Like

by - 13.16.00


          “Isthar Pelle itu dulu alay. Yang ngelike statusnya dikit,” seorang teman pernah berujar.
         
 Aku sedih dikatain gitu? Nggak lah. Soalnya aku tahu apa yang sebenarnya terjadi sedangkan temanku itu enggak. 

          Yaa ya, tentu saja aku pernah alay, aku nggak akan menyangkal itu. Terutama kalau lagi patah hati. Udah, time line pasti banjir air mata. Pasti! Jangankan kalian, aku sendiri aja muak kalau baca ulang. Malu juga dan sering berakibat pada penghapusan. lol

          Tapiiii, aku kalau ngalay nggak pernah lama. Bahkan pas drama yang menyebabkan langit kelap-kelap bumi gonjang-ganjing dulu banget itu aja aku mengeluhnya nggak lama. Nggak inget berapa lama tepatnya tapi yang jelas nggak lebih dari sebulan. Bukan karena kontrolku yang bagus, tapi lebih karena yahh, emosiku aja. Aku ekspresif anaknya. Kalau lagi sedih ya bakal sedih sesedih-sedihnya, tapi habis itu lega dan normal kembali. Sesederhana itu. 

          Lha sialnya, temenku itu dulu pertama kali berteman sama aku paaaas banget aku lagi menghadapi episode paling mengerikan sepanjang sinetron hidupku (drama yang menyebabkan langit kelap-kelap bumi gonjang-ganjing itu tadi). Dibanding masalah-masalah yang pernah tak hadapi sebelum-sebelumnya, masalah yang harus kuhadapi waktu itu tekanannya sejuta kali lipat lebih berat. Dan kalau biasanya aku punya banyak bahu untuk bersandar, teman buat dicurhati, cheerleader yang memberi dukungan, waktu itu nggak ada sama sekali. 

          Orang-orang yang biasanya tak ‘sambati’ ternyata punya dendam dan diam-diam bersorak aku kena masalah seperti itu. Mereka kompak meninggalkan, menghujat, dan ngomongin di belakang. Oh, bulan purnama. 

          Ada sih, orang-orang baik yang mendukungku dan atau seenggaknya bersikap netral dan nggak ngomong jahat di belakang. Tapi dulu kami belum seakrab itu sehingga nggak mungkin lah tak curhati. Jadi aku nggak punya pilihan lain selain menjerit sekencang-kencangnya di facebook. 

          Dan temen yang ngomenin aku tadi itu pertama kali berteman sama aku di facebook ya pas kondisiku lagi kaya gitu. Makanya first impression dia aku ya alay, tukang ngeluh, tukang curhat di sosmed, dan tukang-tukang lainnya yang nggak keren. 

          Saking kuatnya first impression itu, sampai udah tak jelasin juga orangnya nggak percaya. Hahahah. Pokoknya Isthar Pelle itu alay, tukang ngeluh. Titik. Tentu saja temenku nggak salah soalnya emang nggak tahu, dan kesan pertama yang kusuguhkan padanya memang nyatanya alay kok. Lesson learned: kesan pertama itu memang segala-galanya. Lain kali kalau lagi galau nggak usah add teman baru. Hahaha.

          Apalagi ada satu alasan yang memperkuat argumennya: yang ngelike statusku dikit. Palingan satu apa dua orang. Iya, itu bener. Tapi nggak ada kaitannya sama alay. Soalnya pas aku alay dramah, anehnya malah yang ngelike dan ngomen lebih banyak. 0,1 % karena peduli, 99,9% kepo. Hahaha. Setelah aku normal biasa, yang kepo-kepo ini ya nggak kelihatan lagi batang jempolnya. 

Soal like itu gini lho….

          Pertama, aku dulu emang nggak mikirin like sama sekali. Aku nggak kepengen jadi seleb. Aku nulis status juga bukan karena mengharap pujian, penghargaan, pengakuan, dan lain sebagainya. Nggak lah. Alasanku bersosmed nggak sedangkal itu. Toh nggak ada yang ngelike pun aku masih bisa ketawa-ketawa sendiri bacanya. #BedebahNarsis

          Yang tak perhatikan likenya itu dulu cuma akun jualan. Kenapa? Ya demi omset lah. Akun Isthar Pelle statusnya sepi like sepi komen, nggak masalah. Akun jualan sepiii, nha baru deh cemas. 

          Akun pribadi, akun facebook Isthar Pelle itu baru tak pikirin likenya setelah aku mulai (agak) rajin ngeblog. Tahun lalu. Aku baca-baca banyak tips blogging dan banyak yang ngomongin kekuatan share social media. So yeah, aku mikirin like demi traffic. 

Trus apa yang kulakukan untuk meningkatkan like?

          Aku ganti teman. Literally. Ya nggak semuanya lah. Yang tadinya udah saling sapa nggak tak ganti, yang postingannya menarik selalu kuikuti nggak tak ganti, yang berwajah tampan dan bisa jadi moodbooster di siang hari yang panik juga nggak tak ganti.
          Tapi aku refresh pertemanan, secara agak besar-besaran. 

          Pertama, akun dengan nama alay kuhapus tanpa pandang bulu. Mungkin itu sisa masa lalu ketika menerima pertemanan masih begitu mudah. Kedua, yang postingannya alay mekipun namanya enggak, kuhapus. Iyaaa, ngerti, curhat di sosmed adalah hak segala pemuda. Apalagi kalau patah hati. Lha tapi kalau curhatnya lebih dari sepuluh kali sehari, setiap hari, selama tujuh tahun berturut-turut? 

