Image source: Not your ordinary gift |
Kalau lagi nonton MMA di tivi gitu, aku suka komentar jauuuuh lebih heboh daripada komentatornya.
“Harusnya dikunci aja dulu yang kuat, ya Bing.”
“Yahh, kurang pas tendangannya.”
“Coba pas kena rahang, pasti langsung pingsan.”
“Kayaknya bakalan menang yang biru deh. Walau badannya kecil tapi otot semua.”
“Kayaknya yang merah nggak bakal menang kalau caranya agresif gitu. Yang biru lebih tenang dan terukur.”
Daaan sebagainya. Enteng aja gitu komentar panjang lebar kaya ahli. Padahal aku ngerti soal MMA? Enggak. Praktik bela diri dalam keseharian? Blas.
Komentar sok tahu itu emang gampang kok. Nggak perlu jadi ahli, nggak perlu bekal ilmu pengetahuan. Ngemeng aja sekenanya. Namanya juga sok tahu. Kalau tahu beneran biasanya malah nggak bakal kebanyakan omong, tapi mengamati dulu, karena bener-bener paham. Orang kaya aku cenderung enteng mengomentari segala sesuatu justru karena aku nggak tahu apa-apa. Celakanya, dengan berkomentar sok tahu, aku sudah merasa pintar.
Kalau dalam hal ngomentar pertandingan di tipi sih oke-oke aja. Sesekali merasa sok pintar demi menghibur diri sendiri itu boleh. Hahaha. Ya maklum, di realita level kecerdasanku kalah sama lumba-lumba. Toh komentar sok tahuku nggak ada efeknya ke pertandingan. Yang main ya biasa-biasa aja. Fighter yang kukatain nggak bakalan menang ternyata malah bisa menang dengan keagresifannya yang melumpuhkan. Dari situ aku tahu kalau masing-masing fighter memang punya cara sendiri untuk meraih kemenangan. Ada yang agresif, ada yang terukur dan menang dengan sekali tendangan telak, ada yang mengulur waktu untuk membuat lawannya kelelahan, dll.
Sejak aku tahu itu, apa coba? Aku nggak berani ngomentar sotoy lagi. Bahkan kalau ditanya Ibing “Menurut Kecil, ini bakal menang yang mana?” aku jawab dengan “Nggak tahu. Lihat aja nanti.” Karena broooo, aku nggak tahu pasti. Yang badannya kelihatan bagus belum tentu staminanya bagus. Yang kelihatannya lemah ternyata malah gesit banget, dll. Itu padahal kalau aku ngomentar sok tahu juga nggak ada pengaruhnya lohh ke fighter-fighternya. Lha gimana dengan dunia nyata? Komentar-komentar sotoy yang mungkin berdampak ke orang yang dikomentari?
Sotoy dan Saran-saran Gratisan
Dulu, aku juga enteng banget, boy, kalau ngomen sotoy ke orang yang aku kenal. Merasa paling paham masalah kehidupan, aku berani banget sok ngasih saran ini itu.
“Halah, aku juga pernah kaya gitu. Gini gini gini, aja.”
“Temenku pernah ada yang jauh lebih parah dari kamu. Mbok nggak usah lemah!”
“Kamu tuh nggak cocok jadi penyanyi. Cocoknya jadi upik abu aja,” dll.
Banyak banget saran sok tahu yang kulemparkan ke orang. Mungkin iya, aku pernah mengalami masalah serupa. Mungkin iya, banyak orang di luar sana yang pernah mengalami masalah lebih gawat. Tapi waktu itu aku belum paham kalau masing-masing orang itu fight their own fight.
Masalah ortu cerai yang kualami nggak mungkin sama dengan yang temenku alami. Masalah ditinggal pacar nikah, juga mungkin menghantam perasaannya beda lagi. Kalau aku dikasih mental kuat untuk menghadapi itu, aku harusnya bersyukur. Bukannya sombong dan trus menganggap temen yang nangis mewek putus asa itu lemah. Yang dirasain orang-orang itu beda-beda, oke? Kita nggak pernah tahu apa yang dia rasakan di dalam hatinya. Makanya aku berusaha keraaas buat nggak sok tahu lagi.
Tentu saja hasrat sok tahu itu masih ada. Namanya juga orang nggak pinter. Pasti hawanya pengen kelihatan pinter. Kalau ada temen posting masalah di media sosial, duuuuh, pengen banget ngasih saran rasanya. Kan aku pernah mengalami yang lebih berat dari itu. Pasti saranku brilian luar biasa dan applicable nggak peduli kondisi dia gimana, ya kan ya kan ya kan? Ada pikiran-pikiran semacam itu. Tapi lalu ada Haf yang mengingatkan.
“Ingaaat, Pelle. Kamu nggak tahu seujung kuku pun masalah dia, latar belakang, dan kondisi saat ini gimana. Nggak usah sok tahu!” di situ aku mengaktifkan rem darurat. Kalau postingannya sedih dan aku pengen menunjukkan simpati, paling aku kasih reaksi sedih atau paling banter kirim pesen bilang “Sabar yaa,” trus kasih tanda bintang peluk. Udah, gitu aja, nggak akan komen “Kamu harusnya gini, kamu harusnya gitu.”
