Kamar

by - 03.13.00



Image source: Weheartit


Kamar ini penjara. Monster tua mengurungku dalam kegelapan yang membosankan, membuat sakit kepala. Aku berdiam menghabiskan rokok sebatang demi sebatang. Yang pada lidahku, kini terasa seperti neraka. Panas yang asik. Keasikan yang tak lagi asik. Kau tahu? Penjara ini neraka, sayang. Aku bangun setiap siang. Linglung seperti pertapa sakti yang kehilangan kekuatan. Apa yang harus kulakukan? Bertapa lagi sampai seratus tahun ke depan? Ada mimpi tentang teman-teman yang baik. Mungkin aku terlampau merindukan mereka. Ada lagi mimpi tentang laki-laki tak baik. Mungkin aku terlalu membencinya. 

Aku belajar menulis. Tapi ruangan ini terlalu gelap. Tak ada bedanya dengan buta. Di sudut almari tersimpan gitar tua. Senarnya masih utuh tapi tak bisa bersuara. Seperti mata. Mereka menangis tanpa setetespun air mengalir. Di atas lemari, jarum-jarum berkarat karena air yang terus menetes dari langit-langit. Padahal tidak hujan. Di sini aku tak pernah melihat hujan. Jendela sudah tertutup koran lama dan sebagian yang tak tertutup sudah kusam oleh debu. Aku tak mampu melihat apa-apa. Bahkan matahari. Aku tak yakin kapan siang dan kapan malam. Aku hanya mengandalkan jam yang berdetik tanpa suara. Tapi jam juga bisa dimanipulasi. Kau tahu, untuk mengacaukan pikiranku. Untuk mengacaukan segalanya. Satu-satunya cahaya yang kudapat adalah ketika aku menyalakan senter. Senter yang cahayanya selalu berubah. Kadang terang, kadang pilu.

Kamar ini adalah karantina. Aku dipaksa melupakan satu-satunya kenangan yang kupunya. Kenangan tentangmu. Bagaimana bisa? Kamu satu-satunya kenangan itu dan di kamar ini aku tak pernah mendapatkan kenangan baru. Sudah satu tahun utuh. Ingatan tentangmu masih sangat mengganggu. Sepertinya, terapi air menetes dan jarum berkarat itu sama sekali tak ada pengaruhnya. 

Kamar ini adalah ruang kerja, seharusnya. Aku memiliki komputer yang sayangnya tak bisa menyala. Ada buku yang setiap lembarnya sudah habis kutulisi sekaligus habis kubaca. Ada benang dan gunting. Aku membuat seprei, alas tidur. Tapi telah robek dan aku harus menambalnya di mana-mana. Ada lukisan. Wajah orang yang tak kukenal tapi seperti ingin mengatakan sesuatu. Kalau aku cukup gila, aku pasti bisa mendengarnya bercerita. Tapi lukisan itu diam saja. Berarti sepertinya aku tidak gila.

Ada telpon. Banyak sekali telpon. Yang setiap kali aku mengangkatnya aku bisa mendengar orang bicara. Pernah suatu kali aku terkejut karena mendengar suaramu.

“Apa kabar?”
“Aku waras-waras saja.”
“Kerja di mana sekarang?”
“Tidak bekerja.”
“Masih tinggal di kota yang sama?”
“Ya!” 

Sekarang aku tak mau lagi mengangkat telpon. Sekalipun benda itu berdering menyakitkan. Karena sejak saat terakhir itu, suara yang kudengar tak pernah milikmu. Padahal aku butuh suaramu. Aku butuh percakapan kita. Dan seperti setiap kali aku butuh, kau menghilang. Mungkin kau akan datang nanti ketika aku tak membutuhkanmu lagi, tapi, kau juga tahu, itu tak mungkin terjadi.

Aku punya banyak sepatu tapi aku tak pernah memakainya. Padahal aku suka sepatuku. Tapi ruangan ini terlalu sempit untuk berjalan-jalan. Jadi sepatu-sepatu itu kini berdebu dan laba-laba telah menjadikan mereka sarang. Dan aku ingat mendengar lagu-lagu. Nyanyian yang seperti doa. Dalam bahasa yang tak kumengerti.

“Suatu hari aku ingin belajar bahasa korea,” aku pernah bilang padamu. Dulu, sebelum aku dipenjara.
“Kamu mau pergi ke korea?”
“Tidak juga. Aku hanya ingin belajar banyak bahasa.”

Kemudian kau bicara. Lagi-lagi dalam bahasa diam yang tak kumengerti. Tapi aku tahu kau sedang mengatakan sesuatu. Aku bisa melihatnya dari matamu yang terpejam lalu terbuka.

Di kamar ini aku belajar menggambar. Menggambar senyummu yang semenakjubkan bintang jatuh. Aku sering membuat harapan-harapan kecil ketika melihatnya. Sekali dulu, aku pernah pergi ke pegunungan malam-malam. Hanya untuk melihat bintang-bintang. Melihat mereka jatuh menyinari langit. Sekejap. Memabukkan. Dengan cara itulah aku mengingat senyummu yang selalu berupa lengkungan bibir sederhana. Dengan cara itu aku menyiksa diri dengan merindukanmu dan sadar berkali-kali kau tak pernah lagi bersamaku. Dengan cara itu aku berusaha mati bahagia.

Tapi aku di kamar ini sekarang. Dikarantina, dan dilarang membunuh diri sendiri. Kamar ini terkunci. Dari dalam dan dari luar. Aku tak bisa pergi, dan tak ada satu orangpun bisa membawaku pergi. Jelas, ini jebakan maut yang membunuh perlahan-lahan.Tapi aku tak lagi ingin mati. Karena kalau aku mati di sini, aku akan mati dalam sengsara, dalam kegelapan, dan aku benci gelap. Dan di saat-saat genting, biasanya menuju tengah malam versi jam berdetik tanpa suara itu, aku akan merindukan senja. Merindukan matahari tenggelam kita yang baiklah, sekarang biar jadi milikmu saja. Kamar ini tak memiliki matahari, ingat? Aku tak akan pernah melihatnya tenggelam lagi untuk waktu yang lama.

Dalam tidur, aku bermimpi ada yang menggedor-gedor pintu. Tapi pintu itu dikunci dari luar dan dari dalam. Jadi aku melanjutkan tidurku. Lama-lama suaranya menjadi sangat berisik. Aku terbangun karena merasa terganggu. Dia mendobraknya. Merusak dan menghancurkannya dengan mengayunkan bola besi raksasa. Cahaya berebut masuk dengan seketika. Aku semakin buta. Mataku sakit sampai aku harus menutup seluruh tubuhku dengan seprei yang telah tertambal di mana-mana. Tapi dia melepas paksa dan membakarnya di depanku. Kamar ini ikut terbakar dan ia memaksaku pergi. Padahal aku ingin tinggal saja. Aku suka api. Dia tak peduli. Aku diikat dan diseret meski aku menangis. Air menetes deras kali ini. Aku mencintai api itu sama besar seperti aku mencintaimu.

Senja ini adalah kesunyian. Aku benci kesunyian sama seperti aku membenci kegelapan. Tapi dia memenjarakanku lagi sekarang. Dalam kesunyian yang gawat, yang jauh lebih menyiksa dibanding terbakar rindu. Sore ini, dia memaksaku memandang matahari tenggelam. Dia telah memindahkan penjaraku ke dalam senja selamanya. Seingatku senja itu indah. Tapi kali ini entah. Aku dipaksa memandang matahari tenggelam, senja itu. Tanpa boleh mengingatmu.

You May Also Like

0 komentar