Image from: Pinterest |
Kemarin
(udah lamaaaa) aku baca status teman di facebook tentang pentingnya scanning
teman yang bener-bener baik agar terhindar dari kekecewaan. Katanya, “Gampang
aja kok. Coba lempar berita bahagiamu ke misalnya grup chat. Lihat reaksi
teman-temanmu. Yang tulus ikut bahagia pasti kelihatan.” Nggak persis kaya gitu
sih kalimatnya, aku lupa tepatnya. Tapi kira-kira ya begitulah. :v
Gara-gara
baca status itu, aku jadi teringat mau nulis soal topik ini (dewa blog yang
baik, plis jangan hukum saya karena kebiasaan niat nulis kapan baru ditulis
beneran beberapa bulan kemudian). Teman racun itu bukan mitos. Mereka
benar-benar ada. Bisa jadi masih ada di sekelilingmu sekarang ini dan kamu
nggak menyadarinya. Mau contoh?
Disclaimer:
cerita berikut ini bukan bermaksud menjelek-jelekkan mantan teman, tapi sebagai
gambaran aja.
Jadi
ceritanya dari dulu itu aku nggak punya banyak teman. Sekadar teman kenal aja
yang saling sapa, becandaan dan sesekali haha-hihi bareng sih banyak, tapi
teman dekat, atau sahabat yang bisa kupercaya, dikiiiit banget. Bisa kuhitung
dengan jari satu tangan saking dikitnya.
Bisa
dibilang kami akrab sejak SMP, dan masih terus berteman akrab sampai usia
dewasa (baca: kuliah). Temen ini ada beberapa, tapi ada satu yang menurutku
paling dekat. Kalau ada hal yang nggak bisa kuceritakan pada siapapun, aku
ceritanya ke dia. Aku buka semua aib, semua kebodohan, cerita-cerita memalukan,
dan banyak rahasia-rahasia konyol.
Karena
aku tulus menyayanginya kaya sodara sendiri (kami bahkan saling panggil ‘sis’
sebelum panggilan itu ngetren di kalangan olshopers), aku selalu mendukungnya.
Aku anaknya galak dan blak-blakan. Makanya aku suka galakin dia juga kalau
misal dia melakukan kesalahan yang menurutku merugikan dirinya sendiri. That
was because I love her. Aku selalu berusaha jujur apa adanya kalau ngasih
penilaian, nggak ragu-ragu memujinya kalau dia melakukan hal yang keren, dan
mendukungnya sepenuhnya untuk menjadi lebih baik.
Jadi
bukan hanya hobi mengkritik dan galakin, tapi aku juga menunjukkan kelebihan
dan potensinya, dan aku mendukung dia sepenuhnya.
Hanya
karena aku begitu ke dia, kupikir dia juga melakukan hal yang sama ke aku.
Kupikir, dia juga selalu mengatakan yang sejujurnya. Dan aku percaya dia, juga
sepenuhnya.
Tahun
demi tahun, aku minta pendapatnya tentang apapun. Kalau ada berita bahagia, dia
orang pertama yang aku kasih tahu. Berita-berita bahagia nggak penting gitu
sih, tapi kupikir dia akan ikut bahagia juga buatku. Daaan aku baru nyadar
akhir-akhir ini kalau ternyata dia nggak pernah ikut bahagia atas pencapaian
apapun yang kubagi ke dia.
Contoh
gampang, saat aku bilang “Ada yang naksir aku nih,” dia malah bilang yang
intinya itu bukan karena aku menarik, tapi karena lagi ‘bejo’ aja. Ketika
ternyata yang naksir aku jadi banyak dan aku cerita lagi ke dia, dia bilang itu
aji mumpung aja, katanya. Lagi masa-masanya laku. (Ini asli contoh yang nggak
penting banget -_-)
Trus
pas cerpenku untuk pertama kalinya dimuat di tabloid, dia jadi orang pertama
yang kukasih tahu juga dan dia bilang “Koyo ngene ki iso dimuat?” yang artinya
kurang lebih “Jelek kaya gini bisa dimuat?”
Sementara
aku selalu fokus pada kelebihannya dan berusaha mendukung dan memupuk rasa
percaya dirinya, dia selalu fokus pada kekuranganku dan menjatuhkan rasa
percaya diriku. Katanya, aku anaknya over pede (yang mungkin memang benar sih
:D). Uniknya, dia selalu saja bisa menemukan kekurangan dari apapun yang
kulakukan.
Misalnya
aku foto yang rada artsy gitu, dia akan fokus ngomen lemak perutku yang
ngisin-isini. Hahaha. Yaaah, pokoknya dia selalu nemu apanya yang salah, yang
jelek, yang kurang, yang bisa menjatuhkanku.
Cuhat Masa Kini
Kelemahanku
itu, aku kadang suka gampang banget tahu-tahu curhat panjang lebar ke orang.
Ini terutama dulu, pas aku masih culun dan menganggap semua orang baik. Kalau
sekarang aku udah beda. Aku susaaaaaaah byanget percaya sama orang. Jadinya
nggak banyak orang yang bisa tak curhati. Paling anak itu-itu lagi yang kadang
bikin aku khawatir “Wah, jangan-jangan dia muak nih, aku curhatin mulu.”
Hahaha. Tapi teman yang satu ini bukan racun. Dia memberi tanggapan pada porsi
yang pas. Kalau aku salah dia akan bilang salah, tapi kalau aku ada benarnya ya
dia akan bilang juga. Dari situ aku tahu kalau dia objektif dan tulus. Soalnya
nggak mungkin lhoo, manusia itu salah mulu. Catet ya: sejelek-jeleknya manusia
itu nggak mungkin kalau salah terus nggak sekali pun ada benarnya.
