Image from: Lost Panda |
Kasus
First Travel sedang booming heboh, di mana-mana. Buka browser, beritanya First
Travel semua. Buka sosmed, orang-orang pada bahas First Travel juga. Semuanya
dikuliti, dipelototi, dibahas rinci. Mulai dari tas-tas bermerek yang sering
dipamerkan Anniesa Hasibuan, case hapenya yang harganya sama kaya harga satu
paket umroh, sampai wajahnya yang dulu senantiasa putih bersinar dengan makeup
sempurnah, yang kini jadi tampak kucel setelah dipenjara.
Segala
sesuatunya dibahas, terutama soal gaya hidup glamor yang luar biasa lebay.
Padahal di mana-mana orang kaya sungguhan itu malah gaya hidupnya santai.
Remah-remah sekecil apapun termasuk masa lalunya yang pernah jualan pulsa dan
burger sampai perbandingan foto-foto saat sebelum kaya dan sesudah ‘tampak’
kaya.
Oke
lah. Hosip itu memang sedap. Apalagi kalau orang yang selama ini diam-diam kita
iriin ketahuan kalau ternyata jahat. Ya kesempatan dooong. Hujat terus sampai
kitanya merasa lebih baik dari mereka.
Ya
ini aku juga iyaa. Hahaha. Aku semacam gembira banget dan menyatakan
pembenaran. “Tuh, kan. Kaya raya kalau maling ya apa artinya? Mending hidup
biasa-biasa aja lah, asal ga nilep duit orang.” Padahal bisa jadi itu karena
aku iri aja belum pernah jalan-jalan ke luar negeri. *sedyh*
Saking
semangatnya kita menjelek-jelekkan pasangan suami istri yang kompak mampus baik
dalam hal percintaan maupun kejahatan ini, kita malah sampai lupa ngebahas yang
esensial. Seperti biasa lah. Orang macam aku sih, ikut heboh bahas jelek-jeleknya
aja, nggak melihat ke kedalaman.
Padahal
kalau diamati, kenapa kasus kaya gini bisa terjadi, ada masalah yang jauh lebih
mendasar dan jauh lebih berbahaya: tekanan sosial. Masyarakat kita itu jagoo
banget menilai orang. Kalau kelihatannya miskin, nggak dihormati. Begitu kelihatan
kaya, langsung dipuja-puja.
Pas
kuliah dulu ada satu temenku yang gaya hidupnya mewah kaya horang kayah. Kos di
kosan yang mihil, pakai baju cuma mau yang branded, makan nggak mau yang kelas
rendah, dan wah, haibat banget lah. Semua orang kagum padanya. Kemudian kebenaran
terungkap. Ternyata dia tidak berasal dari keluarga berada, bahkan cenderung
menerbitkan rasa iba. Orang tuanya hidup sangat sederhana sekali demi biar
anaknya bisa kuliah. Singkatnya njemplang banget lah, gaya hidup si anak ini
dengan kondisi ekonomi keluarganya. Pas ditanya alasannya apa kok dia bergaya
semacam itu, jawabnya “Aku pengen punya temen.” *sick* *sedyh*
Ada
temenku satu lagi yang kira-kira hampir mirip seperti itu. Dipuja-puja karena
kuliah bawa mobil dan yang paling penting, sering nraktir temen-temennya,
bosque. Bajunya bagus-bagus, wajahnya cantik high maintenance nggak pernah
telat perawatan kelas premium. Nggak banyak yang tahu kalau di rumah, orang tuanya
sampai banyak hutang demi membiayai gaya hidup si anak.
Kapan
dulu itu pernah ada kasus menghebohkan di twitter. Tagar #BacotSisPay jadi
trending. Siapa sis Pay? Dia adalah seorang gadis yang berhutang banyak sekali
sampai ratusan juta hanya demi bisa eksis jalan-jalan ke luar negeri, nonton
konser Coldplay, dll. Demi biar feeds instagramnya bagus, karena foto
berlatarkan pemandangan sawah sambil makan pisang emas itu sungguh kurang
instagramable.
