Suatu hari waktu aku masih kelas satu SMP, aku mendapati teman sebangkuku duduk murung. Waktu aku tanya kenapa, dia nangis sambil menunjukkan bekas biru di lengan atas dan pahanya. Bekas dicubit ibunya. Setelah itu, aku kerap mendengar ceritanya mengenai macam-macam kekerasan fisik yang dia alami. Mulai dicubit, dilempar barang, sampai dipukul menggunakan parutan kelapa. Waktu itu aku hanya bisa ikut sedih dan merasa kasihan. Tapi memangnya apa yang bisa kulakukan?
Waktu aku main ke rumahnya, aku melihat sendiri bagaimana ibunya berlaku padanya. Omongan-omongan kasar yang dia tujukan ke anak kandungnya sendiri itu sungguh bikin bulu kudukku merinding (dan ikutan takut). Waktu itu usianya masih sama denganku: 12 tahun.
Kemarin seorang teman di Facebook membagikan cerita pribadinya mengenai masalah dengan orang tua. Betapa orang tuanya tidak menghargai gaji pertamanya yang masih di bawah UMR. Dan menuntut dibelikan mobil di bulan pertamanya bekerja. Aku memahami sepenuhnya ketika dia bilang stress sampai pengen bunuh diri. Karena aku bisa membayangkan tekanan macam apa yang dia alami. Tuntutan dan ekspektasi tidak masuk akal dari orang tua yang bukan hanya bikin anak merasa terbebani tapi juga mungkin merasa gagal, merasa unworthy, dll.
Seorang teman lain membela para orang tua. Dia bilang, meski anak memang tidak minta dilahirkan, hal itu tidak serta merta bisa dijadikan pembenaran anak berlaku kurang ajar dan enggan membalas budi. Bagaimanapun orang tua dan berjuang banyak berkorban untuk memberikan kehidupan yang baik bagi anaknya.
Keduanya benar. Karena faktanya, anak yang kurang ajar juga memang ada. Banyak. Aku juga punya teman yang bergaya hidup layaknya bos besar ketika kuliah di kota. Gaya hidup hedon. Nongkrong di kafe dan gaul ke sana ke mari. Selalu belanja baju merek branded, kos di kos eksklusif, dan yang paling menjengkelkan dari semuanya, dia selalu bayar-bayarin temen-temennya saat nongkrong. Sambil sesumbar kalau dia bisnis sendiri. Semua anak pun terpukau dan memanggilnya bos. Bangga bisa menjadi bagian dari inner circle dia.
Sementara, ayahnya yang bersahabat dengan ayahku menderita di kampung. Kerja keras bagai kuda sampai numpuk utang. Dan mengeluh bilang “Berat banget ya biayain anak kuliah.” Yang dijawab oleh ayahku dengan “Anakku sih udah enggak pernah minta uang lagi. Dia kerja sendiri.” Iya, aku ini. Yang di kalangan teman-teman sesama mahasiswa tidak dikenal sebagai bos melainkan si anak yang nggak asyik karena enggak bisa sering-sering diajak nongkrong. Entah alasannya sibuk kerja atau lagi enggak punya duit. :D
Kita mungkin juga sering mendengar cerita orang tua terlantar karena anak-anaknya enggak ada yang mau ngurus. Meski mampu. Mungkin banyak yang disebabkan karena dendam diperlakukan buruk oleh orang tuanya, tapi tidak menutup kemungkinan memang si anak kurang ajar aja.
Jadi orang tua toxic memang ada, tapi anak kurang ajar juga tidak kalah banyaknya. Menurutku hal ini tidak kemudian layak dijadikan perdebatan karena kita enggak bisa memandangnya sebagai kesalahan satu pihak saja. Bahkan keduanya bisa jadi bercampur baur. Orang tua toxic melahirkan anak kurang ajar ya bisa juga kan?
Jadi mungkin satu-satunya hal yang bisa kita lakukan sebagai spesies yang konon bijaksana adalah melihat kasus per kasus. Dan karena kita sebagai orang luar yang enggak melihat dengan mata kepala sendiri dinamika setiap keluarga, alangkah lebih baik kalau kita enggak langsung ngejudge.
“Iya, parah banget tuh orang tua toxic emang. Ih jijik. Udah biarin aja mereka terlantar di hari tuanya.”
atau
“Kurang ajar banget anak mengeluh padahal cuma diminta bantuin bayarin SPP adiknya.”
Kita enggak di sana. Kita enggak tahu. Kita tidak bisa melakukan apa-apa maka sebaiknya kita tidak buru-buru menghakimi.
Mau tahu cerita pribadiku?
Semua orang yang mendengar cerita pembangkanganku dari keluarga pasti akan serta merta mencap aku sebagai anak durhaka. Durhaka lari dari keluarga hanya biar bisa hidup bebas dan hedon, biar bisa berbuat maksiat sebanyak-banyaknya, mempermalukan keluarga hanya demi cinta terlarang, dan aku yakin banyak banget penghakiman-penghakiman serupa yang bertebaran. Yang salah cuma aku: si anak yang minggat dari rumah dan tidak pernah menoleh kembali ke belakang.
