Bagaimana Film Soul Surfer Mengajariku untuk Tidak Manja

by - 00.56.00




Oke, sebelumnya, aku mau klarifikasi. Setiap kali aku nulis tentang film, aku nggak pernah bermaksud untuk menulisnya sebagai review ya. No! Tapi lebih ke engg, pelajaran apa yang kuambil dari film itu dan pandanganku terhadap film itu dan lain sebagainya. Clear? Jadi aku sama sekali nggak mengikuti film yang terbaru. Bisa aja aku mendadak nulis tentang film jadul kalau aku mau. Dan yahh, aku nggak selalu nulis tentang film yang baru saja kutonton. Bisa aja aku nontonnya udah berbulan-bulan yang lalu dan setelah beberapa kali mikir, akhirnya aku baru mau nulis tentang film itu sekarang. Semuanya lagi-lagi tergantung mood aja sik.
Tapiiii, khusus untuk film yang satu ini, aku langsung nulis begitu selesai nontonnya. Alasannya antara lain karena malam ini aku lagi nggak ada kerjaan, belum bisa tidur, masih terlalu muak dengan buku yang sedang kubaca karena haduuuh membosankan banget, dan yaa, mumpung masih fresh aja sik. Jadi aku belum banyak lupa dan nggak usah susah-susah nengok-nengok lagi ke filmnya. Hehehe.
Dari judulnya udah ketahuan yah, ini film tentang peselancar. Belum nonton aja aku udah suka. Aku nggak bisa surfing sih. Belum pernah mencoba belajar, lebih tepatnya. Tapi aku selalu suka dengan apapun yang berhubungan dengan laut, atau air. Yaa, kadang-kadang aku mikir apa jangan-jangan aku ini reinkarnasi dari ubur-ubur?
Tadinya tak kirain ini film seru-seruan surfing mirip kaya film Point Break gitu lah. Nggak taunya itu film motivasi. Eh, nggak tahu ding, dimaksudkan untuk motivasi apa enggak. Yang jelas, aku jadi termotivasi pas selesai nontonnya. Tuhan memang selalu punya cara yang unik untuk menonjokku biar bangun dan segar bugar kembali saat aku lagi manja. Hehe.
Film ini dibuat berdasarkan kisah nyata. Tentang seorang surfer bernama Bethany Hamilton yang pas remaja itu tangannya digigit hiu sampai putus. Ini beneran, ada orangnya beneran di kehidupan nyata. Ngeri nggak sih gaes? Putus tus setangan-tangan lho. Dan itu terjadi pas karir berselancarnya lagi nanjak-nanjaknya. Habis dapet juara satu, baru dapet sponsor, dan lagi persiapan buat kompetisi berikutnya.
Yang bikin keren itu, di filmnya diceritakan kalau Bethany sama sekali nggak panik. Sedih? Iya, dia nangis pas cerita sama temennya. Tapi dia sama sekali nggak panik dan apalagi tenggelam ke dasar kesedihan seperti yang mungkin akan aku lakukan kalau aku yang mengalami.
Bethany malah ceria, menguatkan semua orang di sekitarnya, and she didn’t give up surfing. Dia latihan dong, latihan keras. Latihan fisik, latihan menakhlukkan ombak. Dia ikut kompetisi dan nggak mau diperlakukan istimewa seperti dikasih tambahan waktu. Sempet kalah di awal, trus juara lima, sampai akhirnya jadi juara satu nasional. Intinya, Bethany sama sekali nggak manja.
Aku ketampar di sini. Pertama, aku manja. Batuk dikit aja langsung sok-sokan pengen bermanja-manja selimutan, dibikinin lemon tea hangat, trus nonton Sponge Bob sesorean. Kedua, di film itu Bethany menemukan kalau surfing (hal yang dia suka), bukanlah hal terpenting di dunia. Ada yang lebih besar dari itu yaitu cinta. Mungkin emang klise sih kedengarannya. Tapi tak pikir bener juga. Kita punya cinta, dikelilingi cinta, dan kalau kita membagikan cinta kita ke sekitar kita, kita akan bahagia. Begitulah. Bethany yang tadinya sempet menyerah karena diakui atau tidak, memegang papan dengan satu tangan memang jauh lebih sulit daripada dua tangan, akhirnya bangkit lagi. Karena meskipun kalah ternyata dia sudah menginspirasi banyak anak lain di dunia. Jadi aku mendapat pelajaran penting di sini. Kita nggak harus selalu menang, yang penting kita mencoba. Kaya Bethany pas juara lima padahal dia harusnya dapet poin tinggi cuma sayang yang terakhir nggak diitung karena kehabisan waktu, dia bilang “I don’t come to win. I come to surf.” 
Surfing itu hidupnya, jiwanya. Dia mencintai surfing dan akan melakukan yang terbaik setiap kali. Menang kalah bukan masalah, asal sudah melakukan yang terbaik. Lagian menang kalah itu di hadapan siapa sih? Nggak lebih dari sekedar pengakuan manusia lain kan? Bethany toh sudah sangat-sangat memenangkan hidupnya sendiri.
Atau seperti superhero favoritku, Hit Girl bilang “I don’t wanna win. I wanna make the world a better place.” Dalam hal ini aku belajar banget, aku nggak perlu pengakuan dari orang lain bahwa aku benar, bahwa aku hebat. Itu cuma pengakuan.  Yang terpenting adalah apa yang kulakukan.
Beberapa waktu yang lalu ada seseorang yang salah mengerti aku dan tiba-tiba aja ngasih nasihat yang bahkan nggak nyambung sama sekali sama aku. Pertamanya aku pusing maksudnya apa sih? Kemudian selama beberapa waktu setelahnya aku pengen banget menjelaskan, kalau aku nggak seperti yang dia bilang. Tapi aku jadi mikir, orang yang dengan mudahnya menjudge tanpa terlebih dahulu berusaha memahami, nggak akan ada gunanya dikasih penjelasan. They won’t listen karena udah merasa paling benar. Iya sih, pertamanya aku kayak yang ngebatin dalam hati “Haaah? What are you talking about? Do you even know what are you talking about?” dan diikuti perasaan kesal dan sedih, “Kok bisa sih, dia salah ngerti aku? Kok bisa sih aku dikira kaya gitu? Kok bisa sih dia salah menilai akunya jauh, jauuuuuuuuuh banget?” dan pengen banget menjelaskan sampai aku nulis surat cinta segala (yang nggak kukirimkan).
Tapi aku inget temen aku pernah bilang “Nggak usah menjelaskan. Lakukan saja! Kalau nggak buta juga orang pasti bisa lihat.” Dan yaaah, setelah tak pikir-pikir lagi, fase menjelaskan untuk mendapatkan pengakuan bahwa aku benar itu sudah lama berlalu. Pas aku SMP mungkin ya. Mereka yang nggak paham, yaudah, maklumi aja, Toh setelah aku melakukan tes kecil-kecilan, yang lain paham kok. Yang nggak paham cuma sebutir palingan. Dan di titik ini, aku sudah bisa ketawa.
Oke, balik lagi ke Bethany, ini dia Bethany Hamilton yang asli.



