Cewek Nggak Punya Otak

by - 04.35.00


Aku sering bilang, kalau apa-apa yang kita lihat di social media itu paling baru seperduajuta dari kenyataan yang sesungguhnya. Dan aku malah baru sadar betapa benarnya itu.

Kesadaran ini juga datangnya nggak serta merta, melainkan bertahap. Dan prosesnya sebenarnya sudah lama, terlalu lama bahkan. Cuma akunya aja yang terlalu lemot dan nggak kunjung paham.

Pas kuliah dulu aku punya temen yang kebetulan berprofesi sebagai jurnalis. Hubungan pertemanan kami ndilalahnya juga nggak ada kaitannya sama hal bermanfaat selain cuma sebatas senang-senang saja: mabok bareng dan tidur bareng (beneran tidur doang dalam arti yang sebenarnya karena aku nggak pernah mau ngapa-ngapain sama dia, seringnya malah ngapa-ngapain sama temennya, ngahaha).

Kami cukup akrab. Aku sering nginep di kosnya (biasanya kalau udah terlalu mabuk dan aku males pulang), dan dia juga pernah beberapa kali nginep di kosku (ajaibnya, tetep nggak pernah ngapa-ngapain). Kami nggak pernah memperbincangkan topik yang rada pakai mikir gitu. Ringan-ringan aja kayak misalnya cuaca, ban bocor, atau harga congyang yang makin lama makin naik.

Pas suatu ketika dia akhirnya tahu kalau di kampus aku pernah ikut persma, suka baca, dan kadang nulis, reaksi pertamanya adalah … nggak percaya. Bahkan secara menyakitkan dia bilang “Nggak mungkin ah, cewek kayak kamu.”

He.

Lama berselang, aku nggak pernah mengalami pengalaman sejenis. Sampai akhir-akhir ini. Beberapa bulan yang lalu, aku posting foto buku yang sedang aku baca di story facebook. Hal yang sangat jarang kulakukan. Itu juga tumben-tumbenan karena kebetulan aja bukunya udah ada di wishlist sejak bertahun-tahun lalu dan baru dapet, trus aku gembira, makanya posting.

Trus ada orang katakanlah hobi mikir tapi tidak hobi bekerja gitu yang ngirim pesan dan bilang “Aku nggak nyangka, ternyata kamu baca buku juga?”

Hehe.

Beberapa waktu setelah itu, ada orang yang terheran-heran sama gaya hidupku. Kok kayak selo banget punya seluruh waktu di dunia dan nggak ngapa-ngapain. Trus aku fungsinya di masyarakat itu apa. Kok beneran kayak numpang ngeborosin oksigen doang nggak ada gunanya.

Hehehe.

Trus beberapa waktu yang lalu aku ketemu seseorang. Kopdar lah ceritanya. Trus dia nanya aku tuh kerjaannya apa. Aku bilang “Sekarang sih lagi nulis.” Dan orangnya merasa perlu bertanya untuk meyakinkan kupingnya sendiri “Nulis??”

Seolah-olah itu adalah hal yang sangat aneh buatku. Seolah sangat jauh dari bayangan dia tentang aku.

Hehehehe.

Tentu saja aku nggak menyalahkan mereka. Karena mereka menilai dari apa yang mereka lihat dan apa yang mereka ¬sangka ketahui. Dan mereka menarik kesimpulan-kesimpulan itu dari luar.

Si jurnalis melihatku sebatas sebagai mahasiswi santai gaul ke sana ke mari dan kuat minum kayak ikan. Si teman yang ngomen storyku melihatku sebagai anak facebook penggemar jokes receh. Si teman kencan kopi daratku melihatku sebagai si toket gede yang gemar posting foto telanjang. Dan nggak lebih dari itu. Di mata mereka, aku nggak mungkin punya kualitas lebih dari itu.

Cewek yang doyan minum, bisanya cuma share humor nggak lucu, foto telanjang, dan pinter ngoral, nggak mungkin suka baca buku dan apalagi berprofesi sebagai penulis (yang dianggap harus cerdas dan memiliki kualitas tertentu).

Aku nggak tahu gimana awal mulanya, tapi cewek yang dianggap “nakal” selalu otomatis dianggap goblok. Hampir sama dengan stereotip cewek cantik hobi dandan yang dianggap nggak mungkin bisa baca. Padahal apa hubungannya?

Iya, itu typo, aku males benerin.

Balik lagi ke awal: apa hubungan semua ini dengan social media? 

