• Home
  • About
  • Contact
    • Category
    • Category
    • Category
  • Shop
  • Advertise
facebook twitter instagram pinterest bloglovin Email

MADGIRL!




        Sebenarnya ini adalah kisah sedih yang memilukan hati. Pengennya juga tak ceritain dengan bahasa sedih hingga membuat siapapun yang membacanya berurai air mata. Tapi bedebah betul, cuaca siang ini malah ceria. Sama sekali nggak mendukung mood untuk berduka. 

        Jadi gini, Ibing itu punya teman. Timbul namanya. Mereka akrab, aku juga kenal orangnya. Mereka sering smsan. Habitualnya si Timbul emang gitu. Hari gini masih smsan nggak tahu kenapa. Kadang janjian ketemu. Beberapa kali aku ikut juga. Biasa saja, sampai tiba-tiba ….

        Semalem ada sms masuk di hape Ibing. Anehnya, aku nggak boleh lihat sama sekali padahal biasanya biasa aja wong paling cuma urusan transferan, atau konfirmasi orderan, dll. Tapi semalem nggak boleh sama sekali sampai rebutan segala. Aku yang aslinya nggak berpikiran jelek jadi curiga. 

        Setelah hape berhasil kukuasai, ooh ternyata sms dari si Timbul … but, wait! Kok aneh sih smsnya? Kok timbul curhat manja-manja? Kok perhatian ngingetin jangan lupa makan segala? Padahal setahuku yang namanya Timbul ini ya anaknya celelekan. Bermanja ria dan perhatian kaya gitu? Nggak mungkin banget lah. Apa mungkin Timbul sedang keracunan obat nyamuk ya? 

        Baiklah, aku tanya sama Ibing, dan Ibing cuma jawab “Nggak tau, tuh!”

     Berhubung aku anaknya cerdas dengan cara yang sederhana, nomernya Timbul tak save ke hapeku, trus tak lihat kontak Whatsappnya. Lohh lohh, kok fotonya perempuan? Statusnya juga bermanja-manja pakai lope-lope segala. Lhaaa, ini bukan Timbul yang cowok itu toh? Wooo lha bajingan! Selama ini aku terlalu positif bin naïf ternyata. 

        So yeah! Ibing flirting sama cewek lain. Sampai janji-janjian mau ketemuan segala. Atau malah udah ya? Entahlah. 

        Ajaibnya, Ibing masih nggak ngaku. Bilang nggak tahu namanya, nggak tahu rumahnya di mana, semalam berbuat apa. Lha masa gitu lhoooo, udah janjian ketemuan masih nggak tau rumahnya. Kalau ternyata rumahnya di luar galaksi gimana? 

        Tentu saja aku sedih lah. Itu terbukti dengan ketika Ibing cuma diem aja dan aku bilang “Aku nggak marah kok, Bing. Cuma sedih,” sambil pasang muka nelangsa seolah sudah tujuh hari tujuh malam nggak makan pizza (lha emang iya). 

        Trus aku juga malah sibuk mendinginkan hati dengan cara tiduran di lantai. Pas Ibing nyuruh pindah ke bed biar nggak dingin aku bilang “Nggak bisa bangun, Bing. Saking sedihnya sampai nggak bisa bangun.”

        Trus pas Ibing udah pamitan mau pulang juga aku masih aja tiduran di lantai.

        “Pindah atas, Ndut! Biar nggak masuk angin.”
        “Nggak mau. Aku mau bobok di lantai sambil merenungi hidup yang pahit ini sampai besok pagi.”

        Gimana? Kalian bisa merasakan kepedihan hatiku bukan?

      Sebenarnya, di antara kasus patah hati-patah hati lainnya, aku termasuk menghadapi yang satu ini dengan terlalu santai. Salah satu sebabnya mungkin karena biasa yah, terhantam sesuatu kaya gini, di awal-awal biasanya nggak terlalu terasa sedihnya. Saking kagetnya gitu. Mungkin besok aku baru mulai merasa terluka dan menangis meraung-raung ya nggak tau juga. Tapi selain itu ada beberapa alasan.

        Pertama, pas lihat profil si Timbul cewek, menurutku nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Nggak ada dari apa-apanya yang bikin aku cemburu dan iri. Mungkin ini juga kesombongan temporer akibat refleksku untuk membela diri aku juga nggak tahu. Tapi di dunia ini memang ada dua jenis cewek: yang bisa bikin aku iri, dan yang enggak. Timbul termasuk kelompok yang enggak. Dan aku tahu kalau harus memilih, Ibing tetep bakal milih aku. Kalaupun enggak dan ternyata Ibing lebih memilih Timbul yaa berarti emang Ibing seleranya gitu. Memang nggak cocok sama aku.

