Tekanan Sosial dan Kebutuhan Pamer

by - 17.39.00

Image from: Lost Panda

               Kasus First Travel sedang booming heboh, di mana-mana. Buka browser, beritanya First Travel semua. Buka sosmed, orang-orang pada bahas First Travel juga. Semuanya dikuliti, dipelototi, dibahas rinci. Mulai dari tas-tas bermerek yang sering dipamerkan Anniesa Hasibuan, case hapenya yang harganya sama kaya harga satu paket umroh, sampai wajahnya yang dulu senantiasa putih bersinar dengan makeup sempurnah, yang kini jadi tampak kucel setelah dipenjara. 

               Segala sesuatunya dibahas, terutama soal gaya hidup glamor yang luar biasa lebay. Padahal di mana-mana orang kaya sungguhan itu malah gaya hidupnya santai. Remah-remah sekecil apapun termasuk masa lalunya yang pernah jualan pulsa dan burger sampai perbandingan foto-foto saat sebelum kaya dan sesudah ‘tampak’ kaya. 

               Oke lah. Hosip itu memang sedap. Apalagi kalau orang yang selama ini diam-diam kita iriin ketahuan kalau ternyata jahat. Ya kesempatan dooong. Hujat terus sampai kitanya merasa lebih baik dari mereka. 

               Ya ini aku juga iyaa. Hahaha. Aku semacam gembira banget dan menyatakan pembenaran. “Tuh, kan. Kaya raya kalau maling ya apa artinya? Mending hidup biasa-biasa aja lah, asal ga nilep duit orang.” Padahal bisa jadi itu karena aku iri aja belum pernah jalan-jalan ke luar negeri. *sedyh*

               Saking semangatnya kita menjelek-jelekkan pasangan suami istri yang kompak mampus baik dalam hal percintaan maupun kejahatan ini, kita malah sampai lupa ngebahas yang esensial. Seperti biasa lah. Orang macam aku sih, ikut heboh bahas jelek-jeleknya aja, nggak melihat ke kedalaman. 

               Padahal kalau diamati, kenapa kasus kaya gini bisa terjadi, ada masalah yang jauh lebih mendasar dan jauh lebih berbahaya: tekanan sosial. Masyarakat kita itu jagoo banget menilai orang. Kalau kelihatannya miskin, nggak dihormati. Begitu kelihatan kaya, langsung dipuja-puja. 

               Pas kuliah dulu ada satu temenku yang gaya hidupnya mewah kaya horang kayah. Kos di kosan yang mihil, pakai baju cuma mau yang branded, makan nggak mau yang kelas rendah, dan wah, haibat banget lah. Semua orang kagum padanya. Kemudian kebenaran terungkap. Ternyata dia tidak berasal dari keluarga berada, bahkan cenderung menerbitkan rasa iba. Orang tuanya hidup sangat sederhana sekali demi biar anaknya bisa kuliah. Singkatnya njemplang banget lah, gaya hidup si anak ini dengan kondisi ekonomi keluarganya. Pas ditanya alasannya apa kok dia bergaya semacam itu, jawabnya “Aku pengen punya temen.” *sick* *sedyh*

               Ada temenku satu lagi yang kira-kira hampir mirip seperti itu. Dipuja-puja karena kuliah bawa mobil dan yang paling penting, sering nraktir temen-temennya, bosque. Bajunya bagus-bagus, wajahnya cantik high maintenance nggak pernah telat perawatan kelas premium. Nggak banyak yang tahu kalau di rumah, orang tuanya sampai banyak hutang demi membiayai gaya hidup si anak. 

               Kapan dulu itu pernah ada kasus menghebohkan di twitter. Tagar #BacotSisPay jadi trending. Siapa sis Pay? Dia adalah seorang gadis yang berhutang banyak sekali sampai ratusan juta hanya demi bisa eksis jalan-jalan ke luar negeri, nonton konser Coldplay, dll. Demi biar feeds instagramnya bagus, karena foto berlatarkan pemandangan sawah sambil makan pisang emas itu sungguh kurang instagramable. 

