Image source: ideklik |
Pesona. Aku akan memanggilmu demikian. Tentu tidak sama dengan apa yang kutuliskan pada selembar roti sarapanku pagi
ini. Aku hanya mengoleskan selai coklat. Banyak sekali selai coklat. Aku suka
roti coklat untuk sarapan. Sedangkan kau, kau tak suka sarapan. Aku menyukai
mendung dan kau menyukai purnama. Perbedaan-perbedaan kecil yang kita jadikan
alasan untuk tidak pernah berdamai dengan perasaan yang sebenarnya.
“Bagaimana purnama bisa terlihat kalau tertutup
mendung?”
“Aku tidak suka purnama.”
“Tapi kau tidak boleh egois.”
“Aku cemburu padanya.”
“Kecemburuanmu tidak beralasan.”
“Sangat beralasan. Kau memujanya.”
“Apa yang salah dengan memujanya?”
Apa memang tidak ada yang salah? Aku hanya ingin kau
melihatku, bukannya bulan bulat sempurna. Itu saja. Tapi kau selalu menganggap
aku sebagai sesuatu yang memang sudah seharusnya ada tanpa perlu diperhatikan.
Seperti batu-batu atau rerumputan di pinggir jalan. Tak ada yang istimewa
dariku.
“Purnama memang sering kali menjadi inspirasi para
penyair menulis puisi. Tapi bagiku, purnama adalah satu-satunya alasan. Kau
mengerti?” kamu berkata demikian.
Aku sudah membaca banyak sekali tullisanmu tentang
purnama. Tentang malam tak pekat dan sinar keemasan yang dipancarkannya. Yang
membuat hatimu terpaut. Menggantung hangat di atas sana. Aku berusaha memahami
kenapa kau begitu tergila-gila padanya sampai membuatmu mengabaikan setiap
gadis lain. Tapi belum. Sepertinya aku belum mengerti.
“Kenapa kau tidak jatuh cinta pada benda langit
lainnya? Bintang, atau meteor?”
“Cinta itu tidak sesederhana matematika yang dalam
persamaan kuadrat bisa disubtitusi. Aku mencintai dia saja. Aku tidak berharap
mencintai siapaun, atau apapun lagi?”
“Selamanya?”
“Ya.”
“Kalau begitu kau tidak akan pernah menikah? Hanya
karena kau mencintai satu benda mati yang bahkan belum tentu tahu kau
memujanya?”
“Aku akan menikah. Ngomong-ngomong, tanpa dia tahu aku
memujanya, aku sudah cukup puas kok.”
“Lalu bagaimana kau akan menikah?”
“Dengan sah.”
“Aku sudah tahu itu. Maksudku, kalau kau memutuskan
hanya akan mencintai dia selamanya, bagaimana kau memilih istrimu?”
“Akan kubiarkan keluargaku yang memilihkannya
untukku.”
“Serius?”
“Tentu saja. Toh aku masih akan mencintai satu
purnama. Dijodohkan tidak membuatku rugi apa-apa.”
“Itu tidak adil. Kasihan istrimu. Bagaimana
perasaannya kalau dia tahu ternyata kau tidak mencintainya?”
“Justru karena itu. Dia perlu tahu. Aku akan
mengatakannya sejak pertama.”
Kalau gadis itu aku, maka aku pasti sangat berduka.
Dia pikir pernikahan itu apa?
“Memangnya ada gadis seperti itu?” aku mulai emosi. Di
luar dugaanku, kau tertawa terbahak-bahak.
“Hei, jumlah perempuan di dunia sudah semakin banyak.
Seorang gadis yang mendapatkan jodoh lelaki baik-baik yang menikah hanya sekali
dan tidak selingkuh saja sudah patut disyukuri.”
Kita memang selalu berdebat mengenai hal ini. Aku
percaya pernikahan itu harus didasarkan pada cinta yang murni. Sedangkan kau,
percaya cinta atau tidak, menganggap pernikahan hanya sebagai legalitas hubungan
seks. Kau tidak menganggapnya lebih dari itu. Kau tidak pernah melibatkan unsur
cinta. Dan kalau aku masih berkeras pada pendapatku, kau mengatakan aku tidak
akan pernah menikah.
Aku mencintaimu. Kata-katanya hanya sesederhana itu.
Tapi aku malas mengakuinya. Rasanya aneh saja tiba-tiba berkata demikian di
tengah-tengah pertengkaran. Kepala batu bertemu kepala logam. Kita memang tidak
serasi.
Kita sama-sama tidak pernah mau mengalah. Meski dalam
hal ini kadang-kadang aku terpaksa berhenti mendebat. Bukan karena aku
mengalah. Aku hanya capek. Sebagian besar pertengkaran kita tidak disebabkan
oleh hal yang bersifat penting atau mendesak. Kita bertengkar hanya karena masalah-masalah
sepele. Seperti anak kecil yang berdebat mengenai mana yang lebih keren,
ultramen atau power ranger?
