Jujur
aja ya, aku itu sebenarnya anaknya insecure, minderan, dan hobi
membanding-bandingkan diri sendiri sama orang lain. Terutama sama mbak-mbak
cerdas cemerlang yang pengetahuannya luar biasa dan hidupnya bermanfaat. He’em,
aku nggak pernah iri sama cewek cantik atau cewek kaya, aku mindernya sama
cewek pinter. T__T
Nggak
sehat banget lah buat jiwaku, aku tahu itu. Soalnya aku jadi merasa makin
kecil, makin nggak ada apa-apanya, makin merasa nggak berguna, makin menyadari
kalau hanya serpihan kecil remah ceriping singkong, dan seterusnya.
Kalau
baca status teman yang bermanfaat dan luar biasa menginspirasi, aku langsung
minder melihat postinganku sendiri yang isinya cuma guyon-guyon nggak lucu.
Baca
postingan temen yang isinya syer-syeran tulisan dia di media-media yang
disegani, makin minder. Apalagi setelah melihat isi blog pribadinya braaaaad
banget. Jangankan blog pribadi. Status fesbuknya aja brad, berisi, berkualitas,
cerdas, bernas, dll. Dia cuma mau masukin tulisan berbobot lah pasti kalau buat
blog. Nha aku? Udah susah payah mengerahkan konsentrasi seharian aja postingan
blognya tetep yha gitu deh. *nangis menjerit
Sekarang
setelah menyadari itu ya aku berusaha memperbaiki diri lah pastinya. Bukan
dengan berusaha menjadi seperti mereka, karena itu sama saja aku menolak untuk
menerima diri sendiri apa adanya dan malah berusaha menjalani hidup sebagai
orang lain. Aku memperbaiki diriku dengan cara nggak membanding-bandingkan diri
sendiri sama siapapun lagi. Karena kalau terus dibandingkan nggak ada habisnya,
sis. Selalu ada yang jauh lebih baik daripada kita, yang lebih hebat, dst.
Kalau dibandingkan terus, kapan bahagianya?
Kemarin
aku ada obrolan menarik sama mbak Agnes Dara. Bahwa tiap orang itu punya
perannya masing-masing. Ada yang jadi magnet cinta kaya Mbak Agnes, ada yang
(mengutip kata mbak Agnes) aneh bin ajaib kaya aku.
Aku
trus mikir bener juga sih. Orang yang hebat banget pinter cerdas cemerlang luar
biasa juga belum tentu bisa dapetin ide segila aku. Yah, maksudku, kegilaan
memang bukan sesuatu yang umumnya dibanggakan sama orang, tapi tetep aja kan?
Bangsa
sebelah merasa minder sama bangsa kita karena merasa kalah kreatif lohh, tau
nggak? Produk-produk kreatif macam lagu dan hiburan lain aja mereka harus
impor. Mungkin mereka cerdas, iya. Pintar, iya. Berpendidikan, iya. Tapi kurang
kreatif dan itu ternyata menyedihkan.
Aku
diberkahi alam semesta dengan ide-ide baru setiap hari. Masa aku nggak
bersyukur dan malah galau memikirkan hal-hal yang aku nggak miliki?
Membaca
orang lain untuk menjadi terinspirasi itu bagus, melihat prestasi orang lain
untuk memacu semangat sendiri juga bagus. Tapi membandingkan hanya untuk
sedih-sedih dan merasa kekurangan, itu salah. Sangat salah.
Menyadari Kekurangan dan Potensi Diri
Sebelumnya,
aku tipe anak yang mudah sekali menemukan berbagai kekuranganku. Aku pemalas,
kurang fokus, gampang bosan, pelupa, dll. Banyak banget. kalau disuruh
menyebutkan daftar kekurangan dalam semenit, aku mungkin bisa langsung
menuliskannya dalam 1000 kata (oke, ini lebay).
Kelebihannya?
Nggak. Aku nggak bisa menyebutkan kelebihanku. Lebih tepatnya, nggak berani
menyebutkan kelebihan yang aku punya. Bahkan kalau ada orang yang memujiku dan
menyatakan kelebihanku, reaksi pertamaku adalah menyangkal. Meskipun di luar
aku bilang “Terima kasih,” tapi dalam hati aku menyangkal.
Tentu
saja ini ada sebabnya. Aku lahir dan tumbuh besar di lingkungan yang lebih
gampang menjatuhkan daripada mendorong potensi. Aku juga dulunya dikelilingi
teman-teman ‘racun’ yang selalu menemukan kejelakanku dan bukannya kelebihanku.
Jadi waktu itu, sekalipun aku sadar aku punya kelebihan tertentu, aku nggak
berani mengakui. Dan oh, sedihnya, yang seperti itu ternyata tercetak di alam
bawah sadar.
Sekarang
setelah sadar, susah payah aku bangun kembali rasa percaya diriku. Maksudnya,
tahu diri itu perlu seperti misalnya aku sadar kalau aku nggak punya bakat
menggambar, maka aku nggak akan maksa untuk menjadi tukang gambar.
Tapi
ada kelebihan-kelebihan yang memang harus diterima, misalnya ide-ide baru yang
nggak tiap orang punya. Ide aneh, unik, dan lain daripada yang lain, bakat
untuk menemukan kelucuan di manapun dan dalam situasi seperti apapun, dll. Itu
harus aku terima, dan bukannya disangkal. Lha kelebihannya ya cuma itu itu kok,
masa masih mau disangkal juga?