        Bukan karena aku merasa lebih baik dari Timbul dan dia lebih nggak banget. No! Lebih ke soal selera aja. Ibaratnya kalau di dunia musik-musik itu ada Kangen Band sama Stars and Rabbit. Pendengar Kangen Band belum tentu suka dengerin Stars and Rabbit. Kan gitu? 

        Eh, nggak secanggih itu ding. Sederhana aja. Buktinya, Ibing nggak ngaku. Kalau memang Ibing lebih sayang sama Timbul dan memilihnya, kan harusnya bilang dong ya, “Iya, aku sayang dia. Udah ya, jangan sedih!” gitu misalnya. 

       Dengan menutup-nutupi kaya gini, seenggaknya Ibing masih nggak mau kehilangan aku. Eh, lha berarti malah maunya dua dong. Duh, kok rumit ya? Ah, lagian aku juga nggak mau dipilih kok. 

        Tinggalkaaan saja diriku, yang tak mungkin menunggu.
     Jangan pernah memilih, aku bulan pilihan.
        Kan gitu kalau kata Bang Iwan. 

        Oke, tadi yang pertama. Kedua, aku jadi mikir juga. Ibing jahat ya? Tapi emangnya aku nggak jahat juga? Kayaknya akau malah lebih jahat deh. Flirting sama cowok lain? Check! Selingkuh? Pernah, meski jaman dahulu kala dan aku udah berjanji baik pada Ibing maupun diri sendiri untuk nggak mengulangi. Chat sama cowok lain? Check.  Diam-diam mengagumi Brandon Urie? Oh, yes, check please!

        Lha ternyata aku sama bedebahnya. Aku nggak lebih baik. Jadi dalam hal ini, aku nggak punya kapasitas sama sekali untuk merasa jadi korban yang dinistakan dan menganggap Ibing sebagai tokoh antagonisnya. Bisa jadi itu hanya balasan dari perbuatanku terdahulu. Bukan hanya dari Ibing, tapi bisa saja dari perempuan lain yang lelakinya pernah flirting sama aku. Karma itu nyata bukan? Dan cepat sekali datangnya. 

        Eh, kok jadi ngebelain Ibing? Ya enggaaak. Dia mau beralasan gimanapun, tetep aja aku nggak percaya. Kalau percaya semua omongannya, itu sih bego namanya. Toh kami dari dulu udah saling memahami. Apapun yang terjadi dengan hubungan romantis kami, hubungan kami sebagai Mad Team nggak akan terganggu. Ini aja ceritanya lagi marah dan sedih aku masih sempet-sempetnya nanyain ukuran kemeja yag mau dikirim hari ini kok. Ya gimana lagi yah, kepepet sih. Hahaha. 

        Yang jelas, hubunganku sama Ibing mungkin akan tetap biasa aja. Entah itu ada Timbul, cewek lain, cowok lain, kami akan tetap kerja bareng, main bareng, jualan bareng, bikin prakarya bareng, bobok bareng, main musik bareng, dll. Tapi aku udah nggak bisa melihat dia dengan cara yang sama lagi. Dan itu wajar kok. 

        Satu-satunya hal yang kusesali (kalau memang harus ada) cuma … kan baru kemarin gitu aku pamer posting aktivitas pacaran di media sosial. Baru kemarin aku koar-koar ke dunia kalau aku punya pacar dan menutup kemungkinan pada siapapun untuk mendekatiku. Ee, lha ujug-ujug kaya gini ceritanya. Siapa juga yang menyangka? Hihi. 

        Binatang jalang memang, karma itu.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar




          Petuah bijak yang mengatakan bahwa silaturahmi membuka pintu rejeki itu memang benar adanya.

          Kemarin, di siang hari yang nanggung, Mbak Asti tiba-tiba chat via WA:
          “Buku-bukuku mau pulang kapan?”

         Hihihi. Itu adalah tagihan karena aku pinjam bukunya dan sudah hampir dua tahun tak kunjung kukembalikan. 

          “Tak paketke wae po, mbak?” balasku. Aku membalas demikian bukan tanpa alasan. Sebenernya, rumah Mbak Asti yang Jogja pinggiran itu nggak jauh-jauh amat dari kosku di Magelang sini. Paling sejam. Alasannya aku nggak kunjung main lagi ke sana sehingga buku yang tak pinjem itu enggak pulang-pulang adalah karena Ibing selalu nggak mau kalau tak ajakin ke rumahnya Mbak Asti. Gara-garanya, di kunjungan pertama dulu, aku sama Mbak Asti ngobrol lupa waktu selama berjam-jam sampai Ibing pusing sendiri. Wkwkwk. Trauma dia.