Iya, aku termasuk dalam kelompok yang memakai alasan “Kan aku enggak pernah minta dilahirkan.”
Tapi tahu nggak, dulu, bahkan dengan kesadaran penuh bahwa aku enggak pernah minta dilahirkan, aku tetap berusaha jadi anak yang berbakti. Yang baik. Yang membanggakan keluarga dan bermanfaat bagi nusa, bangsa, dan agama (harapan yang apa banget untuk disematkan kepada orok yang baru lahir -__-).
Bahkan dengan orang tua yang tidak pernah hadir dan sibuk dengan drama percintaan mereka sendiri pun aku masih berusaha ngasih yang terbaik. Aku berusaha keras biar bisa dapetin duit yang lebih banyak biar ibuku seneng. Nyari duit lebih banyak lagi biar ibuku lebih seneng lagi. Dan tetap terus berusaha meski tiap balik ke rumah ibuku selalu bilang kecewa karena aku belum kaya raya. -_-‘
Waktu itu, di dalam daftar prioritas orang-orang yang ingin aku bahagiakan, terdapat nama-nama kakek-nenekku, ibu-bapakku, adikku, dan anggota keluarga lain. Seenggaknya biar om dan tanteku bisa tutup mulut dan berhenti bikin gosip tidak masuk akal a la sinetron azab di kampung.
Di dalam daftar itu, bahkan namaku sendiri tidak ada. Aku mengubur dalam-dalam semua hal yang aku inginkan. Aku melupakan persona dewasaku yang aku bayangkan waktu aku kecil. Aku menganggap semua passion dan impianku sendiri tidak penting. Dan aku membohongi diri sendiri. Berpura-pura jadi anak baik, santun, dan solehah. Yang tentu saja harus cantik, cerdas, dan punya banyak duit dalam waktu bersamaan. Sungguh ajaib aku tidak menjadi pecandu narkoba dengan banyaknya tuntutan, fitnah, hinaan, dan kebencian, dan rasa tidak diterima di keluarga sendiri. Eh, ya nggak ajaib banget ding. Orang duitnya enggak ada. Mabok aja cuma beli ciu plastikan, gimana mau beli narkoba. Wkwk.
Aku sabar aja dan masih berusaha keras membahagiakan mereka meski diri sendiri enggak yakin apa itu bahagia. Sampai kemudian ibuku memutuskan untuk melangkah terlalu jauh, melanggar satu-satunya garis batas yang tersisa. Garis yang teramat tipis dan terlalu rapuh setelah selama ini kujadikan pegangan kuat-kuat.
Secara semena-mena, sisa kewarasan yang aku punya diobok-obok. Tidak hanya menghancurkan hatiku, tapi juga masa depanku. Aku sedetik ketawa sedetik menangis saking gilanya. Waktu itu.
Ketika mengetahui kabar pelarian diriku dari rumah yang kulakukan semata demi menyelamatkan kewarasanku sendiri (entah semestinya aku bangga akan tindakan ini atau haruskah aku menyesalinya mengingat sekarang aku mulai berpikir mungkin sebaiknya aku tinggal dan mati saja) seseorang bilang padaku “Ora apa-apa, Nduk! Wong tua kaya ngono kui wis ra maladi.” Yang artinya kurang lebih “Enggak apa-apa. Orang tuamu udah enggak punya daya buat bikin kamu kualat.” Iya maaf, ini terjemahannya kurang cocok, tapi aku susah nemuin terjemahan tepatnya.
Biasanya anak minggat dari rumah selalu dianggap durhaka dan pasti bakal kualat (terima kasih dongeng-dongeng nusantara). Tapi ada kasus-kasus tertentu ketika kutukan orang tua yang marah atau tersakiti perasaannya, tidak akan berpengaruh apa-apa pada si anak. Karena Tuhan (anggap saja memang ada) maha melihat. Dia pastilah tidak menutup mata trus ngasih privilege ke golongan tertentu hanya karena mereka orang tua. Ketika kutuk tertentu diucapkan, mungkin Dia malah dengan santai berkata:
“Ee, lha wong kamu yang kurang ajar kok seenaknya minta anakmu yang dihukum. Udah dikasih anak lucu, cerdas, pekerja keras, mandiri, nggak rewel, berbakti, gajian pertama waktu kuliah semester satu yang enggak seberapa aja dipakai buat beliin sepatu ibu, dan menggemaskan itu mbok ya tahu terima kasih, bukannya malah masih nuntut yang tidak-tidak. Sungguh cerminan makhluk yang tidak mengenal rasa syukur.” -,-
Aku anaknya emang enggak repot. Waktu kecil (mungkin baru umur tiga tahun) sendalku putus aja aku enggak minta dibeliin sandal baru. Sandalnya cuma dikasih peniti biar masih bisa dipakai ya aku nurut. Sans banget menjalani kehidupan. Ada uang saku terima kasih, enggak ya ga apa-apa. Gampang tinggal malakin anak-anak di sekolah. Eh. Udah biasa di sekolah enggak jajan. Naik angkot bayar satu buat berdua trus lari sekenceng-kencengnya sebelum sopirnya sempet ngomel. Pengen renang tapi ga bisa bayar tiket masuk, tinggal duduk pasang muka melas aja sampai yang jaga enggak tega trus bilang “Yaudah masuk sana.” Wkwkwk. Sesantai itu. Enggak pernah marah. Enggak nuntut sedikitpun. Paling mentok maksimal minta surat keterangan belum mampu bayar SPP dari Bapak kalau besok tes/ujian dan aku belum dapet kartu karena nunggak SPP beberapa bulan. Udah, itu tok.
