Ya sama aja.
Tapi kok likenya lebih banyak? Ya
karena itu tadi. Teman-temanku sudah ganti. Ibaratnya sekarang aku ngobrol sama
orang-orang yang tepat, sedangkan dulu, aku ngoceh di tengah orang-orang yang
bahasanya beda (ini ibarat lho). Bagaikan aku ngomong pakai bahasa Jawa medhok
magelangan di tengah-tengah suku Klingon. Ya gimana mau ngelike, mudeng aja
enggak. Atau sekalipun mudeng bahasanya, passionnya beda, jadi merekanya nggak
tertarik.
Kalau soal alay, toh aku sampai
sekarang masih alay kan? Statusku nggak lantas berubah jadi berisi, tajam,
cerdas, mengagumkan, dan lain-lainnya, wong aku menggunakan sosmed sebagaimana
mestinya saja, yaitu: media pamer. Hahaha.
Oyaaaa, sama satu lagi: waktu! Dulu
aku insomnianya jauuuuuh lebih parah daripada ini. Jadi aku hanya aktif online
di jam-jam orang nggak ada yang aktif. Antara jam 1 malam sampai jam 5 pagi
gitu. Lha siapa yang mau baca statusnya cobak?
Sekarang pun kalau aku update status
di jam aneh kaya gitu ya tetep aja yang ngelike dikit.
Aku jadi ingat Melanie Subono pernah
ngasih saran sukses promosi lewat media sosial: waktu yang tepat dan
orang-orang yang tepat. She’s right!
Trus moral op de srorih dari postingan
ini apa?
Nggak tahu, aku juga bingung. Ini tak tulis jam empat pagi gara-gara
nggak bisa tidur sih. Yahh, mungkin ini: bukan soal alay yang menentukan banyak
tidaknya like, tapi kalau nggak kebanyakan ngalay mungkin likenya jadi lebih
banyak. Gitu?
Duh, gusti… aku ora nyambung.
0 komentar