          “Lha kamu nggak bisa po, main sini lagi? Mumpung ada jeruk peres ki, kecutnya bisa buat diet alami.” 

          Demi membayangkan jeruk peres di siang hari yang panasnya bikin dehidrasi itu, aku memutuskan untuk ngerayu Ibing. Lagian hari itu kami nggak punya rencana apa-apa. Cuma bengong bersantai-santai menikmati libur Nyepi. 

          “Plis Bing, aku janji nggak lama-lama deh, cuma balikin buku. Lagian suaminya Mbak Asti di rumah kok. Jadi Ibing bisa ngobrol-ngobrol berdua,” kataku. Tentu saja sebagiannya merupakan janji palsu belaka. Aku sama Mbak Asti ketemu tapi nggak ngobrol lama? Sama mustahilnya seperti AADC tanpa Cinta dan Rangga. 

          Meski Ibing sebenarnya sadar kalau aku sedang berjanji palsu, akhirnya mau juga. Alasannya yaa … toh kami nggak punya rencana apa-apa. Plus, kalau nggak diiyain aku bakal ribut terus sampai besok. Hahaha. Nunggu sore biar nggak terlalu panas, kami pun berangkat. 

          Selain bawa buku yang mau tak balikin, aku bawa dua buku jadul sebagai ekstra. Rencananya buat hadiah.  
          Tapi Tuhan berencana lain. sampai rumahnya Mbak Asti, orangnya lagi rapi-rapi buku dan tetek bengeknya. Kemudian tahu-tahu keluar bawa setumpuk buku.
          “Arep tak buang ki, mbuh sopo sing gelem ngopeni.” 

          Whaaaaat? Mataku langsung terbelalak ijo-pink-kuning-oren-bling-bling. Are you kidding me? Kemudian buku-buku yang rencananya mau dibuang itu tak lirik. Pura-puranya ngelirik padahal ngebet. Wkwkwk. Sampai kemudian ….

          “Mbaaaaak, ini juga mau dibuang?” pekikku ketika melihat Love in The Time of Cholera, bukunya Gabriel Garcia Marques yang akhir-akhir ini sedang dicari-cari itu.



          “Iya,” kata Mbak Asti tanpa keraguan.
          “Kyaaaaaaaaaaaaa, aku mau bangeeeeeet,” pekikku kaya di film-film kartun.
          “Ya sana bawa aja,” katanya santai.

         Akupun blingsatan lihat-lihat buku lainnya juga. Tak pilih-pilih buat tak bawa pulang. Hahaha. "Malah nemu harta karun, iki," kataku.

          “Serius mbak?” tanyaku berkali-kali.
       “Iya, serius. Aku malah seneng ada yang ngopeni,” katanya lagi.  Jadi ceritanya kan Mbak Asti bulan depan mau pindah rumah, jadi harus beberes gitu. Di antaranya ya buang-buang benda-benda yang menurutnya nggak perlu. Well, too much memories will kill you. Ahahaha. Atau seenggaknya, too much memories will ngrepoti you kalau mau pindahan. Bener juga sih. 

          Total sembilan buku tak bawa pulang. Sembilan buku. Gratis. Beberapa di antaranya emang buku yang sempet tak taksir cuma waktu itu belum dijodohkan saja. Hihihi. Sementara aku cuma bawa dua buku buat hadiah, itupun cuma dipilih satu sama Mbak Asti. 

          “Lagi jarang baca-baca,” katanya. Yasudah. Ternyata yah, baru niat berbagi saja aku udah dapet kembalian jauh lebih banyak lagi. Kayaknya harus lebih sering niat berbagi nih. Lhoo, kok jadi pamrih? 

          Setelah milih-milih buku, kami ngobrol lah biasa. Sampai detik itu baik aku maupun Mbak Asti udah lupa sama jeruk peres dan malah ngeteh. Lha lagian aku datangnya juga kesorean gitu. Sampai sana maghrib. Mimik kecut-kecut di malam hari bisa bikin perut sakit kan ya. 

          Seperti biasa, ngobrolnya nggak pakai tema alias apa saja dibahas. Mulai dari buku-buku, nostalgia jaman organisasi di kampus dulu, indra keenam, sampai soal Bahasa Jawa. Kan Mbak Asti ini guru Bahasa Jawa. 

          Wes, pokoknya saking serunya aku sampai lupa Ibing. Yang tadinya udah tak janjiin “Pulang jam tujuh ya,” malah mbablas sampai jam setengah sembilan malam. Hahaha.