Kalau pun cerita “Dulu aku pernah gini juga,” atau “Temanku dulu pernah mengalami kaya gitu juga,” itu paling cuma buat berbagi cerita aja, biar dia nggak merasa sendirian. Bukan buat menghakimi “Kamu lemah deh, kaya kami doong, kuat.” Bukaaaan.
Soal rem mengerem ini memang nggak gampang. Wong udah sadar aja masih sering kelepasan. Apalagi kalau nggak sadar blas. Hiks hiks hiks. Aku kadang ngeri kalau ada yang posting masalah trus banyak yang dengan entengnya ngasih saran dan nasihat menurut pandangannya sendiri. Udah gitu bukannya karena simpati, tapi karena pengen menunjukkan kalau diri sendiri lebih baik aja. T__T
Aku sendiri pernah menerima komentar sok tahu nggak? Ha ya seriiing. Komentar-komentar dan saran-saran yang bikin angkat alis. Gemesnya, saran-saran dan komentar itu bahkan berdatangan sendiri tanpa diminta. Tanpa aku nanya-nanya.
Jadi aku hidup biasa-biasa aja gitu, tenang dan damai, trus tiba-tiba ada orang yang menilai kehidupanku nggak bahagia trus ngasih saran aku harus begini harus begitu. Kan mumet. Kalau aku nggak lakuin saran-saran gratisan itu karena aku nggak suka dan bahkan nggak sesuai sama apa-apaku, aku dibilang suka cari alasan.
“Ya nggak bakalan sukses kalau kamu kaya gitu terus,” katanya. Lhaaa, kamu siapa sih? Bidadari kesleo? Emang kamu tahu cita-citaku apa? Emang kamu tahu standar sukses buatku itu gimana? Emangnya bahkan tahu apa yang aku mau? Yaelaah, tuh, kangkung di gigi bersihin dulu! *emot nyengir sambil keringet netes di dahi
Gemar Bicara Tak Gemar Mendengarkan
Setelah mengamati perilaku norakku sendiri, aku akhirnya menyimpulkan kalau aku itu orangnya gemar bicara tapi tak gemar mendengarkan. Nyimak enggak, udah nyerocos aja ngasih komentar panjang lebar, saran yang menurutku baik dan benar. #sigh
Semakin bertambahnya usia, aku paham. Orang yang menceritakan masalahnya itu kadang nggak minta saran kok. Nggak selalu butuh nasihat. Kadang cuma pengen didengarkan aja. Pengen berbagi. Istilah bahasa Jawanya itu ‘sambat’. Karena dengan demikian, beban di hatinya akan berkurang. Sesederhana itu, bosque.
Logika aja sih, kalau udah ada orang yang cukup mendengarkan, dia nggak akan posting ke sosmed. Dia sampai posting di sosmed itu ya karena dia butuh lebih banyak ‘telinga’ untuk ‘mendengarkan’. Butuh sambat. Dan plis, itu manusiawi. Jadi jangan dianggap lemah.
Well, beklah. Aku juga pernah ngasih saran buat jangan posting massalah di sosmed. Tapi itu sebatas saran, bukan berarti aku benci sama mereka yang curhat di sosmed loh. Aku ngerti banget lah, kebutuhan curhat itu sebesar apa dan kaya gimana rasanya. Kenapa kok aku ngasih saran begitu? Karena yhaa, sosmed isinya kebanyakan orang yang gemar komentar tak gemar menyimak postingan. Wkwkwk. Apalagi curhatnya panjang. Duh, skip, langsung komen ajah biar cepet. Dan akhirnya komentarnya nggak nyambung. Nggak on point.
Curhat sekali-sekali buat melegakan perasaan itu silakan. Tapi harus sadar risikonya. Bukannya lega, bisa jadi malah tambah dongkol karena banyak komentar sok tahu yang nggak nyambung sama point yang kamu maksud. Atau tambah sedih karena malah dihakimi. Hahaha.
Eh, aku bilang sekali-sekali lho ya. Bukannya curhat setiap saat setiap waktu. Kalau terus-terusan kaya gitu malah melas di kamunya, sis. Mungkin kamu memang butuh bantuan profesional, dan bukan hanya curhat di medsos.
Duh, maap, aku malah mbleber ke mana-mana. Intinya, sebagai seorang curhaters, aku berusaha mengurangi kadar curhatku. Kalau bisa sih malah jangan sampai ada orang yang tahu masalahku apa. Soalnya males sih, banyak yang kepo cuma biar bisa ngetawain doang. Kan jahat.
Kedua, sebagai nyimakers, aku berusaha untuk mengaktifkan rem darurat di saat-saat memang dibutuhkan. Nggak akan ngasih saran kecuali diminta. Kalau ada yang curhat, kudengerin aja dengan baik tanpa kebanyakan sok tahu. Apalagi kalau curhatnya cuma curhat lewat di timeline tanpa bener-bener bermaksud curhat ke aku. Kalau aku nggak suka dan nggak bisa mengatakan hal yang manis-manis buat menghibur, yaudah skip aja. Nggak harus berkomentar sok tahu soal masalah yang tengah ia hadapi. Kecuali dia memang minta saran secara personal. Itu juga aku hati-hati banget, bosque. Sungguh, ada tanggung jawab yang besar dari keberanian memberi saran. Apalagi kalau dasarnya cuma sok-sokan. *tobat