Cangkir Kopi
Ditakdirkan
menjadi cangkir ternyata tidak terlalu menyenangkan. Aku ditakdirkan untuk
menampung cerita setiap hari. Cerita-cerita dari orang yang bahagia,
cerita-cerita dari orang yang terluka. Kafe Daun tempatku berada tidak terlalu
ramai. Tapi tetap saja kental akan cerita.
Dari
sekian banyak cerita yang pernah kutampung, ada satu yang menjadi favoritku.
Cerita seorang gadis. Nirmala namanya. Cerita yang satu itu, tidak pernah
kutumpahkan. Kukenang selamanya sebagai noda cokelat di dasar tubuhku.
Kadang-kadang, Dona, waitress di kafe ini jadi jengkel karena noda membandel
yang tak kunjung hilang meski telah berkali-kali digosok dengan busa, dan
bahkan baking soda.
Tapi aku
sudah memutuskan untuk tidak lupa. Sekalipun itu membuatku tak lagi digunakan.
Sekalipun itu membuatku bukan cangkir lagi.
Gadis
pemilik cerita itu datang hampir tiap malam. Kalau beruntung, aku akan menjadi
salah satu dari banyak cangkir kopi yang dipesannya. Seperti hari ini. Aku
sangat beruntung karena aku menajdi yang pertama. Dan menjadi yang pertama
berarti aku memiliki kesempatan untuk mengintip ke dalam buku catatannya. Buku
tempat dia menuliskan cerita-cerita.
Cangkir
kopi ke delapan ratus tiga puluh satu. Wow! Kuharap manusia tidak mati
gara-gara terlalu banyak minum kopi. Dia selalu menuliskan angka baru setiap
memesan secangkir kopi. Di bawahnya, dia menuliskan banyak hal. Dari hal-hal
yang membuatnya sedih, sampai hal-hal yang dia kagumi.
Di salah
satu catatannya, dia menulis catatan tentang alasannya selalu memilih meja yang
sama. Semua meja di Kafe Daun memiliki bentuk dan model yang berbeda. Dan dia
selalu memilih yang satu ini. Meja kayu bercat putih, dengan sofa berbantal.
Tapi bukan model maupun warna dari meja ini yang membuatnya memilih. Dia
menyukainya karena posisinya yang berada di pinggir dekat jendela, tempat dia
bisa memandangi trotoar dan pantulan lampu-lampu di kaca. Katanya, lampu-lampu
itu jadi terlihat mirip kunang-kunang. Aku mengerti. Tidak mudah menemukan
kunang-kunang di sekitar sini. Selain itu, diam-diam dia selalu ingin menjadi
kecil dan bercahaya. Kemudian terbang dan hinggap di dahan pohon. Impian yang
dia harap bisa terwujud di kehidupan yang berikutnya.
“Reinkarnasi
menjadi kunang-kunang? Bwahahahahaha,” laki-laki itu, Raya, tertawa
terpingkal-pingkal. Dia bahkan memegangi perutnya dan memukul-mukul meja dan
baru berhenti saat Nirmala memelototinya. Kejadian itu sudah lama sekali. Nirmala
tidak berusaha mendebat, apalagi menjelaskan Dia juga tidak repot-repot
memadamkan impiannya. Dia masih ingin menjadi kunang-kunang. Membantu
semut-semut membangun sarang di bawah tanah. Dia pernah membaca dongeng tentang
kelompok semut yang bekerja sama dengan kunang-kunang. Dan dia ingin menjadi
bagian dari persahabatan itu.
Satu hal
yang mungkin tidak diketahui manusia adalah, mereka meninggalkan jejak esensi
pada benda-benda yang disentuhnya. Dan kami, benda-benda ini, memiliki
kemampuan untuk merasakan emosi manusia. Masing-masing benda memiliki ketebalan
jejak yang berbeda-beda. Benda-benda yang jarang disentuh, seperti
langit-langit, memiliki jejak emosi yang samar. Sedangkan benda yang sering
disentuh seperti gagang pintu, dan sialnya, cangkir seperti aku, memiliki jejak
paling kuat. Itu sebabnya setiap habis menampung cerita, saat Dona mencuciku,
aku biasanya selalu memuntahkan emosi-emosi itu. Sekali lagi, kecuali yang satu
ini.
Emosi
yang kurasakan setiap kali orang menyentuhku beragam. Marah, sedih, stress,
tertekan, bebas, damai, takut, dan banyak lagi. Aku bahkan bisa merasakan
ketika orang mati rasa. Bukankah itu tidak masuk akal? Mungkin emosi bisa
diibaratkan rasa. Kesedihan yang pahit, kebahagiaan yang manis, mati rasa yang,
hemm, hambar.
Nirmala
menyentuhku, pelan-pelan mengangkatku lalu menggenggamku dengan dua tangan.
Sementara dia memandang ke luar jendela, aku merasakan emosi yang familiar.
Emosi dominan yang dia kirimkan ke sekujur tubuhku tiap kali ia menyentuhku
akhir-akhir ini. Kerinduan. Aku tahu siapa yang dia rindukan. Laki-laki yang
menertawakan impiannya menjadi kunang-kunang. Dulu, laki-laki itu sering
menemaninya minum kopi.
“Kamu itu
belagu banget deh. Mau ngopi aja ke kafe mulu,” ujar Raya suatu kali.
“Bukannya
gitu. Aku ini pembuat kopi yang payah, tau!” jawab Nirmala.
“Makanya
kalau bikin kopi jangan ditaburi terlalu banyak kenangan,” Raya tersenyum
miring. Gadisku berhenti menyesap kopinya, lalu tertawa. Kalau saja kalian tahu
seperti apa tawanya. Itu adalah sejenis tawa yang ingin kau botolkan, kau jaga
agar jangan sampai pecah, kemudian kau buka tutupnya agar bisa mendengarkannya
lagi berkali-kali.
“Lagi
pula, aku suka tempat ini karena tempat ini sepi. Aku suka sepi. Keramaian
mencekikku,” katanya sambil membelaiku dengan tangan kanannya.
“Solitude is fine, but you need someone to
tell you that solitude is fine,” kata Raya mengutip Honore de Balzac.
“Nggak
butuh. Aku sudah tahu kok,” kata Nirmala keras kepala.
“Terserah
deh. Ngomong-ngomong, kesukaan pada kesendirian itu menunjukkan tingkat
kematangan seseorang. Kesendirian pada usia muda itu menyakitkan, tapi jadi
menyenangkan pada usia dewasa,” kali ini Raya mengutip Albert Einstein.
“Mungkin.
Mungkin sekarang ini aku sudah melewati masa-masa labil dan menjadi lebih
dewasa,” Nirmala menjawab sambil mengangkat bahunya.
“Kamu
bener-bener nggak paham maksudku deh,” Raya menghempaskan tubuhnya ke sandaran
sofa. Nirmala memandanginya dengan sorot bertanya-tanya.
“Itu
artinya…,” Raya sengaja berhenti untuk menghembuskan nafas dan mencondongkan
tubuhnya ke depan, “Kamu sudah tua,” lanjutnya sambil mengacak-acak rambut
Nirmala.
Nirmala
mengerucutkan bibir dan berusaha terlihat secemberut mungkin, tapi dari getaran
emosi yang kurasakan, dia bahagia.
Setelah
malam itu, mereka sering bertemu di kafe. Minum bercangkir-cangkir kopi bersama
sambil berbagi cerita. Aku tidak selalu di sana jadi aku tidak tahu persis apa
saja yang mereka bicarakan. Kadang aku melihat mereka dari meja yang jauh, atau
dari rak di konter. Kadang obrolan mereka begitu seriusnya sampai-sampai Nirmala
mengerutkan kening sambil memandang menembus jendela kaca, tanda dia sedang
berpikir. Kadang mereka tertawa terbahak-bahak sampai mengeluarkan air mata.
Kalau di dunia cangkir, mereka itu bagaikan cangkir dengan tatakannya. Serasi,
pas, saling melengkapi.
Tapi
kemudian, sama mendadaknya seperti hujan yang turun di musim kemarau, laki-laki
itu tidak pernah muncul lagi. Sejak saat itulah Nirmala membawa buku catatan.
Sejak aku lebih sering merasakan sesuatu yang sedih tentang kesendiriannya.
Dulu, dia suka sendiri. Dia suka sepi, tapi dia tidak kesepian. Sekarang,
kesendirian malah jauh lebih menyakitkan daripada yang diingatnya semasa
remaja. Nirmala sering bertanya-tanya, apakah Albert Einstein salah, atau
sebenarnya dia memang sama sekali belum dewasa?
Aku
pernah membaca salah satu catatannya di bawah cangkir kopi ke-enam. Di situ dia
menulis kalau Raya sudah berhenti minum kopi.
Kopinya mengandung terlalu banyak kenangan. Itu
membunuhnya seperti keramaian mencekikku. Begitu tulisnya. Yang
membuatku bersedih bukanlah fakta bahwa laki-laki itu berhenti minum kopi, atau
bahwa gadisku sekarang sendiri. Tapi kenangan saat aku merasakan emosi mereka
berdua.
Mereka
saling jatuh cinta. Emosi itu begitu kuat sampai-sampai mereka tidak harus
menyentuhku untuk membuatku merasakannya. Jika perasaan bisa diumpamakan angin,
maka meja tempatku diletakkan saat itu pasti sedang dilanda puting
beliung. Betapa Raya menyukai ekspresi Nirmala
saat dia sedang berpikir. Betapa Nirmala menyukai lelucon yang membuatnya
tertawa sampai menangis. Betapa mereka berdua begitu memahami satu sama lain,
hingga tak perlu saling menjelaskan. Bukankah itu manis? Seseorang menyukaimu
tanpa butuh penjelasan?
Nirmala
tidak pernah mengatakan perasaannya. Pertama, karena dia khawatir akan ditertawakan,
dan kedua, untuk pertama kalinya dia tidak yakin bisa membaca pria. Biasanya,
dia pembaca pria yang hebat. Dia tahu saat seorang pria menyukainya, atau
menginginkan sesuatu darinya, atau bosan dengannya, dan lain sebagainya. Tapi
Raya adalah jenis pria yang sulit ditebak. Apakah dia menyukainya? Apa dia
begitu hanya karena dia playboy cap duren tiga? Apa dia memang selalu begini
menyenangkan? Apa dia selalu seperti ini dengan semua wanita? Apa dia
menganggap dirinya istimewa? Apa dia malah hanya menganggapnya adik?
Pertanyaan-pertanyaan itu sering berkelebat di sela-sela obrolan panjang
mereka, terutama saat Nirmala mengamati laki-laki itu bicara. Dan dia akan
segera menepiskannya. Berusaha meyakinkan diri sendiri kalau cinta tidak selalu
harus diungkapkan.
Sedangkan
laki-laki itu… hemm, memang benar dia playboy dan punya kemampuan istimewa
untuk membuat gadis-gadis mengaguminya. Dia cerdas. Cukup cerdas untuk
menyadari kalau Nirmala beberapa kali salah tingkah, beberapa kali
tersipu-sipu, beberapa kali gagal fokus, dan sering kali mengamatinya begitu
dalam. Ekspresi dan bahasa tubuh gadisku terlalu jelas dan dia menyukai semua
itu. Dia memang menyukai Nirmala. Tapi entah karena alasan apa, dia juga
menolak untuk mengungkapkannya. Dia menolak untuk mengakui perasaan itu. Bahkan
pada dirinya sendiri. Cangkir demi cangkir kopi, obrolan demi obrolan,
dihabiskannya dalam penyangkalan.
Cangkir kopi ke delapan ratus delapan puluh enam.
Hari ini aku melihatnya di tempat parkir. Aku ingin
memanggilnya. Senang karena bisa bertemu dengannya setelah sekian lama. Sebelum
aku sempat melakukannya, seorang gadis cantik menghampirinya dan menggandeng
tangannya. Dan dia mengacak rambut gadis itu, persis seperti yang dulu dia
lakukan padaku. Dan mereka terlihat begitu bahagia. Mungkin dia memang tidak
pernah menyukaiku. Gadis membosankan yang suka menyendiri. Dia pasti lebih
menyukai gadis yang seperti itu. Populer dan punya banyak teman. Mungkin sebenarnya
dia tidak berhenti minum kopi sama sekali. mungkin itu hanya alasannya untuk
tidak menemuiku. Mungkin dia hanya tak ingin bersamaku.
Gadisku
menutup buku catatannya kemudian memandang ke luar jendela kaca sambil
menggigiti ujung pulpennya. Saat dia menyentuhku, aku bisa merasakan dia
memutuskan untuk mengubur perasaan itu selamanya. Dia percaya waktu akan
menyembuhkan semua luka. Waktu akan membuatnya lupa.
Cangkir kopi ke sembilan ratus.
Andai saja aku tidak harus menunggu kehidupan
selanjutnya untuk menjadi kunang-kunang. Aku berharap bisa berubah sekarang
saja. Aku akan terbang ke rumahnya, mengintipnya dari tempat yang aman. Dia
sedang apa?
Selesai
menuliskan itu, tiba-tiba saja seseorang muncul.
“Aku
boleh duduk di sini ya?” tanya seorang gadis cantik berambut pendek. Nirmala
terperangah. Dia menggenggamku terlalu kuat. Pikirannya berkelebat. Gadis di
tempat parkir itu? Diikuti perasaan jengkel. Bukankah masih banyak meja lain
yang masih kosong? Tapi dia tidak bisa menolak. Akan terlihat terlalu kasar. Nirmala
hanya mengangguk sambil berusaha tersenyum.
“Iya,”
katanya pendek. Dan langsung merasa bodoh. Kenapa dia tidak bisa mengatakan hal
lain? Lagi pula apa yang akan dikatakannya? Hai, kamu pacarnya temanku ya?
Tidak mungkin kan, dia ngomong begitu? Yang aneh, gadis berambut pendek itu
juga terlihat sama tidak nyamannya. Dia sengaja memilih duduk di meja yang
sama, tapi kemudian bingung sendiri sampai-sampai dia mengeluarkan buku kuliah dan
pura-pura asyik membaca.
Semenit
terasa bagaikan berabad-abad yang menyiksa bagi mereka berdua. Makanya ketika
Dona datang untuk menanyakan pesanan, aku merasakan kelegaan memenuhi udara.
“Coklat
hangat, dengan marshmellow,” kata gadis berambut pendek. Dona menangguk.
“Tambah
kopinya mbak Mala?” tanyanya kemudian.
“Ah,
enggak,” jawab Nirmala. Padahal ini baru cangkir pertamanya. Dona mengangguk
lagi dan berlalu. Segera saja, udara dipenuhi oleh keheningan yang jauh lebih
memekakkan. Tidak ada yang bicara. Bahkan menghela nafaspun ditahan-tahan.
Nirmala
punya banyak pertanyaan untuk gadis berambut pendek yang menenggelamkan
wajahnya sebanyak mungkin ke dalam buku. Tapi tak ada satupun pertanyaan yang
keluar. Sebelum dadanya meledak, gadisku memutuskan pulang lebih awal.
Cangkir kesembilan ratus satu.
Apa yang dilakukan gadis itu di sini kemarin? Jelas
sekali dia ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak berani. Seperti aku berani
saja. Tapi tetap saja. dia sengaja duduk di meja ini. Di tempat Raya biasa
duduk. Dan berdiam diri seperti itu? Apa dia sengaja mengintimidasi? Apa dia
ingin menunjukkan betapa dia lebih segalanya dibanding aku?
“Sepertinya
aku jatuh cinta pada meja ini,” kata seseorang. Tentu saja. Gadis itu lagi.
Memangnya siapa lagi yang begitu isengnya duduk di tempat yang sudah diduduki
orang, sedangkan masih banyak tempat kosong? Lagi-lagi Nirmala terperangah. Dia
sama sekali tidak belajar dari hari sebelumnya. Emosi Nirmala memancarakan
kejengkelan. Setelah mengambil Raya, sekarang gadis itu ingin mengambil mejanya
juga? Nirmala mengemasi buku catatannya dan bersiap pergi.
“Tunggu!
Jangan pergi! Maaf kalau aku mengganggu,” kata gadis itu. Nirmala menahan
kejengkelannya sambil berusaha mengendalikan nafasnya.
“Maaf,
aku tidak bermaksud kurang sopan. Aku hanya ingin ngobrol. Oya, namaku Lily,”
katanya sambil mengulurkan tangan.
“Mala.
Nirmala,” jawab Nirmala sambil menerima uluran tangannya.
“Maaf
sudah mengganggumu dua hari ini,” kata Lily.
“Tidak
masalah. Bukan kamu yang salah. Aku yang antisosial. Aku emm, suka sendiri,”
kata Mala.
“Emm,
oke. Aku juga suka sendiri kadang-kadang. Tapi tidak terlalu sering,” Lily
nyengir.
“Jadi,
kamu selalu duduk di sini?” tanyanya kemudian. Nirmala mengangguk.
“Aku juga
suka. Posisinya pas banget,” katanya lagi. Nirmala tersenyum. Memandang
pantulan lampu di jendela kaca.
“Lampu
ya?” tanya Lily. “Jadi itu yang kamu suka dari tempat ini?” tanyanya.
“Iya.
Cantik kan? Seperti kunang-kunang,” jawab Nirmala.
“Kamu
suka kunang-kunang?” tanya Lily lagi. Nirmala mengangguk semangat.
“Jangan
diketawain ya… di kehidupan yang kedua nanti, aku kepengen jadi kunang-kunang,”
kata Mala.
“Aku
juga. Bukan jadi kunang-kunang sih. Aku pengennya jadi semut. Mereka itu
menakjubkan tahu nggak?” dan malam itu tak terasa berlalu. Mereka mengobrol
riuh tentang kunang-kunang, semut, dongeng, dan banyak hal. Tapi tak sekalipun
menyinggung tentang Raya.
Cangkir kopi kesembilan ratus sembilan puluh sembilan.
Kunang-kunang bersahabat dengan semut. Rasanya
sekarang aku tak keberatan lagi kalau ternyata tidak pernah ada kehidupan yang
kedua dan tidak ada reinkarnasi. Aku sudah punya sahabat semut. Dan ternyata
kami cocok. Aku mengerti kenapa Raya memilih Lily. Dia gadis yang menyenangkan.
Sekarang aku tidak kesepian lagi.
Nirmala punya
hobi baru sekarang. Dia suka mendekorasi ruangan. Hobi baru itu membuatnya
tetap sibuk dan membantu perasaannya menjadi lebih baik. Dia juga mengganti
buku catatatannya dengan yang baru. Yah setelah catatan terakhirnya di bawah
hitungan keseribu.
Cangkir kopi keseribu.
Aku akan berhenti minum kopi. Raya benar. Kopi
mengandung terlalu banyak kenangan, dan meskipun tidak membunuh, tetap saja
menyakitkan. Aku tak tahan lagi. Tentu saja hitunganku harus berhenti di sini.
Kenangan saja sudah buruk. Untuk apa aku menghitungnya setiap hari?
Setelah
itu, selama dua hari, Nirmala tidak muncul. Aku mulai khawatir, tapi kemudian
dia datang bersama Lily. Di sore hari, bukan malam seperti biasanya. Dona
menghampiri mereka dengan notes di tangan.
“Coklat
dan kopi?” tanyanya.
Nirmala
menggeleng kemudian tersenyum.
“Es coklat,
gelas besar. Aku sudah berhenti minum kopi sekarang,” katanya ceria.
“Wah,
kenapa?” tanya Dona, tidak menyembunyikan keheranannya.
“Terlalu
banyak kenangan. Ha ha ha,” Nirmala tertawa ringan. Tampak begitu baik-baik
saja. Lily dan Dona ikut tertawa.
Dari meja
sebelah, aku melihat kehidupan gadis yang begitu normal. Aku tersenyum pahit.
Andai saja dia tahu. Bukan kopi yang mengandung banyak kenangan, tapi kami,
cangkir-cangkir yang sarat jejak emosi. Kemudian aku merasakan emosi baru, rasa
cemburu saat Dona menyentuh dan mengangkatku dari meja.
*****Blog post ini dibuat dlam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory diselenggarakn oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
0 komentar