          “Itupun kalau nggak distop bisa nggak berhenti ya, Ndut,” komentar Ibing pas pulangnya.
          “Iya lah, wong jaman aku masih unyu dulu, aku sering ‘diracuni’ Mbak Asti sampai jam tiga pagi,” ini real, by the way. 

          Meskipun orangnya mungkin nggak nyadar, Mbak Asti sebenarnya memiliki peran penting dalam pembentukan karakterku lho. Waktu itu aku mahasiswa baru, kesasar, naïf, polos, dan nggak tahu harus melangkah ke mana. Di situ Mbak Asti mengisi dengan petuah-petuah beracunnya. 

          Kalau pada masa itu aku nggak ketemu sama Mbak Asti, bisa jadi lhoo, aku sekarang ini menjadi seseorang yang sama sekali lain. Wong orang hidup itu kan dibentuk dari banyak hal. Ibarat batu di pinggir kali yang terbentuk nggak hanya oleh gelombang besar, tapi juga riak-riak kecil. 

          Mbak Asti mungkin termasuk riak kecil karena sebenarnya aku sama Mbak Asti nggak pernah yang dekeeeeet banget. Biasa aja. Tapi khotbahnya pada suatu malam yang aku nggak pernah lupa, mengubah pandanganku selamanya.  

          Mungkin rada lebay, tapi beneran ini. Aku ingeeet banget waktu itu aku terpesona. Betapa aku waktu itu hampir saja kejungkel ke ideologi yang sangat-sangat-sangat berbeda dengan yang kuanut sekarang (emangnya aku menganut ideologi apa?) 

          Aku nggak bisa cerita detil soal ini soalnya mungkin rada ya gimana ya ..., tapi you got the point, no? Intinya yah, sejak malam itu aku tercerahkan dan selamat. Wkwkwk. 

          Pesan moralnya, kadang obrolan yang kelihatannya nggak penting, yang tadinya cuma sesantai “Kamu kos di mana?” saja bisa jadi sesuatu yang mengubah pandangan dan cara hidup seseorang lho. Di sini Mbak Asti sudah change basa-basi to the next level. Hihihi. 

          Makasih banyak ya mbaak, buat buku-bukunya, buat racun-racun di masa lalu. Tanpa itu semua, jadi apa aku sekarang kita nggak pernah tahu. Iya, nggak pernah tahu.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar



          Maksud mata memeluk guling, apalah daya kantuk tak sampai. Demikian kata pepatah lama. 

          Semalam, sekitar jam dua belas kurang setengah, aku nyetatus dengan hashtag #boboksik.

          Kenyataannya, aku nggak bobok-bobok juga sampai berjam-jam kemudian. Padahal pas nulis status itu aku sungguh-sungguh lho, nggak bermaksud pencitraan. Ha wong seharian udah muter ke sana ke mari, melakukan aktivitas fisik yang lumayan menguras energi, plus malam sebelumnya begadang dan kemudian bangun pagi. 

          Alasan-alasan di atas masih juga diperkuat dengan hawa ngantuk yang sudah gentayangan sejak sore yang membuatku berpikir optimis: Malam ini pasti bisa bobok gasik. Yes! Pasti bisa!

          Tapi pas mapan tidur beneran, apa? Apaaaa? Mataku masih terang benderang dan otakku masih beraktivitas seperti biasa sampai sekitar jam tiga pagi, saat akhirnya aku memutuskan menuliskan ini. 

          Sebenarnya bagiku, insomnia bukanlah penyakit baru. Aku sudah mengidap ini sejak beeertahun-tahun lalu. Sejak masih kuliah. Sejak patah hati masih jaman. Sejak usaha untuk move on masih kulakukan dengan cara-cara kuno seperti misalnya, meresapi kesakitan sedalam mungkin, setiap malam, di atap kosan.
          Ya, sejak saat itu. 

          Bedebahnya, setelah sukses move on ternyata penyakit meresapi-kesakitan-sedalam-mungkin-setiap-malam-di-atap-kosan itu tidak ikutan move on. Aku kebablasen. Jadi terbiasa melek malam sampai hari ini. 

          Hari ini bisa dibilang aku beruntung karena aku hidup sendirian tanpa kewajiban untuk bangun pagi demi memenuhi kewajiban kerja. Bangun sesiang apapun juga nggak ada yang marah. 

