Cangkir Kopi

by - 19.50.00




Ditakdirkan menjadi cangkir ternyata tidak terlalu menyenangkan. Aku ditakdirkan untuk menampung cerita setiap hari. Cerita-cerita dari orang yang bahagia, cerita-cerita dari orang yang terluka. Kafe Daun tempatku berada tidak terlalu ramai. Tapi tetap saja kental akan cerita. 

Dari sekian banyak cerita yang pernah kutampung, ada satu yang menjadi favoritku. Cerita seorang gadis. Nirmala namanya. Cerita yang satu itu, tidak pernah kutumpahkan. Kukenang selamanya sebagai noda cokelat di dasar tubuhku. Kadang-kadang, Dona, waitress di kafe ini jadi jengkel karena noda membandel yang tak kunjung hilang meski telah berkali-kali digosok dengan busa, dan bahkan baking soda.
Tapi aku sudah memutuskan untuk tidak lupa. Sekalipun itu membuatku tak lagi digunakan. Sekalipun itu membuatku bukan cangkir lagi. 

Gadis pemilik cerita itu datang hampir tiap malam. Kalau beruntung, aku akan menjadi salah satu dari banyak cangkir kopi yang dipesannya. Seperti hari ini. Aku sangat beruntung karena aku menajdi yang pertama. Dan menjadi yang pertama berarti aku memiliki kesempatan untuk mengintip ke dalam buku catatannya. Buku tempat dia menuliskan cerita-cerita.

Cangkir kopi ke delapan ratus tiga puluh satu. Wow! Kuharap manusia tidak mati gara-gara terlalu banyak minum kopi. Dia selalu menuliskan angka baru setiap memesan secangkir kopi. Di bawahnya, dia menuliskan banyak hal. Dari hal-hal yang membuatnya sedih, sampai hal-hal yang dia kagumi. 

Di salah satu catatannya, dia menulis catatan tentang alasannya selalu memilih meja yang sama. Semua meja di Kafe Daun memiliki bentuk dan model yang berbeda. Dan dia selalu memilih yang satu ini. Meja kayu bercat putih, dengan sofa berbantal. Tapi bukan model maupun warna dari meja ini yang membuatnya memilih. Dia menyukainya karena posisinya yang berada di pinggir dekat jendela, tempat dia bisa memandangi trotoar dan pantulan lampu-lampu di kaca. Katanya, lampu-lampu itu jadi terlihat mirip kunang-kunang. Aku mengerti. Tidak mudah menemukan kunang-kunang di sekitar sini. Selain itu, diam-diam dia selalu ingin menjadi kecil dan bercahaya. Kemudian terbang dan hinggap di dahan pohon. Impian yang dia harap bisa terwujud di kehidupan yang berikutnya.

“Reinkarnasi menjadi kunang-kunang? Bwahahahahaha,” laki-laki itu, Raya, tertawa terpingkal-pingkal. Dia bahkan memegangi perutnya dan memukul-mukul meja dan baru berhenti saat Nirmala memelototinya. Kejadian itu sudah lama sekali. Nirmala tidak berusaha mendebat, apalagi menjelaskan Dia juga tidak repot-repot memadamkan impiannya. Dia masih ingin menjadi kunang-kunang. Membantu semut-semut membangun sarang di bawah tanah. Dia pernah membaca dongeng tentang kelompok semut yang bekerja sama dengan kunang-kunang. Dan dia ingin menjadi bagian dari persahabatan itu. 

Satu hal yang mungkin tidak diketahui manusia adalah, mereka meninggalkan jejak esensi pada benda-benda yang disentuhnya. Dan kami, benda-benda ini, memiliki kemampuan untuk merasakan emosi manusia. Masing-masing benda memiliki ketebalan jejak yang berbeda-beda. Benda-benda yang jarang disentuh, seperti langit-langit, memiliki jejak emosi yang samar. Sedangkan benda yang sering disentuh seperti gagang pintu, dan sialnya, cangkir seperti aku, memiliki jejak paling kuat. Itu sebabnya setiap habis menampung cerita, saat Dona mencuciku, aku biasanya selalu memuntahkan emosi-emosi itu. Sekali lagi, kecuali yang satu ini. 

