Sebenarnya ini adalah kisah sedih yang memilukan hati. Pengennya juga tak ceritain dengan bahasa sedih hingga membuat siapapun yang membacanya berurai air mata. Tapi bedebah betul, cuaca siang ini malah ceria. Sama sekali nggak mendukung mood untuk berduka.
Jadi gini, Ibing itu punya teman. Timbul namanya. Mereka akrab, aku juga kenal orangnya. Mereka sering smsan. Habitualnya si Timbul emang gitu. Hari gini masih smsan nggak tahu kenapa. Kadang janjian ketemu. Beberapa kali aku ikut juga. Biasa saja, sampai tiba-tiba ….
Semalem ada sms masuk di hape Ibing. Anehnya, aku nggak boleh lihat sama sekali padahal biasanya biasa aja wong paling cuma urusan transferan, atau konfirmasi orderan, dll. Tapi semalem nggak boleh sama sekali sampai rebutan segala. Aku yang aslinya nggak berpikiran jelek jadi curiga.
Setelah hape berhasil kukuasai, ooh ternyata sms dari si Timbul … but, wait! Kok aneh sih smsnya? Kok timbul curhat manja-manja? Kok perhatian ngingetin jangan lupa makan segala? Padahal setahuku yang namanya Timbul ini ya anaknya celelekan. Bermanja ria dan perhatian kaya gitu? Nggak mungkin banget lah. Apa mungkin Timbul sedang keracunan obat nyamuk ya?
Baiklah, aku tanya sama Ibing, dan Ibing cuma jawab “Nggak tau, tuh!”
Berhubung aku anaknya cerdas dengan cara yang sederhana, nomernya Timbul tak save ke hapeku, trus tak lihat kontak Whatsappnya. Lohh lohh, kok fotonya perempuan? Statusnya juga bermanja-manja pakai lope-lope segala. Lhaaa, ini bukan Timbul yang cowok itu toh? Wooo lha bajingan! Selama ini aku terlalu positif bin naïf ternyata.
So yeah! Ibing flirting sama cewek lain. Sampai janji-janjian mau ketemuan segala. Atau malah udah ya? Entahlah.
Ajaibnya, Ibing masih nggak ngaku. Bilang nggak tahu namanya, nggak tahu rumahnya di mana, semalam berbuat apa. Lha masa gitu lhoooo, udah janjian ketemuan masih nggak tau rumahnya. Kalau ternyata rumahnya di luar galaksi gimana?
Tentu saja aku sedih lah. Itu terbukti dengan ketika Ibing cuma diem aja dan aku bilang “Aku nggak marah kok, Bing. Cuma sedih,” sambil pasang muka nelangsa seolah sudah tujuh hari tujuh malam nggak makan pizza (lha emang iya).
Trus aku juga malah sibuk mendinginkan hati dengan cara tiduran di lantai. Pas Ibing nyuruh pindah ke bed biar nggak dingin aku bilang “Nggak bisa bangun, Bing. Saking sedihnya sampai nggak bisa bangun.”
Trus pas Ibing udah pamitan mau pulang juga aku masih aja tiduran di lantai.
“Pindah atas, Ndut! Biar nggak masuk angin.”
“Nggak mau. Aku mau bobok di lantai sambil merenungi hidup yang pahit ini sampai besok pagi.”
Gimana? Kalian bisa merasakan kepedihan hatiku bukan?
Sebenarnya, di antara kasus patah hati-patah hati lainnya, aku termasuk menghadapi yang satu ini dengan terlalu santai. Salah satu sebabnya mungkin karena biasa yah, terhantam sesuatu kaya gini, di awal-awal biasanya nggak terlalu terasa sedihnya. Saking kagetnya gitu. Mungkin besok aku baru mulai merasa terluka dan menangis meraung-raung ya nggak tau juga. Tapi selain itu ada beberapa alasan.