          Dulu pas masih kerja kantoran, kebiasaan buruk ini jadi begitu menyusahkan. Nggak peduli sepagi apapun aku tidur, jam setengah delapan pagi aku harus udah siap di kantor untuk briefing pagi. Lengkap dengan dandanan dan senyum manis. Artinya, aku harus sudah selesai mandi dan dandan seenggaknya jam tujuh pagi.

Untuk mempersiapkan itu semua, aku harus sudah bangun dalam artian bener-bener bangun itu jam 6, atau paling lambat jam setengah tujuh deh. Padahal malam sebelumnya aku baru bisa tidur jam tiga. Kadang jam lima. Makanya kalau pas istirahat siang, di saat anak-anak lain makan siang seperti layaknya manusia normal, aku justru akan tidur. Aku bahkan sampai punya satu kos cadangan tepat di belakang kantor biar bisa bobok siang. 

          Masalah lain, kalau pas aku pulang kampung ke rumah orang tuaku. Nggak peduli malam harinya begadang, subuh-subuh aku harus udah bangun karena kalau enggak bakalan kena omel seharian (kadang bahkan masih dibahas sampai minggu depannya). Jadi yaa jangan salahkan bunda mengandung kalau kemudian siangnya aku akan tidur sampai sore. Itupun bangunnya juga gara-gara kena omel lagi. 

          Begitulah. Aku tahu kebiasaan ini nggak baik buat kesehatan. Seenggaknya kesehatan jiwa. Kayaknya aku jadi kurang waras begini gara-gara kurang tidur deh. Atau justru karena aku kurang waras maka aku jadi nggak bisa tidur? Coba, yang mana yang duluan? Kurang waras atau kurang tidur? Haissh, masalah tidur saja kok begini rumit.

          Seriously, people. Gimana sih, caranya kalian bisa tidur tiap malam?
          Aku lho, sudah mempraktikkan semua petunjuk di majalah remaja, tips en trik di tabloid mamah-mamah, artikel di blog, dan sebangsanya. Nggak ada satupun yang mempan. Apa coba?

Berikut ini cara mengatasi insomnia yang pernah kucoba tapi tak satupun menampakkan hasil:

Nggak Minum Kopi

          Udaaaaah. Bahkan aku pernah saking penasarannya, sampai cleansing segala. Mana tau efek kopi dari tiga hari yang lalu masih mempan gitu ya kan?

Trus aku juga minum bwanyaaaaak air putih, dan bahkan minum susu yang katanya bisa bikin ngantuk?

          Tapi apa hasilnyaaaa? Nggak mempan sama sekali. Aku bahkan nggak merasakan adanya perbedaan. 

Olahraga

          Udaaaaah. Aku melakukan semua teknik yang bisa bikin otot rileks bin lemes dan nyaman dan nggak tau apa lagi. Hasilnya, otot rileks, badan jadi lebih nyaman sih iya. Tapi trus jadi ngantuk dan bisa tidur? Enggak. 

Nggak Main Gadget

          Udaaaaaah. Tiap kali niat tidur aku akan taruh hape di meja (yang jangkauannya itu sekitar tiga meter dari tempatku tidur). Laptop juga pasti udah tak shut down biar dianya juga bisa bobok. Daaaan sama aja. Biasanya setelah beberapa jam melakukan usaha untuk tidur yang sia-sia, baru akhirnya aku akan berjalan menghampiri meja, nyalain laptop lagi, dan fesbukan lagi. 

Matiin Lampu

          Udaaah. Paling yang tersisa hanya cahaya samar dari lampu teras yang menembus jendela dan lubang-lubang udara (kalau nggak ada cahaya blas aku malah panik soalnya, hahah). Tapi bahkan kekuatan kegelapan pun nggak bisa membantuku mengatasi masalah ini. 

Baca Buku

          Don’t you know? Kalau baca buku aku harus pakai kaca mata. Itu artinya, aku malah bisa melihat dengan lebih jelas lagi dan usaha untuk mencapai kengantukan yang sebelumnya susah, naik level jadi mustahil. Belum lagi kalau baca buku aku pasti bakal tambah aktif otaknya dan malah sibuk bikin catatan-catatan kecil karena mendadak terinspirasi. Nope! Buku nggak bisa bikin aku ngantuk.

Perbaiki Jam Biologis

          Oooooohohohoho. Aku pernah lho, sengaja nahan nggak tidur sekalian. Harapannya biar malam nantinya aku udah ngantuk banget dan bobok di jam normal. Berhasil? Tentu saja tidak. Aku tetep nggak bisa bobok. Jadi bukan kesuksesan yang kudapat tapi justru malah nggak tidur blas selama kurang lebih emm, 36 jam? Entahlah. Pokoknya lama dan itu membuatku ling lung.