Emosi yang kurasakan setiap kali orang menyentuhku beragam. Marah, sedih, stress, tertekan, bebas, damai, takut, dan banyak lagi. Aku bahkan bisa merasakan ketika orang mati rasa. Bukankah itu tidak masuk akal? Mungkin emosi bisa diibaratkan rasa. Kesedihan yang pahit, kebahagiaan yang manis, mati rasa yang, hemm, hambar. 

Nirmala menyentuhku, pelan-pelan mengangkatku lalu menggenggamku dengan dua tangan. Sementara dia memandang ke luar jendela, aku merasakan emosi yang familiar. Emosi dominan yang dia kirimkan ke sekujur tubuhku tiap kali ia menyentuhku akhir-akhir ini. Kerinduan. Aku tahu siapa yang dia rindukan. Laki-laki yang menertawakan impiannya menjadi kunang-kunang. Dulu, laki-laki itu sering menemaninya minum kopi. 

“Kamu itu belagu banget deh. Mau ngopi aja ke kafe mulu,” ujar Raya suatu kali.
“Bukannya gitu. Aku ini pembuat kopi yang payah, tau!” jawab Nirmala.
“Makanya kalau bikin kopi jangan ditaburi terlalu banyak kenangan,” Raya tersenyum miring. Gadisku berhenti menyesap kopinya, lalu tertawa. Kalau saja kalian tahu seperti apa tawanya. Itu adalah sejenis tawa yang ingin kau botolkan, kau jaga agar jangan sampai pecah, kemudian kau buka tutupnya agar bisa mendengarkannya lagi berkali-kali. 

“Lagi pula, aku suka tempat ini karena tempat ini sepi. Aku suka sepi. Keramaian mencekikku,” katanya sambil membelaiku dengan tangan kanannya.
Solitude is fine, but you need someone to tell you that solitude is fine,” kata Raya mengutip Honore de Balzac.
“Nggak butuh. Aku sudah tahu kok,” kata Nirmala keras kepala.
“Terserah deh. Ngomong-ngomong, kesukaan pada kesendirian itu menunjukkan tingkat kematangan seseorang. Kesendirian pada usia muda itu menyakitkan, tapi jadi menyenangkan pada usia dewasa,” kali ini Raya mengutip Albert Einstein.
“Mungkin. Mungkin sekarang ini aku sudah melewati masa-masa labil dan menjadi lebih dewasa,” Nirmala menjawab sambil mengangkat bahunya.
“Kamu bener-bener nggak paham maksudku deh,” Raya menghempaskan tubuhnya ke sandaran sofa. Nirmala memandanginya dengan sorot bertanya-tanya.
“Itu artinya…,” Raya sengaja berhenti untuk menghembuskan nafas dan mencondongkan tubuhnya ke depan, “Kamu sudah tua,” lanjutnya sambil mengacak-acak rambut Nirmala.
Nirmala mengerucutkan bibir dan berusaha terlihat secemberut mungkin, tapi dari getaran emosi yang kurasakan, dia bahagia. 

Setelah malam itu, mereka sering bertemu di kafe. Minum bercangkir-cangkir kopi bersama sambil berbagi cerita. Aku tidak selalu di sana jadi aku tidak tahu persis apa saja yang mereka bicarakan. Kadang aku melihat mereka dari meja yang jauh, atau dari rak di konter. Kadang obrolan mereka begitu seriusnya sampai-sampai Nirmala mengerutkan kening sambil memandang menembus jendela kaca, tanda dia sedang berpikir. Kadang mereka tertawa terbahak-bahak sampai mengeluarkan air mata. Kalau di dunia cangkir, mereka itu bagaikan cangkir dengan tatakannya. Serasi, pas, saling melengkapi. 

