Setelah Nonton Film Zoom: Kita Ini Hanya Cuilan Ide?

by - 01.29.00




Film Zoom ini bagus banget. Ceritanya tentang dunia paralel. Cerita dalam cerita. Hampir mirip Supernova gitu lah. Kalau di KPBJ kan ada Ruben dan Dimas yang menulis cerita, dan paralel dengan itu di dunia nyata ada orangnya beneran. Gitu kan?
Kalau Zoom ini ceritanya tentang cewek, namanya Emma. Profesinya bikin sex doll gitu. Selain itu, dia punya hobi menggambar komik. Dan dia bikin komik tentang cowok. Cowok ini diceritakan sempurna sesuai impian Emma. Namanya Edward, dia sutradara. Edward memproduksi film tentang cewek namanya Michelle. Michelle ini model tapi punya cita-cita pengen jadi penulis. Jadi dia menulis cerita. Cerita tentang apa? Yup, Emma.
Keputusan-keputusan yang mereka lakukan tanpa sadar mempengaruhi hidup satu sama lain yang artinya mempengaruhi kehidupan mereka sendiri-sendiri.
Jadi ceritanya Emma kurang pede dengan ukuran payudaranya. Akhirnya dia melakukan operasi implant payudara. Tapi ternyata setelah operasi dia merasa payudaranya kegedean dan akhirnya malah nggak nyaman. Gara-gara itu semua dia merasa kesal pada Edward, tokoh dalam komiknya yang terlalu sempurna. Dream boy. Jadi dia mengecilkan ukuran penis Edward sampai ukuran kecil banget. Gara-gara mengecilnya penis ini, Edward jadi galau sendiri. Dia nggak bisa bercinta karena malu dan nggak pede. Hal ini berpengaruh ke filmnya. Yang biasanya dia memproduksi film action penuh adegan tembak-tembakan dan ledakan, dia memproduksi film nyeni tentang lesbian, ya si Michelle itu tadi. Masalahnya, semua tindakan Emma itu ya Michelle juga yang menuliskan. Pusing kan?
Di akhir filmnya juga nggak dijelaskan yang asli kehidupan nyata mana, atau justru si pembuat fim pengen menegaskan kalau mereka bertiga aslinya nggak ada yang beneran eksis. Semua cuma sebatas ide di dalam sebuah film yang kutonton. Yang judulnya Zoom itu. Apapun itu, aku sukaaa banget sama idenya.
Hal ini membuatku berpikir kembali. Berpikir kembali karena aku udah pernah mikirin ini sebelumnya. Oke deh, sering banget mikirin hal ini sebenernya.
Gimana kalau aku ini ternyata cuma tokoh rekaan seseorang? Gimana kalau aku ternyata hanyalah ide di dalam kepala seseorang? Bagaimana kalau aku ternyata hanya bagian dari imajinasi seseorang? Dan semua yang kualami ini nggak nyata. Kalian nggak nyata, aku nggak nyata, kehidupan yang kita jalani hanya cerita dari buanyaaaak cerita lain. Aku bahkan pernah bertanya-tanya, bagaimana kalau bumi dan alam semesta yang kita tahu ini hanya satu buku di antara jutaan buku lain di sebuah perpustakaan raksasa? Jadinya menggelikan bukan kalau kita sampai bertengkar, eyel-eyelan, dan bahkan perang padahal kita nggak beneran ada? Hehehe.
Kaya kalau kita bikin artwork deh, misalnya. Kita melukis tentang seseorang yang menderita. Kita melukiskannya dengan teramat sangat baik. Siapa yang tahu kan, kalau kita telah menciptakan ‘kehidupan seseorang’ yang terjebak dalam penderitaan selama-lamanya? Dia merasa menderita banget, padahal bagi kita, ya dia cuma a piece of artwork.
Di Zoom, masing-masing dari mereka akhirnya menyadari sih kalau mereka itu nggak nyata dan ada yang membuat. Akhirnya Michelle nulis di bukunya WAKE UP! Well, mungkin yang kita alami sekarang ini, termasuk tahun-tahun yang mengerikan penuh kesedihan dan hari-hari penuh kejutan yang membahagiakan juga nggak lebih dari sekedar mimpi. Suatu hari nanti kita akan terbangun dan dengan entengnya melanjutkan kehidupan sebagai apapun itu, untuk kemudian tidur dan mimpi yang lain lagi nanti. Atau malah hanya satu di antara kita yang bangun. Aku hanya peran figuran dari cerita seseorang. Cameo yang numpang lewat. Bahkan seorang cameo paling nggak pentingpun di dalam cerita pasti punya latar belakangnya sendiri kan? Mereka cuma nggak dikasih porsi banyak dalam cerita. Atau yahh, masing-masing dari kita adalah pemeran utama dalam cerita kita sendiri, sekaligus cameo untuk cerita orang lain. Tentu saja semua hal ini terlalu membuatku pusing. Jadi kalau kamu pusing juga mikirin ini, berarti kita sama. *tos
Tapi untungnya sih aku malah jadi lebih tenang. Kalau memang begitu, aku nggak perlu terlalu serius menanggapi semua masalah yang datang ke dalam kehidupanku karena itu cuma bagian dari plot cerita. Kalau ada masalah, aku nggak perlu depresi sampai jedug-jedugin kepala ke tembok lagi karena mungkin itu hanya satu klimaks yang selalu diikuti dengan antiklimaks. Dan aku pernah mengalami percakapan lucu dengan Tuhan begini:
Aku        : Tuhan, kenapa sih, hidupku kok gini banget? Up and downnya ekstrim?
Tuhan    : Ibarat kamu nulis cerita, pembacamu bakal seneng nggak kalau ceritanya lempeng-lempeng aja? Kamu lahir, besar, nikah, punya anak, mati tanpa ada masalah sama sekali? Nggak seru kan?
Aku nurut-nurut aja sih, waktu itu. Tapi kali ini duhai maker, kalau Kau membaca ini. Tentu saja Kau membaca ini, You’re my maker, right? Aku cuma mau bilang, tolong dong, pertimbangkan genre lain. Bukannya aku nggak bersyukur dengan ceritaku sekarang. Tapi bisa kali yah, dikurangi dikit unsur drama ala sinetronnya. You know, I try to play it cool, but, masih aja gitu kadang-kadang kejungkel sendiri tanpa peringatan ke plot twist yang sinetron abis dan sorry to say, penontonnya cuma typical ibu-ibu rumah tangga kurang kesibukan.
Bisa kali di ceritaku ditambahin plot seperti emm, aku nemu mesin waktu, gitu misalnya. Atau aku jalan-jalan di luar angkasa kaya di Star Trek, atau aku jadi Wonder Woman dan menyelamatkan dunia, atau aku jadi super villain yang punya banyak minions. Ah, banyak kalau sekedar ide sih. Dan karena ide ini mungkin datangnya dari Kau yang membuatku juga, jadi please, silakan pilih aja yang mana yang paling seru. Asal jangan jatuh di masalah ortu cerai karena perselingkuhan, ditinggal pacar nikah karena menghamili cewek lain, perjodohan, dan sebangsa-bangsa itu lagi yah, yahh. You know, I’m done with that kind of drama. Lagian kenapa sih aku nggak diceritain bertetangga sama professor aja yang bisa membuat kostum spesial yang bisa mengecilkan badan ke ukuran semut? Kenapaaa?
Tapi sebagai ciptaan yang baik dan nggak mau dianggap nggak tau diri, aku tetep makasih banyak lohh atas semua ini. Hidupku masih jauh lebih mendingan lah daripada banyak makhluk lain yang kurang beruntung di luaran sana. Lalat buah, misalnya.
Buat kalian gaes, para pembaca yang budiman, tulisan ini nggak usah dianggap terlalu serius. Kalian kan tahu aku suka becanda. Dan lagian juga, nggak usah serius-serius amat menghadapi hidup ini. Apalagi sampai ngotot-ngototan adu bener sendiri. Wong siapa tahu lho, siapa tahu, kita ini cuma bagian dari imajinasi seseorang. Hanya cuilan ide. Kita hidup sebagai kita yang sekarang mungkin hanya satu kali. Hiduplah dengan hepi.
Sekian.
Seperti biasa, terima kasih sudah baca, dan serius ditunggu lho, komentarnya (kalau yang ini kalian harus serius gaes). ;)