Ngitung Shaun de Sheep

          Jangankan Shaun, aku bahkan udah ngitungin cowok-cowok ganteng dan bikin hati nyaman kaya bangsanya mas Brendon Urie, Tyler Joseph, Trevor Wentworth, sampai … ya adalah pokoknya jangan disebutin nanti jadi gosip. Hahaha. Nggak ada satupun dari mereka yang bikin ngantuk. Malah bikin tambah semangat. 

Pakai Pakaian yang Nyaman

          Nggak hanya pakaian (daster bobok yang nyaman itu juga nggak mempan weh), aku juga udah pakai minyak telon, udah meluk boneka penuh kasih sayang, pakai sprei jadul yang bahannya adem biar berasa kaya di rumah nenek pas aku masih kecil, dan selimutan pakai selimut flannel bermotif kiyut Disney princess. 

          Apa lagi? Aku kurang gimana lagi?

        Aku jadi sangat merindukan masa-masa ketika aku boboknya normal, jam sembilan malam. Kadang lebih demi nonton Meteror Garden II yang tayang jam sembilan apa sepuluh yaa? Lupa. Kangen saat niat melekan menyambut tahun baru saja gagal karena keburu molor duluan. 

        Kadang aku juga mikir, apa yang waktu itu aku lakukan dan nggak kulakukan sekarang ya? Kayaknya sama aja. Aku dulu juga suka ngopi. Dan waktu itu anehnya, kopi nggak bisa bikin aku melek. Ngantuk ya tetep ngantuk aja. 

          Trus katanya kalau lelah bisa bikin ngantuk? Enggak tuh. Hari ini nyatanya, aku merasa lelah dan merasa sangat butuh tidur, tapi tak ada yang terjadi. Lelah tinggallah lelah. 

          Ya kadang pernah juga sih, ketiduran, tapi secepet-cepetnya aku ketiduran juga tetep aja jam dua pagi. -_-

          Sebenernya sih yaa, kasus nggak bisa bobok di malam hari ini sama sekali nggak mengganggu aktivitasku. Toh aku anaknya bisa produktif di jam aku fokus. Jadi misalnya bangun siang, trus bermalas-malasan sejenak, nanti habis itu begitu niat ya aku bisa fokus menyelesaikan banyak pekerjaan. Jadi sebenernya nggak begitu masalah. 

          Trus kenapa aku nulis ini jal? Sederhana. Gara-garanya, tiap kali bangun, saat semua orang itu makan siang, aku baru nyari sarapan. Lha masa nanti pas orang-orang makan malam, trus aku makan siang gitu? Ih, nggak lucu. Guyonanku maksudnya yang nggak lucu. Ini pasti gara-gara kekurangan sarapan nih. Padahal kan, breakfast is the most important meal of the day, no?

          So yeah, sebelum aku benar-benar lupa rasanya sarapan di pagi hari, adakah yang mau ngasih tambahan tips yang applicable buat mengatasi insomniaku ini?
Please, kindly share yah. I need this really.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar


Sumber gambar: jogja.co


          Indonesia punya banyak banget bahasa daerah. Tapi kali ini aku mau ngebahas satu bahasa aja yang aku mudeng. Hehehe. Bahasa Jawa.

Bahasa Jawa itu kaya raya, terutama dalam hal kosa kata. Contohnya, untuk kata ‘jatuh’ saja istilahnya bisa banyak banget. Nggak hanya tibo, tapi ada juga kejungkel, kejlungup, krungkep, nggeblak, keblusuk, dan masih banyak lagi menyesuaikan gimana caranya seseorang atau sesuatu itu jatuh. Itu baru bahasa kasarnya, belum bahasa alusnya. Btw, bahasa krama untuk tibo apa ya?

          Soal bahasa Jawa alus, aku termasuk beruntung karena dari kecil diajarinnya ngomong pakai bahasa Jawa alus. Meskipun dalam banyak hal Ibuku itu ngeselin dan suka semaunya sendiri, tapi dalam hal ini beliaw benar. Waktu aku kecil ibuku mengajariku ngomong bahasa jawa alus, karena beberapa alasan.

          Pertama, beliaw nggak suka denger anak kecil ngomong sama orang tuanya itu pakai bahasa Jawa ngoko. Kan kesannya kasar ya. 

          Kedua, Ibuku nggak lantas ngajarin aku ngomong pakai bahasa Indonesia (which is lebih alus) karena alasan yang sebenarnya sangat sederhana tapi bener banget: nggak usah diajarin juga nanti kalau Bahasa Indonesia udah pasti bisa. Kenapa? Karena sekolah itu pengantarnya pakai Bahasa Indonesia. Di TV, bacaan, dan segala hal juga pakainya Bahasa Indonesia. Nggak usah diajarin udah pasti bisa. 