Tapi kemudian, sama mendadaknya seperti hujan yang turun di musim kemarau, laki-laki itu tidak pernah muncul lagi. Sejak saat itulah Nirmala membawa buku catatan. Sejak aku lebih sering merasakan sesuatu yang sedih tentang kesendiriannya. Dulu, dia suka sendiri. Dia suka sepi, tapi dia tidak kesepian. Sekarang, kesendirian malah jauh lebih menyakitkan daripada yang diingatnya semasa remaja. Nirmala sering bertanya-tanya, apakah Albert Einstein salah, atau sebenarnya dia memang sama sekali belum dewasa?
Aku pernah membaca salah satu catatannya di bawah cangkir kopi ke-enam. Di situ dia menulis kalau Raya sudah berhenti minum kopi.

Kopinya mengandung terlalu banyak kenangan. Itu membunuhnya seperti keramaian mencekikku. Begitu tulisnya. Yang membuatku bersedih bukanlah fakta bahwa laki-laki itu berhenti minum kopi, atau bahwa gadisku sekarang sendiri. Tapi kenangan saat aku merasakan emosi mereka berdua.
Mereka saling jatuh cinta. Emosi itu begitu kuat sampai-sampai mereka tidak harus menyentuhku untuk membuatku merasakannya. Jika perasaan bisa diumpamakan angin, maka meja tempatku diletakkan saat itu pasti sedang dilanda puting beliung.  Betapa Raya menyukai ekspresi Nirmala saat dia sedang berpikir. Betapa Nirmala menyukai lelucon yang membuatnya tertawa sampai menangis. Betapa mereka berdua begitu memahami satu sama lain, hingga tak perlu saling menjelaskan. Bukankah itu manis? Seseorang menyukaimu tanpa butuh penjelasan? 

Nirmala tidak pernah mengatakan perasaannya. Pertama, karena dia khawatir akan ditertawakan, dan kedua, untuk pertama kalinya dia tidak yakin bisa membaca pria. Biasanya, dia pembaca pria yang hebat. Dia tahu saat seorang pria menyukainya, atau menginginkan sesuatu darinya, atau bosan dengannya, dan lain sebagainya. Tapi Raya adalah jenis pria yang sulit ditebak. Apakah dia menyukainya? Apa dia begitu hanya karena dia playboy cap duren tiga? Apa dia memang selalu begini menyenangkan? Apa dia selalu seperti ini dengan semua wanita? Apa dia menganggap dirinya istimewa? Apa dia malah hanya menganggapnya adik? Pertanyaan-pertanyaan itu sering berkelebat di sela-sela obrolan panjang mereka, terutama saat Nirmala mengamati laki-laki itu bicara. Dan dia akan segera menepiskannya. Berusaha meyakinkan diri sendiri kalau cinta tidak selalu harus diungkapkan.

Sedangkan laki-laki itu… hemm, memang benar dia playboy dan punya kemampuan istimewa untuk membuat gadis-gadis mengaguminya. Dia cerdas. Cukup cerdas untuk menyadari kalau Nirmala beberapa kali salah tingkah, beberapa kali tersipu-sipu, beberapa kali gagal fokus, dan sering kali mengamatinya begitu dalam. Ekspresi dan bahasa tubuh gadisku terlalu jelas dan dia menyukai semua itu. Dia memang menyukai Nirmala. Tapi entah karena alasan apa, dia juga menolak untuk mengungkapkannya. Dia menolak untuk mengakui perasaan itu. Bahkan pada dirinya sendiri. Cangkir demi cangkir kopi, obrolan demi obrolan, dihabiskannya dalam penyangkalan. 

Cangkir kopi ke delapan ratus delapan puluh enam.
Hari ini aku melihatnya di tempat parkir. Aku ingin memanggilnya. Senang karena bisa bertemu dengannya setelah sekian lama. Sebelum aku sempat melakukannya, seorang gadis cantik menghampirinya dan menggandeng tangannya. Dan dia mengacak rambut gadis itu, persis seperti yang dulu dia lakukan padaku. Dan mereka terlihat begitu bahagia. Mungkin dia memang tidak pernah menyukaiku. Gadis membosankan yang suka menyendiri. Dia pasti lebih menyukai gadis yang seperti itu. Populer dan punya banyak teman. Mungkin sebenarnya dia tidak berhenti minum kopi sama sekali. mungkin itu hanya alasannya untuk tidak menemuiku. Mungkin dia hanya tak ingin bersamaku.