Mau nggak mau, social media sekarang ya emang dianggap sebagai representasi kepribadian seseorang sih. Semacam etalase lah ya. Makanya banyak orang yang sampai rela berkorban melakukan hal-hal konyol demi pencitraan. Karena faktanya, we do judge a person by their social media.

Tentu saja dalam beberapa hal memang ada benarnya. Aku juga sering gitu. Hahaha. Misal ada cowok deketin, trus aku lihat di wallnya isinya sebaran berita hoax tolol semacam Prof. Tokuda, yha monmaap.

Cuma ya balik lagi, yang kita lihat di wall itu baru lapisan kulit luar banget. Ibarat bawang, ya baru kulit arinya yang biasanya dikupas itu. Kenyataannya, masih ada lapisan demi lapisan yang kita bahkan nggak pernah bayangkan. Misalnya aja yang nyebar hoax Prof. Tokuda bisa jadi ternyata justru penggemar film-filmnya. Cuma sengaja nyebar aja biar ramai. Biar mengaduh sampai gaduh.

Kita kan nggak pernah tahu.

Aku sendiri, apa-apa yang aku sebar di medsos, sebenernya malah lebih banyak yang nggak ada sangkut pautnya sama kehidupan nyata. Cuma ngereceh aja, sama kadang-kadang  jualan.

Aku hampir nggak pernah posting soal buku yang aku baca, karena ya biar apa? Hahaha. Aktivitas membaca buatku ya biasa aja, nggak perlu diumumin. Kecuali ada yang mau aku bahas. Dulu pernah sih beberapa kali aku nulis soal buku di sini. Tadinya mau aku jadiin series, tapi trus nggak lanjut. Nggak tahu ya, mungkin nanti-nanti bakal aku lanjutin lagi. Pernah juga aku sempet agak sering posting foto buku di instagram. Tapi cuma buat isi-isi doang waktu itu ngepasin sama warna tema feeds. -_-

Aku juga nggak pernah posting soal kerjaan. Paling promo-promo jualan. Trus udah. Nggak pernah pengumuman lagi bungkusin paket, atau posting chat mesra sama pembeli. Dahulu kala, zaman pertama-pertama banget ngolshop sih sering. Sampai foto-fotoin resi yang bertumpuk-tumpuk itu. Di akun jualan tapi. Tujuannya buat meningkatkan kepercayaan. Balik-balik ya buat kepentingan promosi.

Di akun pribadi juga pernah beberapa kali. Tapi habis itu seringnya nggak sempet lagi. Atau sebenernya sempet cuma aku males aja.

Dan aku jualan kan nggak cuma di facebook. Di facebook pun ada alter akun khusus jualan dengan market spesifik dan cuma pakai nama jualan. Yang beli, bahkan kalau sebenernya berteman sama akun pribadiku di facebook juga mungkin nggak akan pernah tahu kalau itu aku.

Dan aku nggak pernah cerita soal kerjaanku yang lain. Kadang aku nulis. Sebelum nulis buku cerita anak, aku nulis artikel buat blog dan lain sebagainya. Banyak yang pakai nama palsu karena aku cuma mau uangnya. :D

Dan banyak lagi. Banyak banget sisi kehidupanku yang menurutku nggak perlu aku bahas di medsos. Padahal aku kelihatannya kayak ceriwis ya kan? Rajin posting dan ngomongin diri sendiri ya kan? Tapi itu paling mungkin cuma 0,05%nya aja.

Yang salah menilai tentu banyak banget. Bukan hanya heran karena aku ternyata bisa baca, tapi juga yang mencap aku ini itu yang mendekati kebenaran sedikitpun enggak.

Dan mereka nggak salah. Wajar. Enggak dilarang juga. Aku juga mengerti kalau citra-citra itu yang mereka tangkap karena yang aku tampilkan emang kayak gitu kok.

Meski tadinya aku sempet heran juga sih. “Kok bisa ya fakta sesederhana aku bisa baca ternyata bisa seaneh itu di mata orang?” atau “Kok gitu aja dia heran sih?” karena aku merasa biasa aja dan aslinya emang kayak gini. Lha mereka tahu dari mana coba? Nggak salah lah.

Aku cuma lagi terkagum-kagum aja sama betapa emejingnya cara kita berprasangka dan merasa tahu hanya dari apa yang kita lihat di social media. Social media loh. Tempat orang bisa berpura-pura jadi apa saja. :D

You May Also Like

1 komentar