Orang
dekatku sendiri, adik kandungnya Ibing. Berhutang ke banyak sekali orang yang
jumlahnya sampai puluhan juta. Sama lah, demi biar bisa belanja baju baru terus
yang bagus-bagus, makan di restoran fancy yang kalau difoto trus diupload itu
nggak memalukan, trus bisa gonta-ganti hape tiap ada keluaran terbaru. Ibunya
sampai shock pas tahu-tahu banyak orang ke rumah nagih hutang dan jumlahnya
nggak main-main. *menangys*
Ingat ya, nggak semua yang lau lihat di social media itu benar adanya. |
Ibuku
sendiri, jual-jual tanah, menggadaikan rumah, bahkan ‘menjual’ anaknya demi
menunjang gaya hidup juga. Biar bisa tetep punya mobil, bisa beli barang-barang
bagus, tas yang bergaya, dan seterusnya. *pedyh*
See?
Banyak banget contohnya. First Travel bukan yang pertama. Meskipun contoh yang
kukasih di atas itu kecil-kecil banget jumlahnya, tapi itu terjadi. Fakta nyata
yang kusaksikan sendiri. di sekitarku, orang yang aku kenal. Kecuali sis Pay
sih, aku nggak kenal sama dia. Hahaha.
Yang
aku nggak tahu di luaran sana? Aku nggak tahu. Coba di sekitar kalian ada nggak
yang kaya gitu?
Tekanan Sosial
Dari
semua kasus yang aku ceritain di atas, penyebabnya kira-kira sama. Orang pengen
mendapat penngakuan, ingin diterima, ingin punya banyak teman. Karena yahh, jujur
aja lah yuk, orang miskin cenderung diabaikan, orang kaya cenderung dipuja.
Kalau
nggak percaya coba aja kamu kalau pas lagi butuh uang trus nyari pinjeman. Ada barapa
banyak yang benar-benar jadi temanmu? Bandingkan dengan pas kamu
nraktir-nraktir. Oh, mendadak semua orang jadi temanmu.
Kadang
aku lihat fenomena lucu gini. Orang yang tadinya bukan siapa-siapa, tiba-tiba
terkenal dan jadi social media darling. Trus mulai deh bermunculan
komentar-komentar “Temen SMAku nih,” “Teman SDku nih,” “Aku pernah satu bis
bareng nih,” dll. Coba kalau itu orang biasa-biasa aja? Ya orang yang ngaku-ngaku
teman ini mana ada? Ingat aja enggak. Ini fakta. *ngakak*
Sekarang
lihat instagram. Yang followersnya banyak pasti yang postingannya fancy. Kecuali
mimi peri. Hahaha. Dia anomali. Meskipun apa adanya kadang cuma pakai
daun-daunan dan keranjang kurungan ayam aja followersnya bisa banyak. Hihihi.
Dari
jaman sebelum ada social media dulu, orang udah biasa pamer kok. Pamer pas
arisan, pas kumpul keluarga, pas lebaran, pas reuni, dll. Misal, ditanya soal
kerjaan dan aktivitas akhir-akhir ini. Pasti beda nada antara yang jawab “Aku
sekarang lagi ngerintis butik. Kemarin baru pulang habis fashion show di Milan,”
sama yang jawab “Aku kerja di toko baju dalam pasar.” Reaksi yang diterima juga
beda. Antara “Wooow!” dan “Oh.” ._.
Beda
juga yang datang cuma naik motor pitung C70 sama yang bermobil mulus, dan semacamnya.
Jadi bukan sosmed yang menyebabkan kita jadi tukang pamer. Pada dasarnya
manusia memang terlahir pamer. Sekarang cuma pindah tempat aja.
Kalau
jaman dulu aja pamer-pamer itu sudah menyebabkan minder, sekarang lebih parah. Karena
aktivitas pamer sekarang bisa dilakukan real time setiap saat setiap waktu,
bahkan disiarkan live. Wow, haibat! Sehari bisa berapa kali pamer, bosque? Pagi
sarapan cantik di pool side, siang makan mango sticky rice di restoran yang
letaknya ada di puncak tower, lanjut nonton bioskop (tiketnya jangan lupa
difoto), habis itu upload lagi tiket pesawat sambil check in di bandara. Jangan
lupa caption “Bismillah Ostrali.” Trus poto-poto di atas pesawat dengan
awan-awan megah. Malamnya dinner di restoran hotel, dan seterusnya. Besoknya
jalan-jalan males-males aja ke mall terdekat. Belanja-belanja jangan lupa foto
di fitting room dengan nenteng tas belanjaan yang banyaaak, dan logo hapenya
kelihatan.
Ingaaat, yang diupload yang bagus-bagus ajah. |
Upload
foto lagi makan nasi sambel teri di angkringan? Duh, malu sama wifi gratis.