Gadisku menutup buku catatannya kemudian memandang ke luar jendela kaca sambil menggigiti ujung pulpennya. Saat dia menyentuhku, aku bisa merasakan dia memutuskan untuk mengubur perasaan itu selamanya. Dia percaya waktu akan menyembuhkan semua luka. Waktu akan membuatnya lupa.
Cangkir kopi ke sembilan ratus.
Andai saja aku tidak harus menunggu kehidupan selanjutnya untuk menjadi kunang-kunang. Aku berharap bisa berubah sekarang saja. Aku akan terbang ke rumahnya, mengintipnya dari tempat yang aman. Dia sedang apa?

Selesai menuliskan itu, tiba-tiba saja seseorang muncul.
“Aku boleh duduk di sini ya?” tanya seorang gadis cantik berambut pendek. Nirmala terperangah. Dia menggenggamku terlalu kuat. Pikirannya berkelebat. Gadis di tempat parkir itu? Diikuti perasaan jengkel. Bukankah masih banyak meja lain yang masih kosong? Tapi dia tidak bisa menolak. Akan terlihat terlalu kasar. Nirmala hanya mengangguk sambil berusaha tersenyum.

“Iya,” katanya pendek. Dan langsung merasa bodoh. Kenapa dia tidak bisa mengatakan hal lain? Lagi pula apa yang akan dikatakannya? Hai, kamu pacarnya temanku ya? Tidak mungkin kan, dia ngomong begitu? Yang aneh, gadis berambut pendek itu juga terlihat sama tidak nyamannya. Dia sengaja memilih duduk di meja yang sama, tapi kemudian bingung sendiri sampai-sampai dia mengeluarkan buku kuliah dan pura-pura asyik membaca.

Semenit terasa bagaikan berabad-abad yang menyiksa bagi mereka berdua. Makanya ketika Dona datang untuk menanyakan pesanan, aku merasakan kelegaan memenuhi udara.
“Coklat hangat, dengan marshmellow,” kata gadis berambut pendek. Dona menangguk.
“Tambah kopinya mbak Mala?” tanyanya kemudian.
“Ah, enggak,” jawab Nirmala. Padahal ini baru cangkir pertamanya. Dona mengangguk lagi dan berlalu. Segera saja, udara dipenuhi oleh keheningan yang jauh lebih memekakkan. Tidak ada yang bicara. Bahkan menghela nafaspun ditahan-tahan.
Nirmala punya banyak pertanyaan untuk gadis berambut pendek yang menenggelamkan wajahnya sebanyak mungkin ke dalam buku. Tapi tak ada satupun pertanyaan yang keluar. Sebelum dadanya meledak, gadisku memutuskan pulang lebih awal.

Cangkir kesembilan ratus satu.
Apa yang dilakukan gadis itu di sini kemarin? Jelas sekali dia ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak berani. Seperti aku berani saja. Tapi tetap saja. dia sengaja duduk di meja ini. Di tempat Raya biasa duduk. Dan berdiam diri seperti itu? Apa dia sengaja mengintimidasi? Apa dia ingin menunjukkan betapa dia lebih segalanya dibanding aku?
“Sepertinya aku jatuh cinta pada meja ini,” kata seseorang. Tentu saja. Gadis itu lagi. Memangnya siapa lagi yang begitu isengnya duduk di tempat yang sudah diduduki orang, sedangkan masih banyak tempat kosong? Lagi-lagi Nirmala terperangah. Dia sama sekali tidak belajar dari hari sebelumnya. Emosi Nirmala memancarakan kejengkelan. Setelah mengambil Raya, sekarang gadis itu ingin mengambil mejanya juga? Nirmala mengemasi buku catatannya dan bersiap pergi.