“Aku ingin pelihara kura-kura,” aku bilang.
“Jangan konyol. Kau tidak bisa memelihara apapun..”
“Aku ingin memelihara satu.”
“Apa kau sudah lupa, semua binatang yang kau coba pelihara
mati.”
“Memangnya itu salahku?”
“Lalu salah siapa lagi?”
“Siapa tahu itu memang sudah takdirnya untuk mati.”
Kau diam kali ini. Mungkin sama sepertiku,
kadang-kadang kau juga merasakan lelah berdebat untuk sesuatu yang tidak ada
gunanya.
“Kau mengatakan padaku bahwa kau akan membiarkan keluargamu
memilihkan jodoh untukumu,” kataku. Kau menoleh. Tidak menyahut. Hanya terlihat
malas.
“Bagaimana kalau ada seorang gadis yang melamarmu?”
Tanyaku kemudian.
“Tidak masalah,” kau menjawab.
“Kau akan menikahinya?”
“Ya. Jadi aku malah tidak usah repot meminta
keluargaku untuk memilihkan jodoh. Dan lagi, aku memiliki tambahan keuntungan.
Aku tahu kalau gadis yang akan kunikahi benar-benar mencintaiku. Maksudku,
tidak mungkin seorang gadis melamar seorang lelaki kalau tidak karena jatuh
cinta kan? Kalian itu, selalu memikirkan cinta di atas segala-galanya,” kau
berkata panjang lebar.
“Kalau begitu, menikahlah denganku,” aku menyahut
cepat. Mungkin bahkan terlalu cepat sampai kau tidak menangkap kata-kataku.
“Menikahlah denganku!” aku mengulanginya dengan pelan
dan tegas. Kau terpana.
“Tidak!”
“Tapi tadi kau mengatakan akan menikahi gadis yang melamarmu.”
“Tapi bukan kamu.”
“Memangnya kenapa? Aku mencintaimu.”
“Justru karena itu. Jangan jatuh cinta padaku. Aku bukan
orang baik.”
“Kan kamu yang bilang, mendapatkan satu jodoh pria
yang hanya menikah sekali dan tidak selingkuh saja sudah patut disyukuri. Lagi
pula aku tidak terlalu peduli. Apa salahnya jatuh cinta pada orang yang tak
baik?”
“Kita sebaiknya…” kata-katamu terputus. Aku menunggu.
“Sebaiknya kau jangan hubungi aku lagi!” putusmu
kemudian.
“Apa kau membenciku karena aku mencinntaimu?”
“Bukan.”
“Lalu apa?” aku bertanya tidak sabar. Terang-terangan
menyatakan cinta padamu saja sudah membuat harga diriku retak. Tambahan aku
memintamu menikahiku. Apa tak terbayang sedikitpun olehmu bagaimana perasaanku
saat ini?
Kau menghela nafas panjang. Aku tidak mengerti apa
sebenarnya yang terlalu berat. Kau sendiri yang mengatakan selamanya hanya akan
mencintai satu purnama. Dan menikahi siapa saja tidak akan menjadi masalah.
Lalu kenapa mendadak ini menjadi masalah yang begitu beratnya?
“Aku rasa itu salah. Aku merasa tidak ingin.”
“Tapi kau bilang….”
“Waktu itu aku hanya asal menjawab, oke? Jangan tanya
lagi!”
Aku seperti dikutuk menjadi patung karena mendadak
seluruh tubuhku sampai otak kaku tak bisa digunakan. Aku tahu perdebatan kita
selama ini tidak ada artinya. Tapi aku sendiri selalu menjawab karena meyakini
jawabanku adalah benar. Bagaimana mungkin kau hanya asal menjawab?
“Aku mencintaimu.” Belum habis pertanyaan- pertanyaan
dalam benakku terjawab, kau malah mengatakan hal yang tidak masuk akal.
“Kalau begitu klop!” aku berseru.
“Tidak. Aku tetap tidak akan menikahimu.”
“Kenapa lagi?”
“Aku rasa ini tidak benar. Itu saja. Aku harap kita
akan terus berteman.”
“Jadi kau menolakku seperti anak remaja ya? Baiklah!
Toh, kalaupun kita tidak menikah tidak ada yang dirugikan,” aku meninggalkanmu.
Dengan ribuan perasaan dongkol di hati. Barteman? Yang benar saja. Aku juga
sering menggunakan alasan itu untuk menolak seseorang. Jadi aku tahu itu juga
hanya alasan. Tidak lebih. Dasar bajingan.
Aku sudah lama sekali tak mendengar kabar darimu. Aku
sudah mencoba membunuh perasaanku sendiri padamu. Aku selalu menganggap setiap lelaki
yang mengabaikanku tidak cukup layak untuk dinanti. Jadi aku menjadikannya ringan.
Berusaha untuk tidak memikirkan apapun lagi tentangmu sampai suatu waktu aku
membaca berita di internet. Seorang Pria Menikahi Purnama. Dasar gila!