Alasan Sulit Berhenti Main Aplikasi Kencan
Aku udah sampai enggak inget berapa kali aku bilang "Aku udah enggak mau main Tinder lagi ah."
Kalimat itu mungkin aku ucapin setiap kali pulang kencan dan enggak berakhir baik. Hahaha.
Tadinya emang niat awal aku main Tinder itu buat seneng-seneng aja. Tapi ternyata, bukannya seneng, hidupku malah makin miserable. Trus kenapa dong aku kok masih betah terus main Tinder? Padahal berangkat masuk aplikasi dengan peraasaan was-was, match sama orang langsung dipenuhi kecurigaan, trus ya seperti yang kalian bisa tebak. Main aplikasi kencan emang enggak ada gunanya selain buat isi waktu luang (yang sebenernya bisa dimanfaatkan buat melakukan berbagai macam kegiatan bermanfaat) dan memperparah krisis eksistensi.
Tapi sebelum itu, mungkin ada baiknya aku jawab satu pertanyaan dulu.
Jadi sebenernya ada sisi menyenangkan enggak sih dari main Tinder?
Jawabannya adalah iya, ada. Kadang aku ketemu sama orang-orang yang menyenangkan dan bisa berteman sama mereka. Berteman beneran yaa, bukan berteman pura-pura padahal sebenernya cuma napsu-napsu doang. Bahkan ada yang ngasih-ngasih kerjaan segala. Sungguh menguntungkan bukan?
Sayangnya, ketemu sama yang kayak gini tuh kejadiannya sangat langka. Paling cuma 1%. Wkwk. Sisanya ya gitu deh. Miserable, miserable, miserable.
Trus kalau sisi enggak menyenangkannya apa?
Wooo lha ya jelas banyaaaak. Di antaranya, 99% populasi di Tinder kebanyakan cuma main-main. Seenggaknya aku ngelihatnya dari akunku yang adalah perempuan straight yaa. Jadi kebanyakan aku ketemu cowok-cowok yang pengen ketemu sama sebanyak mungkin cewek untuk direkrut masuk asrama putri. Iykwim.
Jadi kalau aku main Tinder buat dapetin pacar, ya bakal susah banget. Masih mending kalau cowok-cowok ini bilang jelas dari awal enggak mau pacaran. Kehidupan akan bisa kita lalui dengan lebih mudah.
Masalahnya 98% dari mereka kan pembohong. Jadi alih-alih langsung menolak mentah-mentah, mereka bakal bikin aku merasa diterima dan disayang dulu. Kayak mereka serius aja ngajak pacaran. Kalau udah dapet yang mereka mau (yang merupakan salah satu kebutuhan dasar paling primitif), yaudah mereka akan pergi gitu aja tanpa epilog, trus langsung nyari cewek lain deh.
Ya emang sesederhana itu kalau mau jadi bajingan di era teknologi. Kan gampang. Tinggalin yang kemarin, masuk Tinder lagi, udah langsung tersedia berbaris-baris cewek single available. Tinggal pilih. Enggak harus sesuai selera (karena beberapa orang bahkan enggak punya selera), yang penting ganti-ganti aja. Sebanyak-banyaknya.
Oke oke. Aku juga bukan orang baik. Bisa dibilang aku anaknya adventurous juga. Tapi masa main-mainku kayak gitu rasanya udah habis di usia 20an dulu. Karena dulu emang udah aku niatkan. Aku pengen punya pengalaman sebanyak mungkin, biar ntar pas udah waktunya settle, enggak norak lagi.
Nah sekarang memasuki usia 30an (astaga, tidak pernah terbayang olehku suatu hari bakal nulis kalimat ini), aku pengen sesuatu yang lebih stabil dan bisa diandalkan. Kan capek lah ya gerilya kenal-kenalan sama orang baru terus. Aku enggak pengen nikah, tapi aku pengen hubungan jangka panjang yang solid. Aku pengen punya pasangan yang bisa ada untuk satu sama lain dan saling support.
Sederhana kan? Harusnya. Sayang enggak segampang itu praktiknya. Kalau cuma nyari yang mau ewe sih gampang. Aku bisa dapetin kapanpun aku butuh. Tapi kalau nyari sama yang bersedia komitmen, itu rasanya lebih susah dibanding aku harus kerja keras dan nabung biar bisa beli rumah.
Mungkin ini yang sering bikin aku sedih. Soalnya gara-gara sering ditinggalin semena-mena kayak gitu, aku jadi mempertanyakan self worthku sendiri. Jangan-jangan aku enggak cukup berkualitas? Akhirnya aku jadi merasa undesirable, unwanted, unlovable, dll.