Aku belajar banyak dari dia. Ketangguhan, keceriaan, nggak panik, nggak manja, nggak menyerah, nggak merengek minta pengertian dan pengakuan, dan masih tetap berusaha membantu orang lain, menginspirasi banyak anak lain. 

Oya, poin penting lain, Bethany itu punya keluarga yang kompak banget dan saling mencintai lohh. Menurutku hal ini banyak sekali berpengaruh ke kepribadian seseorang. Pelajaran banget kalau nanti aku membangun keluarga, aku akan memastikan anakku mendapatkan banyak cinta dan dukungan terutama dari orang tuanya. Eyaaaa. Jadi kapan nih kak, kita bangun rumah tangga? *plak
Final statement, mungkin sama sekali nggak nyambung dengan pesan moral dari filmnya, tapi aku mau bilang, ini hidup kamu. Lakukan hal yang kamu cintai dengan sepenuh cinta juga. Ada orang yang salah paham, ya keep going aja. Nggak ada gunanya memaksakan diri melakukan semua hal seperti yang menurut mereka benar karena kamu nggak bisa menyenangkan hati semua orang. Kaya waktu Bethany galau karena temennya marah dia nggak jadi ikut kerja sosial ke Meksiko karena harus latihan, ibunya bilang, “It’s your call. If you wanna go, go! If you don’t wanna go, don’t!”

Bahagialah, lakukanlah hal-hal yang membahagiakan, bagikan kebahagiaan sebanyak-banyaknya. Kalaupun masih saja ada orang yang nggak puas dengan apa yang sudah kamu lakukan, well, memang selalu ada orang seperti itu. Dan jujur saja, itu masalah mereka. Nggak perlu membuktikan kalau kamu benar, atau nggak seperti yang mereka pikirkan. Lakukan saja. Bahagia saja. Hidup!

Kalau kamu punya cerita inspiratif seperti Bethany ini, atau malah pengalaman kamu sendiri, cerita ke aku yaa. Kutunggu komentarnya.
Seperti biasa, terimakasih banyak sudah baca.

I love you so much,
Isthar Pelle

You May Also Like

0 komentar