          Ketiga, akun yang udah lama nggak aktif kuhapus. Keempat, akun yang aktif, udah berteman lama, tapi sejak berteman lima tahun yang lalu nggak pernah bersinggungan barang sakstatus pun, hapus. Kelima, yah, pokoknya intinya orang-orang yang nggak memungkinkan untuk diajak berteman (baca: nggak pernah berinteraksi dan nggak banyak inspirasi yang bisa kuambil darinya tiap hari) tak hapusin. 

          Selanjutnya, aku add teman-teman baru. Orang-orang yang memiliki passion sama, penulis, blogger, atau akun-akun lucu yang selera humornya mirip-mirip denganku. Pokoknya statusnya bikin aku ngakak-ngakak, add. Nggak masalah kalau orangnya nggak ngakak balik pas baca statusku. Selain juga aku add akun orang-orang cerdas bin keren yang suka nulis status-status inspiratif biar aku bisa belajar. Jadi aktivitas nyosmedku itu ada manfaatnya gitu lho. Scrolling timeline juga ada ilmu yang kudapat. 

          Seiring berjalannya waktu teman-teman baru ini bertambah. Kadang gara-gara sering ‘ketemu’ di status teman yang sama trus merasa akrab. 

          Jenisnya macem-macem, mulai dari pedagang, tukang komik, beauty enthusiast, pengamat politik, sampai yang hobinya ngomongin pengetahuan ilmiah. Ada semua dan aku suka itu. Duniaku jadi nggak sempit sama satu jenis pertemanan saja. Tiap hari aku bisa berinteraksi dengan banyak orang yang bener-bener beda passion, beda kesibukan, beda kegiatan, beda pikiran, beda sudut pandang. Ini setidaknya mengurangi efek bubble buatku. 

Trus ngefek ke like status?

Yes, it works. Yah meskipun nggak banyak banget juga kaya temen-temenku sih, tapi seenggaknya ada yang menanggapi, ada yang baca.

Bukan karena statusku yang makin bagus. Yang udah berteman lama sama aku pasti juga tahu kalau gaya nyetatusku masih sama-sama aja. Kadang malah aku mikir bagusan dulu karena dulu itu saking koplaknya sampai banyak yang copas dan ‘nunut’ bangga kok. Sampai aku beberapa kali diunfriend dan diblokir gara-gara ngomen “Cie ciee,” di status copasannya. Hahaha.

          Yo’iiih, yang ngopas siapa, yang marah-marah siapa. :v

          Mungkin banyak yang mikir “Halaaah, muk status ra penting wae kok koe ribut sih, Pel? Ndeso!”

          Yahh, aku masih menganut “Kalau mau mengutip, mengutiplah dengan santun,” sih. Facebook sudah menyediakan tombol share. Kalau malas share ya silakan copas (which is lebih ribet nggak sih?) asal menyantumkan sumber. 

          Dan lagiaan, kalau memang status nggak penting, kenapa nggak bikin sendiri saja? Toh nggak penting kan? Gampang lah harusnya. Selain itu juga menurutku ‘pembajakan’ sekecil status bisa berkembang menjadi ‘pembajakan’ yang lebih besar kalau menjadi kebiasaan dan nggak menganggap itu sebagai satu hal yang salah. Duh, bangganya yang dipuji-puji kreatif, out of the box, cerdas, dan bla bla bla meskipun yang dipuji itu bukan hasil pikiran sendiri. Tapi yahh…, aku yang ndeso ini tahu apa? :D

          Oke, balik lagi ke like. Statusku masih sama. Cuma mungkin beda format aja. Kalau dulu aku suka bikin status pendek-pendek tapi banyaaaaak (kaya kultwit di twitter), kalau sekarang status yang printhil-printhil itu tak kumpulin jadi status yang agak panjang. Atau tak bikin blogpost sekalian buat isi-isi blog, haha. Tapi isinya? Ya sama aja. 

          Tapi kok likenya lebih banyak? Ya karena itu tadi. Teman-temanku sudah ganti. Ibaratnya sekarang aku ngobrol sama orang-orang yang tepat, sedangkan dulu, aku ngoceh di tengah orang-orang yang bahasanya beda (ini ibarat lho). Bagaikan aku ngomong pakai bahasa Jawa medhok magelangan di tengah-tengah suku Klingon. Ya gimana mau ngelike, mudeng aja enggak. Atau sekalipun mudeng bahasanya, passionnya beda, jadi merekanya nggak tertarik. 

          Kalau soal alay, toh aku sampai sekarang masih alay kan? Statusku nggak lantas berubah jadi berisi, tajam, cerdas, mengagumkan, dan lain-lainnya, wong aku menggunakan sosmed sebagaimana mestinya saja, yaitu: media pamer. Hahaha. 

          Oyaaaa, sama satu lagi: waktu! Dulu aku insomnianya jauuuuuh lebih parah daripada ini. Jadi aku hanya aktif online di jam-jam orang nggak ada yang aktif. Antara jam 1 malam sampai jam 5 pagi gitu. Lha siapa yang mau baca statusnya cobak?

          Sekarang pun kalau aku update status di jam aneh kaya gitu ya tetep aja yang ngelike dikit. 

          Aku jadi ingat Melanie Subono pernah ngasih saran sukses promosi lewat media sosial: waktu yang tepat dan orang-orang yang tepat. She’s right!

          Trus moral op de srorih dari postingan ini apa?

Nggak tahu, aku juga bingung. Ini tak tulis jam empat pagi gara-gara nggak bisa tidur sih. Yahh, mungkin ini: bukan soal alay yang menentukan banyak tidaknya like, tapi kalau nggak kebanyakan ngalay mungkin likenya jadi lebih banyak. Gitu? 

Duh, gusti… aku ora nyambung.

You May Also Like

0 komentar