Berkawan Racun

by - 00.29.00


Image from: Pinterest


               Kemarin (udah lamaaaa) aku baca status teman di facebook tentang pentingnya scanning teman yang bener-bener baik agar terhindar dari kekecewaan. Katanya, “Gampang aja kok. Coba lempar berita bahagiamu ke misalnya grup chat. Lihat reaksi teman-temanmu. Yang tulus ikut bahagia pasti kelihatan.” Nggak persis kaya gitu sih kalimatnya, aku lupa tepatnya. Tapi kira-kira ya begitulah. :v

               Gara-gara baca status itu, aku jadi teringat mau nulis soal topik ini (dewa blog yang baik, plis jangan hukum saya karena kebiasaan niat nulis kapan baru ditulis beneran beberapa bulan kemudian). Teman racun itu bukan mitos. Mereka benar-benar ada. Bisa jadi masih ada di sekelilingmu sekarang ini dan kamu nggak menyadarinya. Mau contoh? 

               Disclaimer: cerita berikut ini bukan bermaksud menjelek-jelekkan mantan teman, tapi sebagai gambaran aja.

               Jadi ceritanya dari dulu itu aku nggak punya banyak teman. Sekadar teman kenal aja yang saling sapa, becandaan dan sesekali haha-hihi bareng sih banyak, tapi teman dekat, atau sahabat yang bisa kupercaya, dikiiiit banget. Bisa kuhitung dengan jari satu tangan saking dikitnya. 

               Bisa dibilang kami akrab sejak SMP, dan masih terus berteman akrab sampai usia dewasa (baca: kuliah). Temen ini ada beberapa, tapi ada satu yang menurutku paling dekat. Kalau ada hal yang nggak bisa kuceritakan pada siapapun, aku ceritanya ke dia. Aku buka semua aib, semua kebodohan, cerita-cerita memalukan, dan banyak rahasia-rahasia konyol. 

               Karena aku tulus menyayanginya kaya sodara sendiri (kami bahkan saling panggil ‘sis’ sebelum panggilan itu ngetren di kalangan olshopers), aku selalu mendukungnya. Aku anaknya galak dan blak-blakan. Makanya aku suka galakin dia juga kalau misal dia melakukan kesalahan yang menurutku merugikan dirinya sendiri. That was because I love her. Aku selalu berusaha jujur apa adanya kalau ngasih penilaian, nggak ragu-ragu memujinya kalau dia melakukan hal yang keren, dan mendukungnya sepenuhnya untuk menjadi lebih baik. 

               Jadi bukan hanya hobi mengkritik dan galakin, tapi aku juga menunjukkan kelebihan dan potensinya, dan aku mendukung dia sepenuhnya. 

               Hanya karena aku begitu ke dia, kupikir dia juga melakukan hal yang sama ke aku. Kupikir, dia juga selalu mengatakan yang sejujurnya. Dan aku percaya dia, juga sepenuhnya. 

               Tahun demi tahun, aku minta pendapatnya tentang apapun. Kalau ada berita bahagia, dia orang pertama yang aku kasih tahu. Berita-berita bahagia nggak penting gitu sih, tapi kupikir dia akan ikut bahagia juga buatku. Daaan aku baru nyadar akhir-akhir ini kalau ternyata dia nggak pernah ikut bahagia atas pencapaian apapun yang kubagi ke dia. 

               Contoh gampang, saat aku bilang “Ada yang naksir aku nih,” dia malah bilang yang intinya itu bukan karena aku menarik, tapi karena lagi ‘bejo’ aja. Ketika ternyata yang naksir aku jadi banyak dan aku cerita lagi ke dia, dia bilang itu aji mumpung aja, katanya. Lagi masa-masanya laku. (Ini asli contoh yang nggak penting banget -_-)

               Trus pas cerpenku untuk pertama kalinya dimuat di tabloid, dia jadi orang pertama yang kukasih tahu juga dan dia bilang “Koyo ngene ki iso dimuat?” yang artinya kurang lebih “Jelek kaya gini bisa dimuat?” 

               Sementara aku selalu fokus pada kelebihannya dan berusaha mendukung dan memupuk rasa percaya dirinya, dia selalu fokus pada kekuranganku dan menjatuhkan rasa percaya diriku. Katanya, aku anaknya over pede (yang mungkin memang benar sih :D). Uniknya, dia selalu saja bisa menemukan kekurangan dari apapun yang kulakukan. 

               Misalnya aku foto yang rada artsy gitu, dia akan fokus ngomen lemak perutku yang ngisin-isini. Hahaha. Yaaah, pokoknya dia selalu nemu apanya yang salah, yang jelek, yang kurang, yang bisa menjatuhkanku. 

Cuhat Masa Kini

               Kelemahanku itu, aku kadang suka gampang banget tahu-tahu curhat panjang lebar ke orang. Ini terutama dulu, pas aku masih culun dan menganggap semua orang baik. Kalau sekarang aku udah beda. Aku susaaaaaaah byanget percaya sama orang. Jadinya nggak banyak orang yang bisa tak curhati. Paling anak itu-itu lagi yang kadang bikin aku khawatir “Wah, jangan-jangan dia muak nih, aku curhatin mulu.” Hahaha. Tapi teman yang satu ini bukan racun. Dia memberi tanggapan pada porsi yang pas. Kalau aku salah dia akan bilang salah, tapi kalau aku ada benarnya ya dia akan bilang juga. Dari situ aku tahu kalau dia objektif dan tulus. Soalnya nggak mungkin lhoo, manusia itu salah mulu. Catet ya: sejelek-jeleknya manusia itu nggak mungkin kalau salah terus nggak sekali pun ada benarnya.