               Orang dekatku sendiri, adik kandungnya Ibing. Berhutang ke banyak sekali orang yang jumlahnya sampai puluhan juta. Sama lah, demi biar bisa belanja baju baru terus yang bagus-bagus, makan di restoran fancy yang kalau difoto trus diupload itu nggak memalukan, trus bisa gonta-ganti hape tiap ada keluaran terbaru. Ibunya sampai shock pas tahu-tahu banyak orang ke rumah nagih hutang dan jumlahnya nggak main-main. *menangys*
Ingat ya, nggak semua yang lau lihat di social media itu benar adanya.
               Ibuku sendiri, jual-jual tanah, menggadaikan rumah, bahkan ‘menjual’ anaknya demi menunjang gaya hidup juga. Biar bisa tetep punya mobil, bisa beli barang-barang bagus, tas yang bergaya, dan seterusnya. *pedyh*

               See? Banyak banget contohnya. First Travel bukan yang pertama. Meskipun contoh yang kukasih di atas itu kecil-kecil banget jumlahnya, tapi itu terjadi. Fakta nyata yang kusaksikan sendiri. di sekitarku, orang yang aku kenal. Kecuali sis Pay sih, aku nggak kenal sama dia. Hahaha. 

               Yang aku nggak tahu di luaran sana? Aku nggak tahu. Coba di sekitar kalian ada nggak yang kaya gitu? 

Tekanan Sosial

               Dari semua kasus yang aku ceritain di atas, penyebabnya kira-kira sama. Orang pengen mendapat penngakuan, ingin diterima, ingin punya banyak teman. Karena yahh, jujur aja lah yuk, orang miskin cenderung diabaikan, orang kaya cenderung dipuja. 

               Kalau nggak percaya coba aja kamu kalau pas lagi butuh uang trus nyari pinjeman. Ada barapa banyak yang benar-benar jadi temanmu? Bandingkan dengan pas kamu nraktir-nraktir. Oh, mendadak semua orang jadi temanmu. 

               Kadang aku lihat fenomena lucu gini. Orang yang tadinya bukan siapa-siapa, tiba-tiba terkenal dan jadi social media darling. Trus mulai deh bermunculan komentar-komentar “Temen SMAku nih,” “Teman SDku nih,” “Aku pernah satu bis bareng nih,” dll. Coba kalau itu orang biasa-biasa aja? Ya orang yang ngaku-ngaku teman ini mana ada? Ingat aja enggak. Ini fakta. *ngakak*

               Sekarang lihat instagram. Yang followersnya banyak pasti yang postingannya fancy. Kecuali mimi peri. Hahaha. Dia anomali. Meskipun apa adanya kadang cuma pakai daun-daunan dan keranjang kurungan ayam aja followersnya bisa banyak. Hihihi. 

               Dari jaman sebelum ada social media dulu, orang udah biasa pamer kok. Pamer pas arisan, pas kumpul keluarga, pas lebaran, pas reuni, dll. Misal, ditanya soal kerjaan dan aktivitas akhir-akhir ini. Pasti beda nada antara yang jawab “Aku sekarang lagi ngerintis butik. Kemarin baru pulang habis fashion show di Milan,” sama yang jawab “Aku kerja di toko baju dalam pasar.” Reaksi yang diterima juga beda. Antara “Wooow!” dan “Oh.” ._.

               Beda juga yang datang cuma naik motor pitung C70 sama yang bermobil mulus, dan semacamnya. Jadi bukan sosmed yang menyebabkan kita jadi tukang pamer. Pada dasarnya manusia memang terlahir pamer. Sekarang cuma pindah tempat aja. 

               Kalau jaman dulu aja pamer-pamer itu sudah menyebabkan minder, sekarang lebih parah. Karena aktivitas pamer sekarang bisa dilakukan real time setiap saat setiap waktu, bahkan disiarkan live. Wow, haibat! Sehari bisa berapa kali pamer, bosque? Pagi sarapan cantik di pool side, siang makan mango sticky rice di restoran yang letaknya ada di puncak tower, lanjut nonton bioskop (tiketnya jangan lupa difoto), habis itu upload lagi tiket pesawat sambil check in di bandara. Jangan lupa caption “Bismillah Ostrali.” Trus poto-poto di atas pesawat dengan awan-awan megah. Malamnya dinner di restoran hotel, dan seterusnya. Besoknya jalan-jalan males-males aja ke mall terdekat. Belanja-belanja jangan lupa foto di fitting room dengan nenteng tas belanjaan yang banyaaak, dan logo hapenya kelihatan. 
Ingaaat, yang diupload yang bagus-bagus ajah.
               Upload foto lagi makan nasi sambel teri di angkringan? Duh, malu sama wifi gratis.

