Mirror
Image source: artmirrorsart |
Menulis cerita tidak pernah mudah. Terutama katika kau sedang tidak begitu jatuh cinta atau patah hati. But I have to write this down. Cause he said so. Jadi aku memastikan kopiku enak, memutar lagu Justin Timberlake, dan mulai mengetik.
Aku baru saja keluar dari pekerjaanku. Karena yahh, aku sudah tak sanggup lagi mengatasi mual pagi hari setiap kali mencoba menebak apa yang akan dikatakan bos pagi ini, atau pandangan iri (yang biasanya disertai bisik-bisik) senior-senior perempuan ketika melihatku berjalan dengan senyum ceriaku yang biasa. Atau bahkan mata cowok-cowok yang ketika berbicara denganku, tak pernah menatap mataku. You know lah mereka menatap apa. Lebih dari itu semua, aku mau aktif menulis lagi. Juga aktif di kegiatan mengembangkan my so called label and company. That makes me feel way way happier than ever.
“Kemarin pas ngantor di tempat orang aku pasti kesel kalau diomelin soal administrasi yang harus rapi. Sekarang pas ngurus usaha sendiri, baru tahu kalau urusan administrasi berantakan, kacaulah segala-galanya,” aku update status di BBM pagi itu.
“Kamu buka kantor apa? Aku ikuut!” Suneo, cowok ganteng yang ternyata adalah adik kelasku di SMA (aku baru tahu setelah dia cerita melalui chat room facebook) merespon melalui Blackberry messanger.
“Itu, Glambition Id kan cloth line debutanku. Ya ayo kalau mau ikut,” balasku.
“Di mana? Trus gimana? Aku ikut jualin apa gimana?” Err, slow down, tiger! Akhirnya aku menjelaskan bagaimana tepatnya dia bisa bekerjasama dalam hal ini. Perusahaan ini baru mulai dan aku benar-benar belum punya cukup uang untuk menggaji karyawan. Jadi aku tawarkan dia untuk menjadi semacam reseller.
“Aku lihat dulu ya,” katanya. Well, sampai sini aku bingung. Apanya yang mau dilihat? Aku mengerjakan produk berdasarkan pesanan. Dan aku tidak punya kantor. Ruang produksi, administrasi, gudang jadi satu di kamar kos dua kali tiga meter. Kujelaskan itu padanya.
“Kalau mau lebih jelas, aku saja yang ke situ,” kataku. Setahuku dia kuliah di Jogja dan aku sudah lama tidak mengunjungi kota itu. Pasca heart quake yang waktu itu, aku belum pernah ke sana lagi. Dan harusnya ini bisa jadi alasan bagus.
“Aku di rumah sekarang,” katanya. Itu berarti dia tidak di Jogja. Di rumah. Kampung halaman. Sementara aku tidak suka pulang.
Akhirnya, setelah diskusi panjang (aku lupa bagaimana tepatnya obrolan kami), kami memutuskan untuk bertemu di Jogja.
“Tapi aku cuma mau main ke sana. Bukannya jalan-jalan,” dia bilang.
“Bukan masalah. Nanti kita bisa ngobrol lalu aku cari teman buat menemani jalan,” jawabku. Dia membalas dengan emot sedih. Dan membayangkan wajahnya yang ganteng dengan ekspresi seperti itu, cewek normal mana sih yang tega? Tapi aku cuma tertawa.
“Pacarmu anak mana?” tanyaku (err, aku lupa, mungkin berhari-hari setelahnya).
“Aku nggak punya,” jawabnya. Hah? Cowok ganteng dan nggak punya pacar? Baiklah, dia pasti playboy.
“Cowok ganteng sepertimu nggak punya pacar?” tanyaku.
“Aku cuma nggak percaya. Komitmen, cinta, apa sih? Paling juga ujung-ujungnya putus. Sama aja,” balasnya. Well, good point.
“Iya bener,” balasku.
“Aku lebih suka bebas. Kalau suka ya ayo have fun, kalau nggak ya udah. Punya pacar malah repot, kebanyakan ngatur,” dia bilang lagi.
“Setuju! Toss, salaman!” balasku.
“Udah toss, salaman, ciuman iya nggak?” tanyanya.
“Wah, jangan! Dicium cowok ganteng kaya kamu, ntar aku deg-degan,” kataku. But, seriously, baru membayangkan saja jantungku sudah berubah ritmenya. Lebih cepat tentu saja.
“Ya udah kalau nggak mau. Beneran lho ya,” katanya lagi.