          Beda sama bahasa Jawa alus. Kalau nggak diajarin dari kecil, gedenya belum tentu bisa. Bahasa Jawa ngoko mungkin tetep bisa karena lingkungan. Tapi basa krama? Nggak banyak temen-temenku yang bisa lho. Jadi biar amannya kebanyakan mereka pakai Bahasa Indonesia untuk menghaluskan.

          Tentu saja basa krama yang aku bisa juga nggak yang inggil-inggil banget. Biasa aja. Yang penting cukup sopan kalau dipakai ngobrol sama orang tua, gitu aja. Tapi meskipun nggak inggil-inggil banget toh, kemampuanku ngomong basa krama sempet bikin temen-temenku tercengang juga. 

          Waktu itu pas kuliah, kami mau mengadakan acara di suatu tempat, dan sebelum itu harus ngurus ijin loby-loby ke tetua-tetua desa gitu. Aku maju dan ngomong pakai basa krama, dan teman-temanku heran. Aku yang penampilannya gini banget, yang biasanya pecicilan, yang bisanya omongannya kasar penuh pisuhan, bisa ngomong alus?

          Aku yang terbiasa dari kecil dan menganggap itu sebagai hal yang biasa saja malah heran sama ketercengangan mereka. “Lha emangnya kalian nggak bisa?”

          Dan emang nggak banyak yang bisa. Bahkan ngobrol sama orang tuanya sendiri juga kebanyakan pakai basa ngoko.

          Aku seenggaknya kalau ngobrol sama orang tuaku, kondisi jengkel kaya gimanapun, tetep pakai basa krama. Yahh, meskipun kadang masih dicampur sama basa ngoko atau bahasa Indonesia buat kata-kata yang aku nggak nemu basa kramanya, kaya misalnya ‘jatuh’ tadi. Seriously, gaes, basa kramanya ‘jatuh’ apa sih? Tapi seenggaknya lumayan halus dan lebih sopan gitu. Fungsi bahasa di Jawa kan emang salah satunya buat unggah-ungguh ya kan. Menghormati orang yang lebih tua, yang belum kenal, dll.

          Jadi kurasa jurus ibuku yang satu itu sangat-sangat patut untuk ditiru. Aku udah bilang terus sama Ibing pokoknya nanti kalau punya anak mau tak ajarin ngomong bahasa pertamanya itu basa Jawa alus. Yang jadi masalah justru adalah karena aku sama Ibing obrolannya tiap hari itu pakai bahasa Indonesia. Udaaaah, udah sering tak coba buat pakai bahasa Jawa tapi suka kelupaan lagi soalnya terlanjur, dari pertamanya dulu pakai Bahasa Indonesia. Jadi tiba-tiba ngomong bahasa Jawa sama Ibing itu jadi lucu rasanya. 

          Kenapa aku kok pengen anakku bisa ngomong bahasa Jawa alus? Ya biar seenggaknya dia menguasai bahasa daerahnya sendiri. Mungkin bahasa Jawa masih lama dari kepunahan karena penuturnya banyak. Paling banyak seIndonesia kayaknya ya kan? Tapi notice nggak sih gaes? Hari gini jarang lohh, anak kecil Jawa yang ngomong bahasa Jawa. Dari bayi diajarinnya ngomong bahasa Indonesia semua. Kalaupun bisa bahasa Jawa, biasanya karena lingkungan dan biasanya bahasanya ngoko. 

          Ngajarin bahasa daerah di sini bukan bermaksud untuk mengkotak-kotakkan, wong toh masih ada bahasa pemersatu kok. Tapi lebih ke biar generasi yang akan datang tetep kenal budayanya, bahasanya sendiri, biar jangan sampai lupa. Biar tetap lestari, dan kalau perlu bisa ceritain kekayaan itu ke seluruh dunia. 

          Tapi yahh, itu pilihan masing-masing orang tua kok. Banyak juga yang memutuskan untuk mengajari si kecil bahasa Inggris dari kecil. Jadi bilingualnya bukan Jawa-Indonesia, tapi Inggris-Indonesia. Nggak ada yang salah. 

          Trus kamu mau ngajarin anakmu bahasa asing juga nggak? Of course lah. Dunia makin mengglobal, broooh. Menguasai bahasa asing adalah suatu keniscayaan. Menguasai bahasa Inggris bagus. Tapi bahasa lain juga perlu karena nggak semua orang dari luar negeri itu bisa bahasa Inggris lohh. Hahaha.
 
