Call Me a Traitor
Aku adalah seorang pengkhianat. Pengkhianatanku
yang terbesar adalah kepada … diri sendiri. Selama dua tahun terakhir aku
bener-bener memandang rendah diriku sendiri.
“Aku nggak berguna.”
“Aku lemah.”
“Aku nggak berdaya.”
Dan aku-aku lain yang isinya semuanya negatif.
Yang paling menyebalkan dari semuanya, aku toh cuma mengeluh dan mengeluh tanpa
melakukan apa-apa untuk memperbaiki aku-aku yang jelek itu. Trus apa gunanya
sih? Hanya menyakiti dan semakin memperlemah diri sendiri.
Tentu saja hal ini nggak aku sebutin tiap saat
tiap waktu. Cuma pas aku lagi kumat aja. But, boy, betapa waktu kumat itu
sering dan itu mengacaukan segala mood. Parahnya lagi, aku belum benar-benar
menyadari kekuatan kata-kata. Ketika kau mengucapkan sesuatu, alam semesta
mengabulkan itu. Gila!
Perlu dipahami bahwa memang, aku begini bukan
tanpa alasan. Aku mengalami kesakitan yang nggak banget yang itu bikin aku
nggak stabil. Aku menyadari ini. Yang aku nggak sadar adalah … ternyata aku
bener-bener butuh bantuan. Bantuan ahli.
Tadinya ini nggak kuanggap penting. Tadinya kukira
selama aku bisa menjaga pikiran tetap logis, menjaga perasaan seringan mungkin,
mengalihkan perhatian ke hal-hal yang positif, menerapi diri sendiri dengan
hobi, dll, aku akan baik-baik saja.
Memang ada benarnya sih, tapiiii ternyata
kestabilan mentalku masih sangat rapuh. Aku bisa breakdown sewaktu-waktu tanpa
alasan yang jelas. Kadang hanya gara-gara satu hal sederhana, aku akan
breakdown berkepanjangan. Dan aku juga menyadari bahwa aku seratus persen
sendirian menghadap ini. Ini yang nggak bener.
Orang yang mengalami ketidakstabilan mental
kayak aku sangat nggak boleh dibiarin sendirian. And that’s why I need a help.
A professional help. Biar aku tahu aku harus gimana. Kan kalau ahlinya pasti
tahu cara terapi yang bener kan, bukannya ngawur sotoy kayak yang aku lakukan.
Aku udah berkali-kali dinasihati buat
konsultasi ke psikolog tapi aku abaikan. T__T Karena ya sotoy itu tadi. Aku
merasa baik-baik saja sendiri.
Jadi yah, aku menambahkan satu hal ke daftar to
do list tahun ini yang nggak aku masukin ke resolusi awal tahun: get a
professional help. Get a therapy. Be healthy both physically and mentally.
The Art of Living by Your Own
Aku emang udah lama hidup sendiri dalam arti
yang sebenarnya. Dulu aku punya keluarga tapi bukannya berfungsi sebagai
supporter, keluarga justru menjadi sumber depresiku yang nomor satu. Setelah
aku pergi, aku hanya punya satu orang: pacarku waktu itu. Dan ketika dia
ternyata mengkhianati kepercayaanku, aku bener-bener nggak punya pegangan. Yang
ini bahaya banget.
Oh, oke. Ada satu orang sih, yang selalu ada
buat aku. I do trust him, too. Sampai dia membohongiku lagi dan lagi, memberi
harapan palsu dan palsu dan aku makin kehilangan kepercayaan padanya.
Dan inilah sumber masalahnya: kepercayaan.
Dulu aku sudah melatih diri sendiri untuk nggak
usah percaya pada apapun deh. Beneran nggak usah. Tapi kenapa sih, aku harus
jatuh cinta, dan jatuh cinta dalam bentuk apapun selalu melonggarkan
kewaspadaan, dalam hal ini termaasuk kepercayaan. I was a #budakcinta after
all. Aku percaya banget pada kekuatan cinta sejati dan berharap bisa hidup
bersama dan bahagia? Oh, please. Ini kehidupan nyata, princess. Wake up!
Princess in fairy tale needs a prince to save her life, but in real life, a
princess is a queen to be and got to rule a fucking kingdom.
Jadi … aku memutuskan untuk meletakkan apapun
itu. Aku nggak percaya siapapun lagi. Orang yang kucintai pun.
Memang ada benarnya ketika orang bilang jangan
pernah mengharap apapun dari siapapun. Harapan hanya menuntun pada kekecewaan.
Buat yang masih bertuhan mungkin akan bilang
“Berharaplah hanya pada Tuhan.”
Dalam hal ini aku hanya bisa berharap pada
semesta. Dan dengan mengatakan semesta di sini berarti aku hanya bisa berharap
pada diriku sendiri. Karena cara kerja alam semesta hanya merespon apapun yang kukatakan
dan lakukan.
Semesta bukan sejenis sosok serba bisa yang
akan mengabulkan segala hal hanya karena kita rajin berdoa. Semesta adalah
perwujudan nyata dari hukum sebab akibat. Makanya aku mulai meningkatkan
kewaspadaan dan lebih hati-hati baik dalam perkataan maupun perbuatan.
Btw, akhir tahun kemarin pun pas dibaca tarot
sama temen aku juga udah dikasih tahu “Kamu bukan tipe yang membutuhkan
bantuan. Fokus aja pada apa yang kamu mau.”
And for a while, I’ve been doing it. Aku udah
semangat banget ngapa-ngapain.
Sampai mental breakdown kembali menyerang yang
itu bikin aku nggak fungsi.
Sampai aku lagi-lagi percaya pada harapan
kosong.
Jeleknya aku kadang memang selalu mengulangi
kesalahan yang sama berkali-kali dulu sampai yakin kalau itu beneran salah,
baru kemudian tobat. Wkwkwk.
Oke, udah cukup. Aku udah tahu kok ini salah,
salah banget.
Jadi langkah satu: jangan percaya siapapun
lagi.
Langkah dua: nabung biar bisa konsultasi ke
psikolog.
Fix! *wink
Oh, I love me. :*
0 komentar