Kebutuhan untuk Pamer
Nah,
berdasarkan kasus di atas, setidaknya ada tiga tipe netizen. Yang pertama,
kalem aja, tetap bahagia apa adanya, dan bangga pamer kesederhanaan. Lha emang
intinya sama aja kok, pamer. Aku sendiri ngapain coba upload foto dandan alien
satu album sampai memenuhi beranda orang-orang dan berbesar hati menerima
risiko diunfriend atau diunfollow kalau nggak demi pamer keimutan? *dijitak*
Kedua,
ada yang menerima tekanan sebagai tantangan. Kerja keras ngumpulin uang buat
mewujudkan impiannya: memperbaiki feeds.
Ada
juga tipe ketiga, tipe yang seperti sis Pay atau bos First Travel, yang
tertekan luar dalam dan memutuskan untuk mengambil langkah apapun untuk
menunjukkan “Ni lohh, aku juga bisa.” Hutang sampai nipu juga boleh lah. Yang penting
masyarakat mengakui, menerima eksistensi kita, menghormati, mengagumi, dan
banyak lagi.
Bagi sebagian orang memang postingan semacam ini bikin tertekan. Kenapa aku nggak kaya? Why? Whyyyy? T__T |
Pada
dasarnya apa? Pamer itu boleh saja karena diakui atau tidak, sesungguhnya pamer
adalah salah satu sifat dasar manusia kok. Kalau nggak percaya, cek aja piramida
kebutuhannya Abraham Maslow. Menurut Maslow, kebutuhan tertinggi kedua adalah
exteem needs. Kebutuhan untuk diakui, dihargai, diterima, dipuji, disanjung,
dll. Kalau itu semua sudah terpenuhi, baru puncaknya aktualisasi diri.
Kalau
karena pengen diakui trus kamu berusaha keras untuk mewujudkannya, itu hebat! Lanjutkan!
Semangat! Tapi kalau trus menghalalkan segala cara sampai merugikan orang lain,
ya jangan lah. Ingat, ketika kebenarannya terkuak, nanti kamu malah akan
merasakan penderitaan yang jauh lebih dalam. Pencitraan yang sudah dibangun
susah payah, hancur sudah.
Eh,
btw, aku nulis panjang lebar kaya gini biar apa? Yang buat pamer lah, kalau ini
lho aku lebih baik dari kalian. Duh, Mak, aku kentekan panadol.
8 komentar
Ya, pengakuan itu kebutuhan. Asal gak ngerugiin banyak orang
BalasHapusBetul. Yang salah karena menghalalkan segala cara itu.
HapusSaya nggak habis pikir. Kenapa dana umroh di selewengkan. Apa nggak takut adzab
BalasHapusOrang kaya gittu udah nggak kepikiran adzab. Hahaha.
HapusMakasiih banget sharingnyaaa mbak. Bener jugaa yaa pada dasarnya setiap manusia membutuhkan pengakuan dr yang lain. Makanya tak heran kalau pada pamer. Hmmm liat instagram ada suka dukanya sih. Suka kalau liat banyak org bahagia sukses gtu. Sekaligus jd cambuk biar terus kerja keras. Disisi lain kadang sering meratapi nasib sendiri, kenapa aku gini" aja yaa. But overall semuanya tergantung persepsi kita mbak ya, jd baik dan bijak dalam menghadapi realita hidup jaman sekarang yg serba diupdate. Hehehe
BalasHapusKok komennya jd panjang, btw salaam kenaaal ya mbak 😄
Ia betul. Kalau yang nggak kuat mentalnya, main sosmed aja bisa jadi siksaan batin. Wkwkwk.
HapusSama-sama. Makasih udah mampir. ^^
betul ,kadang dia ingin merasa dihargai, krn org selalu melihat yg glamour itu yang wah. Aku inget pengalaamnku, waktu masih ngontrak rumah kecil dan butut krn sdh ambruk, tetanggaku banyak yg mencibir terutama org2 yang kaay dan suaminya punya jabatan, tp roda berputar saat hidupku mulai membaik dan suamiku juga punya jabatan, barulah mereka mulai medekatd an berusaha baik padaku. Begitulah yang mebuat banyak orang ingin terlihat wah agar bisa diterima
BalasHapusBener bangeeeet. Masyarakat sosial kita emang gitu. Huhu. Ini yang memicu beberapa orang trus akhirnya menghalalkan segala cara hanya biar diterima.
Hapus