Kebutuhan untuk Pamer

               Nah, berdasarkan kasus di atas, setidaknya ada tiga tipe netizen. Yang pertama, kalem aja, tetap bahagia apa adanya, dan bangga pamer kesederhanaan. Lha emang intinya sama aja kok, pamer. Aku sendiri ngapain coba upload foto dandan alien satu album sampai memenuhi beranda orang-orang dan berbesar hati menerima risiko diunfriend atau diunfollow kalau nggak demi pamer keimutan? *dijitak*

               Kedua, ada yang menerima tekanan sebagai tantangan. Kerja keras ngumpulin uang buat mewujudkan impiannya: memperbaiki feeds.

               Ada juga tipe ketiga, tipe yang seperti sis Pay atau bos First Travel, yang tertekan luar dalam dan memutuskan untuk mengambil langkah apapun untuk menunjukkan “Ni lohh, aku juga bisa.” Hutang sampai nipu juga boleh lah. Yang penting masyarakat mengakui, menerima eksistensi kita, menghormati, mengagumi, dan banyak lagi. 
Bagi sebagian orang memang postingan semacam ini bikin tertekan. Kenapa aku nggak kaya? Why? Whyyyy? T__T
               Pada dasarnya apa? Pamer itu boleh saja karena diakui atau tidak, sesungguhnya pamer adalah salah satu sifat dasar manusia kok. Kalau nggak percaya, cek aja piramida kebutuhannya Abraham Maslow. Menurut Maslow, kebutuhan tertinggi kedua adalah exteem needs. Kebutuhan untuk diakui, dihargai, diterima, dipuji, disanjung, dll. Kalau itu semua sudah terpenuhi, baru puncaknya aktualisasi diri. 

               Kalau karena pengen diakui trus kamu berusaha keras untuk mewujudkannya, itu hebat! Lanjutkan! Semangat! Tapi kalau trus menghalalkan segala cara sampai merugikan orang lain, ya jangan lah. Ingat, ketika kebenarannya terkuak, nanti kamu malah akan merasakan penderitaan yang jauh lebih dalam. Pencitraan yang sudah dibangun susah payah, hancur sudah. 

               Eh, btw, aku nulis panjang lebar kaya gini biar apa? Yang buat pamer lah, kalau ini lho aku lebih baik dari kalian. Duh, Mak, aku kentekan panadol.

You May Also Like

8 komentar

  1. Ya, pengakuan itu kebutuhan. Asal gak ngerugiin banyak orang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul. Yang salah karena menghalalkan segala cara itu.

      Hapus
  2. Saya nggak habis pikir. Kenapa dana umroh di selewengkan. Apa nggak takut adzab

    BalasHapus
    Balasan
    1. Orang kaya gittu udah nggak kepikiran adzab. Hahaha.

      Hapus
  3. Makasiih banget sharingnyaaa mbak. Bener jugaa yaa pada dasarnya setiap manusia membutuhkan pengakuan dr yang lain. Makanya tak heran kalau pada pamer. Hmmm liat instagram ada suka dukanya sih. Suka kalau liat banyak org bahagia sukses gtu. Sekaligus jd cambuk biar terus kerja keras. Disisi lain kadang sering meratapi nasib sendiri, kenapa aku gini" aja yaa. But overall semuanya tergantung persepsi kita mbak ya, jd baik dan bijak dalam menghadapi realita hidup jaman sekarang yg serba diupdate. Hehehe

    Kok komennya jd panjang, btw salaam kenaaal ya mbak 😄

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ia betul. Kalau yang nggak kuat mentalnya, main sosmed aja bisa jadi siksaan batin. Wkwkwk.
      Sama-sama. Makasih udah mampir. ^^

      Hapus
  4. betul ,kadang dia ingin merasa dihargai, krn org selalu melihat yg glamour itu yang wah. Aku inget pengalaamnku, waktu masih ngontrak rumah kecil dan butut krn sdh ambruk, tetanggaku banyak yg mencibir terutama org2 yang kaay dan suaminya punya jabatan, tp roda berputar saat hidupku mulai membaik dan suamiku juga punya jabatan, barulah mereka mulai medekatd an berusaha baik padaku. Begitulah yang mebuat banyak orang ingin terlihat wah agar bisa diterima

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener bangeeeet. Masyarakat sosial kita emang gitu. Huhu. Ini yang memicu beberapa orang trus akhirnya menghalalkan segala cara hanya biar diterima.

      Hapus