Setelah kejadian yang bikin aku minggat itu, Bapakku sempet menemuiku sekali. Waktu itu di teras kos, sambil nangis nggak kebendung aku sampai hati nanya “Emangnya aku pernah minta apa? Dari kecil aku pernah minta apa?”
Bapakku dengan kepasrahan seorang ayah yang mencintai anak perempuannya tapi sekaligus takut dan tidak berdaya di hadapan istrinya hanya bisa menunduk sambil bilang “Emang nggak pernah minta apa-apa.”
Hatiku remuk. Mungkin hati Bapakku sama saja berantakannya. Kami memiliki hubungan Bapak-anak yang baik dan menyenangkan. Bisa dibilang, dia adalah salah satu kawan terbaikku. Kami memiliki banyak in-jokes yang hanya kami yang paham. Dan biasanya tiap aku pulang, kami bisa menghabiskan waktu berjam-jam ngobrol berdua. Tanpa kehadiran ibuku yang tidak memiliki selera humor yang sama.
Ibuku toxic, tapi Bapakku baik. Ya terlepas dari berbagai macam kekurangannya yang lain sih. Masalahnya, dinamika keluargaku enggak cuma sebatas keluarga inti. Ada kakek-nenek yang merawatku dari kecil sehingga ibuku menganggap aku wajib balas budi pada mereka (kan aneh ya, orang dia yang nitipan anak, kok trus anaknya yang tanggungjawab?). Ada om dan tante yang problematik. Yang membeda-bedakan aku sama keponakan lain, yang memandang rendah, yang menghina, yang sempet-sempetnya mengarang cerita palsu biar citra diriku jadi buruk, yang memaksakan pandangannya, dan banyak lagi.
Lahir dan besar di keluarga itu sungguh melelahkan. Karena aku harus secara konstan berpura-pura bahagia setiap saat meski sebenarnya sangat kebingungan. Diharapkan bisa membanggakan keluarga tapi saat aku butuh dukungan tentu saja tidak ada siapa-siapa. :’)
Makanya aku kemudian lari dan tidak pernah menoleh lagi. Tidak peduli seberapa keras orang-orang yang sok merasa berkepentingan berusaha menjawil-jawilku kembali. Demi Tuhan! Aku hanya ingin hidup tenang.
Mungkin kalian bingung karena banyak sekali detail yang tidak kuceritakan. Tapi pengalaman sepanjang 25 tahun memang mustahil diringkas menjadi satu blog post kurang dari dua ribu kata. Tidak apa-apa. Kalian tidak harus paham setiap detailnya.
Intinya, aku bisa mengerti sepenuhnya ketika ada orang yang cerita kalau dia merasa tertekan karena keluarganya memberinya terlalu banyak tuntutan. Aku mengerti ketika ada orang yang sampai ingin bunuh diri hanya karena orang tuanya meminta sesuatu yang tidak bisa dia beri.
Anak-anak durhaka memang ada, tapi orang tua durhaka juga ada. Anak durhaka yang lahir dari orang tua durhaka ada, anak durhaka padahal keluarganya baik juga ada (mungkin karena salah gaul). Orang tua durhaka tapi melahirkan anak luar biasa penuh cinta kasih juga ada.
Aku juga punya teman yang memiliki dinamika keluarga yang amat menyenangkan. Semua anggota keluarga saling sayang, saling support, saling menghargai satu sama lain. Tidak satupun dari mereka durhaka sampai kalau aku main ke rumahnya aku merasa ikut disayangi. Jadi ya memang rupa-rupa kehidupan berkeluarga kan?
Jadi mungkin sebaiknya memang jangan meminimalisasi pengalaman seseorang. Hanya karena kamu “Keluargaku juga toxic tapi aku tetep balas budi,” bukan berarti semua orang harus menempuh jalan yang sama lho. Menurutku sih ini.
Kalau masih mau menganggap aku (dan banyak anak lain) cuma cari alasan bilang keluarga toxic cuma biar bisa kurang ajar seenaknya ya silakan aja. Bukan kamu ini yang mengalami kegilaan jedug-jedugin kepala ke tembok selama setahun lebih. Bukan kamu yang punya banyak bekas luka tusukan di lutut akibat merasa sakit fisik bisa mengalihkan perhatian dari sakit batin. Bukan kamu yang paranoid sampai mual, keringat dingin, dan lemes sampai enggak berani keluar kamar. Bukan kamu yang tiap ketiduran langsung mimpi buruk dikejar-kejar dipaksa kawin sama orang yang kamu nggak kenal. :)
Udah gitu aja sih. Aku ikut seneng kalau tidurmu nyenyak.