Bapakku itu sebenarnya orangnya lucuuuu banget. Kalau nggak percaya, lihat aja fotoku di atas. Sudah gemas? Kalau belum, liatin lagi. Sampai geregetan dan banting laptop kalau perlu. Hehe, nggak ding, bukan lucu itu maksudnya.
Lucu, ceria, gembira, penghibur, dan hobi ngelawak. Di manapun ada acara orang banyak ngumpul, bapakku biasanya jadi the joker yang bikin semua orang ketawa kayang sampai sakit perut. In case kalian bertanya-tanya kenapa aku anaknya hobi becanda dan nggak pernah serius, jawabannya ya gara-gara bapakku itu. I’m my father’s daughter.
Anehnya, kalau di hadapan Ibuku, bapakku seketika berubah jadi the saddest person in the world. Aura keceriaannya luntur tur. Gesturnya nggak nyaman. Matanya yang biasanya bersinar jenaka menunduk lesu. Nggak bahagia.
Bapakku takut sama ibuku. Yes, dia memang anggota Komunitas Suami Takut Istri kok. Sialnya, Ibuku orangnya nggak suka becanda. Kalaupun pernah becanda, sekali-sekali aja. Itu juga jaraaaang banget. Ibuku itu orangnya serius dan hobi marah-marah. Stressnya tinggi karena standar bahagia yang dia tentukan sendiri. Bahagianya ribet.
Sebenarnya yang mengalami kelunturan keceriaan kalau deket ibuku bukan hanya Bapakku sih. Aku sama adikku juga orangnya suka banget becanda sebenernya. Kalau ngumpul bertiga (aku, Bapak, sama adik), kami bisa merubuhkan rumah saking hebohnya becanda. Tapi begitu ibuku masuk ruangan … mendadak hening. Suara jangkrik terdengar lamat-lamat, petir menggelegar dari kejauhan, kemudian hujan deras.
Kami semua merasa tertekan instan. Yang masih ada sisa tawa, diempet-empet dengan cara gigit bibir atau lidah dan konsentrasi bernafas tenang biar nggak ketawa lagi. Kalau enggak menyibukkan diri dengan ngerjain atau ngerapihin apaaa gitu sebelum keburu diomelin. Kalau enggak pindah rumah biar bisa becanda lagi. Wkwkwk.
Aku sedih lihat Bapakku kaya gitu. Orang yang aslinya kocak habis bin konyol mampus harus meredam kekonyolannya (yang adalah sifat alaminya) karena merasa takut sama pasangannya. Yups, mohon dicatat, pasangannya.
Bukankah pasangan itu harusnya jadi orang yang bikin kita makin bahagia? Yang melipatgandakan keceriaan kita? Kok dalam kasus orang tuaku, malah kebalikannya?
Ya begitulah. Cinta kadang memang buta, gengs. Bapakku itu cinta banget sama ibuku sampai dia rela jadi nggak lucu kalau di dekatnya. Menurut ibuku, becanda itu hal yang nggak bermanfaat. Kalaupun becanda dan ketawa-tawa, ibuku akan melakukannya demi kepentingan pencitraan semata, bukan karena memang enjoy menjalankannya.
Aku tahu itu dari mana? Karena setelahnya kalau orang yang diajak becanda udah pergi ya beliau marah-marah lagi dan bahkan ngomelin kami karena keasikan becanda dan melakukannya sepenuh hati, semaksimal mungkin. :D
Alkisah, pada suatu lebaran yang aku udah lupa tahunnya kapan, aku sama adikku merasa kelelahan dan kelaperan gara-gara udah keliling-keliling ke sanak saudara dan belum makan siang. Pas mau mengunjungi rumah temannya Ibuk, Ibuku sudah rasan-rasan “Ntar pasti dipaksa suruh makan nih.”