Ini jelek banget buat kesehatan jiwa, aku tahu. Padahal kalau aku baca-baca artikel atau nontonin video essay tentang dating apps, ya sebenernya bukan cuma aku yang mengalami hal-hal ini. Hampir semua orang mengalaminya. Kecuali beberapa orang yang beruntung beneran dapetin pasangan yang cocok banget sampai akhirnya berkeluarga yaa karena cerita-cerita kayak gini emang sungguhan terjadi.
Akibatnya, tercipta trust issue sama jadi ada image buruk tentang dating apps seperti:
1. Cuma orang yang desperate aja yang main dating apps;
2. Dating apps cuma buat cari pasangan sex;
3. Semua cowok di dating apps brengsek;
4. Semua cewek di dating apps fake;
and so on, and so forth.
Semua orang mengalami pengalaman buruk menggunakan dating apps. Semua orang pernah ngerasain perihnya dighosting. Semua orang pernah mengalami sedihnya dibohongi bilang "Iya, aku juga nyari yang serius kok, siap komitmen jangka panjang," tapi ternyata jangka panjang yang dimaksud hanya sebatas dua kali ngopi dan satu sesi bobo bareng.
Sebenernya aku berharap di dating apps ada pilihan buat misahin orang-orang yang cuma lagi nyari kesenangan sesaat sama orang yang nyari hubungan jangka panjang. Jadi yang lagi cari pacar yang bakal match sama yang sama-sama nyari pacar juga. Yaaa meski bakal banyak yang bohong, tapi seenggaknya sedikit membatu memudahkan.
Soalnya udah susah payah nulis di bio secara jelas dan tegas juga kadang bahkan merekanya enggak baca. Udah gitu, pas chat dan bilang terus terang "Aku nyari pacar nih," juga enggak bikin mereka yang cuma nyari kesenangan sesaat ini mundur. Malah maju dengan berbagai omong kosong. Padahal kalau cuma mau sex kan ya tinggal cari yang sama-sama cuma mau sex. Biasanya banyak tuh yang nulis "FWB only." Ngapa sempet-sempetnya gangguin yang lagi mau serius coba?
Sialnya, setelah aku merasakan sendiri kalau main Tinder sebenernya lebih banyak mudharat daripada manfaatnya, aku juga susah banget berhenti. Alasan-aalasannya antara lain sebagai berikut:
1. Instant Gratification
Jadi kalau aku lihat profil orang yang aku suka, trus aku geser kanan, dan ternyata match, itu langsung seneng. "Yess, he likes me too." Ini yang sering aku rasain terutama dulu pas awal-awal main Tinder. Apalagi aku sendiri anaknya sangat picky dan selectif. Jarang banget swipe right kecuali aku beneran sangat suka banget sama orangnya. Baru kemudian aku tahu kalau ternyata kebanyakan cowok ya swipe right aja semuanya. Dengan alasan "Dari sekian banyak digeser kanan semua, ntar juga pasti ada yang nyantol." Heuheuheu.
2. False Sense of Power
Dating apps kayak Tinder emang dangkal banget sih sebenernya. Pilihannya cuma suka atau enggak suka dan 99% keputusan diambil berdasarkan tampang. Soalnya meski disediakan kolom bio juga banyak banget yang enggak nulis apa-apa. Aku udah nulis panjang-panjang juga bahkan enggak dibaca.
Dengan sistem kayak gini, user jadi merasa punya power atas pilihan-pilihan yang disodorkan. Kita bisa milih yang kita suka dan enggak (tentu saja melalui penghakiman yang dangkal itu tadi) trus kayak yang sok berkuasa gitu bisa menentukan seseorang layak untuk match atau enggak hanya dalam hitungan detik.
Aku termasuk merasa bersalah dalam hal ini karena aku melakukan yang persis sama kok. Aku ngejudge orang-orang seenaknya, aku kadang ngetawain gaya mereka, dan terutama menghina footwear mereka. Wkwk. Dan iya, aku merasa sombong juga. Sering kepikiran "Cih, apaan? You're not good enough for me." Padahal kenal aja belum. :(
This is a sad reality about dating apps and why we keep starring at our damn phone swiping.
Hari ini aku baru bilang lagi "Mulai sekarang tiap aku merasa pengen buka Tinder aku akan ngelakuin hal lain yang bermanfaat."
Tapi kan ngomong emang gampang. Praktiknya, siapa yang tahu? Ada saat-saat ketika aku merasa kesepian. Terlalu kesepian sampai berharap pengen curhat sambil dipeluk seseorang. Siapa saja.
0 komentar