Pertama, pas lihat profil si Timbul cewek, menurutku nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Nggak ada dari apa-apanya yang bikin aku cemburu dan iri. Mungkin ini juga kesombongan temporer akibat refleksku untuk membela diri aku juga nggak tahu. Tapi di dunia ini memang ada dua jenis cewek: yang bisa bikin aku iri, dan yang enggak. Timbul termasuk kelompok yang enggak. Dan aku tahu kalau harus memilih, Ibing tetep bakal milih aku. Kalaupun enggak dan ternyata Ibing lebih memilih Timbul yaa berarti emang Ibing seleranya gitu. Memang nggak cocok sama aku.
Bukan karena aku merasa lebih baik dari Timbul dan dia lebih nggak banget. No! Lebih ke soal selera aja. Ibaratnya kalau di dunia musik-musik itu ada Kangen Band sama Stars and Rabbit. Pendengar Kangen Band belum tentu suka dengerin Stars and Rabbit. Kan gitu?
Eh, nggak secanggih itu ding. Sederhana aja. Buktinya, Ibing nggak ngaku. Kalau memang Ibing lebih sayang sama Timbul dan memilihnya, kan harusnya bilang dong ya, “Iya, aku sayang dia. Udah ya, jangan sedih!” gitu misalnya.
Dengan menutup-nutupi kaya gini, seenggaknya Ibing masih nggak mau kehilangan aku. Eh, lha berarti malah maunya dua dong. Duh, kok rumit ya? Ah, lagian aku juga nggak mau dipilih kok.
Tinggalkaaan saja diriku, yang tak mungkin menunggu.
Jangan pernah memilih, aku bulan pilihan.
Kan gitu kalau kata Bang Iwan.
Oke, tadi yang pertama. Kedua, aku jadi mikir juga. Ibing jahat ya? Tapi emangnya aku nggak jahat juga? Kayaknya akau malah lebih jahat deh. Flirting sama cowok lain? Check! Selingkuh? Pernah, meski jaman dahulu kala dan aku udah berjanji baik pada Ibing maupun diri sendiri untuk nggak mengulangi. Chat sama cowok lain? Check. Diam-diam mengagumi Brandon Urie? Oh, yes, check please!
Lha ternyata aku sama bedebahnya. Aku nggak lebih baik. Jadi dalam hal ini, aku nggak punya kapasitas sama sekali untuk merasa jadi korban yang dinistakan dan menganggap Ibing sebagai tokoh antagonisnya. Bisa jadi itu hanya balasan dari perbuatanku terdahulu. Bukan hanya dari Ibing, tapi bisa saja dari perempuan lain yang lelakinya pernah flirting sama aku. Karma itu nyata bukan? Dan cepat sekali datangnya.
Eh, kok jadi ngebelain Ibing? Ya enggaaak. Dia mau beralasan gimanapun, tetep aja aku nggak percaya. Kalau percaya semua omongannya, itu sih bego namanya. Toh kami dari dulu udah saling memahami. Apapun yang terjadi dengan hubungan romantis kami, hubungan kami sebagai Mad Team nggak akan terganggu. Ini aja ceritanya lagi marah dan sedih aku masih sempet-sempetnya nanyain ukuran kemeja yag mau dikirim hari ini kok. Ya gimana lagi yah, kepepet sih. Hahaha.
Yang jelas, hubunganku sama Ibing mungkin akan tetap biasa aja. Entah itu ada Timbul, cewek lain, cowok lain, kami akan tetap kerja bareng, main bareng, jualan bareng, bikin prakarya bareng, bobok bareng, main musik bareng, dll. Tapi aku udah nggak bisa melihat dia dengan cara yang sama lagi. Dan itu wajar kok.
Satu-satunya hal yang kusesali (kalau memang harus ada) cuma … kan baru kemarin gitu aku pamer posting aktivitas pacaran di media sosial. Baru kemarin aku koar-koar ke dunia kalau aku punya pacar dan menutup kemungkinan pada siapapun untuk mendekatiku. Ee, lha ujug-ujug kaya gini ceritanya. Siapa juga yang menyangka? Hihi.
Binatang jalang memang, karma itu.