Nah,
sekarang aku udah reset teman. Cuma berteman sama yang positif aja. Tapi yah
namanya orang kan juga kadang ada kecolongan ya.
Aku
yang tadinya udah nggak gampang curhat sama siapa-siapa, tahu-tahu bisa nyaman
banget curhat sama orang yang kuanggap matang segala-galanya. Pengalaman hidup,
mental, spiritual. Super wise lah orangnya. Dan aku melakukan kesalahan yang
persis sama. Aku nggak nyadar kalau orang ini juga ternyata tipe yang selalu
nemu jelek-jeleknya dan cuma jelek-jeleknya aja. Pokoknya aku melakukan apapun
selalu salah di mata dia. Hal apapun yang kulakukan, sepositif apapun, dan
seenggakberbahaya apapun, dia selau bisa bilang “Jangan gini, jangan gitu.” Dia
selalu bisa menemukan negasi dari gagasan dan tindakanku.
Aku
tadinya nggak nyadar sampai hal ini terjadi berkali-kali. Bahkan di hal yang
biasa-biasa aja dia masih bisa menyalahkan aku. Wkwkwk. O em ge.
Yaudah,
cukup tahu. Pelajaran berharga banget buat aku nggak gampang percaya sama orang
lagi sewise apapun dia kelihatannya.
Frenemies
Teman-teman
kaya gini ini bahaya banget. Kalau musuh sekalian sih malah karuan. Tapi mereka
itu seolah-olah kaya teman. Teman yang baik lagi. Kamu percaya mereka. Kan
bahaya banget karena mereka ini jenis entitas yang akan meracunimu dari
samping, tanpa kamu sadar kalau kamu lagi dikasih racun. Kamu menenggaknya
secara sukarela dan mungkin malah berterima kasih. Mereka ini jenis orang yang
bisa membunuhmu saat kamu tidur lelap merasa aman dalam perlindungan mereka.
Well,
oke, nggak berarti harfiah membunuh dalam arti yang sebenarnya menghilangkan
nyawa ya. Mereka ini lebih ke membunuh karakter dan potensi. Selalu mengatakan
apapun yang kalian lakukan itu salah. Selalu mengatakan hasil kerjaanmu, apapun
itu jelek. Mereka akan ngasih saran secara bijak heroik. Begitu kalian
melakukan persis seperti yang mereka katakan, di lain kesempatan mereka akan
bilang kalau itu salah juga. Pokoknya ngggak pernah ada benernya. Hahaha.
Contoh
gampang, di sosmed mereka nggak pernah kelihatan mengapresiasi pemikiranmu.
Ngelike ngggak pernah, cuma akrab di japri. Tapi sekalinya ngomen ya cuma mau
menyampaikan negasinya atas pemikiranmu itu. Ngomen becanda ikut hepi-hepi gitu
nggak pernah. Yang kaya gini lama-lama bisa dititeni kok. Haha.
Misalnya
gini nih: kamu update status galau, dia akan bilang “Udah lah, jangan mengumbar
kesedihan terus di facebook. Orang-orang dalam daftar pertemaananmu nggak perlu
tahu penderitaan hidupmu.”
Besoknya
kamu update status ceria karena mood kamu udah baikan, dia akan bilang “Kamu
nggak harus selalu pura-pura baik-baik aja lho. It’s okay to be not okay.”
Besoknya
lagi kamu memutuskan untuk nggak main facebook lagi karena nggak tahu mau
update status apa, dia akan bilang “Sayang banget, ih. Kamu nggak tahu apa the
power of social media? Bisa banget lhoo dimanfaatkan untuk membagikan hal yang
berguna daripada cuma curhat sama dinding kamar. Bisa buat promosi juga. Kan
banyak lhoo, orang yang jadi kaya raya dari sosmed.”
Merasa
tercerahkan, besoknya kamu mulai aktif membagikan info-info bermanfaat, share
postingan blog, vlog, dll, dan orang-orang menyukaimu. Eeeeh, dia bilang “Ngapain
main facebook cuma buat nyari ketenaran? Tujuan utama media sosial kan untuk
bersosialisasi.” T____T
Gituuuuu terus. Selamanya. Pokoknya
seolah tujuannya dalam hidup adalah membuatmu sadar kalau apapun yang kamu
lakukan tidak pernah benar. Dan ya, lama-lama terasa nggak nyamannya. Baru
setelah itu kamu ingat-ingat lagi sikapnya selama ini dan … eng ing eeeng,
selama ini ternyata dia memang toxic banget. Dia nggak pernah ikut seneng kalau
kamu seneng, tapi anehnya semangat banget ngasih nasihat ini itu berdasarkan
pengalaman hidupnya yang sempurna kalau kamu lagi kesusahan. Nggak keraasa yah?
Heuuuft.
Aku
sih nggak lagi menghakimi siapa-siapa yaa. Mungkin memang semua komen negasinya
itu untuk kebaikan. Tapi kaya yang aku bilang tadi lho, nggak ada satu pun
orang di muka bumi ini yang salah terus nggak pernah ada benernya. Kalau temenmu
sekali-sekali kontra tapi kadang-kadang setuju sama pendapatmu, berarti dia
normal. Wajar aja kaya gitu. Teman yang baik juga pasti bakalan ngasih saran
dan kritik demi kebaikan ke depannya. Tapi kalau temanmu komennya selalu
jelek-jelek terus, bisa dipastikan dia toxic.
Nggak
harus langsung dihindari gitu sih. Biasa aja. Aku juga tetep kalem biasa. Cuma susah
buat percaya lagi sama dia. Intinya sih mending berurusan sama musuh sekalian yang terang-terangan bilang benci kamu, daripada sama sahabat palsu yang diam-diam menjatuhkanmu. Udah, gitu aja.
0 komentar