Sumber gambar: huffingtonpost.com
          Tapi kan bahasa ada banyak banget. Yaa, pilih yang penting-penting aja. Atau seenggaknya menguasai conversation dasar lah, biar kalau pas main ke negeri orang nggak bingung. Soalnya ada loh, Negara-negara yang penduduknya itu nggak mau, nggak suka ngomong pakai bahasa Inggris, kaya misalnya Perancis. Trus ada juga Negara yang keterangan di tempat-tempat umumnya itu tulisannya nggak pakai bahasa Inggris, tapi misalnya pakai huruf kanji gitu di Jepang. Kalau nggak ngerti apa-apa blas kan bisa berabe. 

          Aku sendiri payah dalam hal penguasaan bahasa. Aku bisa bahasa Perancis? Enggak. Padahal aku kuliahnya bahasa Perancis loh. Sia-sia? Ya nggak juga sih. Gagal menguasai Bahasa Perancis itu kesalahanku sendiri yang nggak serius melatihnya. Padahal harusnya ada banyak cara. Bahkan aku sendiri sudah merumuskan cara-cara untuk mempermudah mempelajari bahasa Perancis. Tapi nggak tak lakuin juga saking malesnya. Haduuuh, ini kayaknya perlu ditambahin ke daftar resolusi deh. 

          Tapi meskipun nggak menguasai-menguasai amat, lumayan juga sih kalau cuma buat ngomongin hal kecil-kecil. Kaya misalnya pas jualan ada bule yang mampir beli scarf. Pas tahu kalau mereka ngomong bahasa Perancis, tak ajak ngomong pakai bahasa Perancislah. Eh, seneng banget dan akhirnya beli banyak buat oleh-oleh. Wkwkwk. 

          Yahh, ngomong kecil-kecil nggak penting sih bisa. Tapi buat ngejawab pertanyaan tentang apa yang lagi ngetren, misalnya, ya balik lagi pakai bahasa Inggris jelasinnya. Heuheuheu. Padahal Bahasa Inggrisku ya sama aja kacaunya. Hahahaha. 

          Gitu. jadi bahasa daerah sama bahasa asing mana yang lebih penting? Sama aja. Penting semua. 
          Bahasa daerah biar kita nggak melupakan jati diri, kenal diri sendiri. Bahasa asing untuk berkomunikasi lebih luas. Ibaratnya gimana kamu mau ceritain keunikan budayamu ke orang-orang di luaran sana kalau kamu nggak bisa menyampaikannya? Ya begitulah. 

          Aku sendiri masih banyak banget PRnya soal ini. Kepengan bisa menguasai banyak bahasa. Adakah di antara teman-teman semuanya yang punya cara-cara untuk tetep bisa mempelajari bahasa asing di tengah hecticnya kesibukan kerja dan project-project? Atau malah punya pengalaman belajar bahasa asing sendiri? Kalau ada, feel free yah buat share di kolom komentar.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

About me

About Me

Aenean sollicitudin, lorem quis bibendum auctor, nisi elit conseat ipsum, nec sagittis sem nibh id elit. Duis sed odio sit amei.

Follow Us

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Google+
  • pinterest
  • youtube

Categories

recent posts

Sponsor

Facebook

Blog Archive

  • Juni 2021 (2)
  • Mei 2021 (3)
  • Agustus 2020 (1)
  • Mei 2020 (1)
  • Maret 2020 (2)
  • Juni 2019 (2)
  • Maret 2019 (1)
  • Februari 2019 (2)
  • Januari 2019 (15)
  • Februari 2018 (1)
  • Januari 2018 (1)
  • Oktober 2017 (1)
  • September 2017 (1)
  • Agustus 2017 (4)
  • Juli 2017 (2)
  • Juni 2017 (3)
  • Mei 2017 (1)
  • April 2017 (2)
  • Maret 2017 (8)
  • Februari 2017 (10)
  • Januari 2017 (3)
  • Desember 2016 (6)
  • Oktober 2016 (4)
  • September 2016 (6)
  • Agustus 2016 (5)
  • Juli 2016 (3)
  • Juni 2016 (8)
  • April 2016 (1)
  • Maret 2016 (6)
  • Oktober 2012 (1)
Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

  • PENTINGNYA MEMPERHATIKAN LINGKUNGAN PERGAULAN ANAK
  • Semakin Sedih, Aku Justru Semakin Lucu
  • Keluar dari Lingkaran Setan Media Sosial

Yang Nulis

Isthar Pelle
Lihat profil lengkapku

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates