Bagaimana Film Soul Surfer Mengajariku untuk Tidak Manja
Oke, sebelumnya, aku mau klarifikasi. Setiap
kali aku nulis tentang film, aku nggak pernah bermaksud untuk menulisnya
sebagai review ya. No! Tapi lebih ke engg, pelajaran apa yang kuambil dari film
itu dan pandanganku terhadap film itu dan lain sebagainya. Clear? Jadi aku sama
sekali nggak mengikuti film yang terbaru. Bisa aja aku mendadak nulis tentang
film jadul kalau aku mau. Dan yahh, aku nggak selalu nulis tentang film yang
baru saja kutonton. Bisa aja aku nontonnya udah berbulan-bulan yang lalu dan
setelah beberapa kali mikir, akhirnya aku baru mau nulis tentang film itu
sekarang. Semuanya lagi-lagi tergantung mood aja sik.
Tapiiii, khusus untuk film yang satu ini, aku
langsung nulis begitu selesai nontonnya. Alasannya antara lain karena malam ini
aku lagi nggak ada kerjaan, belum bisa tidur, masih terlalu muak dengan buku
yang sedang kubaca karena haduuuh membosankan banget, dan yaa, mumpung masih
fresh aja sik. Jadi aku belum banyak lupa dan nggak usah susah-susah
nengok-nengok lagi ke filmnya. Hehehe.
Dari judulnya udah ketahuan yah, ini film
tentang peselancar. Belum nonton aja aku udah suka. Aku nggak bisa surfing sih.
Belum pernah mencoba belajar, lebih tepatnya. Tapi aku selalu suka dengan
apapun yang berhubungan dengan laut, atau air. Yaa, kadang-kadang aku mikir apa
jangan-jangan aku ini reinkarnasi dari ubur-ubur?
Tadinya tak kirain ini film seru-seruan surfing
mirip kaya film Point Break gitu lah. Nggak taunya itu film motivasi. Eh, nggak
tahu ding, dimaksudkan untuk motivasi apa enggak. Yang jelas, aku jadi
termotivasi pas selesai nontonnya. Tuhan memang selalu punya cara yang unik
untuk menonjokku biar bangun dan segar bugar kembali saat aku lagi manja. Hehe.
Film ini dibuat berdasarkan kisah nyata.
Tentang seorang surfer bernama Bethany Hamilton yang pas remaja itu tangannya
digigit hiu sampai putus. Ini beneran, ada orangnya beneran di kehidupan nyata.
Ngeri nggak sih gaes? Putus tus setangan-tangan lho. Dan itu terjadi pas karir
berselancarnya lagi nanjak-nanjaknya. Habis dapet juara satu, baru dapet
sponsor, dan lagi persiapan buat kompetisi berikutnya.
Yang bikin keren itu, di filmnya diceritakan
kalau Bethany sama sekali nggak panik. Sedih? Iya, dia nangis pas cerita sama
temennya. Tapi dia sama sekali nggak panik dan apalagi tenggelam ke dasar
kesedihan seperti yang mungkin akan aku lakukan kalau aku yang mengalami.
Bethany malah ceria, menguatkan semua orang di
sekitarnya, and she didn’t give up surfing. Dia latihan dong, latihan keras.
Latihan fisik, latihan menakhlukkan ombak. Dia ikut kompetisi dan nggak mau
diperlakukan istimewa seperti dikasih tambahan waktu. Sempet kalah di awal,
trus juara lima, sampai akhirnya jadi juara satu nasional. Intinya, Bethany
sama sekali nggak manja.
Aku ketampar di sini. Pertama, aku manja. Batuk
dikit aja langsung sok-sokan pengen bermanja-manja selimutan, dibikinin lemon
tea hangat, trus nonton Sponge Bob sesorean. Kedua, di film itu Bethany
menemukan kalau surfing (hal yang dia suka), bukanlah hal terpenting di dunia.
Ada yang lebih besar dari itu yaitu cinta. Mungkin emang klise sih
kedengarannya. Tapi tak pikir bener juga. Kita punya cinta, dikelilingi cinta,
dan kalau kita membagikan cinta kita ke sekitar kita, kita akan bahagia.
Begitulah. Bethany yang tadinya sempet menyerah karena diakui atau tidak,
memegang papan dengan satu tangan memang jauh lebih sulit daripada dua tangan,
akhirnya bangkit lagi. Karena meskipun kalah ternyata dia sudah menginspirasi
banyak anak lain di dunia. Jadi aku mendapat pelajaran penting di sini. Kita
nggak harus selalu menang, yang penting kita mencoba. Kaya Bethany pas juara
lima padahal dia harusnya dapet poin tinggi cuma sayang yang terakhir nggak
diitung karena kehabisan waktu, dia bilang “I don’t come to win. I come to
surf.”
