SETETES KEIKHLASAN, KESEMPATAN HIDUP BAGI ORANG LAIN
Aku suka donor darah. Dulu, pas masih kuliah, aku
rutin donor darah minimal setahun dua kali. Kebetulan di kampus sering ada
acara donor darah, jadi aku nggak usah repot-repot ke PMI untuk donor. Setelah
nggak kuliah aku malah jadi jarang donor darah. Sebenernya sih kepengen, cuma
beberapa kali ke PMI ditolak terus gara-gara tensinya rendah. Tapi beberapa
waktu yang lalu akhirnya aku diterima dan sukses mendonorkan darah. *tabur
confetti
Berbeda denganku, Ibing kalau tak ajakin donor darah
pasti nggak mau.
“Ngapain donor darah ke PMI. Toh nanti pasien yang
butuh darah harus beli. Kecuali pasiennya nggak harus bayar, baru Ibing mau,”
katanya.
“Darahnya sih aslinya gratis, Bing. Pasien itu bayar
Biaya Penggantian Pengelolaan darah (BPPD) yang mencakup pembuatan kantong
darah, pengecekan kesehatan pendonor, pengecekan terhadap penyakit menular,
biaya komponen darah, uji silang kesesuaian pendonor dan pasien, dan biaya
operasional lain,” aku berusaha menjelaskan.
PMI nggak mungkin kan, sembarangan ngasih darah ke
pasien? Jadi darah dari pendonor itu bakal diproses dulu biar pas
ditransfusikan memiliki kualitas yang sama dengan saat sedang berada dalam
tubuh pendonor.
“Tapi kenapa bayarnya mahal? Sekantong sampai ratusan
ribu,” Ibing masih protes.
“Soalnya BPPD emang mahal bing. Ni ya, kantong darah
yang dirancang khusus biar darah nggak mudah beku dan rusak, itu masih impor.
Dan harganya mahal. Selain itu, nggak semua komponen darah dibutuhkan oleh pasien,
jadi harus dipisahkan. Nha, proses pemisahan komponen darah ini memakan waktu
yang panjang dan biayanya juga besar. Belum lagi biaya operasional seperti alat
penyimpanan, mesin proses, dan tenaga medis. Emang itu semua nggak bayar?”
“Kenapa nggak disubsidi pemerintah biar bisa gratis?”
Ibing masih ngeyel.
“Udah. Tapi karena biayanya memang besar, pemerintah
nggak bisa membiayai seluruhnya. Apalagi kebutuhan darah itu besar lho Bing,”
jawabku.
“Tetep aja. Mending Ibing langsung donor kalau ada
teman atau sodara yang membutuhkan,” katanya. Aku menghela nafas sejenak.
“Gini lho, Bing. Faktanya, setiap Negara di dunia ini
membutuhkan 5% kantong darah dari total jumlah penduduknya setiap tahun. Kalau
Indonesia penduduknya ada 250 juta jiwa, berarti kita butuh 5 juta kantong
darah setiap tahun. Satu dari delapan orang Indonesia membutuhkan transfusi
darah setiap hari. Sementara itu, cuma satu dari delapan puluh orang di
Indonesia yang secara sadar sukarela mendonorkan darahnya. PMI hanya mampu
mengumpulkan sekitar 3,5 juta kantong setiap tahun. Kita masih kekurangan 1,5
juta kantong per tahunnya. Makanya kadang keluarga pasien masih kepusingan
nyari donor. Kalau stok di bank darah mencukupi, temen-temen atau saudaranya
Ibing yang butuh darah nggak harus ketimpringan nyari donor ke sana ke mari,”
jelasku.
Ibing nggak jawab lagi. Mungkin butuh waktu untuk
merenungi penjelasanku. Entahlah.
“Selain itu, bagi pendonor juga banyak manfaatnya loh
buat kesehatan. Tapi kalau aku sih nggak mikirin itu. Niatnya donor buat
membantu. Aku nggak bisa ngebayangin aja sih misalnya keluarga kita lagi butuh
darah dan stok di bank darah pas habis. Gimana pusingnya coba? Nyari pendonor,
iya kalau ada yang mau. Ada yang maupun, iya kalau pas cocok. Nyawa lho ini
urusannya,” aku menambahi.
“Yang jelas, setetes darah dari kita bisa membantu
mereka yang membutuhkan. Dan kadang, itu berarti menyelamatkan nyawa orang
lain. Aku sadar selama hidup ini aku belum bisa ngasih banyak buat kemanusiaan.
Makanya seenggaknya aku donor darah. Kita toh nggak rugi,” kataku menutup
obrolan.
Sebenarnya bukan cuma Ibing yang berpikiran seperti
itu. Masih banyak orang yang ragu untuk mendonorkan darahnya karena
kekhawatiran-kekhawatiran seperti PMI memperjual belikan darah, atau yang
lainnya. Aku juga nggak akan maksa orang lain buat donor darah, enggak. Cuma
gaes, aku sekali lagi mau bilang: setetes keikhlasan kita bisa jadi kesempatan
hidup bagi orang lain. Kelihatannya memang sepele, tapi bermakna besar. Yuk,
donor!
0 komentar