Aku dan adikku, meskipun sok cool diam-diam saling lirik dan melempar senyum penuh makna. Dan ternyata benar saja. Setelah ngobrol basa-basi nggak penting, tuan rumah nawarin makan siang. Ibuku menolak lah. Tapi dipaksa. Yah, kadang ada kan orang yang kaya gitu. Akhirnya ibuku luluh juga. Di belakang Ibu, kami anak-anak bandel ini diam-diam mengepalkan tinju sambil tersenyum lebar-lebar.
Tapi bukan di situ letak kelucuannya. Di meja makan, ada satu panci yang isinya itu sup. Karena aku bosen makan makanan lebaran yang biasanya nggak jauh-jauh dari opor dan sejenisnya, aku milih makan sama sup itu. Waktu itu aku nggak pakai kaca mata, jadi tak kirain itu sup jamur.
Pas dicobain …, “Lho, kok manis?”
Aku langsung melaporkan keanehan itu pada adikku. Dia melihat piringku, ketawa tertahan sambil membisikkan “Itu setup sirsak, keles.” Kami pun susah payah menahan tawa. Sumpah, pas itu lucuuuuu banget rasanya. Susah banget buat nggak ketawa, ya awlaaaaah.
Sepanjang perjalanan kunjungan silaturahmi berikutnya kami masih terkikik-kikik menahan tawa sampai sakit perut. Ibuku yang menyadari itu langsung mencubit kami masing-masing dengan cubitan maha dahsyat. Pas kami jelasin penyebabnya, beliau ketawa? Nggak lah. Malah ngomel.
“Ya udah tau sirsak dimakan sama nasi.” :v
Kami berhenti ketawa? Iya sih, berusaha menahannya sekuatnya. Tapi di lubuk hati terdalam kami berharap kalau saja kami bisa membaginya dan ketawa bareng. Itu kejadian lucu banget ya kaaan?
Maap oot kejauhan. Intinya ya begitulah. Kami-kami yang lucu dan hobi becanda ini jadi pura-pura kalem kalau ada ibuku. Aku sama adikku sih mending, di rumah jarang-jarang. Aku bahkan nggak hidup bareng ibuku dari kecil. Jadi nggak terlalu terasa tekanannya.
Kalian bayangin penderitaan bapakku dong, yang pada dasarnya itu hampir sama semplaknya kaya aku kalau soal becanda. Dan terpaksa nggak ngelucu demi ibuku, setiap hari.
Oke lah, bapak melakukan itu karena cinta. Tapi kalau menurutku, cinta itu seharusnya membebaskan, membahagiakan, ketawa bareng. Bukannya malah sedih karena terpaksa menjadi orang lain (oh yaa, aku juga selalu jadi orang lain kalau di depan ibuku. Jadi orang yang seperti beliau harapkan gitu, bukan diriku yang asli ini). Aku melakukan itu buat nyenengin dia. Aku bahagia nggak? Blas. Ibuku bahagia nggak? Anehnya tetep enggak meskipun kami sudah berusaha jadi seperti yang beliau mau.
Jadi begitulah. Pernikahan itu seumur hidup. Selamanya itu waktu yang lama. Penting banget buat menjalaninya dengan orang yang benar-benar tepat.
Beberapa waktu yang lalu aku sempat baca ada teman yang share status di facebook tentang seorang anak yang orang tuanya cerai hanya karena si bapak punya kebiasaan buruk membuang puntung rokok di pot tanaman ibunya, sementara ibunya pecinta tanaman. Sudah diobrolin berkali-kali si bapak nggak berubah dan itu terjadi selam bertahun-tahun. Akhirnya si ibu minta cerai.
Kelihatannya masalahnya sepele banget ya? Ya ampun, cuma masalah puntung rokok sama pot doang. Tapi ya begitulah. Menemukan orang yang benar-benar mengenal kita, memahami kesenangan kita, mau melakukan perubahan-perubahan kecil buat membahagiakan pasangannya itu memang nggak gampang.