“Tunggu! Jangan pergi! Maaf kalau aku mengganggu,” kata gadis itu. Nirmala menahan kejengkelannya sambil berusaha mengendalikan nafasnya.
“Maaf, aku tidak bermaksud kurang sopan. Aku hanya ingin ngobrol. Oya, namaku Lily,” katanya sambil mengulurkan tangan.
“Mala. Nirmala,” jawab Nirmala sambil menerima uluran tangannya.
“Maaf sudah mengganggumu dua hari ini,” kata Lily.
“Tidak masalah. Bukan kamu yang salah. Aku yang antisosial. Aku emm, suka sendiri,” kata Mala.
“Emm, oke. Aku juga suka sendiri kadang-kadang. Tapi tidak terlalu sering,” Lily nyengir.
“Jadi, kamu selalu duduk di sini?” tanyanya kemudian. Nirmala mengangguk.
“Aku juga suka. Posisinya pas banget,” katanya lagi. Nirmala tersenyum. Memandang pantulan lampu di jendela kaca.
“Lampu ya?” tanya Lily. “Jadi itu yang kamu suka dari tempat ini?” tanyanya.
“Iya. Cantik kan? Seperti kunang-kunang,” jawab Nirmala.
“Kamu suka kunang-kunang?” tanya Lily lagi. Nirmala mengangguk semangat.
“Jangan diketawain ya… di kehidupan yang kedua nanti, aku kepengen jadi kunang-kunang,” kata Mala.
“Aku juga. Bukan jadi kunang-kunang sih. Aku pengennya jadi semut. Mereka itu menakjubkan tahu nggak?” dan malam itu tak terasa berlalu. Mereka mengobrol riuh tentang kunang-kunang, semut, dongeng, dan banyak hal. Tapi tak sekalipun menyinggung tentang Raya. 

Cangkir kopi kesembilan ratus sembilan puluh sembilan.
Kunang-kunang bersahabat dengan semut. Rasanya sekarang aku tak keberatan lagi kalau ternyata tidak pernah ada kehidupan yang kedua dan tidak ada reinkarnasi. Aku sudah punya sahabat semut. Dan ternyata kami cocok. Aku mengerti kenapa Raya memilih Lily. Dia gadis yang menyenangkan. Sekarang aku tidak kesepian lagi.

Nirmala punya hobi baru sekarang. Dia suka mendekorasi ruangan. Hobi baru itu membuatnya tetap sibuk dan membantu perasaannya menjadi lebih baik. Dia juga mengganti buku catatatannya dengan yang baru. Yah setelah catatan terakhirnya di bawah hitungan keseribu.

Cangkir kopi keseribu.
Aku akan berhenti minum kopi. Raya benar. Kopi mengandung terlalu banyak kenangan, dan meskipun tidak membunuh, tetap saja menyakitkan. Aku tak tahan lagi. Tentu saja hitunganku harus berhenti di sini. Kenangan saja sudah buruk. Untuk apa aku menghitungnya setiap hari?
Setelah itu, selama dua hari, Nirmala tidak muncul. Aku mulai khawatir, tapi kemudian dia datang bersama Lily. Di sore hari, bukan malam seperti biasanya. Dona menghampiri mereka dengan notes di tangan.
“Coklat dan kopi?” tanyanya.
Nirmala menggeleng kemudian tersenyum.

“Es coklat, gelas besar. Aku sudah berhenti minum kopi sekarang,” katanya ceria.
“Wah, kenapa?” tanya Dona, tidak menyembunyikan keheranannya.
“Terlalu banyak kenangan. Ha ha ha,” Nirmala tertawa ringan. Tampak begitu baik-baik saja. Lily dan Dona ikut tertawa.
Dari meja sebelah, aku melihat kehidupan gadis yang begitu normal. Aku tersenyum pahit. Andai saja dia tahu. Bukan kopi yang mengandung banyak kenangan, tapi kami, cangkir-cangkir yang sarat jejak emosi. Kemudian aku merasakan emosi baru, rasa cemburu saat Dona menyentuh dan mengangkatku dari meja.
*****



Blog post ini dibuat dlam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory diselenggarakn oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

You May Also Like

0 komentar