“Hahaha. Siapa coba yang bakal nolak cowok ganteng kaya kamu?” maksudku, bayangkan saja. berdua dengan laki-laki setampan dia, dia minta ciuman, dan kau menolak? Kemungkinannya cuma ada dua: kalau nggak idiot, itu cewek pasti frigid.
Setelah beberapa hari berikutnya, obrolan kami semakin kinky saja. Bukan hanya aku yang kegenitan dengan kirim-kirim foto topless padanya, tapi rencana yang dulu-dulunya sebatas ‘buat ngomongin kerja sama bisnis’ beneran udah berubah menjadi kencan. Untuk bercinta.
Week-end yang dijadwalkan. Aku jarang mandi dan dandan kecuali well, pas kerja kantoran beberapa waktu lalu. Tapi minggu ini agaknya aku cukup serius mempersiapkan diri. Kalau tidak cantik di matanya, setidaknya aku keren menurut diriku sendiri. Karena apa? Sudah lamaaaa sejak aku tak berpetualang dengan pria baru dan aku suka itu. Lebih dari itu, aku benar-benar naksir padanya. Tanda-tandanya sudah jelas. Kekaguman yang tak terkontrol, ada. Kekhawatiran yang tak beralasan ketika dia lama tak membalas pesan, ada. Penghuni sepenuh waktu di negeri fantasi, iya.
Dia menjemputku seperti yang dijanjikan.
Aku ingat dia adik kelasku. Harusnya aku pernah juga berpapasan dengannya sekali atau dua kali, tapi entah bagaimana butanya aku sehingga tidak benar-benar sadar kala ada cowok ganteng di sekelilingku. Atau mungkin waktu itu aku memang masih begitu tololnya sehingga belum bisa membedakan cowok ganteng dan tidak. Tapi dia sudah di hadapanku sekarang. Menatapku sepertii … aku tak tahu. Yang jelas aku merasa terintimidasi sekaligus minder pada satu waktu. And for the love oh Gods, aku tak tahu harus mengatakan apa. Ke mana perginya aku yang selalu bisa mencairkan suasana? Jatuh cinta memang selalu membuatmu tolol kan? Tapi aku bahkan tak yakin ini adalah cinta.
Dia tersenyum. Dan rasanya aku ingin membekukan momen itu. Momen ketika dia menatap mataku dengan senyumnya. Aku ingin mengawetkan dan menyimpannya setidaknya sampai seratus tahun yang akan datang.
“Kamu capek?” dia bertanya. Aku menggeleng. “Kamu yang capek,” kataku sok care. Jelas-jelas terdengar tolol. Aku baru akan membuka laman berita online melalui handphone (siapa tahu ada berita bagus yang bisa dijadikan bahan obrolan) ketika dia memelukku. Iya, memelukku begitu saja. Aku diam seperti patung (or even worse). Baunya harum. Aku tak tahu parfum apa yang dia pakai. Harum yang seksi khas lelaki.
Tangannya bergerak membelai rambutku dan menciumnya. Untunglah aku sudah keramas. Sedetik kemudian dia mencium pipiku dan wajahku pasti semerah tomat saat itu. Aku berusaha berpikir jernih dan mengingat apa kiranya yang biasa kulakukan ketika ada seorang pria memperlakukankku seperti itu. Tapi aku justru semakin tak bisa berpikir ketika ciumannya berpindah ke leherku. Membuat sekujur tubuhku berdesir dan kakiku lemas seperti jeli. But it feels so damn good. Dia menciumi pipiku lagi. Bagaimana bisa pelukan dan ciumannya bisa membuatku senyaman ini?
Dia mengarahkan wajahku padanya, dan jangan tanya! Aku jelas-jelas tak berani menatap matanya. Jadi aku menutup mata dan dia mencium bibirku. Rasanya begitu indah melebihi ciuman pertama (oke, ciuman pertamaku sama sekali tidak ada indah-indahnya). Detik-detik pertama aku hanya pasrah menerima perlakuannya, tapi ketika dia mulai menggerayangi payudaraku, aku tak memikirkan apapun lagi. Aku melingkarkan lenganku di lehernya, membalas ciumannya. Tangannya berpindah ke pinggang dan dia mengelus-elus bagian kulitku yang terbuka. Aku melenguh sedikit. Dia merebahkankku di ranjang. Nafas kami sudah tak lagi normal. Atau aku saja? Ahh, tangannnya menelusup ke balik kaos yang kupakai. Merayap ke payudaraku yang masih terbungkus BH. Membuatku terengah-engah.