Hal-hal kecil yang kelihatannya sepele itu, bisa menjadi tekanan dan menyebabkan kita jadi kesal. Kalau dibiarkan terus lama-lama jadi nggak bahagia, dan seterusnya.
Jadi definisi orang yang tepat di sini seperti apa? Kalau menurutku ya, orang yang tepat adalah orang yang bersedia memahami kamu. Benar-benar BERSEDIA memahami kamu.
Belum paham itu satu hal, karena konon katanya laki-laki memang nggak peka dan perempuan memang sulit dipahami? Tapi nggak bersedia memahami itu lain soal.
Misalnya gini, pasanganmu sebenarnya paham kamu maunya apa. Dia paham hal-hal kecil yang bikin kamu bahagia tapi nggak mau melakukannya (atau melarangmu melakukannya). Dia mengerti hal-hal kecil yang membuatmu kesal, tapi masih melakukan itu terus menerus hanya karena menganggapnya nggak penting.
Contoh, kamu yang suka makeup, diprotes “Kenapa sih beli lipstick lagi? Kan udah banyak,” padahal kamu beli pakai uang sendiri. Padahal kalau kamu cantik dia juga suka.
Atau kamu orangnya suka nulis, bener-bener suka nulis karena hobi dan dia bisa-bisanya komen “Ngapain sih, nulis-nulis kaya gitu, nggak penting, nggak menghasilkan uang.”
Atau kamu yang hobi baca dan pas beli buku malah dikomen “Beli buku lagi? Kan udah banyak.” T_T
Gimana perasaanmu? Sedih kan pasti? Meskipun kamu bisa bersabar, menahan perasaan, dan berusaha nggak masukin dalam hati, lama-lama lelah juga lah, pasti. Meskipun kamu bisa menerima dia dengan ssikapnya yang seperti itu, tapi diam-diam ada perasaan tertekan karena kamu nggak bisa melakukan hal yang kamu suka atau dia terus-terusan melakukan hal yang membuatmu kesal.
Komunikasi biar saling memahami itu penting bangeeeet. Dan ngomong-ngomong, ini nggak berlaku buat cewek aja. Cowok juga butuh dimengerti. Jadi misalnya kamu punya cowok hobi main game ya nggak usah lah marah-marah dan ngancam pakai kalimat “Pilih game atau aku?” Itu kesenangan sederhananya kok. Please understand! Toh dia pasti punya waktu khusus juga buat menyayangi kamu.
Intinya, kalau memang cinta, pasti akan saling mengerti. Kalau masih merasa tertekan karena kesenangan satu sama lain, berarti kalian nggak cocok. Udah, gitu aja. Kaya kasus bapak dan ibuku. Sebenarnya mereka nggak cocok, tapi dipaksakan bersama. Akibatnya, ibuku nggak bahagia, bapakku nggak bahagia, dan itu jadi ngaruh juga ke anak-anaknya. Kami semua nggak bahagia.
Tapi, Pel, bukannya semua orang punya kekurangan? Ya iya, makanya menemukan yang bisa memahami dan benar-benar menerima itu yang penting. Jadi misal pasanganmu punya kekurangan dan kamu bisa memahaminya, menerima itu, dan itu nggak menjadi tekanan buatmu, nggak mengurangi kualitas kebahagiaanmu ya nggak masalah. Tapi kalau kamu diam-diam merasa tertekan dan bahagiamu nggak maksimal, review ulang deh. Itu berarti ada yang salah. Kalau masih bisa dikomunikasikan dan ketemu jalan tengah, itu bagus. Tapi kalau masing-masing saling ngeyel dengan kemauannya sendiri-sendiri, berarti kemungkianan kalian memang nggak ditakdirkan untuk bersama. Belum terlambat untuk memutuskan berhenti. Cari yang cocok, yang bersedia memahami dan menerima, yang benar-benar tepat.
Ini serius penting. Karena selamanya itu waktu yang lama.