Tiga Langkah Hidup Bahagia
Menyadari dan Menerima Kekurangan Diri
Ini
penting. Bukan biar kita minder, tapi lebih biar kita tahu diri. Kalau udah
tahu diri dan sadar akan kekurangan, kita bisa memperbaikinya. Misalnya, aku
sadar banget kalau salah satu kekuranganku itu nggak fokus, gampang banget
teralihkan perhatiannya. Aku mengakalinya dengan cara membuat to do list.
Goalku apa? Langkah-langkah apa yang harus kulakukan untuk meraihnya? Dan itu
dikerjain satu-satu sesuai urutan. Dan itu sukses membantuku fokus.
Kekurangaku
yang lain itu pelupa. Maka aku menulis reminder di mana-mana. Di tembok, di
atas kasur, di hape, di buku catatan, dll. Dan itu lumayan membantu meskipun
kadang aku harus menulis reminder tentang reminderku sendiri. -_-
See?
Dengan menyadari kekurangan kita, kita jadi bisa menemukan solusi untuk
memperbaikinya.
Menyadari dan Menerima Kelebihan Diri
Ini
nggak kalah pentingnya. Dan aku yakin, bukan aku saja yang tadinya nggak berani
mengakui kelebihan diri sendiri. Aku tahu alasannya klise lah. Takut dibilang
sombong, dibilang ngebrag, dll.
Hey,
maksudnya mengakui di sini itu mengakui ke diri sendiri. Tahu, sadar, oh, aku
punya kekebihan ini ini ini. Aku bagus kalau mengerjakan ini, dll. Bukannya
diumbar ke orang-orang, eh aku cantik lohh, aku cerdas berwawasan lohh, dan
semacamnya. Itu sih namanya songong (meskipun dalam porsi yang pas dalam rangka
meningkatkan kepercayaan diri, songong itu boleh. Hahaha).
Kalau
menyadari kekurangan penting buat memperbaikinya, menyadari kelebihan penting
buat meningkatkannya. Orang yang nggak tahu potensinya di mana akan cenderung
hilang arah. Nggak tahu hidup harus ngapain. Mencari-cari, meraba-raba, atau
lebih parahnya asal nabrak. Ngerjain gitu aja apa yang disodorkan di depan muka
tanpa menyadari beneran bisa apa enggak. Memangnya kenapa kok masih banyak
orang yang masih stress sama kerjaannnya? Hayooo, think again!
Aku
dulu juga sudah melewati fase nabrak-nabrak itu. Ngerjain apapun itu yang bisa
dikerjain. Motivasinya lebih karena butuh uang aja sih buat makan. Hahaha.
Makanya nggak heran kalau pas kerja dulu aku stress. Soalnya bukan hanya aku nggak
punya potensi di situ, akunya juga nggak suka. That’s not my thing.
Mengenali
potensi juga bisa jadi tricky buat orang yang tertarik ke banyak hal kaya aku.
Jadi memerlukan pemikiran yang lebih dalam lagi. Aku suka nulis? Suka. Bagus
nggak? Belum. Solusinya? Latihan terus.
Aku
suka nyanyi? Suka bangeeet. Bagus nggak? Belum. Solusinya? Latihan terus.
Aku
suka dagang? Suka. Bisa nggak? Bisa. Bagus nggak kemampuan dagangnya? Bisa
dibilang hebat banget selama produknya aku suka. Pengalaman udah dari kecil
ikut ibu jualan baju, sering jualan apa saja mulai snack sampai aksesoris sejak
SD.
Dari
ketiga hal yang menarik minatku itu, mana yang harusnya aku fokuskan sebagai
pilihan karir? Yes, dagang. Kenapa? Karena di situ aku paling bagus dibanding
dua bidang lainnya. Aku mungkin bisa nulis, bisa nyanyi, tapi kalau mau
berkarir di situ butuh waktu karena aku nggak sebagus itu. Masih butuh banyak
latihan dan kerja keras lagi.
Berhenti Membandingkan Diri Sendiri dengan Orang Lain
Sampai
sini aku udah tahu kekuranganku apa, kelebihanku apa, dan potensiku paling
bagus di mana. Jadi, daripada sibuk membandingkan diri sendiri sama orang yang
emang udah sukses jadi penulis, misalnya, aku mending fokus mengerjakan ‘my
thing’. Nggak usah sibuk mikirin prestasi orang lain “Duh, dia udah sampai sana
sana sana, udah nulis di mana-mana, udah diundang ke mana-mana,” dan lain-lain.
Toh yang tulisannya bagus belum tentu bisa kalau disuruh jualan. Beneran ini.
Aku
nggak perlu membandingkan diriku sama orang yang sering menang lomba blog
karena jago bikin infografis. Sadar kalau gambar dan desain itu bukan ‘my
thing’. Jadi memang tidak untuk diperbandingkan. Ya bagaimana mau dibandingin wong
urusannya aja udah beda kok. Itu kan jadi kaya membandingkan kualitas
sayur-sayuran sama fitur smartphone. Nggak nyambung.
Sadar,
menerima diri sendiri, berhenti membandingkan. Nyari inspirasi boleh,
membandingkan jangan. Sekarang aku nggak perlu malu lagi mengakui kelebihanku
meski kelihatannya nggak se-cool bakat orang-orang.
Dulu
kalau lagi kehilangan motivasi, aku akan stalking akun orang-orang hebat dan
membanding-bandingkan mereka dengan diri sendiri, trus merasa makin terpuruk.
Sekarang kalaupun stalking akun mereka, aku serap inspirasinya saja, trus ngaca
sambil bilang “Girl, you're rock!”