Tanganku pun menelusup ke balik baju yang dia kenakan, mengelus punggungnya, mencoba melepaskannya. Dia melakukan hal yang sama. Tubuh bagian atas kami sudah tak tertutup apa-apa. Kontak dengan kulitnya membuat darahku berdesir hebat. Dia mulai mencium payudaraku. Tangannya merayap ke punggung, mencoba melepaskan pengaitnya. Aku membantunya dengan menaikkan tubuhku ke atas. Dan nah, payudaraku bebas sekarang. Dia memandanginya beberapa detik. Aku merasa malu dia begitu jadi kutarik wajahnya dan aku menciumnya lagi. Sedang tangannya menjelajah seluruh tubuhku. Aku merasa geli dan terengah ketika dia menelusur pinggangku dan terus ke bawah. Mencoba membuka celana jins yang masih kupakai.
Tanganku turun membuka pengait celananya dan memasukkan tanganku ke sana. Meraih miliknya. Tanganku yang satunya membuka celanaku sendiri karena dia kesulitan dengan itu. Dia menjatuhkan badannya ke ranjang, menarikku ke atasnya. Kami masih berciuman dan aku benar-benar ingin menjerit ketika dia menciumi leherku lagi. Kami melanjutkkan aksi striptease dengan membuka celana masing-masing tanpa menyisakan apapun. Aku terperangah. Dia ini dewa yunani atau apa? Tubuhnya begitu bagus. Aku meraba perut hingga dadanya sementara dia memainkan bukit kembar di dadakku dengan kedua tangannya. Ini benar-benar membuatku gila. Aku mendesah.
Tangannya bergerak meraba bokongku dan tak ada yang bisa kulakukan selain bergoyang mengikuti gerakannya. Milikku sudah sangat basah. Dia pasti tahu itu ketika tangannya bergerak meraihnya. Dan aku seperti kehilangan nafas dalam sedetik.
Dia terus memperlakukanku seolah sengaja ingin membuatku kehilangan pikiran yang satu-satunnya. Dia membalik tubuhku lagi. Sekarang dia di atasku. Dan dia membelai seluruh permukaan kulitku secara konstan, menciumi payudaraku, leherku sampai aku tak berpikir lagi untuk mengerang sekeras-kerasnya. Dia mencium bibirku lagi dan menatap mataku selama beberapa lama, meminta persetujuan untuk memasukkan miliknya padaku.
Aku sudah mengatakan padanya untuk tidak melakukan itu. Tapi peduli apa? Semua ini terasa begitu nikmat dan aku ingin lebih. Akhirnya, ketika dia memasuki tubuhku, aku menjerit. Untuk rasa perih juga nikmat. Aku menggigit bibir bawahku dan memeluknya terlalu erat.
Saat dia melakukan itu padaku, dengan gerakan teratur dan berulang-ulang, aku seolah melihat bintang-bintang gemerlapan di kelopak mataku sendiri. Aku mencakar punggungnya, meremas sprei, menggapai apa saja.
Kami berakhir dengan tubuhnya lemas di atasku. Kepalanya disandarkan pada payudaraku, dan aku membelai rambutnya dan menciuminya.
“Tadi itu fantastis,” kataku.
Dia tidak menjawab. Dia menggeser tubuhnya dan langsung tertidur di sampingku. Aku memandang wajahnya. Dia tidur seperti malaikat. Aku memeluknya dan tertidur juga.
Ketika bangun, dia sudah berpakaian dan mengajakku pulang. Dia mengantarku dan ketika dia berpamitan, aku ingin menciumnya sekali lagi. Atau mungkin selamanya. Tapi dia berlalu begitu saja. Aku tak begitu ingat apa yang terjadi, but he just so sweet.
Malamnya, aku tak bisa tidur. Aku mencoba mengirim pesan padanya.
“Sudah sampai?”
Tidak ada jawaban. Sampai besok dan besoknya lagi. Dia tak pernah menjawab pesan apapun lagi dariku.
Aku mengerti beberapa orang hanya mencari seks, dan ketika itu terpenuhi, tak ada yang perlu dibicarakan lagi. Kadang-kadang aku juga begitu. Tapi kali ini, aku merasakan sedih yang aneh. Mungkin aku tak benar-benar jatuh cinta padanya. Hanya terkesan atau apa. Dan ketika dia berhasil membawaku ke tempat tidur, itu sama sekali bukan salahnya. Tapi di atas segalanya, aku hanya wanita.
2 komentar
Punya bakat CS..
BalasHapusWkwkwk. The next Firza Hots kih.
Hapus