Rumah

by - 16.43.00



White Houese on a Hill by Chaim Soutine. 1918.

Singkat. Begitulah perkenalan kita. Satu hari. Tidak lebih. Lalu kamu menghilang. Menghilang saja seperti tidak pernah ada. Tidak ada yang tahu kamu di mana. Tidak ada yang benar-benar yakin kau pernah ada. Bahkan aku. Aku takut kalau ternyata kau hanyalah khayalan yang terlalu nyata. Atau hantu yang menyamar malaikat. 

Tapi jangan berani-berani. Jangan sekalipun kamu berani mengatakan tidak ada kenangan apapun tentang kita. Atau mengatakan pertemuan hari itu hanyalah pertemuan biasa. Karena kita sama-sama tahu, ketika mata kita bertemu. Ada yang terjadi.

Atau baiklah, mungkin kau akan mengatakan terbawa perasaan untuk sesaat. Sesaat hujan melengkapi waktu. Sesaat air kecil-kecil itu jatuh dengan suara yang indah. Yang membawa sihir tertentu untuk membuat hati siapapun menjadi melankolis. Kalau kau mmemilih meyakini itu, tidak apa-apa. Aku paham. Selama ini toh belum pernah terjadi kau tertarik pada perempuan yang baru kau jumpai pertama kali. 

Tapi bagiku, arti di balik tatapan mata itu sungguh mencengangkan. Kau mungkin memilih untuk menghianatinya tapi aku tidak akan. Kenangan antara kita begitu banyaknya.

“Sehari. Hanya sehari,” katamu.
Mungkin bagimu. Tapi terasa selamanya bagiku. Terutama sejak kau memutuskan untuk pergi dan menyangkal ada sesuatu di antara dua pasang mata yang saling menatap. Selamanya itu sudah terjadi. Sejak saat itu sampai sekarang ini.

Dan jangan bilang tidak ada kenangan apapun, karena aku punya banyak di dalam sini. Ketika setiap hari aku merindukanmu, memikirkanmu, dan khayalan-khayalan kotor yang berkelebat di kepalaku. Itu semuapun, telah menjadi kenangan. Indah dan menyakitkan.

Kau tidak perlu tahu, sungguh. Kau tidak perlu menjadi bagian dari ini. Karena kisah ini cukup kunikmati sendiri saja. Jangan menginterupsi, jangan protes! Karena ini khayalanku sendiri, terjadi dalam kepalaku sendiri. Aku hanya meminjam kau sebagai tokoh pendamping peran utama. Tolong jangan merasa keberatan karena kau tidak dirugikan.

Kisah yang kukhayalkan ini indah. Sampai seperti di dunia peri. Hanya saja tidak ramai. Tapi penuh warna. Warna yang kita suka. Apa kau pernah mengatakan padaku kau pernah menyukai warna tertentu? Aku lupa. Asal dalam kepalaku kau menyukai warna sama seperti aku. Oleh karena itu kau suka menangkapinya. Memasukkannya dalam kurungan gelas. Dan menyerahkannya padaku untuk dibingkai. Satu per satu.

Rumah kita menjadi penuh, penuh warna. Oya, aku belum bilang kalau dalam kepalaku ini kita punya rumah yang menarik. Yang dibuat bukan dari kelopak bunga, karena pasti akan merepotkan kalau tertiup angin. Yang tak perlu banyak anggaran untuk mengerjakannya. Rumah kita ini dikelilingi pepohonan, dan kita tidak punya tetangga. Aku tidak suka tetangga. Mereka tidak bekerja. Aku tidak suka kalau mereka bicara tentang kita. 

Rumah ini dikelilingi banyak pohon. Ada pohon buah, ada yang mengeluarkan bunga, ada yang mengeluarkan bau harum, ada yang mengeluarkan musik. Sangat indah. Membuat siapapun yang tingggal bahagia. 

Tapi bukan berarti tak mungkin membuat orang sedih. Kesedihan itu masih ada. Kusimpan di ruang-ruang rahasia yang kau tak mungkin tahu password untuk masuk ke dalamnya. Kau juga tak perlu tahu soal kesedihan ini.

Rumah kita sudah penuh warna lagi sekarang. Seluruhnya. Kecuali satu ruangan kamar yang aku lebih suka kalau ruang itu putih saja. Putih saja dengan vas berisi bunga lily di meja sudut. Kursi untuk duduk. Tempat kita terus mengisi waktu untuk berbicara. Menyelami masing-masing. Sementara kau masih saja menangkapi warna.

“Masih ada begitu banyak warna yang harus kita abadikan,” begitu selalu katamu.
Sedang aku selain membantumu membingkai warna-warna dari kurungan gelas, aku menulis cerita. Untuk dikirimkan kepada anak-anak kecil di luar ‘dunia kita’. Anak-anak kecil yang sedih dan kesepian. Entah karena orang tua yang sibuk mencari nafkah, entah karena jaman yang telah berubah, entah karena kesendirian, kesepian, keputusasaan. Masa kecil anak jaman sekarang berbeda dengan yang dulu kita alami. Untuk itulah aku menulis cerita pada mereka. Untuk menceritakan segala bentuk kebahagiaan itu. Kebahagiaan yang sederhana.

Rumah kita berada di atas bukit. Kita bisa melihat matahari terbit dan tenggelam. Masing-masing kita menyukai satu. Kau menyukai siang, aku malam. Tapi di sini, kita tidak pernah saling meningalkan.
Kita punya halaman luas. Di salah satu tepinya ada pohon besar yang tidak menyeramkan. Selalu sejuk di bawah situ. Sebenarnya, pohon itu adalah rumah kunang-kunang. Mereka tinggal di bawahnya. Kalau hari gelap mereka akan naik ke atas. Menempel di setiap dahan, setiap daun, mengeluarkan cahaya berkelip-kelip. Seperti lampu pesta.

Kau menggantungkan jaring-jaring di sana. Untukku kalau sedang ingin membaca sendiri. Atau untuk kita duduk berdua. Menatap langit dengan sebotol bir. Memandangi bintang jatuh, make a wish.

Kita juga punya api unggun di sudut langit, di cakrawala, horison itu. Api unggun yang warna warni. Seperti aurora. Tapi kita tidak tinggal di kutub. Jadi itu bukan aurora. Sebenarnya itu hanyalah biasan dari lampu kota. Tempat yang kita kunjungi sesekali.

Kalau ada hal yang membuat kita bertengkar, itu adalah karena kau tidak mengijinkanku memelihara peri. Padahal seepertinya lucu kalau kita puya satu. Tapi kau tak ijinkan aku. Kamu bilang peri tidak untuk dipelihara. Katamu peri adalah hal yang bisa kau panggil dalam ingatkan. Bukan peliharaan yang dikurung dalam sangkar. Padahal aku tidak berniat mmengurungnya dalam sangkar. 

Tidak ada yang tahu tempat tinggal kita ini. Ini rahasia kita berdua. Atau dalam kenyataan yang sesungguhnya, biarlah ini menjadi rahasiaku saja.

You May Also Like

0 komentar