               Nah, sekarang aku udah reset teman. Cuma berteman sama yang positif aja. Tapi yah namanya orang kan juga kadang ada kecolongan ya. 

               Aku yang tadinya udah nggak gampang curhat sama siapa-siapa, tahu-tahu bisa nyaman banget curhat sama orang yang kuanggap matang segala-galanya. Pengalaman hidup, mental, spiritual. Super wise lah orangnya. Dan aku melakukan kesalahan yang persis sama. Aku nggak nyadar kalau orang ini juga ternyata tipe yang selalu nemu jelek-jeleknya dan cuma jelek-jeleknya aja. Pokoknya aku melakukan apapun selalu salah di mata dia. Hal apapun yang kulakukan, sepositif apapun, dan seenggakberbahaya apapun, dia selau bisa bilang “Jangan gini, jangan gitu.” Dia selalu bisa menemukan negasi dari gagasan dan tindakanku. 

               Aku tadinya nggak nyadar sampai hal ini terjadi berkali-kali. Bahkan di hal yang biasa-biasa aja dia masih bisa menyalahkan aku. Wkwkwk. O em ge. 

               Yaudah, cukup tahu. Pelajaran berharga banget buat aku nggak gampang percaya sama orang lagi sewise apapun dia kelihatannya. 

Frenemies

               Teman-teman kaya gini ini bahaya banget. Kalau musuh sekalian sih malah karuan. Tapi mereka itu seolah-olah kaya teman. Teman yang baik lagi. Kamu percaya mereka. Kan bahaya banget karena mereka ini jenis entitas yang akan meracunimu dari samping, tanpa kamu sadar kalau kamu lagi dikasih racun. Kamu menenggaknya secara sukarela dan mungkin malah berterima kasih. Mereka ini jenis orang yang bisa membunuhmu saat kamu tidur lelap merasa aman dalam perlindungan mereka. 



               Well, oke, nggak berarti harfiah membunuh dalam arti yang sebenarnya menghilangkan nyawa ya. Mereka ini lebih ke membunuh karakter dan potensi. Selalu mengatakan apapun yang kalian lakukan itu salah. Selalu mengatakan hasil kerjaanmu, apapun itu jelek. Mereka akan ngasih saran secara bijak heroik. Begitu kalian melakukan persis seperti yang mereka katakan, di lain kesempatan mereka akan bilang kalau itu salah juga. Pokoknya ngggak pernah ada benernya. Hahaha.

               Contoh gampang, di sosmed mereka nggak pernah kelihatan mengapresiasi pemikiranmu. Ngelike ngggak pernah, cuma akrab di japri. Tapi sekalinya ngomen ya cuma mau menyampaikan negasinya atas pemikiranmu itu. Ngomen becanda ikut hepi-hepi gitu nggak pernah. Yang kaya gini lama-lama bisa dititeni kok. Haha. 

               Misalnya gini nih: kamu update status galau, dia akan bilang “Udah lah, jangan mengumbar kesedihan terus di facebook. Orang-orang dalam daftar pertemaananmu nggak perlu tahu penderitaan hidupmu.”

               Besoknya kamu update status ceria karena mood kamu udah baikan, dia akan bilang “Kamu nggak harus selalu pura-pura baik-baik aja lho. It’s okay to be not okay.”

               Besoknya lagi kamu memutuskan untuk nggak main facebook lagi karena nggak tahu mau update status apa, dia akan bilang “Sayang banget, ih. Kamu nggak tahu apa the power of social media? Bisa banget lhoo dimanfaatkan untuk membagikan hal yang berguna daripada cuma curhat sama dinding kamar. Bisa buat promosi juga. Kan banyak lhoo, orang yang jadi kaya raya dari sosmed.”

               Merasa tercerahkan, besoknya kamu mulai aktif membagikan info-info bermanfaat, share postingan blog, vlog, dll, dan orang-orang menyukaimu. Eeeeh, dia bilang “Ngapain main facebook cuma buat nyari ketenaran? Tujuan utama media sosial kan untuk bersosialisasi.” T____T

Gituuuuu terus. Selamanya. Pokoknya seolah tujuannya dalam hidup adalah membuatmu sadar kalau apapun yang kamu lakukan tidak pernah benar. Dan ya, lama-lama terasa nggak nyamannya. Baru setelah itu kamu ingat-ingat lagi sikapnya selama ini dan … eng ing eeeng, selama ini ternyata dia memang toxic banget. Dia nggak pernah ikut seneng kalau kamu seneng, tapi anehnya semangat banget ngasih nasihat ini itu berdasarkan pengalaman hidupnya yang sempurna kalau kamu lagi kesusahan. Nggak keraasa yah? Heuuuft. 


               Aku sih nggak lagi menghakimi siapa-siapa yaa. Mungkin memang semua komen negasinya itu untuk kebaikan. Tapi kaya yang aku bilang tadi lho, nggak ada satu pun orang di muka bumi ini yang salah terus nggak pernah ada benernya. Kalau temenmu sekali-sekali kontra tapi kadang-kadang setuju sama pendapatmu, berarti dia normal. Wajar aja kaya gitu. Teman yang baik juga pasti bakalan ngasih saran dan kritik demi kebaikan ke depannya. Tapi kalau temanmu komennya selalu jelek-jelek terus, bisa dipastikan dia toxic. 

               Nggak harus langsung dihindari gitu sih. Biasa aja. Aku juga tetep kalem biasa. Cuma susah buat percaya lagi sama dia. Intinya sih mending berurusan sama musuh sekalian yang terang-terangan bilang benci kamu, daripada sama sahabat palsu yang diam-diam menjatuhkanmu. Udah, gitu aja.

You May Also Like

0 komentar