Surfing itu hidupnya, jiwanya. Dia mencintai
surfing dan akan melakukan yang terbaik setiap kali. Menang kalah bukan
masalah, asal sudah melakukan yang terbaik. Lagian menang kalah itu di hadapan
siapa sih? Nggak lebih dari sekedar pengakuan manusia lain kan? Bethany toh sudah
sangat-sangat memenangkan hidupnya sendiri.
Atau seperti superhero favoritku, Hit Girl
bilang “I don’t wanna win. I wanna make the world a better place.” Dalam hal
ini aku belajar banget, aku nggak perlu pengakuan dari orang lain bahwa aku
benar, bahwa aku hebat. Itu cuma pengakuan.
Yang terpenting adalah apa yang kulakukan.
Beberapa waktu yang lalu ada seseorang yang
salah mengerti aku dan tiba-tiba aja ngasih nasihat yang bahkan nggak
nyambung sama sekali sama aku. Pertamanya aku pusing maksudnya apa sih?
Kemudian selama beberapa waktu setelahnya aku pengen banget menjelaskan, kalau
aku nggak seperti yang dia bilang. Tapi aku jadi mikir, orang yang dengan
mudahnya menjudge tanpa terlebih dahulu berusaha memahami, nggak akan ada
gunanya dikasih penjelasan. They won’t listen karena udah merasa paling benar.
Iya sih, pertamanya aku kayak yang ngebatin dalam hati “Haaah? What are you
talking about? Do you even know what are you talking about?” dan diikuti
perasaan kesal dan sedih, “Kok bisa sih, dia salah ngerti aku? Kok bisa sih aku
dikira kaya gitu? Kok bisa sih dia salah menilai akunya jauh, jauuuuuuuuuh
banget?” dan pengen banget menjelaskan sampai aku nulis surat cinta segala
(yang nggak kukirimkan).
Tapi aku inget temen aku pernah bilang “Nggak
usah menjelaskan. Lakukan saja! Kalau nggak buta juga orang pasti bisa lihat.”
Dan yaaah, setelah tak pikir-pikir lagi, fase menjelaskan untuk mendapatkan
pengakuan bahwa aku benar itu sudah lama berlalu. Pas aku SMP mungkin ya. Mereka
yang nggak paham, yaudah, maklumi aja, Toh setelah aku melakukan tes
kecil-kecilan, yang lain paham kok. Yang nggak paham cuma sebutir palingan. Dan
di titik ini, aku sudah bisa ketawa.
Oke, balik lagi ke Bethany, ini dia Bethany
Hamilton yang asli.
Aku belajar banyak dari dia. Ketangguhan,
keceriaan, nggak panik, nggak manja, nggak menyerah, nggak merengek minta
pengertian dan pengakuan, dan masih tetap berusaha membantu orang lain,
menginspirasi banyak anak lain.
Oya, poin penting lain, Bethany itu punya
keluarga yang kompak banget dan saling mencintai lohh. Menurutku hal ini banyak
sekali berpengaruh ke kepribadian seseorang. Pelajaran banget kalau nanti aku
membangun keluarga, aku akan memastikan anakku mendapatkan banyak cinta dan
dukungan terutama dari orang tuanya. Eyaaaa. Jadi kapan nih kak, kita bangun
rumah tangga? *plak
Final statement, mungkin sama sekali nggak
nyambung dengan pesan moral dari filmnya, tapi aku mau bilang, ini hidup kamu.
Lakukan hal yang kamu cintai dengan sepenuh cinta juga. Ada orang yang salah
paham, ya keep going aja. Nggak ada gunanya memaksakan diri melakukan semua hal
seperti yang menurut mereka benar karena kamu nggak bisa menyenangkan hati
semua orang. Kaya waktu Bethany galau karena temennya marah dia nggak jadi ikut
kerja sosial ke Meksiko karena harus latihan, ibunya bilang, “It’s your call.
If you wanna go, go! If you don’t wanna go, don’t!”
Bahagialah, lakukanlah hal-hal yang membahagiakan, bagikan kebahagiaan sebanyak-banyaknya. Kalaupun masih saja ada orang yang nggak puas dengan apa yang sudah kamu lakukan, well, memang selalu ada orang seperti itu. Dan jujur saja, itu masalah mereka. Nggak perlu membuktikan kalau kamu benar, atau nggak seperti yang mereka pikirkan. Lakukan saja. Bahagia saja. Hidup!
Kalau kamu punya cerita inspiratif seperti Bethany ini, atau malah pengalaman kamu sendiri, cerita ke aku yaa. Kutunggu komentarnya.
Seperti biasa, terimakasih banyak sudah baca.
I love you so much,
Isthar Pelle
0 komentar