Penuh cinta,
Isthar Pelle

You May Also Like

4 komentar

  1. Pelle.. salam kenal.. pikiran2mu menarik.. nggak banyak anak muda yang kayak kamu �� ��

    Aku pernah baca artikel yang disarikan dari buku journey of soul.. bahwa kita dan Tuhan semesta yang merancang kehidupan kita sendiri sebelum dilahirkan kembali. Tujuannya untuk perkembangan jiwa kita, cuman kita lupa.

    Mungkin di kehidupan berikutnya kamu bisa merancang untuk bertetangga dengan professor ��... namun biasanya trus kamu lupa.. trus ternyata konsekuensi bertetangga dengan profesor yang ajaib. Lalu kamu bertanya2 oh Tuhaaan kenapa aku harus punya tetangga ajaib kayak gitu hehehe..

    ��
    cecilia Adr

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal balik kak Ce. Wah, aku perlu nyari bukunya tuh. Iyaaa, salah satu pertanyaan yang sering banget kutanyakan adalah "Oke fine, aku dulu mungkin udah setuju hidupku kaya gini. Tapi kenapa aku harus lupaaaa? Ini nggak fair!" Hahaha.
      Kalau sekarang udah lebih santai sih. Kalau ada kejadian yang ngeselin palingan aku senyum aja sambil ngebatin "Seriously?" :D

      Hapus
  2. Ilusi?, o waaw--dialogmu di atas hampir-hampir sama dengan isi kepalaku--atau mungkin kita orang yang sama?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa jadi. Mungkin otak kita sebenarnya terkoneksi. :v

      Hapus